Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.

Sejak akhir tahun 2018 lalu list film-film yang akan tayang di tahun 2019 sudah lalu lalang di timeline-ku, nggak sabar juga ya menunggu Avengers 4: End Game, Lion King dan Fantasatic Beast and Where To Find Them 3 rilis 😘. Sedang untuk film lokalnya aku menunggu Keluarga Cemara, Gundala (yang kabarnya akan dibuat universe seperti MCU) dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas 😘.

Tanpa berniat untuk melupakan film Aquaman dan Spiderverse yang katanya keren namun nggak sempat ditonton sebab keburu libur panjang. Aku mengawali tahun 2019-ku dengan menonton film Keluarga Cemara.

Aku dan Icunk menonton film Keluarga Cemara ini di minggu pertama penayangannya (dimana lagi kalau bukan di Ubertos 😅), namun atas dasar kemalasan yang menjadi-jadi dan keinginan untuk memaparkan spoiler di dalam review. Maka... reviewnya agak ditangguhkan dulu yaw haha ... 😌

Bisa dibilang hari minggu adalah hari sakralnya anak-anak era 90an, sebab rata-rata kanal televisi menayangkan program untuk anak-anak. Pokoknya ya dari bangun tidur sampai tengah hari kartun semua 💋, saking banyaknya kita sering gonta-ganti kanal setiap kali ada iklan dan nggak jarang malah kelupaan mindahin balik 😉 Ohya paling sebel deh kalau ada program tinju di RCTI 😂.

Saat itu kita sangat dimanjakan sekali .. sehingga kita pun nggak berkeberatan untuk menonton serial GNOTA atau Anak Seribu Pulau yang digagas oleh pemerintah. Eh, kalau lagi geje suka menelepon 153 nggak sih? 😮 Meski sudah didengarkan berkali-kali, sering merasa bersalah aja gitu kalau nggak mendengarkan mb operatornya bercerita sampai selesai 😂😂😂.

Nggak usah ditanyalah sesejahtera apa keseharian anak-anak era 90an 😊. Ada Tralala Trilili dan ABC program musik merangkap infotainment untuk anak-anak. Ada Cinta Clarita, Maria Belen, Amigos X Siempre (yang episode terakhirnya membuatku bolos les). Ada film vampire China yang cast-nya itu-itu aja dan ada Keluarga Cemara... Kalau mau dewasaan dikit ada serial Lupus dan Olga Sepatu Roda.

Keluarga Cemara adalah serial televisi keluarga yang diadaptasi dari cerita pendek karya Arswendo Atmowiloto, potret kesederhanaan Keluarga Cemara ini bagaikan cerita pendek  di buku Pendidikan Bahasa Indonesia terbitan PT. Sarana Panca Karya 👌. Sederhana sekali... hanya menjelaskan peristiwa yang terjadi saat ini tanpa ada penjelasan latar belakang peristiwa. Present tenses tanpa embel-embel past tenses.

Adalah Abah (Adi Kurdi) dan Emak (Novia Kolopaking & Ema Waroka) serta ketiga anaknya Euis (Ceria Hade), Cemara ‘Ara’ (Anisa Fujianti) dan Agil (Puji Lestari). Pasca usaha Abah kolaps mereka tinggal di cottage minimalis dengan kamar mandi outdoor yang airnya luber jadi empang. Sehari-hari Abah bekerja sebagai tukang becak sedang Emak membuat opak yang dijajakan Euis di terminal Sukabumi.  

FYI. Keluarga Cemara ini sudah menerapkan sustainable living loh ... 🌱

Serial Keluarga Cemara ini tayang di sore hari, jam-jamnya sekolah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Meski ceritanya sederhana selalu terselip pesan moral di setiap episodenya, hal yang maya pada dari tayangan masa kini. Selain itu, serial Keluarga Cemara berhasil menanami benak kita dengan esensi tentang keluarga melalui lirik theme song-nya. “harta yang paling berharga... adalah keluarga...” 👌.

Salah satu episode serial Keluarga Cemara yang (sejauh ini) masih kuingat adalah saat Ara ingin memiliki kempis (botol minum) seperti teman-teman di kelasnya. Setelah menatap nanar Pipin and the gank yang ngeceng-cengin mulu dari sebrang jalan, terus Ara pulang ke rumahnya sambil asruk-asrukan lewat sawah. Sedih banget lah ini... 😭

Tadinya Abah dan Emak nggak mau membelikan Ara kempis sebab nggak ada budget, tapi Emak enggak tega apalagi saat nggak sengaja mendengar Ara curhat ke Agil “temen-temen pada punya kempis ...” 😞. Demi menyenangkan Ara, alhasil Emak pun mengkredit kempis ke Ceu Salmah yang sering mampir say Hi ke Emak. Besoknya Ara girang banget ke sekolah bawa kempis.

Untuk film Keluarga Cemara tadinya aku cukup merasa skeptis sebab nggak semua yang di-remake feel-nya bisa dapet, apalagi Keluarga Cemara ini adalah serial yang bisa dibilang legend. Berkaca dari yang sudah-sudah, film yang menjual tema nostalgia biasanya malah beresiko terjun bebas dan ambyar begitu saja, ya mungkin sebenarnya memang nggak perlu dibuat film layar lebarnya juga sih 😁.

Yhahaha~ namanya juga usaha ... 😛

Sedari wacana Film Keluarga Cemara ini menuai respon yang cukup beragam dari warga Twitterland. Pokoknya, banyol-banyol-konyol deh ini. Dari mulai Abah menjadi driver Go-Jek dan Emak punya online shop Opak (biar Euis nggak perlu kepanasan jualan ke terminal) sampai Ara dan Agil yang mainin plushie dan slime. Monang akutu bacainnya haha 😂😂😂

Sebagai film bertema keluarga yang menjual nostalgia kupikir Yandy Laurens ini berhasil mengadaptasikan film Keluarga Cemara ke masa kini. Penyesuaian yang dilakukannya nggak terlalu berlebihan dan terasa pas. Jadi ya... meski alur ceritanya digubah, intisarinya masih tetap sama.

Berbeda dari serialnya, film Keluarga Cemara ini mengambil setting waktu lebih awal yakni saat Abah dan Emak mesti kehilangan hartanya. Part yang sama sekali nggak pernah diceritakan di serialnya ya... kita pun nggak pernah tahu kan bagaimana kehidupan keluarga Abah sebelumnya. Tahu-tahu jadi tukang becak weh... 

Sedangan film Keluarga Cemara lebih menceritakan tentang turning point sebuah keluarga yang sempat mempertanyakan makna dari keluarga itu sendiri.

Sebagaimana realita kaum urban masa kini dimana Abah (Ringgo Agus) adalah satu-satunya bread winner , tentunya Abah mesti mengesampingkan ego dan mengorbankan banyak hal demi menghidupi keluarganya. Namun mirisnya, dalam hal ini yang menjadi korban malah keluarganya sendiri yakni Emak (Nirina), Euis (Zara JKT86) dan Ara (Widuri).

Banyak hal yang sudah Abah lewatkan termasuk menonton dance performance-nya Euis, yang meski masih dongkol tetap berusaha berpikir positif. Sayangnya, kali ini Abah kembali melewatkan hari penting Euis sebab mengurusi proyeknya yang bermasalah akibat iparnya Kang Fajar (Ario Wahab).

Abah pun memboyong keluarganya ke rumah masa kecilnya di daerah Bogor, untungnya seolah sedang libur jadi nggak perlulah kita ikut-ikutan memikirkan Euis dan Ara akan bolos apa putus sekolah 😛. Rumahnya Abah adalah tipikal rumah di film-film horror  yang dibangun di era kolonial, halamannya luas, jauh dari jalan raya, zona tropis (sering hujan), propertinya usang dan tampak menyeramkan haha

Terbiasa dengan dengan segala kemudahan tentunya Abah dan keluarganya mesti beradaptasi di lingkungan yang baru, kebayang dong gimana anyepnya jam-jam sholat Isya disana, kalau nggak suara motor ngebut ya suara tonggeret sama jangkrik. Butuh perjuangan untuk menyamakan frekuensi sinyal provider, mana nggak ada colokan di pohonnya 😢.

Demi menghidupi keluarganya Abah beralih profesi menjadi kuli bangunan, namun nggak lama ya sebab Abah akhirnya lebih memilih menjadi driver Go-Jek sesuai dengan prediksi netyzen. Euis dan Ara pindah sekolah, Emak juga jualan opak kok cuma belum buat online shop-nya 😛. Beruntung, banyak tetangga Abah yang mau membantu termasuk teman masa kecilnya Romli (Abdurrahman Arif) dan Ceu Salmah (Asri Welas) si tukang kredit loba ceta 💃.

Kupikir judul Keluarga Euis lebih cocok ketimbang Keluarga Cemara sebab Euislah yang merasakan betul degradasi kehidupan keluarganya, si Ara mah hanya sebagai pemanis sebab masih kanak-kanak. Kalau nantinya Keluarga Cemara dibuat sekuelnya, Keluarga Euis ini adalah prekuel yang ajeg, seenggaknya kita jadi tahu kan kenapa bisa ada Agil 😳

Hal semacam baju kertas untuk potong rambut dan menyisakan makanan untuk anggota keluarga yang belum pulang membuat kita merasa sedang berada di tengah-tengah keluarga, sesuai dengan tagline-nya “kembali ke keluarga”.

Saat Abah marah-marah sama Euis terselip kata-kata yang lumayan ngegas “kalau kata Abah nggak ya nggak, ngerti nggak?... ngerti nggak?... ngerti nggak?” eh ada anak kecil yang nyahut dong “nggak!” sambil ngegas juga jawabnya HAHAHAHAHA sumpah ini satu studio pada ngikik tapi dipelanin suaranya.

Si Abah mah ya... ditipu iparnya sabar, mendadak misqueen masih sabar, kecelakaan kerja masih juga sabar. Barulah saat bertemu dengan keluarganya kesabaran itu mendadak habis dan meledak di akhir-akhir. Nggak adil memang... sebab Euislah yang paling kena getahnya. Namun perlu diingat Abah juga manusia... 🙏 Segitu juga Euis mah nggak misuh-misuh minta dibeliin kuota.

Banyak yang berpendapat bahwa Ceu Salma dan Romli adalah scene stealer di film Keluarga Cemara ini, itu sudah pasti ya. Namun bagiku scene stealer di film Keluarga Cemara ini adalah... eteh-eteh nasi rames + gorengan yang dihutangi Romli haha Bisaanlah udat adatna, satu kali take lagi 😂😂😂😂😂

Seakan menjawab pertanyaan penonton “Euis itu nama panggilan” kita sih possitive thinking bisa jadi kan nama asli Euis adalah Aisyah, kepleset dikit jadi Euis *haha maksa banget lah ini... ya nggak Cunk?

Teman-teman barunya Euis juga nggak kalah seru, scene nyanyi-nyanyi sambil diiringi gitar ini lawasnya level Dilan. Ada Rindu (Yasamine Jasem), Deni (Kafin Sulthan), Andy (Joshia Frederico) dan Ima (Kawai Labiba). Saat masih bocah Kafin pernah perform di acara kampus, sebab selain memang menggemaskan dan beneran bagus suaranya doi adalah anaknya dosenku. Maka saat melihatnya di film Keluarga Cemara ini, duh... berasa tuwir banget yhahaha... 😂😂😂

Pemilihan cast untuk film Keluarga Cemara terbilang pas ya... Ringgo dan Zara ada sedikit miripnya, Nirina dan Widuri pun ada sedikit miripnya. Kalau sebelumnya aku melihat Ringgo ini sebagai babanya Bjorka, setelah menonton film Keluarga Cemara ini aku melihat Ringgo sebagai sosok yang berbeda dan kupikir Abah adalah salah satu penampilan terbaiknya Ringgo (selain Agus di film Jomblo).

Tanpa perlu melebih-lebihkan, film Keluarga Cemara ini adalah salah satu film terbaik tentang keluarga (yang sejauh ini pernah kutonton). Nggak usah menunggu sampai hari raya untuk bisa menontonnya di televisi, kalau masih belum turun layar tontonlah di bioskop, nggak rugi kok 😊
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Disclaimer: post ini panjang banget ... 😳

Beberapa waktu lalu aku menemukan artikel mengenai emotionaleating yang ditulis oleh Sitta Karina. Emotional eating adalah suatu kondisi dimana kita makan dengan tujuan untuk menyamankan diri. Jadi, makan bukan hanya karena kebutuhan biologis melainkan untuk mengatasi permasalahan emosi yang dipicu oleh rasa marah, khawatir, kesal, bosan atau gelisah.

Dipikir-pikir ... 😒

Dipikir-pikir ... 😒

Dipikir-pikir ... 😒

Kayanya  aku dulu pernah begini ...
Ternyata aku dulu pernah begini ...

Kalau kalian terhubung denganku di dunia nyata (atau virtual) pasti pernah menemukan fotoku yang dikomentari “kok gendutan?” oleh khalayak netyzen sekalian. Masa-masa excited-nya punya akun Instagram dan Path. Masa-masa kuliah tingkat akhir. Masa-masa awal bekerja. Masa-masa hiatus season 1. Serta masa-masa selanjutnya ... selalu ada yang mengomentari “kok gendutan?” bak “hai! Apa kabar?”.

FYI. Saat ini “kok gendutan?” adalah body shaming. Kali aja belum pada tahu ...

Aku merasa bersyukur menemukan artikel mengenai emotional eating ini bukan pada saat mengalaminya, melainkan setelah mengalaminya, yang artinya ... aku sudah berhasil melaluinya 👼. Ohya emotional eating versiku ini terjadi karena stress berkepanjangan sebab terlalu lelah menghadapi hidup 😅 Intinya sih kecapekan ... dan #kurangpiknik aja 😁

Sebelumnya aku nggak memiliki masalah dengan makan, palingan malas karena aku picky eater yang berimbas pada menyelingi makan dengan ngemil. Yang menjadikannya emotional eating adalah ketika aku makan dalam kondisi (yang tanpa disadari) sedang stress. Dan itu bermula di tahun terakhir kuliahku ...  

Kalau biasanya teman-temanku minum kopi biar nggak ngantuk saat (berniat) begadang, well ... bagiku kopi malah nggak ngaruh sama sekali, yang ada malah ngantuk dan kadang malah ketiduran (makanya jangan heran ya kalau abis jajan ke coffee shop mataku kriyep-kriyep haha 😉). Hanya ada satu cara untuk membuatku tetap terjaga kala begadang; ngemil. Trust me, it works!

Namun mesti diakui, tahun terakhir kuliah adalah masa-masa yang cukup membebani. Kalau mahasiswa lain harus melalui 1-3 kali sidang untuk bisa lulus aku harus melalui 8 kali sidang. (Normalnya hanya 6 kali sidang, 3 sidang KP dan 3 sidang TA bermuatan 8 sks. Sayangnya aku harus mengulang sidang KP karena di sidang (terakhir) KP season 1 aku sakit *heu ... 😵).

Saking seringnya sidang, temanku ngeceng-cengin: “cie ... simulasi anggota MPR” 😫

Karena sidang KP dan sidang TA dilakukan secara kontinyu, maka sudah bisa dipastikan selama 1 tahun lebih itu nggak ada hari tanpa begadang yang berarti hampir setiap malam aku ngemil. Kupikir normal ya untuk merasa lapar setiap 6 jam sekali karena waktu tidurku kurang dari 6 jam sehari, jadi sebelum dan sesudah tidur aku terbiasa untuk ngemil 😍

Aku aja cemilanku? Saat itu aku jarang makan mie instan ya paling sebulan 1-2 kali, lebih ke roti dan susu serta makanan berat lainnya yhaha 😋 ini termasuk aneka cookies atau keripik. Ternyata begadang bukan Cuma menguras tenaga dan pikiran ya namun juga kesehatan mental 😌. Kesal dikit, ngemil. Capek dikit, ngemil. Bingung dikit, ngemil. Galau dikit, ngemil. Baper dikit, ngemil. Kalau nggak ngemil ya makan 😳

Kupikir semua  baik-baik aja, tapi tenyata nggak bagi teman-temanku. Maka mulailah banyak yang berkomentar “kok gendutan?”, “orang lain ma h TA tuh ngurusin, ini kok malah gendutan” atau “tumbuh tuh ke atas bukan ke samping” BGST memang~ ... 😂 Tapi karena nggak merasa ada yang salah aku adem ayem tentrem bae ... melanjutkan hidup sambil eungap.

Pernah ada yang tanya: “Non, kenapa kamu gendut?” bosan ditanyai maka kujawab “kamu sendiri kenapa item?” yang dijawabnya “dari dulu juga item kok, bukannya gitu ... kalau gendut ntar susah punya pacar” karena nggak merasa ada korelasi antara gendut dan punya pacar maka kujawab “lah ... kamu kurus dari dulu tetep aja nggak ada mau”.

Kupikir, ketimbang menyuruhku ini itu seharusnya ia berusaha membenahi hidupnya sendiri 😏.

Pernah terjadi saat aku membeli celana panjang, aku jelas request ukuran 30 begitu datang ukurannya ditambahi jadi ukuran 34 dengan alasan “kan sekarang udah gendut”, wajar dong kalau marah-marah dan minta ditukar dengan ukuran yang ku request. Ehh ... ternyata yang datang bukan ukuran 30 melainkan ukuran 32 katanya “takutnya nggak cukup”. Eym ... tabok gak nih haha 😅

FYI. 30 itu udah ukuran final,  masih agak kegedean karena sebelumnya pake ukuran 28-29 dan memang masih cukup. Meski akhirnya dibeli karena mamaku merasa nggak enak dengan penjualnya, begitu sampai kamar kulempar dan ketemunya lagi pas doi udah bulukan haha Nggak habis pikir ... kenapa orang-orang terasa lebih underestimate saat aku ‘berubah’ 😮.

Saat kuliah ukuran pakaianku kalau nggak S ya M bahkan SS, kemudian berubah menjadi L atau XL. Nah, disini aku merasa sedih ... Serius deh ini ... sedihnya beneran sedih, pakaian favoritos teronggok siya-siya di pojokan lemari karena nggak pada muat. Yawla! Makin ambyar aja eksistensiku ... 😭😭😭

Meski ZBL setengah mati dari sini aku jadi berpikir: “Ohh ... jadi begini ya yang dirasakan orang-orang sebelumku”. Mungkin aku adalah orang kesekian ratus juta yang mengalami hal seperti ini, namun bagiku ini adalah kali pertama dan ternyata menyedihkan ... 😰

Lingkungan jelas nggak berpihak karena apa pun yang kulakukan selalu tampak salah, yang woles mah Cuma Bude Sumiyati 😁 Entah terbuat dari apa yaini bibir netyzen komentarnya pada pacux semua. “kalau belum nikah mah gak boleh gendut!”, “kamu jelek kalau gendut, kaya ibu-ibu”, “jangan makan banyak-banyak”, “diet napa sih?” etc yang berujung pada pertanyaan genggeus lainnya yakni “kapan nikah?” 😴.

"Sesalah itu ya kalau gendutan?"
– Lestari (waktu masih) 23 tahun –

Tentu aku merasa sadar kalau kondisi fisikku berubah, namun yang masih belum bisa kumengerti adalah alasan kenapa bisa sampai sebegininya. Karena kalau ditelaah lebih lanjut, asupan ngemilku nggak jauh berbeda dari saat kuliah (sebelum masa tingkat akhir), palingan makan jadi lebih rutin nggak sekenanya seperti saat kuliah.

Jadi, dimana masalahnya?

Kalau dibandingkan dengan kuliah seharusnya (fase) kerja ini nggak serumit kuliah, seenggaknya kerjaannya nggak membuatku begadang. Mungkin karena sebelumnya terbiasa dengan ritme hidup yang serba-ketat-namun-nggak-teratur, bagiku fase kerja malah membingungkan.

Secara visual pekerjaanku terbilang : bisa dikuasai asalkan ada niat. Itu visualisasinya ya ... Behind the scene-nya gimana nih?

Blingsatan qaqa ... 😂😂😂

Sebagai fresh graduate tentu masih ada sisa-sisa idealisme yang masih membuntuti, kupikir itu wajar karena (sebagai fresh graduate) kita masih dihinggapi euphoria yang meledak-ledak tentang merealisasikan hal-hal yang sebelumnya bersifat teoritis. Namun bukan idealisme sebagai fresh graduate yang membuatku gelisah melainkan idealisme pada diri sendiri.

Untuk pekerjaan aku masih bisa mengikuti, namun untuk hal-hal yang bersifat kehakikatan alias hati, jiwa dan pikiran. Jelas nggak pernah bisa nyambung.

I don’t feel alive anymore.
a.k.a aku nggak bahagia nih guise ... 😭

Itu masalahnya.

Maka dimulailah (lagi) masa-masa: Kesal dikit, ngemil. Capek dikit, ngemil. Bingung dikit, ngemil. Galau dikit, ngemil. Baper dikit, ngemil.

Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Begitu seterusnya sampai bosan nyaman ... 💃

Hampir setiap bulan aku mesti ke dokter, ceritanya sakit kepala melulu padahal mah hatinya yang mangkel melulu haha Gimana nggak mangkel ya hampir setiap hari aku disodori sampah sosial.

Tentang si A yang sudah bekerja bahkan sebelum wisuda. Tentang si B yang akan di-khitbah hanya 3 bulan setelah bekerja. Tentang si C yang membeli smartphone terbaru dengan gaji pertamanya. Tentang si D yang mengambil cicilan KPR meski statusnya masih kontrak. Tentang si E yang posting foto liburannya ke Singapura. Tentang si F, G, H sampai Z atau (mulai lagi dari) A1, A2, A3, A4, A5, Letter, Legal, Kwarto, Blanko, Porto, Bakso ...

O ... O ... O ... Bacotan tetangga memang lebih shahih ketimbang akun per-Lambe-an 💋💋💋

Berhubung di depan kantorku ada Alfamart maka berasa ada guilty pleasure kalau nggak mampir barang sekejap yhaha ... 👻 Bisa lah ya jajan Aice atau nyetok snack kecil-kecil sekali tamat macem Oreo, Go Potato atau Tango. Aku memang udah tidak dalam masa pertumbuhan, namun apa salahnya makan dan ngemil?

Ada masanya ketika aku baru beranjak dari kasur 1 jam setelah terbangun, hal itu terjadi selama berbulan-bulan lamanya. Ngapain aja selama 1 jam itu? Aku ... berpikir ... berpikir ... berpikir ... mengenai banyak hal. Yha~ Intinya adalah overthinking dengan ketidak-puasan, ketidak-berdayaan, ketidak-hidupan serta ketidak-tidakan lainnya.

Dengan emosi yang fluktuatif semakin hari kumerasa semakin labil wkwk ... 😅 Kadang suka nggak fokus dengan apa yang dikerjakan, mendadak badmood, mudah tersinggung, sering marah-marah bahkan untuk hal remeh sekalipun. Pokoknya intensitas mood swing-nya tinggi (sekali) sampai sering merasa ubun-ubun ngebul saking panasnya 😱.

Selalu terselip pikiran: “Aku dimana? Aku siapa? Aku apa?” setiap kali merasa asing ditengah keriuhan yang bagiku ... sorry to say ... memuakkan 😯. Topik obrolan sehari-hari HANYA berkisar antara: jodoh, menikah serta angan-angan masa  depan, hhhhhhadddehhhhh .... yukate hidup cuma untuk beregenerasi?! 😵😵😵

Hidup ini Cuma sekali ya kawan ... kamu nggak akan mati kalau nggak menikah besok. Single juga nggak akan menjadi masalah kalau kamu nggak membesar-besarkannya. Kupikir: dunia nggak akan runtuh hanya karena aku nggak menikah besok dan aku nggak akan mati siya-siya hanya karena masih single.

Eh. Tapi balik lagi sih ... what doesn’t kill me may kill somebody 😏

Mungkin pernah mendengar seloroh candaan: “geuleuh? Utahkeun weh ...”

HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA

I did!

Saking muaknya.
Aku (sampai) mual.
Lantas muntah.
Untung nggak di depan mukanya~

Aku nggak merasa connect dengan lingkunganku, mau itu di rumah atau di kantor atau di sekitarnya. Aku merasa orang-orang cenderung menuntut banyak hal, banyak bangedh ... lebih banyak ketimbang dosa malah ... Makanya sering KZL.

Sadar hidupku mulai ‘menyimpang’ haha aku mulai berpikir untuk mengembalikannya ke jalan yang benar *wink *wink *wink Karena aku meyakini men sana in corporesano, maka aku memutuskan untuk lebih dulu membenahi pikiranku ketimbang membenahi berat badan, I want to keep my mind back on the right track 😎

Maka aku resign.

Orang-orang bukan Cuma menyayangkan keputusanku namun juga menganggapku goblok, yhaha ... memang. resign dengan alasan ‘lelah’ disaat orang-orang kesulitan mendapatkan pekerjaan adalah goblok, tapi kupikir lebih goblok lagi kalau terus memaksakan diri menjalani kehidupan yang (kutahu) nggak pernah kuinginkan.

Bukannya sok kaya ya haha 😂 tapi frasa uang tidak bisa membeli kebahagiaan itu benar adanya. Kupikir percuma bekerja dan berpenghasilan sedang setiap bulan mesti ke dokter, minum obat yang kutahu sama sekali nggak ada efeknya (karena bulan depan pasti balik lagi) dan entah kenapa sering merasa berada di tempat yang salah.

Karena sesejahtera apapun hidupmu kalau nggak bahagia yha~ ... hambar.
Lama-lama ambyar.
Ujungnya bubyar.

Yagimana dong ... namanya juga nggak bahagia *heu.

Thanks untuk Fahria dan Mazia yang udah menyelenggarakan marathon wedding haha Karena kalian resign-ku jadi epic. Gimana nggak epic lah yha? Paginya aku resign. Siangnya ke Bandung. Sorenya ke Jakarta. Besoknya ada di Yogyakarta. Liburan ... 

Ternyata euphoria resign Cuma bertahan selama 2-3 bulan aja yhaha ... dan orang-orang jelas gelisah dengan ‘kemalasan’ku ini 😜.

FYI. Aku nggak malas ya ... tapi lelah ... 😅

Saat itu aku merencanakan untuk ‘istirahat’ sejenak selama ± 1 tahun (yang pada kenyataannya malah molor sampai ± 3 tahun). Membersihkan hati, jiwa dan pikiran juga butuh proses kali ah ... kelak aku menyebutnya: hiatus.

Bagiku, masa hiatus adalah masa terberat. Selalu ada godaan untuk kembali menggadaikan kebahagiaan dikarenakan kekerean ini. Duhai #sobatmiskin ... aku padamu. Hanya Twitter yang paling mengerti gimana rasanya nggak sanggup buka akun Instagram dan Path karena sayang kuota 😊.

Nggak terhitung berapa banyak teguran, kritikan atau perintah yang disampaikan, dari cara yang baik-baik sampai kurang ajar sekali pun. Orang-orang berpikir 20 tahun dalam hidupku terbuang siya-siya sebab sekolah tidak menjadikanku lebih terdidik ketimbang seharusnya.

Let me tell you  ... there always a black sheep to be blamed in every family isn’t? 🐑.

Kupikir orang-orang sudah cukup gila untuk menilai sesorang hanya berdasarkan kulit luarnya saja. Perkara sampah sosial atau pencapaian-pencapaian ambisius membuatku tersadar bahwa aku mesti menyelamatkan serta memelihara kewarasanku. At least ... aku masih ingin memiliki hati, jiwa dan pikiran yang stabil.

I stand for myself.
So ... What are you stand for?

⌛

Ngapain aja nih pasca resign?

Memanjakan diri dengan menonton TV dan tidur siang. Menghabiskan waktu dengan membaca buku dan beres-beres. Menekuni lagi hobby yang sempat terlupakan. Mencoba mengurai dan membenahi apa-apa yang ditinggalkan. Menyiram tanaman dan ... ngeblog lagi. Intinya sih menyenangkan diri sendiri.

Anggaplah yang kulakukan ini sebagai the art of doing nothing 😂😂😂

Aku belajar lagi menikmati setiap hal yang kukira terlalu mevvah untuk dilakukan dan terlalu muluk untuk dibayangkan. So ... ketimbang misuh-misuh dengan masa lalu yang “hemeh bin hadeh” aku memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dengan memberikan second chance sebagai reward atas pencapaianku.

Well ... Tydac menyerah juga adalah pencapaian 👌

Hidup ini berproses ya ... aku juga nggak langsung kurus begitu aja dalam semalam. Dibutuhkan waktu yang “cukup” lambreta untuk “berubah” kembali seperti dulu~ Semuanya berjalan beriringan, saat pikiran tercerahkan maka saat itu juga semesta mendukung meski seringnya menikung *eh.

Ohya, selama mengalami emotional eating ini adakah yang berusaha membantu dan menuntunku kembali ke jalan yang benar? Eym ... kayanya nggak ada *heu 😅 Maklumlah ... orang-orang lebih senang menjadi komentator ketimbang menjadi motivator. Meski “kok gendutan?” kini sudah merubah menjadi “kok kurusan?” akan selalu ada hal yang salah dimata khalayak sekalian.

Aku merasa lebih beruntung karena  bisa berhenti pada tahap emotional eating, nggak sampai eating disorder. Alhamdulillah nggak ada keinginan untuk suicide karena aku nggak mau jadi hantu penasaran seperti beberapa karakter di bukunya Risa Sarasvati. Geje aja gitu ... hidup nggak ke akhirat juga nggak haha ...

Pada akhirnya ... kembali ke haribaan diri sendiri. Siapa yang akan menolong dan mengusahakan kalau bukan diri sendiri.

Yang kurasakan setelah mengalami emotional eating, yha~ mungkin aku lebih menerima diri apa adanya (self acceptance), lebih santai menanggapi orang-orang, lebih woles dalam menjalani keseharian dan tahu benar apa yang kuinginkan. Well ... hidup ini bukan Cuma dijalani namun juga dinikmati yaw~

Aku masih ngemil.
Dan berbahagia.





Yawla! Panjang banget ya post akhir tahun ini.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Beberapa waktu yang lalu metode berbenah ala Marie Kondo atau Kon-Mari sempat hype ya, scroll dikit ketemunya Marie Kondo lagi Marie Kondo lagi *eh tergantung apa yang di follow sih 😉 Setelah berbulan-bulan gamang memikirkan “perlu beli bukunya apa nggak?”  akhirnya aku malah nggak sengaja membelinya sebab bukunya di-display di samping jalur antrian meja kasir 😝

Pengertian banget lah ini Gramedia, pengunjung yang mati gaya saat mengantri memang cenderung menjadi impulshopper 😏.

Ternyata butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan buku the life changing magic of tidying up ini, ironisnya bukan karena bukunya terlalu tebal atau karena bukunya belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia ya namun karena terlanjur bosan 😂😂😂. Style penceritaan Marie Kondo yang naratif deskriptif tanpa ada ilustrasi atau footage picture membuatku mudah mengantuk saat membacanya, makanya agak sulit untuk menyelesaikannya.

Selain itu, (kalau dilihat dari style penceritannya) kadang aku merasa kepribadian Marie Kondo ini agak kaku ... macem kanebo kering 🙇.

Pada intinya, Mari Kondo mengajak kita untuk mengadopsi gaya hidup minimalis, hal yang cukup sulit menurutku, sebab kultur horror vacui sudah mendarah daging di keseharian orang Indonesia (atau Asia secara garis besar). Kalau gaya hidup minimalis adalah menggunakan barang-barang yang diperlukan (seperlunya) maka horror vacui adalah ketakutan akan bidang (space) kosong. Nah lo ... gimana? Puyeng kan? 😏

So, gimana caranya kita bisa hidup minimalis tanpa harus merasa hampa?

First of all ... Bacalah the life changing magic of tidying up ini 😋

Kita (akan) diajak untuk membaca pengalaman Marie Kondo menghadapi klien-kliennya, yang menurutku levelnya masih byasa-byasa dibandingkan dengan kita (Indo) yang meskipun rumahnya berkonsep minimalis printilannya banyak banget. FYI. Saking tenarnya, kelas Marie Kondo ini selalu full booked bahkan untuk waiting list-nya mesti waiting list. Eddins ... sekali bukan? 💃

Buku the life changing magic of tidying up ini terdiri dari 5 bab, yakni:
  1. Kenapa kita tidak bisa menjaga kerapian rumah
  2. Membuang sampai tuntas terlebih dahulu
  3. Berbenah berdasarkan katagori
  4. Mencerahkan hidup dan menyimpannya secara apik
  5. Keajaiban berbenah mengubah hidup anda secara dramatis


Pada dasarnya aku memang senang berbenah, aku senang melihat semua hal serba teratur dan teroganisir, namun masih belum punya cukup nyali untuk menyingkirkan barang-barang atas dasar ‘masih sayang’ 💋. Saat membaca the life changing magic of tidying up ini aku merasa agak tercerahkan sebab Marie Kondo berhasil memetakan permasalahan hidupku berbenahku.

Masalah-masalah berbenah yang (ternyata sering) muncul di kehidupan nyata(ku):

Dibuang sayang disimpan nggak mau
Kupikir siapapun pasti sering melakukan hal ini yhaha, biasanya berupa barang-barang kurang penting namun memorable yang masih tetap disimpan hanya demi mengamankan memory (yakeles memory card) Haha 😂
Selain pakaian, barang yang masih sering kusimpan meski nggak butuh adalah hangtag, jurnal, catatan-catatan kecil, struk belanjaan, booklet dan brosur tempat wisata, stationary, tiket dan printilan kiyut lainnya. Pokoknya hal-hal nggak penting semua deh ini.

Ini punya siapa sih?
Sering terjadi ... dianggap melangkahi privasi orang lain sebab membuang barang tanpa izin, yagimana dong beres-beres (barang) sendiri nggak pada mau tapinya menuntut rumah selalu rapi. Piye? 😪
Seperti Marie Kondo di masa belia, aku selalu menyingkirkan barang-barang nirfaedah bukan milikku saat yang empunya nggak ada haha Kupikir ini adalah langkah tertepat sebab (bagiku) yang empunya nggak bertanggung jawab dengan barang miliknya, kalau bertanggung jawab tentunya akan dirawat. So ... bukan sepenuhnya salahku kan? Ehehe 😏

Masa oleh-oleh dibuang ...
Kupikir ini adalah permasalahan hampir setiap orang, nggak mau menyingkirkan oleh-oleh (selain makanan) sebab nggak enak kalau ketahuan sama yang ngasih, ntarnya takut nggak dikasih lagi ... elahh ... haha 😂😂😂
Aku sering dimarahi karena menyingkirkan oleh-oleh sebab dianggap ‘kurang sopan’, eym ... bukannya nggak menghargai, namun aku memang nggak terlalu suka memajang souvenir atau dekorasi jadi biasanya oleh-oleh tersebut mangkrak di dalam kotak atau laci selama bertahun-tahun.

Gimana kalau nanti butuh?
Percayalah, kalau terus-terusan berfikir seperti ini sampai kapan pun gaya hidup minimalis hanyalah angan-angan belaka 😭. Kita boleh berfikir jauh ke depan namun mesti diingat juga nggak semua barang layak disimpan, entah itu karena penurunan kualitas atau trend yang akan berubah.
Barang yang sering kuperlakukan seperti ini adalah printilan rumah tangga macem cangkir atau piring yang sebenarnya nyebelin karena udah pada nggak matching. Bukannya nggak mau menyingkirkan ya ... hanya saja kadang merasa khawatir mendadak butuh.

Ambil aja gih!
Pernah nggak sih merasa ingin menyingkirkan namun nggak mau kehilangan ... maruk banget laini yhaha ... 😊 Aku sering merasa begini, makanya aku (sebenarnya) lebih suka melungsurkan barang ketimbang menyingkirkannya.
Sebelum menyingkirkan barang biasanya aku akan mengumpulkannya ke dalam kotak atau lemari khusus, siapapun yang menginginkannya boleh mengambilnya (semuanya kalau bisa) barulah sisanya aku singkirkan. Satu hal yang nggak aku sadari adalah apakah barang lungsuran tersebut berfaedah atau malah menambah masalah bagi empu barunya mwehehe 😏

Menurutku metode menyingkirkan barang ala Kon-Mari ini termasuk metode tanpa welas asih yha~ 😏 Awalnya aku juga merasa nggak tega berpisah dengan barang yang sudah melekat di keseharian, tapi Marie Kondo memang membuatku memilih ... Kupikir ‘seni menyingkirkan’ lebih cocok ketimbang ‘seni berbenah’ yang menjadi trade mark-nya Marie Kondo ini haha 😂😂😂

Semuanya disingkirkan mah atuh euy ... Hampa! 💤

Untungnya Marie Kondo sedikit peka dengan kekhawatiranku akan konsep kehampaan, pada akhirnya ia pun mengakui bahwa metodenya nggak selalu berhasil dan memperbaharuinya. Marie Kondo menyadari bahwa setiap barang memiliki nyawa, sehingga setiap barang yang disimpan haruslah memberikan kebahagiaan bagi pemiliknya. Makanya kemudian doi menulis buku berjudul The Sparks of Joy (*yang masih dipertimbangkan mau beli apa nggak).

Setelah menyingkirkan barang-barang dengan mengikuti metode berbenah ala Kon-Mari ini aku merasa lebih fresh dan ringan ... haha 😁 Pantesan ya di film-film kalau putus dengan pacar pasti pada langsung lari ke kamar, menangis semalam suntuk sambil menyobek-nyobek photobox, meng-unfollow akunnya dan membuang barang-barang peninggalannya, ternyata memang lebih melegakan dan mempermudah move on ... 💗

Tau gini yha~ 😏

Kita nggak mesti mengikuti metodenya Marie Kondo secara tumplek plek kok, yang penting kita faham dulu apa intisari dari berbenah ini. Kalau sudah faham barulah diaplikasikan, sebab nggak semua orang memiliki kemampuan dan kondisi psikologis yang sama dalam hal berbenah. Dan yang terpenting, jangan mudah tergoda untuk kembali mengisi ruang yang sudah berhasil dibenahi dengan printilan-printilan nggak penting lainnya hehe

Saat membaca buku the life changing magic of tidying up aku merasa ‘dekat’ dengan sosok Marie Kondo, mungkin karena sama-sama senang berbenah. Track record berbenahku pun nggak jauh berbeda. Yaps! Aku melakukan apa yang Marie Kondo lakukan sedari belia, makanya urusan melipat baju, mengorganisir barang atau menata ruangan bukanlah hal yang sulit untukku. Yang sulit justru mengikhlaskan barang-barang tersebut untuk disingkirkan.

Kalau orang lain membeli buku the life changing magic of tidying up ini sebab penasaran dengan metode berbenah ala Kon-Mari, aku malah penasaran dengan cara Marie Kondo menyeleleksi barang yang akan disingkirkan sekaligus ingin mengecek: sudah benarkah berbenahku ini?

Alhamdulillah~

Khatam 👌

By far, meski membacanya membuatku mengantuk buku the life changing magic of tidying up ini adalah salah buku terbaik tentang berbenah. So, bagi kalyan-kalyan sekalyan yang senang atau berminat dengan berbenah serta tertarik dengan konsep gaya hidup minimalis bukunya Marie Kondo ini highly recommend yaw!



XOXO
Marie Konon ❤
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebagai anak nongkrong Bandung Timur, tentcunya area main kita berada di sekitaran kosannya Icunk atau yang berada di tengah-tengah antara kosanku dan kosannya Icunk. Kalau mau agak jauh palingan ke BIP atau Alun-alun Bandung. Paskal, PvJ dan Ciwalk mah nggak masuk list ya karena repot mesti berganti-ganti angkot dan yang paling penting jauhhnya itu loh ... malesin 😪.

Minggu lalu, seperti byasa ... aku dan Icunk + Lisna janjian untuk nonton di Ubertos, tadinya kita mau nonton film Bohemian Rhapsody tapinya nggak jadi yha~ keburu turun layar 😩. Berhubung film Fantastic Beast and The Crimes of Grindelwald sudah rilis ... mau nggak mau Potterhead sekalian harus nonton, meski sebenarnya sempat skeptis karena reviewnya kurang ngenakin.


Sebelum ke Ubertos kita ketemuan dulu di Dapoernya Paberik atas dasar rekomendasi temannya Icunk + Lisna. Dapoernya Paberik ini terletak di jl. Soekarno-Hatta no 571 di kompleks yang sama dengan factory outlet Paberik Badju dan Adidas, untuk mencapainya kita tinggal mengikuti alur menuju area parkiran bagian dalam. Pokoknya yang ada tulisan Kafetaria-nya ya ... 

Kupikir Dapoernya Paberik ini adalah yang paling authentic dalam menerapkan tema tropical industrial, gimana nggak authentic lha yha ... wong restonya sendiri berada di kompleks pabrik. Dapoernya Paberik hanya menggunakan ½ dari luas plant (artinya bangunan, bukan tanaman), nggak tahu nih yang sebelahnya dipake apa 😒 Untuk area duduk kita bisa memilih antara area indoor atau area semi outdoor, kita memilih area indoor karena nggak melihat area semi outdooornya yang tertutupi tanaman. Padahal lagi gerah ... ☼


Menariknya, karena Dapoernya Paberik ini menggunakan plant, maka pihak pengelola tak perlu besusah payah menyediakan AC karena plant sudah dilengkapi dengan kipas angin bulit in. Salah satu hal yang patut ditiru adalah pemanfaatan barang di sekitar sebagai property, seperti pemanfaatan (body) mold sebagai elemen estetis di langit-langit atau pemanfaatan pallet kayu pinus sebagai path di beberapa area. Selain berfungsi untuk memperkuat tema tropical industrial, tanaman berfungsi untuk membuat suasana lebih adem 🍃.

Pada beberapa point terdapat kitchen island yang dibedakan berdasaran jenis makanannya seperti grill, pizza, pasta atau drink. Oh iya, kita akan mendapatkan meal card saat meminta menu, fungsinya adalah untuk men-tracking order, jadi waiter / waitress akan membubuhkan stamp setiap kali order selesai dan disajikan di atas meja . Ucul bana~ lah ini meal card-nya... 😃


Range harga makanan mulai dari Rp. 15.000 sedang minuman mulai dari Rp. 6.000. Selain menyediakan menu western seperti steak, french fries dan sausage ada juga menu asian seperti curry, katsu dan rice bowl. Kalau mau menu Sunda bisa nyebrang dulu ke Dapoer Sunda hehe Sayang, koneksi wi-finya Dapoer Paberik samar ... antara ada dan tiada gitu lah haha 😂😂😂

Kalau makan bareng teman, selain order menu pribadi kita pasti order menu bersama (hayo loh ... siapa yang sering begini?). Kali ini menu bersama kita adalah double cheese pizza, meski rotinya cukup tipis tapi kejunya banyak dan yang paling penting sih kenyangnya awet haha 😁 Serius deh ini ... kalau biasanya kita makan lagi setelahnya karena (biasanya) porsinya kurang banyak dikit, kali ini nggak dong. Alhamdulillah sisanya mager di kosan ~ 😋




Pasta Aglio e Olio-nya bagiku pedas ya karena ternyata ditaburi black paper dan irisan cabe merah tapi enak kok, recommend yaini . BTW, nggak disarankan untuk order Fettucine Carbonara kalau order juga double cheese pizza karena nanti jatuhnya enek (kebanyakan keju). Untuk minumannya bisa dicoba nih menu per-juice-an atau per-cooler-an, FYI cooler adalah juice yang ditambahin Yakult ya jadi nanti pasti ada sedikit rasa kecut di minumannya.
   
Di Dapoernya Paberik nggak ada musholla ya, jadi kalau mau sholat kita mesti menyebrang dulu ke Dapoer Sunda atau ke factory outletnya Paberik Badju. Agak repot memang haha ... Kalau sedang dikejar waktu lebih baik sholat di Dapoer Sunda ketimbang di Paberik Badju karena di Paberik Badju mah ngantrinya lumayan lama 😪


Bagi yang suka nyetok foto untuk di-post ke Instagram, nggak perlu gelisah ... karena meski rada ngelekeb Dapoernya Paberik ini cukup instagenic. Ada beberepa spot yang disediakan pengelola sebagai area berfoto lengkap dengan propertinya. Dengan area yang cukup luas dan makanan yang worth to try kita pikir Dapoernya Paberik ini  cocoklah ini untuk bakal tempat bukber 😂😂😂😂
  

  

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates