Jatuh Cinta Seperti di Film-film

by - January 07, 2024


Hello~

Telah sampailah kita di bulan Desember, dimana byasanya line up film di bioskop didominasi oleh film-film khas liburan. Tapi tetap yaa… karena Indonesian loves klenik thingy and everything in between, rasanya belum afhdol kalau nggak ada film horror yang rilis setiap bulannya. Kalau di bulan lalu aku nonton The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes, maka di bulan ini aku nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Film-nya udah masuk masuk watchlist sejak… aku masih pake Twitter 😂.

Sayangnya aku nggak menemukan jadwal tayang Jatuh Cinta Seperti di Film-film di bioskop Kings dan BIP, yha~ memang bukan market-nya 😅. Tadinya aku mau nonton di BEC atau (mentok-mentok) di Transmart setelah pulang kerja. Saat aku cuti Icunk mengabari bahwa ia dan Lisna gagal nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-film di bioskop Tasikmalaya karena udah nggak tayang. Saat OTW ke Bandung aku mencari bioskop terdekat yang menayangkan Jatuh Cinta Seperti di Film-film, dan (akhirnya) aku menemukannya di BTC yang dekat dengan pool travel.

Biar suasananya makin syahdu, kalyan bisa membaca post-ku sambil mendengarkan playlist yang kususun sesuai urutannya.


Ini adalah kali pertamaku nonton di BTC, kalau bukan gegera Jatuh Cinta Seperti di Film-film mungkin aku nggak akan pernah nonton di sini. Saat film dimulai studio hanya terisi 1/3-nya aja, kukira rang-o-rang yang menunggu bersamaku di lobby akan nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-film, ternyata mereka nonton 172 Days. Biar nggak terlalu panjang mari kita singkat judul filmnya jadi JCSDFF, karena aku masih belum faham mengapa rang-o-rang menyingkatnya dengan deesjeef 🤔.

Aku setuju sih dengan reviewer yang menyatakan bahwa JCSDFF ini adalah surat cintanya Yandy Laurens untuk dunia perfilman, karena filmnya memang film banget. Sebagai netizen yang suka nonton dan ngobrolin film meski pengetahuan teknisnya awur-awuran, aku bisa melihat bahwa JCSDFF ini adalah karya Yandy yang personal. At least… itulah yang kurasakan saat ayunan tangan Ringgo melebarkan frame dan membuat tone warna di filmnya berubah menjadi hitam putih.

Bagus saat menulis

Bagus saat ngomong ke printer yang bikin huru hara

Mungkin kalyan pernah nonton web series Sore, kalau belum nonton kalyan bisa nonton disini (ini link dari legal source ya bukan link haram). Setelah menonton web series-nya yang lain aku sampai pada kesimpulan bahwa: dunianya (Yandy) fantasi ya 😍 Amazed sekali rasanya saat tahu akhirnya ada sutradara yang menaburkan fantasi di karyanya * I like it * suara Curut.

Awal-awal tone warna filmnya berubah menjadi hitam putih aku merasa agak mual karena mataku butuh waktu untuk memprosesnya. Aku pun mempertanyakan kenapa sih setting-nya nggak dibuat lebih minimalis biar kita bisa lebih fokus? Kubilang begini karena ada beberapa scene yang menurutku terlalu ramai jadi tone warnanya nyaru sehingga aku gagal fokus. Ohya, penggunaan tone hitam putih di JCSDFF ini sekitar 80%-85% makanya saat tone warnanya kembali normal berasa dikasih nyawa. Yha~ I got the point 😉.

makin cool setelah pensiun jadi suami BCL

JCSDFF bercerita tentang Bagus Rahman (Ringgo Agus Rahman) seorang penulis film yang ingin mengungkapkan cintanya kepada Hana (Nirina Zubir) melalui film yang yang ditulisnya. Nah, Bagus memulai rencananya dengan pitching ide kepada produsernya, Yoram (Alex Abbad). Tektokannya bagus dan Yoram disini enak banget ya, apalagi saat ngobrolin gimmick sampah di gala premiere, berasa ikutan ghibah. Eh, gimmick minyak goreng ada di obrolan mereka nggak sih? *aku lupa 😅.

Setelah bertahun-tahun Bagus dan Hana tanpa sengaja bertemu di supermarket, mereka kemudian bertukar kabar dan ngobrol. Obrolan mereka nggak jauh berbeza laya dengan obrolanku dengan Icunk dan Deya kalau ketemu. Sampai Hana bilang: kenapa sih nggak ada film cinta untuk orang-orang seumuran kita? 🤔 Gini loh mb Hana… film cinta untuk orang-orang seumuran kita mah akan lebih banyak ngobrol-nya ketimbang action-nya, outfit-nya akan lebih casual karena nggak ada scene pake coat berbulu di yurop, cast-nya pun udah nggak sebening muda mudi jalur viral.

In other terms, film cinta untuk orang-orang seumuran kita kurang menjual dan syulit balik modal.


Saat Hana bilang: film cinta untuk orang-orang seumuran kita, aku langsung kepikiran Before trilogy. Before trilogy terdiri dari 3 film dengan linimasa linear yakni Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004) dan Before Midnight (2013). Menceritakan tentang Jesse Wallace (Ethan Hawke) yang bertemu Celine (Julie Delpy) saat berlibur di Prancis. Aku udah pernah mencoba menulis review-nya tapi nggak sanggup euy… makanya kalyan nonton mandiri aja ya biar lebih khidmat 😉✨👌🏻.

Bagus pun meminta bantuan Selin (Sheila Dara) dan Dion (Dion Wiyoko) untuk mengeksekusi rencananya, eym… pasutri ini mengingatkanku pada Celine Tam finalisnya AGT. Keinginan Bagus yang ingin secepatnya bersama Hana ternyata nggak sejalan dengan keinginan Hana yang masih ingin menikmati dukanya paska kematian Deni (Donne Mulia). Hubungan pertemanan modus yang tadinya mengalir pun terancam bubar karena perbedaan persepsi mengenai: kapan waktu yang tepat untuk move on?



riset tapi modus

Selama film berlangsung aku sama sekali nggak merasa Bagus seakan-akan memaksa Hana untuk move on sampai scene Hana marah-marah setelah membaca script yang masih anget di printer. Aku merasa apa yang dilakukan Bagus adalah hal yang natural, kita pun akan melakukan hal sama dengan Bagus saat berhadapan dengan orang yang tengah berduka. Sayangnya, sebagai manusia kita sering lupa bahwa dalamnya lautan bisa diselami, namun dalamnya hati siapa yang tahu? Kita nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya berduka sampai kita sendiri mengalaminya.

Saat tone warnanya kembali normal aku tersadar bahwa JCSDFF bukan filmnya Bagus, melainkan filmnya Hana. Sejak awal Bagus udah bilang bahwa Hana masih berduka paska kematian Deni, tapi kita nggak dikasih tahu bahwa Bagus punya cara sendiri untuk menunjukkan empatinya kepada Hana. Well… Di long take-nya Hana saat berantem dengan Bagus aku merasa kenapa sih Hana marahnya too much, emosi yang kutangkap macem emosinya istri durjana di meme yang seliweran di FYP, yang kalau ngomong ada penekanan kata-katanya.

aku suka Nirina di scene ini karena matanya berbinar-binar

original version

adaptation version

apa jadinya kalau Dion diganti jadi Darius :)

Pernah nggak sih kalyan nonton film di bioskop dan tetiba muncul potongan scene dari film lain di kepala, macem: oh, yang ini dari film ini, yang itu dari film yang itu. Nah, JCSDFF memberikanku hints dari beberapa film yang udah kutonton, sayangnya aku nggak bisa nge-spill scene atau filmnya karena udah lupa wkwk. Aku menulis post ini sejak bulan Desember namun baru bisa terselesaikan di bulan Januari. Lama banget ya jedanya, setahun… *annual joke.

Scene favourite-ku ada 2: yang pertama adalah scene saat Hana ikut ‘mati’ bersama Deni, yang kedua adalah scene drone-nya Siladara yang kewren. Saat Selin dan Dion mengantarkan Bagus ke rumahnya Hana jalanan yang mereka lalui cukup ramai, at least kita masih bisa melihat ada kendaraan yang melintas dan lampunya yang kelap kelip di kejauhan. Namun saat scene drone-nya Siladara jalanannya sepi banget, nggak ada satu pun kendaraan yang melintas, untukku ini agak mengganggu tapi isokey scene-ke tetap kewren kok 👍🏻.

teu puguh rarasaan 1

teu puguh rarasaan 2

Aku juga suka dengan karakternya Siladara di JCSDFF yang ‘akhirnya’ dibikin normal, bukan pelakor kek byasanya. Cucok laya dipasangkan dengan Dion yang dibikin rada lemot bahkan hingga akhir film 😆. Ohya, di JCSDFF ada Julie Estelle loh ya… siapa tahu kalyan pada kangen. Aku nggak akan menyebut JCSDFF ini sebagai film terbaiknya Yandy Laurens karena kuyakin ia membuat karya-karya terbaik lainnya. Aku lebih suka menyebut JCSDFF sebagai film-nya Yandy Laurens yang paling personal *untuk saat ini.

Selesai nonton aku jadi kepikiran: apaqa Yandy Laurens adalah mas-mas penulis di film Ruby Sparks.

Kita sama-sama tahu bahwa semua film ada market-nya, dan menurut kesusotoyanku nggak semua orang akan cucok dengan JCSDFF ini. Temanku nonton JCSDFF namun saat kutanya kesannya dan hal-hal menarik yang ia temukan di filmnya jawabannya datar-datar aja, nggak semenggebu-gebu aku saat merekomendasikan pada manteman sekalyan. Filmnya bagus, rame, kalau orang yang suka nonton pasti suka. Lahhh… dirimu apanan nonton. Ujung-ujungnya aku jadi merasa nggak enak udah jadi relawan buzzer JCSDFF 🤣.

Yha~ menemukan teman yang sama-sama suka nonton dan membahas filmnya like a pro *padahal kagak itu adalah salah satu rezeki yang patut disyukuri.

betcul begitu buibu?

See you at the next review

All pictures were taken from @watchmen.id's Twitter thread.

You May Also Like

0 comments

Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~