Pernah Begini

by - December 28, 2018



Disclaimer: post ini panjang banget ... 😳

Beberapa waktu lalu aku menemukan artikel mengenai emotionaleating yang ditulis oleh Sitta Karina. Emotional eating adalah suatu kondisi dimana kita makan dengan tujuan untuk menyamankan diri. Jadi, makan bukan hanya karena kebutuhan biologis melainkan untuk mengatasi permasalahan emosi yang dipicu oleh rasa marah, khawatir, kesal, bosan atau gelisah.

Dipikir-pikir ... 😒

Dipikir-pikir ... 😒

Dipikir-pikir ... 😒

Kayanya  aku dulu pernah begini ...
Ternyata aku dulu pernah begini ...

Kalau kalian terhubung denganku di dunia nyata (atau virtual) pasti pernah menemukan fotoku yang dikomentari “kok gendutan?” oleh khalayak netyzen sekalian. Masa-masa excited-nya punya akun Instagram dan Path. Masa-masa kuliah tingkat akhir. Masa-masa awal bekerja. Masa-masa hiatus season 1. Serta masa-masa selanjutnya ... selalu ada yang mengomentari “kok gendutan?” bak “hai! Apa kabar?”.

FYI. Saat ini “kok gendutan?” adalah body shaming. Kali aja belum pada tahu ...

Aku merasa bersyukur menemukan artikel mengenai emotional eating ini bukan pada saat mengalaminya, melainkan setelah mengalaminya, yang artinya ... aku sudah berhasil melaluinya 👼. Ohya emotional eating versiku ini terjadi karena stress berkepanjangan sebab terlalu lelah menghadapi hidup 😅 Intinya sih kecapekan ... dan #kurangpiknik aja 😁

Sebelumnya aku nggak memiliki masalah dengan makan, palingan malas karena aku picky eater yang berimbas pada menyelingi makan dengan ngemil. Yang menjadikannya emotional eating adalah ketika aku makan dalam kondisi (yang tanpa disadari) sedang stress. Dan itu bermula di tahun terakhir kuliahku ...  

Kalau biasanya teman-temanku minum kopi biar nggak ngantuk saat (berniat) begadang, well ... bagiku kopi malah nggak ngaruh sama sekali, yang ada malah ngantuk dan kadang malah ketiduran (makanya jangan heran ya kalau abis jajan ke coffee shop mataku kriyep-kriyep haha 😉). Hanya ada satu cara untuk membuatku tetap terjaga kala begadang; ngemil. Trust me, it works!

Namun mesti diakui, tahun terakhir kuliah adalah masa-masa yang cukup membebani. Kalau mahasiswa lain harus melalui 1-3 kali sidang untuk bisa lulus aku harus melalui 8 kali sidang. (Normalnya hanya 6 kali sidang, 3 sidang KP dan 3 sidang TA bermuatan 8 sks. Sayangnya aku harus mengulang sidang KP karena di sidang (terakhir) KP season 1 aku sakit *heu ... 😵).

Saking seringnya sidang, temanku ngeceng-cengin: “cie ... simulasi anggota MPR” 😫

Karena sidang KP dan sidang TA dilakukan secara kontinyu, maka sudah bisa dipastikan selama 1 tahun lebih itu nggak ada hari tanpa begadang yang berarti hampir setiap malam aku ngemil. Kupikir normal ya untuk merasa lapar setiap 6 jam sekali karena waktu tidurku kurang dari 6 jam sehari, jadi sebelum dan sesudah tidur aku terbiasa untuk ngemil 😍

Aku aja cemilanku? Saat itu aku jarang makan mie instan ya paling sebulan 1-2 kali, lebih ke roti dan susu serta makanan berat lainnya yhaha 😋 ini termasuk aneka cookies atau keripik. Ternyata begadang bukan Cuma menguras tenaga dan pikiran ya namun juga kesehatan mental 😌. Kesal dikit, ngemil. Capek dikit, ngemil. Bingung dikit, ngemil. Galau dikit, ngemil. Baper dikit, ngemil. Kalau nggak ngemil ya makan 😳

Kupikir semua  baik-baik aja, tapi tenyata nggak bagi teman-temanku. Maka mulailah banyak yang berkomentar “kok gendutan?”, “orang lain ma h TA tuh ngurusin, ini kok malah gendutan” atau “tumbuh tuh ke atas bukan ke samping” BGST memang~ ... 😂 Tapi karena nggak merasa ada yang salah aku adem ayem tentrem bae ... melanjutkan hidup sambil eungap.

Pernah ada yang tanya: “Non, kenapa kamu gendut?” bosan ditanyai maka kujawab “kamu sendiri kenapa item?” yang dijawabnya “dari dulu juga item kok, bukannya gitu ... kalau gendut ntar susah punya pacar” karena nggak merasa ada korelasi antara gendut dan punya pacar maka kujawab “lah ... kamu kurus dari dulu tetep aja nggak ada mau”.

Kupikir, ketimbang menyuruhku ini itu seharusnya ia berusaha membenahi hidupnya sendiri 😏.

Pernah terjadi saat aku membeli celana panjang, aku jelas request ukuran 30 begitu datang ukurannya ditambahi jadi ukuran 34 dengan alasan “kan sekarang udah gendut”, wajar dong kalau marah-marah dan minta ditukar dengan ukuran yang ku request. Ehh ... ternyata yang datang bukan ukuran 30 melainkan ukuran 32 katanya “takutnya nggak cukup”. Eym ... tabok gak nih haha 😅

FYI. 30 itu udah ukuran final,  masih agak kegedean karena sebelumnya pake ukuran 28-29 dan memang masih cukup. Meski akhirnya dibeli karena mamaku merasa nggak enak dengan penjualnya, begitu sampai kamar kulempar dan ketemunya lagi pas doi udah bulukan haha Nggak habis pikir ... kenapa orang-orang terasa lebih underestimate saat aku ‘berubah’ 😮.

Saat kuliah ukuran pakaianku kalau nggak S ya M bahkan SS, kemudian berubah menjadi L atau XL. Nah, disini aku merasa sedih ... Serius deh ini ... sedihnya beneran sedih, pakaian favoritos teronggok siya-siya di pojokan lemari karena nggak pada muat. Yawla! Makin ambyar aja eksistensiku ... 😭😭😭

Meski ZBL setengah mati dari sini aku jadi berpikir: “Ohh ... jadi begini ya yang dirasakan orang-orang sebelumku”. Mungkin aku adalah orang kesekian ratus juta yang mengalami hal seperti ini, namun bagiku ini adalah kali pertama dan ternyata menyedihkan ... 😰

Lingkungan jelas nggak berpihak karena apa pun yang kulakukan selalu tampak salah, yang woles mah Cuma Bude Sumiyati 😁 Entah terbuat dari apa yaini bibir netyzen komentarnya pada pacux semua. “kalau belum nikah mah gak boleh gendut!”, “kamu jelek kalau gendut, kaya ibu-ibu”, “jangan makan banyak-banyak”, “diet napa sih?” etc yang berujung pada pertanyaan genggeus lainnya yakni “kapan nikah?” 😴.

"Sesalah itu ya kalau gendutan?"
– Lestari (waktu masih) 23 tahun –

Tentu aku merasa sadar kalau kondisi fisikku berubah, namun yang masih belum bisa kumengerti adalah alasan kenapa bisa sampai sebegininya. Karena kalau ditelaah lebih lanjut, asupan ngemilku nggak jauh berbeda dari saat kuliah (sebelum masa tingkat akhir), palingan makan jadi lebih rutin nggak sekenanya seperti saat kuliah.

Jadi, dimana masalahnya?

Kalau dibandingkan dengan kuliah seharusnya (fase) kerja ini nggak serumit kuliah, seenggaknya kerjaannya nggak membuatku begadang. Mungkin karena sebelumnya terbiasa dengan ritme hidup yang serba-ketat-namun-nggak-teratur, bagiku fase kerja malah membingungkan.

Secara visual pekerjaanku terbilang : bisa dikuasai asalkan ada niat. Itu visualisasinya ya ... Behind the scene-nya gimana nih?

Blingsatan qaqa ... 😂😂😂

Sebagai fresh graduate tentu masih ada sisa-sisa idealisme yang masih membuntuti, kupikir itu wajar karena (sebagai fresh graduate) kita masih dihinggapi euphoria yang meledak-ledak tentang merealisasikan hal-hal yang sebelumnya bersifat teoritis. Namun bukan idealisme sebagai fresh graduate yang membuatku gelisah melainkan idealisme pada diri sendiri.

Untuk pekerjaan aku masih bisa mengikuti, namun untuk hal-hal yang bersifat kehakikatan alias hati, jiwa dan pikiran. Jelas nggak pernah bisa nyambung.

I don’t feel alive anymore.
a.k.a aku nggak bahagia nih guise ... 😭

Itu masalahnya.

Maka dimulailah (lagi) masa-masa: Kesal dikit, ngemil. Capek dikit, ngemil. Bingung dikit, ngemil. Galau dikit, ngemil. Baper dikit, ngemil.

Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Begitu seterusnya sampai bosan nyaman ... 💃

Hampir setiap bulan aku mesti ke dokter, ceritanya sakit kepala melulu padahal mah hatinya yang mangkel melulu haha Gimana nggak mangkel ya hampir setiap hari aku disodori sampah sosial.

Tentang si A yang sudah bekerja bahkan sebelum wisuda. Tentang si B yang akan di-khitbah hanya 3 bulan setelah bekerja. Tentang si C yang membeli smartphone terbaru dengan gaji pertamanya. Tentang si D yang mengambil cicilan KPR meski statusnya masih kontrak. Tentang si E yang posting foto liburannya ke Singapura. Tentang si F, G, H sampai Z atau (mulai lagi dari) A1, A2, A3, A4, A5, Letter, Legal, Kwarto, Blanko, Porto, Bakso ...

O ... O ... O ... Bacotan tetangga memang lebih shahih ketimbang akun per-Lambe-an 💋💋💋

Berhubung di depan kantorku ada Alfamart maka berasa ada guilty pleasure kalau nggak mampir barang sekejap yhaha ... 👻 Bisa lah ya jajan Aice atau nyetok snack kecil-kecil sekali tamat macem Oreo, Go Potato atau Tango. Aku memang udah tidak dalam masa pertumbuhan, namun apa salahnya makan dan ngemil?

Ada masanya ketika aku baru beranjak dari kasur 1 jam setelah terbangun, hal itu terjadi selama berbulan-bulan lamanya. Ngapain aja selama 1 jam itu? Aku ... berpikir ... berpikir ... berpikir ... mengenai banyak hal. Yha~ Intinya adalah overthinking dengan ketidak-puasan, ketidak-berdayaan, ketidak-hidupan serta ketidak-tidakan lainnya.

Dengan emosi yang fluktuatif semakin hari kumerasa semakin labil wkwk ... 😅 Kadang suka nggak fokus dengan apa yang dikerjakan, mendadak badmood, mudah tersinggung, sering marah-marah bahkan untuk hal remeh sekalipun. Pokoknya intensitas mood swing-nya tinggi (sekali) sampai sering merasa ubun-ubun ngebul saking panasnya 😱.

Selalu terselip pikiran: “Aku dimana? Aku siapa? Aku apa?” setiap kali merasa asing ditengah keriuhan yang bagiku ... sorry to say ... memuakkan 😯. Topik obrolan sehari-hari HANYA berkisar antara: jodoh, menikah serta angan-angan masa  depan, hhhhhhadddehhhhh .... yukate hidup cuma untuk beregenerasi?! 😵😵😵

Hidup ini Cuma sekali ya kawan ... kamu nggak akan mati kalau nggak menikah besok. Single juga nggak akan menjadi masalah kalau kamu nggak membesar-besarkannya. Kupikir: dunia nggak akan runtuh hanya karena aku nggak menikah besok dan aku nggak akan mati siya-siya hanya karena masih single.

Eh. Tapi balik lagi sih ... what doesn’t kill me may kill somebody 😏

Mungkin pernah mendengar seloroh candaan: “geuleuh? Utahkeun weh ...”

HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA

I did!

Saking muaknya.
Aku (sampai) mual.
Lantas muntah.
Untung nggak di depan mukanya~

Aku nggak merasa connect dengan lingkunganku, mau itu di rumah atau di kantor atau di sekitarnya. Aku merasa orang-orang cenderung menuntut banyak hal, banyak bangedh ... lebih banyak ketimbang dosa malah ... Makanya sering KZL.

Sadar hidupku mulai ‘menyimpang’ haha aku mulai berpikir untuk mengembalikannya ke jalan yang benar *wink *wink *wink Karena aku meyakini men sana in corporesano, maka aku memutuskan untuk lebih dulu membenahi pikiranku ketimbang membenahi berat badan, I want to keep my mind back on the right track 😎

Maka aku resign.

Orang-orang bukan Cuma menyayangkan keputusanku namun juga menganggapku goblok, yhaha ... memang. resign dengan alasan ‘lelah’ disaat orang-orang kesulitan mendapatkan pekerjaan adalah goblok, tapi kupikir lebih goblok lagi kalau terus memaksakan diri menjalani kehidupan yang (kutahu) nggak pernah kuinginkan.

Bukannya sok kaya ya haha 😂 tapi frasa uang tidak bisa membeli kebahagiaan itu benar adanya. Kupikir percuma bekerja dan berpenghasilan sedang setiap bulan mesti ke dokter, minum obat yang kutahu sama sekali nggak ada efeknya (karena bulan depan pasti balik lagi) dan entah kenapa sering merasa berada di tempat yang salah.

Karena sesejahtera apapun hidupmu kalau nggak bahagia yha~ ... hambar.
Lama-lama ambyar.
Ujungnya bubyar.

Yagimana dong ... namanya juga nggak bahagia *heu.

Thanks untuk Fahria dan Mazia yang udah menyelenggarakan marathon wedding haha Karena kalian resign-ku jadi epic. Gimana nggak epic lah yha? Paginya aku resign. Siangnya ke Bandung. Sorenya ke Jakarta. Besoknya ada di Yogyakarta. Liburan ... 

Ternyata euphoria resign Cuma bertahan selama 2-3 bulan aja yhaha ... dan orang-orang jelas gelisah dengan ‘kemalasan’ku ini 😜.

FYI. Aku nggak malas ya ... tapi lelah ... 😅

Saat itu aku merencanakan untuk ‘istirahat’ sejenak selama ± 1 tahun (yang pada kenyataannya malah molor sampai ± 3 tahun). Membersihkan hati, jiwa dan pikiran juga butuh proses kali ah ... kelak aku menyebutnya: hiatus.

Bagiku, masa hiatus adalah masa terberat. Selalu ada godaan untuk kembali menggadaikan kebahagiaan dikarenakan kekerean ini. Duhai #sobatmiskin ... aku padamu. Hanya Twitter yang paling mengerti gimana rasanya nggak sanggup buka akun Instagram dan Path karena sayang kuota 😊.

Nggak terhitung berapa banyak teguran, kritikan atau perintah yang disampaikan, dari cara yang baik-baik sampai kurang ajar sekali pun. Orang-orang berpikir 20 tahun dalam hidupku terbuang siya-siya sebab sekolah tidak menjadikanku lebih terdidik ketimbang seharusnya.

Let me tell you  ... there always a black sheep to be blamed in every family isn’t? 🐑.

Kupikir orang-orang sudah cukup gila untuk menilai sesorang hanya berdasarkan kulit luarnya saja. Perkara sampah sosial atau pencapaian-pencapaian ambisius membuatku tersadar bahwa aku mesti menyelamatkan serta memelihara kewarasanku. At least ... aku masih ingin memiliki hati, jiwa dan pikiran yang stabil.

I stand for myself.
So ... What are you stand for?


Ngapain aja nih pasca resign?

Memanjakan diri dengan menonton TV dan tidur siang. Menghabiskan waktu dengan membaca buku dan beres-beres. Menekuni lagi hobby yang sempat terlupakan. Mencoba mengurai dan membenahi apa-apa yang ditinggalkan. Menyiram tanaman dan ... ngeblog lagi. Intinya sih menyenangkan diri sendiri.

Anggaplah yang kulakukan ini sebagai the art of doing nothing 😂😂😂

Aku belajar lagi menikmati setiap hal yang kukira terlalu mevvah untuk dilakukan dan terlalu muluk untuk dibayangkan. So ... ketimbang misuh-misuh dengan masa lalu yang “hemeh bin hadeh” aku memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dengan memberikan second chance sebagai reward atas pencapaianku.

Well ... Tydac menyerah juga adalah pencapaian 👌

Hidup ini berproses ya ... aku juga nggak langsung kurus begitu aja dalam semalam. Dibutuhkan waktu yang “cukup” lambreta untuk “berubah” kembali seperti dulu~ Semuanya berjalan beriringan, saat pikiran tercerahkan maka saat itu juga semesta mendukung meski seringnya menikung *eh.

Ohya, selama mengalami emotional eating ini adakah yang berusaha membantu dan menuntunku kembali ke jalan yang benar? Eym ... kayanya nggak ada *heu 😅 Maklumlah ... orang-orang lebih senang menjadi komentator ketimbang menjadi motivator. Meski “kok gendutan?” kini sudah merubah menjadi “kok kurusan?” akan selalu ada hal yang salah dimata khalayak sekalian.

Aku merasa lebih beruntung karena  bisa berhenti pada tahap emotional eating, nggak sampai eating disorder. Alhamdulillah nggak ada keinginan untuk suicide karena aku nggak mau jadi hantu penasaran seperti beberapa karakter di bukunya Risa Sarasvati. Geje aja gitu ... hidup nggak ke akhirat juga nggak haha ...

Pada akhirnya ... kembali ke haribaan diri sendiri. Siapa yang akan menolong dan mengusahakan kalau bukan diri sendiri.

Yang kurasakan setelah mengalami emotional eating, yha~ mungkin aku lebih menerima diri apa adanya (self acceptance), lebih santai menanggapi orang-orang, lebih woles dalam menjalani keseharian dan tahu benar apa yang kuinginkan. Well ... hidup ini bukan Cuma dijalani namun juga dinikmati yaw~

Aku masih ngemil.
Dan berbahagia.





Yawla! Panjang banget ya post akhir tahun ini.

You May Also Like

0 comments

Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~