“Buku adalah jendela dunia”
Kalau kita seumuran pasti tahu benar frasa tersebut adalah campaign Kemendikbud yang iklannya ditayangkan hampir semua saluran TV yang (masih) santun dan edukatif. Tak cukup sampai disitu, “Buku adalah jendela dunia” muncul dalam bentuk poster yang ditempel di dinding kelas. Dan ajakan pemerintah untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa itu tampaknya berhasil padaku 😇.
Buku pertama yang kubaca adalah buku anak-anak bergambar terbitan Media Elex Komputindo yang berjudul Putri Shirayuki, setiap pulang sekolah aku menyempatkan membaca sebanyak satu halaman, meski hanya terdiri dari 3 paragraf tapi bagiku itu adalah prestasi. At least, untuk ukuran anak kecil yang baru belajar membaca ± sebulan, membaca buku adalah kegiatan terkeren setelah naik si Ulil 🐛 di Kings Bandung.
Kemudian aku mulai keranjingan membaca buku, hampir setiap bulan orang tuaku membelikan buku baru, mereka men-support hobby-ku ini karena dinilai sebagai hal yang positif. Saat itu aku adalah satu-satunya (di keluarga besar) yang suka membaca buku.
Setiap kali sakit orang tuaku tidak perlu repot mengkhawatirkan keadaanku, cukup dengan “Nanti kalau udah sembuh ke Gramedia ya...” aku bisa sembuh. Yess... those fantastic magic spell is worked on me so well. Karena sering sakit aku jadi memiliki banyak waktu untuk membaca buku di rumah, buku yang dibeli saat sembuh adalah tabunganku saat sakit.
Seperti anak-anak lainnya, aku tumbuh dengan Majalah Bobo, Tabloid Fantasi, Goosebumps, Harry Potter, Sailormoon, Detective Conan dan kisah-kisah Hans Christian Andersen. Mereka semua adalah teman-temanku saat aku malas bersosialisasi dengan teman sebaya. Karena bermain bola bekel di teras atau bermain lompat tali di jalan lebih sering berujung pertikaian ketimbang senang-senang.
Saat SD, aku mengisi bulan Ramadan yang liburnya full dengan membuka Perpustakaan Mini di depan rumah. Buku, majalah dan novel tersebut aku sewakan kepada teman-teman dan tetangga sekitar kompleks. Dari situ aku berhasil mendapatkan ± Rp. 20.000 yang kugunakan untuk membeli buku baru setelah lebaran.
Menurutku prospek Perpustakaan Mini di bulan Ramadan cukup menjanjikan ✨👌🏻, tidak semua anak-anak mampu membeli buku karena harganya yang mahal, saat itu belum ada gadget, benda tercanggih paling keren adalah Tamagotchi Bandai. Sejak memutuskan untuk hijrah ke boarding school, proyek Perpustakaan Mini tersebut terhenti 😢.
Terpengaruhi manga Jepang yang kiyut 😆... Aku jadi memiliki keinginan untuk membuka cafe library suatu hari nanti. Aamiin 🤲🏻.
Kebiasaan membaca buku berlanjut sampai di asrama, setiap kali ada waktu luang aku membaca buku-buku yang sengaja dibawa dari rumah, it’s keep me alive. Aku membeli buku setiap kali liburan ke rumah sebagai hiburan agar aku tidak bosan di asrama, kadang aku juga membeli buku yang dijual di bazaar PKW di depan asrama meski semua pilihannya adalah terbitan Mizan.
Di asrama aku dan teman-temanku saling bertukar buku, kadang sampai mengantri (giliran membaca) kalau ada buku baru. Meski tinggal di boarding school, untuk urusan buku kita termasuk update, buku-buku semacam Harry Potter, Dealova, Test Pack, Life of Pi, Totto Chan dan AKU-nya Chairil Anwar adalah buku bacaan standar.
Membaca menjadi sebuah kebutuhan selain menulis diary dan mendengarkan radio 😆.
Sampai suatu hari ada razia buku... Err... KZL kan ya... 😅Buku-buku yang terkena razia di asrama akan diambil alih dan ditempatkan di perpustakaan sekolah. Tapi... sebagai korban razia yang tidak merasa bersalah kita tidak tinggal diam. Buku -buku tersebut kita ambil lagi 😉Bukanlah suatu kejahatan untuk mengambil apa yang menjadi milik kita sendiri bukan😁.
Karena tahu suka membaca, orang-orang menghadiahkan buku ketika berulang tahun, macam-macam sih bukunya tapi sebagian besar merupakan buku yang sedang nge-hits. Mungkin mereka juga bingung ya mau menghadiahkan buku apa, khawatirnya aku sudah punya atau sudah baca.
I’m very appreciate of those gifts. Meski sebenarnya kadang ingin hadiah yang lain.
Ketika kuliah aku malah jarang membeli buku, apalagi buku kuliah. Dosen-dosen di kampus tidak mewajibkan untuk membeli buku yang mendukung mata kuliah mereka, hanya memberi petuah agar membeli buku yang mendukung minat dan bakat kita. Jadi, kalau kita tertarik dengan sketch belilah buku tentang sketch, kalau kita tertarik dengan furniture belilah buku tentang furniture, kalau kita tertarik dengan wood craving maka belilah buku tentang wood craving.
As simple as that. As happy as I am... 😍
Sejak kuliah aku tidak begitu tertarik dengan genre fantasy seperti saat sekolah dulu, mungkin karena faktor usia juga kali ya *eh 🤭Melupakan Septimus Heap dan buku lanjutannya yang nggak rame, aku malah membeli buku Babad Tanah Jawi.
Carut marut yang terjadi di Indonesia ternyata adalah warisan dari nenek moyang kita dahulu dan politik kotor serta segala keculasan untuk menguasai negara adalah tradisi yang dijaga secara turun temurun. Ngeri aku... 😱.
Aku lebih suka buku-buku populer yang telah mendapatkan penghargaan, genre-nya sendiri bebas, satu-satunya alasan kenapa aku membaca (dan membelinya) adalah karena ingin tahu sehebat apa buku ini sampai bisa memenangkan penghargaan?
Well... Kebanyakan buku-buku tersebut memang memiliki point of interest dan disampaikan dengan sangat baik, namun ada beberapa yang sama sekali tidak bisa ku mengerti, seperti My Name is Red karya Orphan Pamuk, hampir setengah bukuny ku lalui dengan berfikir... mencerna kata-katanya yang agak ‘njlimet. Ecapwedweh... Tapi mungkin sebenarnya sense of literature-ku yang belum sampai kesana 🥲.
Namun tak bisa dipungkiri, gaya (bahasa) terjemahan pun turut mempengaruhi mindset pembaca. Buku yang biasa-biasa saja jika diterjemahkan dengan baik akan menjadi karya yang bagus, sedangkan buku yang bagus jika diterjemahkan dengan kurang baik akan menjadi karya yang biasa-biasa saja.
Seperti buku Artemis Fowl, sebenarnya alur ceritanya menarik dan cocok untuk remaja seusiaku pada saat itu, satu-satunya hal yang mengganggu adalah gaya terjemahannya yang.... gimana ya... nggak nyantol di hati. Sehingga aku pun urung untuk membeli buku lanjutannya.
Bersyukurlah wahai para Potterhead sekalian, buku Harry Potter telah jatuh ke tangan penerjemah yang tepat...
Then, lemari buku kayu tempat menyimpan bukuku di rumah dimakan rayap. Syudah bisa ditebak bagaimana akhirnya. Ku patah hati berkepanjangan... 💔 dan galau berat karena hampir setengah buku-bukuku dimakan rayap, sebagian mesti dibuang karena sudah tidak berbentuk lagi, sebagian bisa selamat meski dengan kondisi yang pas-pasan.
Karena belum punya rak buku lagi, aku menimbunnya di kontainer-kontainer plastik tempat menyimpan tas, sisanya ditumpuk di meja belajar bercampur printilan-printilan kepunyaanku.
Alih-alih membelikan rak buku ayah memberiku etalase, meski bukan ‘rumah’ yang kuinginkan untuk buku-bukuku etalase tersebut cocok untuk menghindari ancaman rayap yang mengintai seisi rumah.
Sering ada yang menanyakan “Apa yang kudapat dari membaca buku?”
Well... karena membaca buku aku pernah bercita-cita jadi illustrator buku, pernah bercita-cita jadi detektif, pernah bercita-cita jadi penulis, pernah bercita-cita jadi backpacker, pernah bercita-cita jadi the it girl, pernah bercita-cita jadi adventurer, pernah bercita-cita jadi designer, pernah bercita-cita jadi princess dan pernah bercita-cita jadi Milea 😂. Yang terakhir ini apeu parah 🤣.
Frasa “buku adalah jendela dunia” ini ternyata memang benar adanya.
“Mbak kan suka baca, kenapa nggak jadi penulis?”
“Err ... ini lagi kok ...”
*blogger juga penulis meureun... 😆.