Hay... Day...
Beberapa minggu yang lalu aku sempat video call-an dengan teman-temanku sekalyan, selain membahas tentang situesyen terkini kita juga sempat membahas tentang makna pertemanan (c, c, c, ciee... 😁) dan kedewasaan 😋. Sesi video call tersebut kemudian mengingatkanku pada... draft post yang lagi-lagi mandeg atas nama distraksi duniawi 🤣.
Draft post ini ditulis pada tahun 2018, jadi ya... harap maklum kalau agak... yagitu deh 😅. Honestly, concern-ku saat itu adalah tentang pertemanan dewasa (mature friendship) karena selama hiatus hubungan kita hanya sebatas member di WAG 😅 Dan memang... begitu kembali, first impression-ku adalah “BOOOOMMM” 💥. Well... yang kutulis di post ini adalah apa yang pernah kurasakan saat berada dalam berbagai circle pertemanan.
***
SALTY FIRST...
Aku lupa pernah membaca dimana yang jelas pertanyaan ini selalu kuingat setiap kali bersinggungan dengan orang lain.
Hal apa yang paling penting untukmu?
IYK, hal yang paling penting untukmu adalah hal pertama yang kamu nilai dari orang lain 😁.
Kupikir hal ini benar adanya. Orang yang menganggap penting derajat senantiasa akan selalu memperhatikan (apa yang dianggap sebagai 😌) derajat berkaca dari apa yang ia nilai dari orang lain. Pun. Orang yang menganggap penting penampilan senantiasa akan selalu memperhatikan penampilannya berkaca dari apa yang ia nilai dari orang lain.
Terdengar familiar bukan?
Dalam keseharian kita dibiasakan untuk menilai dan dinilai secara visual, bukan secara esensi (haha ini belum nemu padanan kata yang pas 😅, tapi intinya faham kan? 😊). Termasuk diantaranya adalah penilaian dari sesama ciwik yang reality-nya tsadesss banget cui... dan kadang sampai bikin gumoh 🤮. Pernah ada yang menilaiku berdasarkan trend dan brand yang kupakai, well... kupikir ini cukup menggangu ya 🙄.
Ia bilang bahwa orang bisa dilihat dari apa yang ia pakai (honestly, untuk point ini aku setuju 👌🏻) dan ia menilai bahwa aku kurang dewasa dan berkelas berdasarkan pemilihan barang yang kupakai. In short way, kalau ingin tahu seperti apa penampilan yang dewasa dan berkelas aku bisa mencontek apa yang ia pakai dan mungkin berguru padanya.
Yawla... Inginku ngikik tapi inget bukan kuda 😂.
Menurutnya: jam tangan Fossil ber-strap metal dan berwarna emas lebih keren ketimbang jam tangan QnQ favorite-ku. Dompet Coach yang (saat itu sedang) hype lebih keren ketimbang dompet Milk Teddy hadiahku lulus masuk ma’had. Ria Miranda, Kamiidea, Buttonscarves dan sederet brand dengan collectible items-nya lebih keren ketimbang unknown - unbrand - uncollectible items yang sedang kupakai.
🤔
One thing you should know...
BODO AMAATTT!!!! 🔥🔥🔥
Gini banget ya jadi (orang) dewasa - (Lestari , waktu masih 28 yo).
Kupikir, selain memberikan manfaat barang kumiliki haruslah memberikan kebahagiaan, atau kalau kata Marie Kondo mah: sparks joy. Meski kadang impulsif, aku percaya bahwa membeli barang yang nggak kusukai adalah salah satu cara terbaik untuk menggadaikan kebahagiaan.
Pernah ada masanya ketika aku terpaksa memenuhi tuntutan orang-orang, membeli ini itu, pergi kesana kesini dan sok asyik. Kenapa kok mau? Karena aku nggak faham bagaimana (caranya) jadi (orang) dewasa 🤷🏻♀️. Memang, untuk bertahan di society kita terkadang harus mengikuti arus, tapi ya mau sampai kapan?
Saat kecil ingin segera dewasa, namun setelah dewasa ingin jadi anak kecil lagi sebagaimana saat kuliah ingin segera bekerja namun setelah bekerja ingin kembali kuliah.
SUGAR-COATED WORDS ADALAH BAGIAN DARI ADULTHOOD
Selain orang yang gemar menye-menye ganjen tapi ujung-ujungnya minta ini itu, aku kurang begitu... apa ya... attach dengan orang yang gemar perez. Malay aja kalau dekat-dekat karena bawaannya pasti sensi 😅. Bagiku perez mengaburkan batas antara pujian dan basa basi. Kalau tujuan dari perez adalah untuk menyenangkan lawan bicaranya, ehm... mon maap nih mb, kita sama-sama tahu kebanyakan orang sadar banget saat dirinya diperezin 😌.
Mungkin maksudnya ingin mengambil hati, masalahnya, kalau sekedar basa basi artinya lau mengecilkan arti ketulusan dalam pujian. Sayangnya, sebagai orang dewasa kita selalu dituntut untuk menyenangkan lawan bicara ... suka atau nggak suka. Yuyur aja aku malay kalau udah begini, sugar coated words is not so me. Yap. Realistis aja nih ya review-nya...
Aku memang jarang memuji, tapi ini bukan gegara hidupku dipenuhi kedengkian tapi karena kupikir: you’ve only got what you deserve, lebih pada appreciate. Makanya aku lebih suka kasih ❤️ ketimbang kasih komentar “cantik beb”.
BEGITU PUN DENGAN #pertemanantoxic
Aku bukan tipikal orang yang senang dan membiasakan diri untuk berkelompok, teman dekat pasti ada tapi nggak berkelompok a.k.a nge-geng. Simple aja sih, karena dulu kupikir kita semua berteman... 🦗 😅. Orang sering membandingkan dan mempertanyakan kenapa aku hanya memiliki sedikit teman, bahkan di dunia maya sekalipun. Eym... aku lebih senang untuk berteman dengan orang-orang yang kukenal secara personal makanya temannya itu-itu aja, sedikit tapi verified ✔️.
Pada akhirnya kita akan memilih circle pertemanan dengan frekuensi, minat dan mindset yang sama. Dijauhkan karena nggak sefaham dengan circle-nya seseorang... sudah pernah 😅. Alasan lainnya, aku kurang bisa 'mengangkat' khalayak circle sekalian. Satu hal yang kupertanyakan: teman macam apa yang menakar untung dan ruginya suatu pertemanan? Kupikir teman seharusnya ikut berbahagia saat kau berbahagia, bukan berbahagia karena (ikut) memiliki kebahagiaan yang sama.
Burn the bridge
Di masa hype-nya Twitter aku pernah mengalami kejadian yang cukup membuatku gedeg sekaligus il-feel. Suatu malam saat sedang mengerjakan tugas notifikasi Twitterku berbunyi, setelah kucek ternyata aku di-mention oleh temannya teman (yang sama sekali nggak pernah ku kenal secara personal 🙄) dalam tweet-nya, aku lupa bahasanya gimana namun kurang lebih sih begini:
@ygmention: @ygdimention1 @ygdimention2 @ygdimention3 @ygdimention4 cuma orang-orang pilihan yang bisa gawl sama kita cc @aku
🙄
Tadinya aku ingin mengabaikannya, tapi setelah dipikir-pikir eh... kayanya salah satu temanku pernah mengatakan hal yang sama deh. Kalyan bersekutu apa memang sekufu? 🤔. Kalau tujuannya untuk menunjukkan keekslusifan circle-nya, tapi yang ada aku malah merasa geli sendiri... Ini lagi rekrut member apa gimana sist? Si guweh #gagalfaham yeuh *samar-samar terdengar suara Puan teriak soliddd... soliddd... soliddd... 🤣.
Sebelum aku sempat me-reply mention-nya @ygmention sudah lebih dulu menghapus tweet-nya, tapi tetap aja ya aku sudah pernah melihat tweet-nya dan reply dari yang para @dimention. Hadehhh... terlepas dari betapa cemennya menghapus tweet, kurasa ini adalah cara paling sampah untuk memulai pertikaian dan membuatnya di-notice 😤. Tuman pick me siya😌.
Untuk menghindari polusi visual di timeline Twitter-ku, aku memutuskan untuk me-mute (bukan mem-block) akun temanku yang terhubung dengan circle sampah itu. Kupikir dalam hidup ini sekurang-kurangnya kita mesti memiliki integritas. Satu-satunya kesalahan temanku saat itu adalah ia nggak memiliki boundaries sehingga orang lain bisa dengan leluasa turut campur (bahkan cenderung borderless) dalam kehidupannya.
Temanku (yang lain) berpikir bahwa keputusanku me-mute akun temanku adalah keputusan yang ‘nggak nyambung’, yang berbuat kan temannya kenapa malah ia yang kena getahnya. Well... yang sebenarnya kulakukan adalah cut the head alias melenyapkan sumber masalah, (kupikir) semua itu nggak akan terjadi kalau sedari awal temanku punya sikap. Yha~ nggak semua orang cukup tahu diri untuk nggak melewati batas.
SESEKALI BASA BASI BUSUK
Mungkin bukan Cuma aku berpikir begini, namun kadang merasa nggak habis pikir dengan orang yang mempertanyakan ke-single-anku. Sampai ada yang tanya “kamu nggak malu single?” yang pastinya kujawab dengan: “nggak”. FYI. Aku bukan penjahat, bukan koruptor, bukan pemerintah. Kenapa mesti malu?
Saat bertemu dengan teman lama sering kali yang pertama ditanyakan adalah “sudah menikah belum?” serius nih nggak nanya kabar? 😅 Aku sakit loh... 😂. Aku nggak masalah ditanya begini, yang menjadi masalah malah pertanyaan lanjutannya “Kenapa belum nikah?” yang akan dilanjutkan (bahkan sebelum sempat kujawab) dengan “Jangan terlalu pilih-pilih... BLABLABLA...”.
Eym... Kita jajan aja milih kali ah, masa partner nggak milih... 😅 Kenapa menjadi masalah? Karena aku jadi mempertanyakan (no offense please...) “emang dulu situ nggak milih ya?” 😏.
Hidup ini keras yakawan... 😌
EGO YANG BERTABRAKAN
Sebagai makhluk sosial yang senang kumpul sana sini, kupikir setiap pertemuan selalu menyisakan ketidakpuasan. Ngaku deh... 😁. Kadang aku pusing meng-compare dan meng-cross check statement antara yang ono dan yang ini, rieut hamba... 🤦🏻♀️. Kupikir adalah keharusan bagi kita untuk mencari jalan tengah yang bisa mengakomodir semua kebutuhan dan keinginan tanpa mesti bersinggungan. Sayangnya, seringkali hal ini kerap dipersulit oleh ego yang bertabrakan sehingga rencana tinggaL wacana.
Mungkin pernah mengalami, terjebak menonton obrolan masa kini saat bertemu.
Percayalah, meski nggak ikutan nimbrung sebenarnya aku mengerti kok apa yang diobrolin, nggak ikutan ngobrol bukan berarti nggak faham 😅. Toh hal-hal semacam fashion, skincare dan lifestyle thingy lainnya adalah hal yang biasa, maksudnya, pasti diikuti perkembangannya. Dunia bukan cuma milik kalian yang setiap kali kumpul selalu berusaha mengambil alih obrolan dengan memaparkan standar, namun juga milik jellies yang sering masuk-masukin items ke keranjang Shoppe dan membiarkannya ngendon selama berbulan-bulan.
Bentar... Bentar... Sisanya masih di-edit dulu 😅