Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.
www.pixabay.com

Di awal mulai ngeblog (SMA) belum ada gambaran yang jelas mengenai apa itu blogger, apakah mesti gemar menulis cerpen dan membaginya dengan siapapun, ataukah mesti gemar menuliskan kalimat-kalimat puitis untuk dinikmati bersama, ataukah mesti gemar menumpahkan isi kepala dengan segala ceracauan agar merasa lega.

Mungkin seharusnya begitu ya ... namun alih-alih menuliskan artikel berfaedah aku malah memindahkan isi diary ke blog. Jadilah blogku itu nichenya diary dengan konten utama;curhat *ku-tak-percaya-pernah-begini 😢. Sampai suatu hari salah seorang temanku complain kenapa tulisanku frontal sekali (segmented) tak bersensor, yha~ that’s what I feel bruh ... 🤔

Tau nggak kenapa complain? Karena ... dia pernah menjadi tema di salah satu postingan blogku 😛

Di masa SMA itu ada beberapa temen yang juga suka menulis + punya blog, so pasti isinya nggak jauh-jauh dari kehidupan di penjara suci 😎 Meski kontennya masih awur-awuran tapi kita tetep pede ngumumin kalau kita punya blog, mungkin pengaruh hormon juga kali ya ... remaja di umuran segitu kan lagi butuh-butuhnya pengakuan.

Namun harus diakui salah satu turning point kenapa saat itu kita pede banget menulis + punya blog adalah karena tugas Sosiologi yang digagas oleh Pak Kiki atau Mangky alias ‘Mangnya Ali Fikri). Ia menugaskan kita (sekelas) untuk membuat jurnal tentang diri kita sendiri selama ± 1 semester, semacam diary lagi dengan format yang lebih formal dan personal.

Ya tambah senenglah kita ... 😂 toh sehari-hari sebelum tidur kita menulis diary, bagi yang agak jarang menulis mungkin agak sulit tapi ya dibawa enjoy aja, kita saling bantu kok. Ia mampu membuat kita percaya bahwa menulis adalah kegiatan yang keren dan asyik, sebab ada value tertentu yang bisa bisa didapatkan dari menulis (bukan uang ya, karena Mangky sama sekali nggak pernah ngebahas uang).

Imbasnya kelas Mangky selalu ditunggu-tunggu setiap minggunya, selalu excited mikirin minggu depan kelasnya Mangky ngapain ya? 😉 Selain membuat jurnal, kita juga ditugaskan untuk membaca buku dan mereviewnya secara berkelompok, bukunya dipinjemin Mangky. Karenanya kita jadi kenalan dengan Perempuan Suci (Qaisra Shahraz), Saudagar Buku Dari Kabul (Asne Seierstad), Perempuan-Perempuan Haremku (Fatima Mernissi) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata).

Belajar Sosiologi membuat kita lebih open mind, bersyukur ya kita jadi kelas pertamanya Mangky (saat itu dia masih fresh graduate) dan Sosiologi adalah pelajaran baru di sekolah. Seneng juga punya guru rasa temen 😗 Menjelang akhir semester Mangky mendatangkan inspiring guest di kelasnya, Irfan Amalee (huruf ‘e’nya juga 2 kaya Iqbaal) 😏.

Dari Irfan Amalee kita belajar bagaimana menulis bisa membuat kita lebih shine dan kalau mau berusaha lebih bisa menjadi penulis beneran yang menerbitkan karya cetak, satu hal yang mesti diingat, semua orang memiliki potensi untuk menjadi penulis, intinya sih begitu. Tambah semangatlah kita ngerjain tugas jurnal ✌✌✌✌✌

Meski tugasnya adalah membuat jurnal nggak semuanya mesti menulis, salah satu temenku RV memilih media kaset sebagai jurnalnya karena merasa lebih nyaman ngomong ketimbang menulis, zaman sekarang mah kaya podcast. Disaat kita menulis jurnal di asrama, RV (dibantu Pici) melipir ke tempat sepi, mau rekaman 💋. Pokoknya, setelah melalui trial and error RV menghasilkan 1 buah kaset yang berisikan ... nggak tau sih ngomongin apa aja hehe ... tapi kayanya mah mirip-miriplah kaya jurnal kita.

Di pertemuan terakhir Mangky dan Irfan Amalee memilih 3 jurnal yang menurut mereka memiliki potensi yang baik dalam menulis, lebih jauhnya lagi mereka percaya bahwa 3 orang ini bisa shine jika serius melanjutkan menulis. Mereka adalah ... 1. Astri ... 2. Mazia ... 3. Lestari ... dan 4. Fitri (sengaja ditambahin biar nggak kecewa jurnalnya dulu nggak kepilih). Sedang di kelas sebelah cuma Fahri yang disebut.

Tentu ku langsung senyum lebar ala model iklan CloseUp, karena ... aku suka Sosiologi 💗💗💗, karena bagiku kalau suka ya harus expert dan all out, urusan reward dan sebagainya mah mengikuti. Meski Cuma disebut namanya di depan kelas tapi kubangga jadi salah satu yang terbaik diantara yang terbaik. Kayanya ya kalau temen-temenku masih rajin menulis sampai sekarang, semuanya udah pada jadi blogger da.

Satu yang pasti. Sejak saat itu ... ku tahu yang kumau 😤 ...

Maka ketika dunia mulai bertransisi menjadi lebih borderless, kita bertekad untuk mengikutinya dan blog adalah sarana yang tepat untuk menampung semua kebutuhan kita. Jangan salah ya, sejak punya blog selain menulis diary kita juga jadi rajin menulis konsep / draft apa aja yang mau ditulis ntar malem di blog (karena Lab Komputer bukanya malem).

Meski nichenya diary dan kontennya curhat aku masih melanjutkan menulis di blog bahkan saat kuliah, sampai ... well ... akhirnya ketahuan dosen, kadang suka kepikiran ya kenapa dulu malah KZL kalau orang-orang tau aku ini blogger  Ya dulu blog tidaklah sespesial Facebook atau E-Buddy, lebih segmented dan terkesan nerd karena dunianya seakan-akan pindah kesana (blog). Di lingkunganku menjadi blogger belumlah seasyik masa kini dan saat itu kumau jadi orang yang sok  asyik 😇.

Mengabaikan Raditya Dika yang malah tenar karena blognya, aku malah menghabiskan lebih banyak waktu dengan blogwalking ketimbang menulis. Sampai suatu hari Pici dan Fahria ngajak liburan ke Bromo + Madakaripura + Pulau Sempu, setelah liburan mereka mengirimkan link blognya, terlihat jelas dari jumlah post di archivenya ternyata mereka lebih produktif menulis.

Lupa lagi gimana awalnya, yang jelas ujung-ujungnya kita jadi kepikiran untuk jadi travel blogger / writer, kita merasa bahwa travelling adalah pangilan jiwa dan menganggapnya sebagai passion, muluk banget ya haha 😂😂😂 Pokoknya ingin banget jadi travel blogger, inginnya ingin banget, karena dipikirnya bisa jalan-jalan gratis terus dapet uang atau minimal merchandiselah 😂 #sungguhpemikiranyangmahadangkal 😂😂😂

Trigger kita menjadi travel blogger adalah buku Edensor-nya Andrea Hirata dan Traveller’sTale-nya Aditya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya dan Imam Hidayat yang pernah dibaca saat SMA, serta Trinity dan circlenya kala kuliah. Dannn ... yang paling penting nih ya ... karena kita suka jalan-jalan 😚. Setiap ketemu obrolannya nggak jauh-jauh tentang cita-cita jadi travel blogger, ngobrol doang nulis kagak haha 😂😂😂

Menjadi travel blogger adalah cita-cita teridealis yang pernah kita ingini. Namun seiring berjalannya waktu atas nama sibuk ngerjain tugas, lupa mau nulis, pacaran dan nggak ada ide, lambat laun cita-cita jadi travel blogger mulai tersisihkan. 

Baiklah sist ... mungkin passion kita cukup mentok sampai disini 😙.

Menjelang akhir masa kuliah barulah kepikiran lagi untuk menulis di blog, ya ... apalagi kalau bukan karena ingin showing off tugas kuliah haha semacam behind the scene of the product, kan kalau presentasi mah Cuma dosen dan temen sekelas yang tau *ehe. Niatnya sih begitu ... Tapi kita semua tau kan kenyataannya gimana. 0% saja pemirsa ...😓

Tadinya kupikir kalau udah kerja bakal punya banyak waktu luang untuk menulis di blog *ae lah ... ini setting kerjanya di Bandung ya bukan di kota lain, ternyata setelah kerja malah nggak punya waktu luang sama sekali, 5,5/7 kerja keras tapi nggak syuka, sisanya dipaksa mama ikut ke acara sejenis reuni dan pertemuan-pertemuan yang basa basinya luar biasa bikin kelenger, hopeless. I meant it.😱😱😱

Nggak ada yang asyik dari kehidupan homogen nan monoton itu jadinya nggak ada yang diceritain. Eh, kecuali ... cita-cita paling mulia disana adalah jadi PNS karena dikira orang bakal segan. Yakali ... Kita hidup di zaman mana sih? 😩 Mirisnya, akses internet di kantor sama sekali nggak support, seriusan, jadi Cuma bisa kirim e-mail doang tanpa bisa buka browser. Yaudah sih, akhirnya aku memilih untuk WO dari lingkungan yang bikin mati gaya ini 😉.

Pasca resign, aku malah nggak kepikiran (dan tertarik) sama sekali untuk apply kerjaan 😊, karena setiap buka internet inginnya buka blog mulu. Tapi kali ini aku menulis kok. Begitulah ... When you passionate into something the rest is unnecessary. 👏👏👏 Jadi, nggak masalah kan kalau nganggur. *eh

IDK tapi seingatku masa nganggur adalah masa paling produktif haha Nggak perlulah sok-sokan keliatan pergi - pulang kerja karena tetangga mah Cuma ngeliatin doang, tapi komentar iya.

Di masa itu aku  pernah berusaha untuk jadi beauty blogger karena ... ingin weh haha 😈 Saat itu beauty blogger / vlogger belum sehype sekarang. Dulu prosesnya masih terbilang mudah, ± seminggu setelah mengirimkan form aku mendapatkan produk untuk direview.

Kan girang ya ... setelah dicoba ternyata produk tersebut kurang nggak cocok dongs haha Zonk! juga sih. Kupikir ini adalah efek awal pemakaian dan memilih untuk melanjutkan pemakaian dengan harapan akan sesuai dengan campaignnya, yang mana nggak ngaruh sama sama sekali. Nihil.

Tapi tentu saja aku mereview produk tersebut sebagaimana seharusnya, pokoknya di akhir reviewnya tersisip statement abu-abu yang menyatakan bahwa tingkat kecocokan produk tersebut berbeda-beda bagi setiap orang*. Setelahnya ... aku resign jadi calon beauty blogger haha Ya abisnya gimana ... Nggak merasa sejalan dengan prinsip hidup ini *😇😇😇.

Maka sejak saat itu aku lebih apa ya ... concern dalam memilah informasi, personally, aku lebih suka membaca review produk yang dibuat berdasarkan pengalaman pribadi ketimbang review produk endorsement, tapi aku tetep baca kok semuanya. Nggak tau ya dengan yang lain tapi aku pikir review yang dibuat berdasarkan pengalaman pribadi lebih jujur tanpa ada tendensi.

Kemudian ...

Aku belajar lagi bagaimana caranya menulis, menulis apa yang kumau 😊 Karena ternyata setelah berusaha menulis post yang benar-benar mengikuti trend dan menyesuaikannya dengan kaidah B. Indonesia aku malah merasa nggak asyik 😂 Dari sana mulailah kepikiran kenapa nggak menulis untuk diri sendiri? Mungkin nggak asyiknya itu datang dari denial, kenapa mesti menulis apa yang orang ingin baca ketimbang menulis apa yang kuingin orang baca. Semacam begitulah🤔🤔🤔.

Lalu aku menemukan blognya @makmummasjid (Renne Nesa), ada salah satu postnya yang berjudul aku aja dulu yang bahagia kamu mah ntar aja haha Kocak lah ... 💖💖💖 Intinya ya always put a passion on everything you do. Nggak usah ambil pusing kalau orang lain nggak suka dengan apa yang kita lakukan, karena disaat orang lain mengamati dan mengomentari tanpa berbuat apa-apa kita berproses . Even slow but sure ...

Jadi, aku menulis apa yang ingin kutulis, yang menarik bagiku dan yang lagi kepikiran. Semua yang kutulis telah melalui uji kelayakan kesukaan 😇😇😇

Makanya blog ini adalah un-niche-niche club.

Untuk sekarang aku belum memutuskan lagi mau jadi blogger macam kelak 🤣 Apakah tiba-tiba aku ingin jadi movie blogger, craft blogger atau techno blogger, semuanya mungkin ... Terlepas dari berfaedah atau nggak berfaedahnya blogku ini, aku sih seneng-seneng  aja meluangkan waktu mengerjakan hal yang kusuka 😤😤😤.

Beberapa temanku ada yang merasa surprise saat mereka tau aku punya (+mengurusi) blog, bahkan sampai ada yang berkomentar “ternyata selama ini ... (kamu) diem-diem ngeblog”. Kadang ingin banget jawab “Yaealah ... kemana aja nih MbakBro MasSist?” 😏.

Bukannya aku nggak ngerti caranya promote di social media tapi aku memang nggak ingin orang membaca blogku karena kusuruh di caption 😛 Aku lebih ingin orang mencari dan menemukannya sendiri. Kalau kamu baru tau blogku ini meski udah saling follow, yha~~~ mungkin kamu kurang stalking 😏, linknya ada kok di bio IG.

Kalau dipikir-pikir ya blogku ini adalah hasil berkelanjutan (sustainable project result) dari kelasnya Mangky, meski tidak berbentuk karya cetak (karena sudah zaman digital) blogku ini adalah bukti kalau Mangky dan Irfan Amalee dulu nggak salah pilih jurnal 🤣🤣🤣🤣🤣 Syukron katsiron ya akhi! 

Menulis adalah hal cara terbaik untuk mengekspresikan diri *selain menggambar

So ... These is mine (behind the blog things), how is yours?
Let me know ... 😁
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Menjelang Infinity War kayanya wajib ya untuk nonton The Black Panther, secara ceritanya nanti bakal sambung menyambung menjadi satu dan karena (katanya) setting untuk war Avenger selanjutnya adalah di Wakanda. Apalagi salah satu castnya adalah Michonne (Danai Gurira) yang jadi partnernya Rick di The Walking Dead, meski kurang begitu suka Michonne teutep ya penasaran liat actingnya sekalian juga mau nanyain kenapa kok jadi botak.

Mengusik sekali yha~ ... 👻

Tapi akhirnya aku ngajakin Widy untuk nonton The Black Panther di ... Transmart Bubat haha di Maps bioskop paling deket ya itu 👍. Kenyataannya jarak di Maps berbanding terbalik dengan macet long weekend, pas mau caw kesana nggak ada satupun Gojek yang mau ngepick padahal Cuma rintik-rintik dan Grab harganya naik hampr 2x lipat gegara traffic fare. Sekalinya dapet driver eh mesti nunggu hampir ½ jam karena doinya nyasar dulu 💫💫💫

Disaat nungguin driver kembali ke point yang benar, Widy nelpon dan ngabarin kalau kita nggak mungkin nonton The Black Panther karena jadwal terdekat mepet banget dan jadwal selanjutnya bakal ngebuat kita pulang kemaleman. Terus Widy bilang “nonton Dilan aja yu ...” lah ... bukannya udah nonton ya *sumvah inget banget insto tiketnya 😕, katanya “gapapa 2x juga” nggak tau kenapa ya tapi suaranya terdengar sumringah sekali.

Begitu telpon ditutup baru deh kepikiran, jangan-jangan si Widy udah termasuk golongan tante-tante yang mesem-mesem setelah nonton Dilan kaya yang disebut Teppy di review suka-suka?

Haiiissshhhh ... 😨

Wakanda is calling 📲
— Lestari Utami (@demilestari) February 14, 2018

Udah hampir 3 minggu sejak pemutaran perdana film Dilan 1990 di bioskop kesayangan anda tapi studio masih tetep penuh, seriusan, meski didominasi mbak-mbak berhijab + anak-anak (yang pasti dibawa nonton emaknya) ada aja kok gengnya cowok-cowok yang kayanya penasaran banget sama sepikannya di Dilan haha.

Awalnya sebisa mungkin ingin menghindari nonton film Dilan 1990 karena kupikir nanti juga bakal ada di TV, maksimal setelah 3 bulan sejak penayangan di bioskop. Lagian ya castnya adalah Iqbaal Ramadhan (beneran huruf “a”nya ada 2) eks CJR yang bagiku terkesan seperti pendongkrak popularitas sekaligus ajang market test di dunia perfilman.

Lainnya lagi, aku tak ingin ceritanya diubah-ubah demi kepentingan film (dan market), berasa berkalang noda gitu hehe tapi semua berubah saat membaca nama penulis skenarionya di screen,  Pidi Baiq dan Titien Wattimena. Yes!!! 🙆🙆🙆 Karena Dilan 1990 adalah film adaptasi dari buku Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 maka seharusnya tiada spoiler diantara kita. Kan udah baca bukunya ... 😉

Film Dilan 1990 dibuka dengan scene Milea (Vanesha Prescilla) yang dinarasikan oleh Sissy Prescilla sedang menuliskan cerita tentang masa SMAnya.

* flashback scene ...

Kita semua tau gimana dinginnya Bandung di tahun 90an, masih sering ada kabut di pagi hari dan adem di sepanjang sisa harinya. Milea yang baru pindah ke Bandung dari Jakarta diramal seorang cowok bermotor dalam perjalanannya ke sekolahnya di Buah Batu, scene yang muncul di trailer, yang membuat kita skeptis sama Iqbaal karena doi kurang nyunda, kurang cengos dan kecakepan <- - - tapi yang terakhir adalah fakta 😋

“kamu Milea ya?”
“iya”
“boleh aku ramal?”
...
“nanti siang kita akan bertemu lagi di kantin”

Berhubung settingnya adalah tahun 90an yang notabene orang-orangnya masih pada baik, polos dan lugu tentu saja Milea ini penasaran juga deg-degan seharian ketimbang bales jawab “naon sih maneh” ala-ala Wati (Yoriko Angeline) haha 😝 Di kelasnya, Milea sebangku dengan Rani (Zulfa Maharani) dan berteman akrab dengan Wati yang belakangan diketahui sebagai sepupunya Dilan  dan Nandan (Debo Andryos) ketua kelas yang naksir Milea, pokoknya Nandan ini adalah jenis teman yang kamu pasti pernah punya di kelas dulu.

Sedangkan Dilan adalah kebalikan dari circlenya Milea, memiliki reputasi bad boy dan bergelar sebagai Panglima Tempur di geng motor 💥. Sadar nggak sih, sepanjang film Dilan Tahun 1990 ini jaketnya Dilan nggak pernah dicucaiii ... haha Eh, sekali deng waktu huhujanan dengan Milea ‘heu 😅

Dilan dengan sepikannya yang absurd dan sampis tapi diem-diem bikin penonton mesem-mesem berhasil membuat Milea berpaling dari pacarnya Beni (Brandon Salim) yang posesif. Scene Beni dan temen-temennya ngasih surprise untuk Milea lumayan bikin geli, berasa dinyanyiin lagu “happy birthday” sama boysband kapan taun 👨👨👨👨👨

Ya gimana nggak seneng ya Milea hampir tiap hari disepikin mulu haha Chemistry antara Iqbaal dan Vanesha oke 👍 oce 👌, gimana aja anak-anak SMA tahun 90an yang belum terkontaminasi smartphone atau seselebgraman. Wajar dan nggak mengada-ada. Palingan giung sama sepikannya Dilan haha 😍 Oh iya scene momotoran adalah scene favorite sejuta umat, terbukti dari heningnya studio dan senyum tanpa suara Eteh-eteh di sebelah 😁😁😁

Scene Anhar (Giulio Parengkuan) dan Dilan berantem juga kece ya ... Acting Giulio sebagai Anhar juga keren, lebih keren daripada Pak Suripto yang loser atau Kang Emil yang jadi cameo. Kalau aku jadi Kang Adi (Raefal Hady) mah ya udah sadar diri dan minta resign da, percumtabergun.

Banyak yang concern mengenai setting Bandungnya yang kurang terasa ambience 90annya, well ...  Bandung yang sekarang bukanlah Bandung yang dulu. Ngosongin jalan untuk scene angkot atau momotoran nggak segampang komen “setting Bandung tahun 90annya nggak meyakinkan” dan nggak mungkin juga dong crew merenovasi seluruh rumah di jalur Dilan-Milea biar dapet ambience 90annya.

Kecuali,

Punya tim CGI maha keren atau minimal budget gendut untuk hire studio sekelas WETA. 💃💃💃#demisetting90anyang HQQ

Bagi yang belum pernah membaca bukunya pasti sepanjang film mikirin kok bahasanya baku dan absurd, tapi sepikannya itu loh crispy tapi crunchy. Ya ... begitulah Ayah Surayah si Imam Besar The Panasdalam. Kalau udah pernah baca bukunya pasti ngerti lah kalau bahasa kesehariannya emang seperti itu, bahkan tweet-tweetnya pun semaunya dia, biar pun begitu tetep aja kita mau baca kan hehe 😉

Anyway ... nggak setiap film membutuhkan klimaks, kadang kita Cuma butuh untuk menikmati saja tanpa harus pusing ikutan mikirin alur ceritanya, kaya review ini Dilan 1990 ini dinikmati saja ...

Dan ending yang nanggung ini dipersembahkan oleh Dilan 1991 😥 

Begitu lampu studio nyala “yha~~~ masih ingin nonton ...” haha 😝😝😝 Kemudian Widy bilang “Non, The Black Panther mah nanti aja ya beli di Kingkong” lalu ... ku mendua antara “bodo amat! Udah nggak inget The Black Panther!” dan “isshhh ... keburu Infinity War meur ...” 😕

Di parkiran waktu ngambil motor “bentar Non pasang earphone dulu, mau dengerin lagu Dilan” sambil cengar cengir 😐 fix ini mah ... kesengsem 😅. Perjalanan dari Buah Batu ke kosan nggak pake helm belum pernah seseneng ini, ehh, cuma 1 kekurangannya ... soundtracknya nggak kedengeran euy 😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂

Nggak terlalu nyesel juga ya nggak jadi nonton The Black Panther karena ternyata film Dilan 1990 nggak secreepy yang orang-orang review, mungkin mereka bilang begitu karena belum baca bukunya aja atau memang taste nyepiknya beda haha 

Besok film Dilan 1990 tayang di bioskop. untuk temen2 followers saya dimanapun, selamat bernostalgia dan mengingat betapa sederhananya jatuh cinta di tahun 90an. cinta itu gaperlu mahal2, yang penting nyali dan tulus. selamat disaksikan dan semoga suka dengan filmnya. doa saya dari sini untuk film ini dan kepuasan temen2 semuanya.
A post shared by iqbaal ramadhan (@iqbaal.e) on Jan 23, 2018 at 9:08pm PST

Sebagai 1 diantara sekian ribu followernya Ayah Surayah aku cukup mengikuti tumbuh kembangnya Dilan haha, dari yang cuma twit-twit semau dia sampai akhirnya dibuat buku biar tambah panjang, karena kalau cuma baca di blognya doang mah nggak akan puas hehe Begitu juga dengan MV ala-alanya yang udah ngebuat panik duluan, yang padahal mah cuma project iseng belaka.

Udah ya ... kalau mau tau review kesan-kesan bukunya bisa dibaca di Goodreads (tapi harus buat akun dulu), judulnya Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dia Adalah Dilanku Tahun 1991, yang Milea belum ada karena belum baca bukunya 😅 Sekalian juga doain biar aku bisa segera nonton The Black Panther.

Bye ...











Eh,
Assalamuaikum jangan? 😉


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Entah dapet hidayah darimana ya Widy punya bacaan semacam ini, tadinya kupikir ia Cuma sekedar insto buku di Gramedia eh ternyata beneran punya. Syukur ya karena berarti level bacaannya meningkat haha😂

Sebelumnya aku hanya mengenal Eka Kurniawan dari notification e-mail Goodreads dan juga karena beberapa follower-ku di Goodreads me-review bukunya. Katanya Eka Kurniawan ini adalah penulis berbakat dengan karya-karya yang rupawan, semacam Jostein Gardner X Andrea Hirata beserta turunannya lah ... 🤔

Bukannya nggak mau baca ya, tapi cover buku-bukunya Eka Kurniawan di awal-awal naik cetak bagiku kurang representatif dan ... sorry to say ... nggak enak diliat. Buku Cantik Itu Luka milik Widy ini merupakan cetakan ketigabelas, yang terbaru. Sayangnya meski hardcover sekalinya kena gencet langsung penyet, tapi kusuka sih cover illustration-nya 😋

Cantik Itu Luka merupakan karya kesekiannya Eka Kurniawan sekaligus karya Eka Kurniawan yang pertama kali kubaca karena kuyaqin pasti akan membaca karyanya yang lain. Pencapaian Cantik Itu Luka terbilang cukup prestisius karena telah memenangkan beberapa penghargaan sastra dan telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa.

Kalau sebelumnya istilah beauty is pain atau beauty is wound sering dikaitkan dengan fashion yang merujuk pada pengorbanan wanita untuk tampil menjadi cantik, maka kali Eka Kurniawan menunjukkan beauty is pain versinya sendiri, bagaimana kecantikan mengakibatkan luka bahkan kutukan yang diwariskan secara turun temurun.

Karena yang diangkat adalah issue yang agak sensitif mengenai kecantikan, wanita dan patriarki maka mau tak mau bahasa yang digunakan Eka Kurniawan cukup vulgar, berada di sekitaran berahi, tai dan lelaki. Maka sudi kiranya pembaca yang budiman bersikap bijak saat membaca Cantik Itu Luka, tidak disarankan bagi pembaca di bawah umur dan orang tua 😏

Secara garis besar Cantik Itu Luka menceritakan tentang Dewi Ayu dan circle-nya, seorang pelacur yang hidup kembali setelah kematiannya 21 tahun yang lalu. Dewi Ayu adalah anak haram jadah dari hubungan incest orangtuanya Henry dan Anneu Stamler, ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya yaitu Ted dan Marietje Stamler.

Dewi Ayu memiliki 3 orang anak yaitu Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Semua anaknya mewarisi paras cantiknya Dewi Ayu, eh, kecuali Cantik anaknya yang terakhir yang belum pernah dilihatnya sama sekali. Satu-satunya kesamaannya dari semua anak-anaknya adalah kenyataan bahwa tiada seorangpun yang tahu siapa ayahnya.

Awal mula kutukan yang diwarisi oleh mereka berakar dari dosa Ted Stamler kepada Ma Gedik dan Ma Iyang, amarah yang tak berkesudahan itu mengakibatkan dendam yang dibawa sampai mati dan luruh menjadi kutukan. Bahkan sekali pun Dewi Ayu telah bangkit dari kubur setelah 21 tahun lamanya.

Kepiawaian Eka Kurniawan dalam memilin dan menjalin kisah Ayu Dewi tidak perlu diragukan, sebab setiap babnya menyajikan kisah yang mengalir. Cara menuturkannya pun cukup sederhana tanpa perlu metafora berlebihan atau penjabaran panjang lebar nan tiada guna namun   membuat kita (pembaca) seakan-akan telah mengenal lama tokoh-tokoh di Cantik Itu Luka layaknya tetangga satu kampong.

Oh iya, riset Eka Kurniawan untuk Cantik Itu Luka juga patut diapresiasi, meski agak samar setting Cantik Itu Luka adalah masa kejayaan perkebunan Hollander di  Hindia Belanda dan berakhir pada sekitar tahun 1997. Halimunda sendiri agak kurang jelas letak geografisnya, apakah di daerah Jawa bagian Barat (merujuk pada Gunung Halimun) ataukah di daerah Jawa bagian Timur.

Eka Kurniawan memasukkan banyak unsur budaya pada Cantik Itu Luka, banyak banget pokoknya, saking banyaknya ku malah jadi giung. Seriously. Maklum ya setting ceritanya di masa peralihan kekuasaan … jadi mau nggak mau mesti dibahas juga 😫

Tidak berlebihan rasanya kalau ada salah satu pembaca yang me-review  Cantik Itu Luka dan mensejajarkannya dengan The Games of Thrones , tidak berlebihan … namun agak kurang tepat  😂 Mungkin karena keduanya kemaruk mencampurkan berbagai isian dalam satu wadah hehe

Diantara semua tokoh Cantik Itu Luka yang paling genggeus menurutku adalah hantu para komunis, apa pasal mereka masih menggerayangi dunia orang hidup? Berkeliaran dan memata-matai anak Dewi Ayu. Apakah Eka Kurniawan sengaja menyisipkan metafora faham komunis di lingkungan sekitar dalam wujud hantu para komunis? Well … Untuk point ini belum ada kejelasan.

Mengabaikan bahasan bukunya yang berada sekitaran berahi, tai dan lelaki, aku merekomendasikan buku Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan sebagai bacaan di kala senggang atau di kala insomnia. Insya Allah setelah membaca buku Cantik Itu Luka level bacaan kita akan naik tingkat haha 😂😂😂

Untuk informasi karya-karya lainnya bisa lihat di website-nya Eka Kurniawan
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebagai seseorang yang terlalu enjoy dengan diri sendiri dan kurang peduli dengan kehidupan orang lain, ada kalanya aku merasa terusik dengan sikap-sikap mempertanyakan dari khalayak sekalian.

Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari ngeblog? Apakah menghasilkan cuan selayaknya iklan adsense? Apakah menghasilkan buku selayaknya Raditya Dika? Apakah menghasilkan film selayaknya Keluarga Tak Kasat Mata? Apakah menghasilkan trend fashion selayaknya Diana Pelangi?

Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari kuliah di jurusan Desain Produk? Apakah menghasilkan cuan berlimpah selayaknya IKEA? Apakah menghasilkan design keren selayaknya designer yang di-review Hypebeast? Apakah menghasilkan produk inovatif selayaknya handphone Nokia? Apakah menghasilkan online shop yang berujung pada cuan?

Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari mengikuti online course? Apakah menghasilkan cuan selayaknya beasiswa tapi ini mah online? Apakah menghasilkan tawaran pekerjaan selayaknya seleksi calon pegawai  tapi ini mah online? Apakah menghasilkan tawaran magang selayaknya seleksi calon pegawai magang tapi ini mah online? Apakah menghasilkan apapun yang berujung pada cuan?

Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari ... let say ... menggambar? Apakah menghasilkan cuan selayaknya lukisan di gallery? Apakah menghasilkan gambar yang bisa dijual selayaknya artwork? Apakah menghasilkan film animasi selayaknya animator? Apakah bisa menghasilkan apapun yang (lagi-lagi) berujung pada cuan?

Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari membaca? Apakah bisa menghasilkan cuan selayaknya editor? Apakah bisa menghasilkan buku selayaknya para penulis? Apakah bisa menghasilkan tawaran pekerjaan selayaknya pikiran orang-orang? Apakah menghasilkan apapun yang (lagi-lagi lagi-lagi) berujung pada cuan?

Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari menonton film?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari mengikuti workshop?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari menata barang-barang?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari memotret?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari semua-hal-yang-ku-sukai-tapi-mereka-tidak?

Aku lantas mempertanyakan,
Apakah hasil berarti cuan?



Yha~~~

Truthfully ... Tiada pertanyaan yang paling mengusik di hidupku ini selain pertanyaan “menghasilkan nggak?”, mengesankan bahwa yang bertanya seolah-olah sungguh sangat expert di bidang per-cuan-an sedangkan aku baru saja sampai dari dimensi lain.

Well ... Nggak tahu ya dengan kalian, tapi bagiku tidak semua hal harus ada hasilnya, harus jelas perhitungan untung ruginya, harus kelihatan masa depannya karena hasil bersifat relatif dan tidak mampu menjamin nilai (value). 

Aku melakukan semua hal yang aku sukai (blogging, menggambar, membaca dll) pure karena merasa suka, tanpa ada sedikitpun pemikiran harus ada hasilnya. I enjoying the process without distracted by the results, just let it flow .... passionately, urusan menghasilkan cuan apa nggak mah itu belakangan.

Karena yang terpenting bukan hasilnya tapi prosesnya. Ya kan?

Saat masa TPB ada mata kuliah Menggambar Bentuk, kita diharuskan untuk menggambar apa yang kita ‘lihat’ bukan apa yang kita ingin lihat, salah satu proses terpenting dalam melatih sense. Bagiku ini sulit ya karena aku adalah tipikal orang rusuh dan sangat senseless.

Setelah seharian menggambar, mengabaikan jam makan siang dan kalut memikirkan kenapa gambarnya nggak kelar-kelar. Tibalah saatnya untuk menyetor gambar dan mempertanyakan kelayakannya kepada dosen, kupikir gambarku bakal langsung di approve karena sudah memenuhi kriteria gambar, tapi tenyata tidak begitu ...

Gambarku dikembalikan lagi agar diperbaiki, saat kutanya “Kenapa dikembaliin? Kan udah selesai” jawabnya “Karena ngegambarnya nggak pake hati” Halaahhh ... Belum sempat aku tanya “Tau dari mana pake hati apa nggak gambarnya?” ia menjelaskan ...

“Kenapa gambarnya saya kembalikan? Alasannya adalah  ... Karena kamu masih ‘berfikir’ ketika menggambar, pewarnannya terlalu rapi dan tarikan garisnya terlalu perfect untuk sebuah benda hidup (still life). Perfect is imperfection. Coba deh sekarang kamu lihat lagi objeknya pake hati pasti rasanya beda”.

Mungkin karena dasarnya aku ini rusuh dan sangat senseless jadi prosesnya agak lama, disaat teman-temanku beres-beres tools mau lanjut nongkrong, aku dan beberapa teman masih berkutat di meja gambar yang berantakan mencoba menangkap objek menggunakan hati. Beruntungnya, dosen yang bertugas mau berbaik hati menunggui kita menggambar sampai malam.

Butuh hampir 2 semester untuk membuatku sadar bahwa segala sesuatu yang didasari oleh hati akan menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai lebih ketimbang sesuatu yang hanya didasari oleh pikiran. It’s very worthy. IYKWIM.

So with this, karena merasa melakukan hal-hal yang disukai berdasarkan hati, maka aku tidak merasa memiliki kewajiban untuk menghasilkan cuan darinya. I enjoying the process as I enjoying myself as I should be. 

Kadang kupikir kenapa orang-orang mau bersusah payah memikirkan apa yang dihasilkan sementara aku sendiri malah adem ayem tentrem bebas merdeka. Tapi kemudian ku sadar bahwa mereka tidaklah sepertiku, yha~ bagiku mereka yang mempertanyakan hasil belum menemukan esensi dari hidup itu sendiri. Berat khann ... bahasannya.


Salah satu dosenku pernah kasih statement; Tahu nggak kenapa menjadi designer adalah hal yang paling menyenangkan? Karena disaat orang-orang sibuk mengurusi angka-angka, data-data, rencana-rencana atau target-target, kita ... designer ... (wait for it) berproses dan berkarya ...
Share
Tweet
Pin
Share
4 comments


Hi! Welcome (again) to my This or That post, the unnecessary fact of my me 😂 This month (yes, it's gonna be a monthly post) This or That theme is a 90's show that fulfilled my childhood amazingly. I'm very sure you feel the same 😂 Let's check them out!

1. Doraemon or Mojacko
Absolutely Doraemon, they bring me new stuff every Sunday! 

2. Pokemon or Digimon
Pokemon! Because I missed Digimon a lot.

3. Chibi Maruko Chan or Kobo Chan
I love both... but yeah, I'm choosing Maruko because it reminds me of my relationship with my sister.

4. Sailor Moon or Wedding Peach
Sailor Moon! And I want to be Sailor Venus, then Sailor Uranus, then Sailor Saturn, and also Sailor Pluto.

5. Minky Momo or Cardcaptor Sakura
Eym... Minky Momo.

6. Detective Conan or Shinichi Kudo
No one can beat him 💋

7. Crayon Shinchan or Kariage Kun
Both are gross, haha but I choose Kariage Kun.

8. One Piece or Avatar
Avatar because I love Prince Zuko.

9. Hagemaru or Dr. Slump (Arale)
Wajah besar... Wajah besar... Wajah besar... TIDAAKKK!!! 

10. Slam Dunk or Death Note
I still can't believe I watched all episodes of Slam Dunk but was too lazy to read the comics. BTW, why do people love Hanamichi more than Sendoh as I did? 💗 The idea of writing your enemy's name on a death note is great and that makes me wanna have one!

11. Ninja Rantaro or Ninja Hattori
Ninja Hattori and the theme songs are epic.

12. Candy-Candy or Miracle Girls
I want to be Mikage *lops

13. Remi or Hatchi The Bee
Remi. I even bought the noddles hehe

14. Saint Seiya or Shulato
Actually, I already forgot how the story was, but as I remember I watched Shulato more often than Saint Seiya.

15. Ikyu San or Ranma 1/2
Ikyu San first, then Ranma 1/2, I love both!

16. P-Man or Astroboy
P-Man! P-Man! P-Man!

17. Rocky Rocket or Hamtaro
Yha~ It's a tough decision... Hamtaro!

18. Makibao or Nono Chan
None is my favorite, but at least for me Makibao is funnier than Nono Chan.

19. Inuyasha or Samurai X
Samurai X maybe...

20. Atashincan or Dragon Balz
Dragon Balz.

21. Sylvester and Tweety or Tom and Jerry
Tom and Jerry! 

22. Flinstone or Scooby Doo
Flinstone, the idea of rock city is blown my mind.

23. Johny Quest or Ghostbuster
Johnny Quest and Bandit are the best.

24. Conan the Barbarian or Gundam
Conan The Barbarian.

25. Telletubies or Pingu
Pingu! 💇🐧🐧

26. The Simpsons or South Park
IDK why but for me South Park is harder to understand than The Simpsons

27. Pinky and The Brain or Dexter Laboratory
The sarcasm of Pinky and The Brain stole my mind.

28. Powerpuff Girls or Odd Parents
Absolutely Powerpuff Girls and I choose to be Bubbles.

29. Hey Arnold or Dennis The Menace
Hey Arnold!

30. Sonic The Hedgedog or Marsupilami
Marsupilami.

31. Dodo or Woody Woodpecker
Come on... Woody Woodpecker is great haha

32. Popeye or Casper
Popeye The Sailor Man... even Olive Oil is too skinny as a pencil.

33. UFO Baby or Baby Huey
Baby Huey makes me crazy hehe so I choose UFO Baby

34. Felix The Cat or Garfield
Felix The Cat.

35. Tazmanian Devil or Bugs Bunny
Bugs Bunny!

36. Dora The Explorer or Blues Clues
Blues Clues

37. Kim Possible or Ben10
Kim Possible

38. Super Mario Bros or Don King Kong
Don King Kong

39.Ultraman or Kamen Rider
Nope.

40. Might Morphin Power Rangers or Jiban
Both!

41. Keluarga Cemara or Rindu Rindu Aizawa
Even if there is a rival no one can beat them hehe Keluarga Cemara is an epic family movie that represents the Indonesian at that time. Selamat pagi emak... Selamat pagi Abah... Mentari pagi ini berseri indah... ☼ 🌥 But I should admit that Rindu Rindu Aizawa is my favorite too, that poor girl got my attention every noon, I still remember her yellow front pocket and the dog named Ryu 🐕.

42. Vampire movies or Boboho movies
I love both, I even ran from my school on Saturday just for watching the vampire movie, Sammo Hung and The Priest is the most capable duo for the vampire genre. Also, the Boboho movie is the funniest movie at that time, especially the fat one... and his girlfriend wanna be that reminds me of Junko (Giants sister on Doraemon).

43. The Legend of White Snakes or The Legend of The Condor Heroes
Yoko is a legend and I didn't mind becoming Bibi Lung 😇 When I was a little Yoko things is very hype, my friend at school (mostly boys) is very liked to act as Yoko, they like to bond their arms and pretend to against... who is she? Okay, let says... the enemy lady that chasing them everywhere. BTW, Andy Lau never looked so glowing as his character on The Legend of The Condor Heroes. I watched The Legend of White Snake too and love the White Snake because she is beautiful but too scary to see the snakes.

44. Sun Go Kong or Wiro Sableng or Si Buta Dari Goa Hantu
The journey to the west of priest Tom Sam Cong is give me a lot of incredible visualization about sophisticated digital techniques, the story itself is very interesting because the journey is full of drama. Wiro Sableng is nice but I think sometimes the content is for adults hehe 

45. Hercules or Xena The Warrior Princess or Sinbad
I love them all! Thank you Kevin Sorbo for being a good-looking Hercules without extra muscles haha I watched them all consistently. But I love Gabrielle more than Xena because Gabrielle is beautiful haha At that time I was thinking about crossover serials, how if Hercules, Xena, and Sinbad united as a serial like Avengers nowadays hehe

45. Amigos X Siempre or Maria Belen or Dulce Maria
I finished them all hehe but I should admit that Amigos X Siempre is the most entertaining series at that time, I love Lourdes more than Belinda hihihi and I choose Rafael over Martin.

46. Tralala Trilili or ABC (Arena Bocah Cuiliikkk ...)
Tralala Trilili... 

47. Saras 008 or Pandji Manusia Millenium
Seriously? I dislike both.

48. Anak Ajaib or Tuyul dan Mbak Yul
R u kidding me?

49. Bidadari or Lorong Waktu
Hmm... Bidadari because ChaCha is Cinderella alike.

50. Jin dan Jun or Jinny Oh Jinny
It seems the genie is Doraemon in real dimensions.

While creating this list I was thinking about how happy and amazing my childhood was, how many adorable things that were given to us (as children), and thanks to God we're so grateful to be a part of the '90s. 💓💓💓

But on the other side, I was feeling so ashamed... Why did no one create the show as they did in the 90s? I mean there is so much good content and messages that are delivered so well to us by using the show. Yeah... world changed so with the people *eh

See you when I see you on the next This or That post next month! 😊
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (12)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (1)
    • ►  Apr (1)
    • ►  Jun (3)
    • ▼  Jul (1)
      • The 13th Years Of (modern) Slavery

SERIES

Book Annual Post Quaranthings Screen Shopping Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates