Sedari awal sudah
disebutkan bahwa film ini “inspired by true
event”, dari statement-nya saja sudah bisa dipastikan bahwa film Florence Foster
Jenkins ini adalah biopic. Mengenai true event
yang dimaksud adalah kejadian yang pernah menggemparkan New York pada tahun
1944, yaitu ketika seorang wanita nekat menyanyi meski tidak memiliki bakat
(menyanyi).
Narcissa Florence Foster
Jenkins (Meryl Streep) adalah seorang sosialita kaya raya yang juga dikenal
sebagai pemain opera amatir, karena kecintaannya terhadap seni Florence mendirikan
sebuah klub elit bernama Verdi Club yang berisikan para penikmat seni atau para
seniman.
Di usianya yang tak lagi
muda, Florence masih aktif tampil di berbagai pertunjukan opera meski hanya
mendapatkan peran kecil. Suatu hari ia menghadiri undangan sahabatnya Arturo
Toscanini (John Kavanagh) seorang musisi terkenal yang ingin mempromosikan anak
didiknya.
Entah kesambet apa si
Florence ini, di perjalanan pulang ia merasa terinspirasi oleh anak
didik Toscanini yang tadi menyanyi. Tanpa ba-bi-bu Florence lantas meminta
suaminya yaitu St. Clair Bairclays (Hugh Grant) untuk mencari pelatih vokal,
permintaan yang berat sebab St. Clair sadar betul bahwa Florence memang
benar-benar tidak memiliki bakat dalam hal menyanyi 😫.
Namun demi menyenangkan
hati Florence, St. Clair kemudian meng-hire
Carlo Edwards (David Haig) sebagai pelatih vokal dan Cosme McMoon (Simon
Helberg) sebagai pianist pengiring. Scene latihan vokal inilah yang menjadi point of interest, penonton
akan disuguhi scene yang
mengaduk-aduk emosi sehingga (ujung-ujungnya) penonton akan berfikir bahwa
Florence ini rada sableng 😂😂😂
Miris memang, di satu
sisi Florence ini memiliki keinginan yang kuat dan bersemangat dalam mencapai
cita-citanya namun di sisi lain ia harus ‘mentok’
karena faktor bakat dan usia. Tapi tenang... ada St. Clair 😊. Meski
berstatus sebagai suami Florence, St. Clair ini menjalin hubungan dengan
Kathleen (Rebecca Ferguson).
Setelah merasa cukup
percaya diri untuk menyayi di depan publik Florence membuat sebuah pesta kecil
dan mengundang teman-temannya di Verdi Club. Karena apresiasi yang diadapatkan
‘cukup’ positif maka kepercayaan diri Florence terus tumbuh beriringan dengan
St. Clair yang berusaha mati-matian mewujudkan keinginannya.
Tak tanggung-tanggung,
Florence ingin mengadakan konser dengan dirinya sebagai bintang utama. St.
Clair yang memang sudah terbiasa membereskan urusan Florence harus memutar otak
mencari cara agar konser istrinya ‘berhasil’. Dan tring! (St. Clair voice: mission accomplised!) 😇
Seakan belum cukup
‘menyiksa’ St. Clair 😎, Florence lantas
membuat rekaman nyanyiannya sendiri dan mengirimkannya ke radio dan
teman-temannya. Ketika mendengarkan nyayiannya sendiri di radio, Florence
kesambet lagi #eh 😵
Then... Florence nekat menyewa Carniege Hall di New York. Untuk apa? Untuk konsernya!
Yawla bude... dan parahnya lagi, Florence membagikan tiketnya secara gratis
untuk para tentara.
Udah lah ya ...😫
Sudah bisa ditebak
bagaimana reaksi penonton saat Florence tampil menyanyi... Tak tahan dengan
cemoohan penonton, Agnes Stark (Nina Arianda) lantas memarahi sikap kurang ajar
mereka dan memintanya menghargai usaha Florence. Dunia ini berputar ya.... Padahal
di konser sebelumnya Agnes adalah satu-satunya yang menertawai Florence secara terang-terangan.
Keesokan paginya St.
Clair meminta bantuan Cosme untuk membeli semua koran di lingungan mereka
karena tidak ingin Florence bersedih, sayangnya Florence menemukan salah satu
koran yang dibuang Cosme ke tempat sampah dan membaca artikel yang ditulis
oleh John Totten (Allan Corduner) dari
jurnalis The Post yang menjulukinya sebagai ‘penyanyi terburuk’.
Meski nantinya Florence
dikenal sebagai penyanyi opera terburuk sepanjang sejarah Carniege Hall,
rekaman konsernya adalah salah satu yang paling dicari. Menarik ya... terlepas
dari tujuan orang-orang mencarinya, Florence membuktikan bahwa ia (dan nyanyiannya)
dapat diterima di masyarakat.
Di awal film kita akan
penasaran melihat tingkah polah Florence yang ‘nyeleneh’ di zamannya, apa sih
maunya si Florence ini? Sudah tua. Kaya raya. Punya suami berondong. Apa lagi
yang kurang? 😕
Namun di pertengahan film
kita akan menyadari bahwa Florence tidaklah sekonyol seperti saat latihan
vokal, ia adalah pribadi yang murah hati namun selalu dikelilingi oleh
orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan darinya. Sebenarnya bukan tanpa
alasan ya Florence nekat berlatih vokal dan menggelar konser, ia hanya ingin
melakukan sesuatu yang berarti di dalam hidupnya. Sekalipun itu syulit ...
Hubungan Florence dan St.
Clair memang agak complicated, meski
hampir selalu pulang ke rumah Kathleen, St. Clair tidak pernah melupakan tanggungjawabnya
sebagai suami kepada Florence. A different shape of love... 😍 St. Clair
selalu berada di samping Florence sampai akhir hayatnya.
Di film Florence Foster
Jenkins ini karakter yang cukup menarik perhatian adalah Cosme. Meski di awal
Cosme ogah-ogahan mengiringi
Florence, namun seiring waktu berlalu ia akhirnya menemukan keyakinan pada
Florence. Gesture dan mimiknya Cosme ini
khas banget ya 😅... centil-centil tapi sok peduli reputasi.
Florence Foster Jenkins
adalah biopic yang cukup menghibur, cocok
sebagai tontonan di waktu geje... Eh tapi kalau mau nonton jangan kaget kalau acting Meryl Streep saat menyanyi juara
banget bikin bingungnya, antara percaya dan nggak percaya “Ada ya orang yang
kaya gini...”.
*all picture taken randomly from Google