Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.

Well ... mungkin ini adalah kesekian kalinya pertanyaan itu muncul di benakku “Kenapa kita nggak (ada yang) jadi selebgram atau Youtubers?” *kaya orang-orang.

Eh. Pertanyaan sejuta umat kali ya ...

Saat  ini Selebgram dan Youtuber adalah cita-cita populer yang jadi dambaan kids zaman now, lebih didamba ketimbang jadi presiden atau dokter seperti di zaman kita dulu. ((kita)). ‘Katanya’ kita ini generasi instan yang dimanja teknologi makanya agak sulit untuk diajak susyah, selalu ingin jalan pintas, jadinya ya seperti selebgram-selebgram atau youtuber-youtuber inilah. 

Siapa sih yang nggak tergiur dengan kehidupan menyenangkan ala selebgram dan youtuber, yang kerjaannya keliatannya Cuma foto-foto, Cuma jalan-jalan atau Cuma menghadiri event tapi bisa dapet endorsement dan diundang kesana kesini dengan titel influencer. 

Selain tampang yang mau nggak mau mesti kece, background yang hype serta referensi style ala fashionista, tools pendukungnya mesti canggih. Apalah artinya semua itu kalau di-capture-nya pake kamera 2.0 MP. Ya kan?

Hidup ini keras ya ... adek-adek ...

So far, di circle teman-teman seangkatan sekolahku (TK, SD, SMP & SMA) belum ada yang jadi selebgram atau youtuber, kalau yang jadi reseller Cireng Banyur atau punya online shop mah ada *heu. Kita juga sering heran, kenapa kok diantara kita semua nggak ada yang jadi selebgram atau youtuber, minimal bibit-bibitnya lah ... nyoba-nyoba membuat tutorial hijab kek atau posting foto sebadan-badan dan nge-tag semua IG brand yang barangnya lagi dipake.

Ada sih beberapa, tapi nggak banyak dan itu pun Cuma kasih testimony. Kita ini termasuk golongan orang-orang yang jarang posting foto yang aesthetic atau sekedar bikin vlog “hai guys, kita lagi ada di ...” dengan muka sebagai centre of attention. Kita lebih suka posting foto atau video yang menurut kita adalah sumber kebahagiaan hidup, meski hanya dimengerti oleh diri sendiri dan inner circle pun sudah cukup. 

Kalau memang posting foto nge-blur pas kakinya lagi nyelup di air lebih membuat kita bahagia ketimbang foto HD pas kakinya lagi nyelup di air dengan komposisi dan tone color yang mesti di-setting dulu, kenapa mesti risau? Bahagia itu (sifatnya) receh ya, meski nilainya berbeda-beda bagi setiap orang intinya sama; sederhana. 

Kadang suka kepikiran, apakah orang-orang yang fotonya aesthetic menikmati moment yang fotonya mereka ambil? Atau mereka malah menikmati moment yang didapatkan dari foto? Eh. Tapi itu mah relatif ya, da bahagia juga relatif.

 

Bukan mau sombong ya, tapi kita mau belagu haha 

Kita sudah pernah merasakan masa-masa dimana gadget semacam digicam, camcorder dan handycam adalah tools maha penting untuk pencitraan. Apalagi kalau bukan untuk foto profile Friendster, serius loh ini, kita bahkan sampai pernah meluangkan satu hari penuh hanya untuk jalan-jalan sambil mencari spot keren untuk materi foto profile. 

((spot keren)) *antara Mesjid Agung Garut dan Toserba Asia.

Dulu kita menganggap diri kita ini paling eksis karena hampir setiap hari kerjaan kita foto-foto mulu, ngerekam-rekam mulu, nyampah-nyampah mulu, berasa rugi kayanya kalau digicam dianggurin Beruntungnya, temen-teman yang punya digicam apa camcorder apa handycam nggak pelit ngojekin, sok-sok aja asalkan di-charge dan diurus. Memory card isinya foto temen-temen semua, yang punyanya mah bagian nge-burn ke CD #thuglyfe

Nggak kebayang ya kalau di masa sekolah udah kezamanan Instagram atau Youtube, bisa-bisa hampir setiap hari bikin konsep foto dan materi vlog. Nggak ada yang mau nonton kita pentas drama di Lailah At-Tashliyah, yang ada kita malah sibuk bikin drama hidup masing-masing. Malah bisa-bisa kita bikin channel Youtube angkatan geura haha


Pagi-pagi di asrama; “Haii ... masih ngantuk nih tapi mesti sekolah, Ya Allah kuat ka tunduh kieu ...”. “Barudak ningal sapatu abi teu?”. “Eh, udah ada yang beres PR Fisika belum? Nyalin atuh ...”. “Hari ini kita makan apa sih? Enak nggak? Kalau nggak mau puasa ah ...”.

Nunggu guru datang (pelajaran kosong); “Haii barudak!!! Lagi apa?” *kemudian di zoom satu-satu. Mamih + Anis lagi serius ngerjain PR Matematika untuk contekan, Icunk lagi nyobek-nyobek kertas untuk kocokan arisan, Ringring lagi main gimbot sementara tangan yang satunya lagi ngetik sms, Marella lagi nyanyi track ke 5 album kompilasi Super Fresh dan Eneng ... Yahh ... lagi ‘tatapan kosong’.

Mau makan siang; “Haii ... Kita sekarang lagi mau makan nih di ruang makan ... Menu hari ini sama ikan goreng pleus sambel goreng kentang ... Sebentar ... Sebentar ... Kita metik cengek dulu yuks di Lab Fisika, mau nyambel”. “Ana atos teu acan?”. “Muhun Ucunk ... Sabar ya ...”.

Ngantri di kamar mandi; “Hellohh ... Haii ... Berapa bata? Tuhh kan diselak ...”

Khusus untuk hari Jum’at opening scene-nya “Dear guise ... kita sekarang lagi mau jalan-jalan nih ke Cipeujeuh ... Mau makan naskun di saung deket kebon engkol. Ikutin terus kita yha~”.


Ternyata kids zaman now lebih edyan ya ...
Lebih niat.

Effort-nya juga lebih tinggi.

Mereka yang dengan niat bangun shubuh demi sunrise di Balitsa. Mereka yang dengan niat nabung demi bisa beli branded stuff atau sekedar nongkrong di café kekinian. Mereka yang dengan niat belajar bahasa Inggris biar netizen nggak salah fokus dengan pronounciation-nya. 

Mereka yang dengan niat rajin baca beauty journal demi jadi beauty blogger yang fasih. Mereka yang dengan niat mantengin tweet-nya @goenrock demi dapet ilmu ngedit video. Mereka yang dengan niat  mikirin ‘mau bikin challenge apa bulan ini?’.

Satu-satunya hal yang membedakan kita dengan mereka adalah; tujuan. Tujuan mereka jelas, ingin membuat konten yang viral biar punya banyak followers, urusan dinyinyirin netizen mah belakangan. Kalau orang tua zaman dulu percaya ‘banyak anak banyak rezeki’, kids zaman now percaya ‘banyak followers banyak rezeki’. Meski beda zaman, keduanya adalah fakta.

Kita juga punya tujuan kok... tapi ya ngggak sejelas mereka haha Tujuan kita tak lebih dari ingin menyimpan memory sebanyak-banyaknya di salah satu fase terpenting dalam hidup. High school never end. Saat itu kita juga nggak pernah mengira hal-hal semacam foto dan video akan menjadi ‘sesuatu’ di kemudian hari, kita malah lebih percaya Icunk yang bilang ‘memory itu disimpan di dalam hati bukan di memory card’.

Mungkin untuk saat ini jawaban terdekat dari pertanyaan “Kenapa kita nggak (ada yang) jadi selebgram atau youtubers kaya orang-orang?” adalah bukan karena kita kelewat katro atau nggak ngerti evolusi fashion masa kini yha~ tapi karena kita sudah pernah melewati life phase ala selebgram dan youtuber dengan begitu baik sampai pada point kita nggak merasa perlu untuk iri atau berusaha mengimbangi jeda kekosongan eksistensi diri.

Ya. Kita pernah muda dan kita pernah bahagia. It cost than anything else.

Eh.

Berarti tua dong sekarang?
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Melihat official poster The Voices kita seakan diingatkan lagi dengan film The Pink Panther, yap, tapak kaki dan warna pink adalah signature dari The Pink Panther. Ya kan? Bagi yang sudah menonton The Pink Panther mungkin akan ‘ngeh’, sedangkan bagi yang belum menonton “nggak usah lah yha...” haha it’s a kind of not-so-recomended-movie-to-watch.

The Voices adalah film (yang sebenarnya) bergenre psycho thriller namun dikemas secara comedy, well... kalau biasanya film bergenre thriller menggunakan tone warna yang gelap dan cenderung gloomy, The Voices malah sebaliknya, menggunakan tone warna yang cerah dan bold sehingga menampilkan kesan ceria.

Tokoh utama di film The Voices adalah Jerry Hickfang (Ryan Reynolds) seorang pegawai di bagian packaging perusahaan bathtub. Kalau melihat kesehariannya di kantor Jerry ini termasuk dalam kategori normal, sikapnya yang humble dan baik hati membuatnya dikenal sebagai teman yang menyenangkan. Tapi normal di kantor belum tentu normal di rumah kan ya? *eh

Nyatanya Jerry mengidap ‘sedikit’ gangguan kejiwaan, ia sering mendengar suara-suara di kepalanya, kalau di Indonesia mungkin istilahnya adalah ‘bisikan-bisikan halus (ghaib)’ hehe Untuk mengatasi masalahnya ini Jerry meminta bantuan seorang terapis bernama Dr. Warren (Jacki Weaver), awalnya semua baik-baik saja sampai Jerry mulai mengabaikan obatnya yang berakibat pada halusinasi ngobrol dengan anjing dan kucing peliharaannya.


Topik obrolan favorit Jerry dengan anjing dan kucingnya adalah Fiona (Gemma Artenton) pegawai bagian accounting yang berasal dari Inggris, seperti lelaki pada umumnya Jerry berangan-angan ingin berduaan dengan Fiona. Padahal ya... teman Fiona yaitu Lisa (Anna Kendrick) menaruh hati kepada Jerry, namun karena Jerry lebih kepincut Fiona ketimbang Lisa maka Lisa ini sering dikacangin.

Akhirnya Jerry mendapatkan kesempatan berduaan dengan Fiona, bukan untuk dating atau hangout ya... tapi untuk dibunuh. Jerry dengan watadosnya memutilasi tubuh Fiona, satu-satunya bagian yang tersisa hanya kepalanya yang (dengan freak-nya) ia simpan di kulkas untuk teman ngobrol. Yucks!

Kabar hilangnya Fiona segera tersebar luas namun pencariannya tak jua membuahkan hasil, Lisa yang khawatir terhadap Fiona kemudian berinisiatif untuk mencarinya sendiri. Sudah bisa di duga ya... Lisa ini akhirnya bertemu dengan Fiona di dalam kulkas.

Kaget nggak tuh pas buka kulkas nemu yang beginian?

Sejak adanya mereka di rumah intensitas suara-suara yang ada di kepala Jerry mulai berkurang, mungkin lebih tepatnya sih tersalurkan dengan baik, karena mereka berdua ini sebenarnya adalah representasi dari suara-suara di kepalanya Jerry. Jerry memperlakukan mereka selayaknya teman ngobrol, Cuma sayangnya karena mereka nggak punya tubuh Jerry mesti sigap mindah-mindahin. Agak geli tapi konyol gimana ya melihat kepala Fiona dan Lisa ini, mana mereka bawel lagi hehe

Salah satu alasan kenapa Jerry membunuh Lisa adalah karena Fiona yang merengek-rengek minta teman, ternyata satu teman tidaklah cukup ya pemirsa... Setelah mendapatkan Lisa, kali ini Fiona (dan Lisa) kembali merengek-rengek minta teman baru. Suatu kebetulan memang, tanpa diduga Dr. Warren datang berkunjung ke rumah Jerry.


So... akankah Dr. Warren menjadi teman kulkasnya Fiona dan Lisa? Atau malah mati sia-sia tanpa harus dikoleksi Jerry? You should watch this movie to know how’s about Dr. Warren. Bukan Cuma tentang Dr. Warren sih, kita juga pasti ingin tahu kan bagaimana kelanjutan hidup Fiona dan Lisa, penasaran nanti Jerry mau beli showcase kaya di supermarket apa nggak atau mempertanyakan anjing dan kucing yang ada di rumah Jerry itu sebenarnya karakter nyata atau fiktif.

Film The Voices ini mungkin lebih cocok masuk ke genre dark comedy ya karena menampilkan kekejian yang cukup fun *elahh, potongan kepala manusia tidaklah semenarik begini di kehidupan nyata. Salut untuk Marjane Satrapi  dan Michael R. Perry yang membuat film psycho thriller terasa lebih fun.

Selain karena memang ceritanya yang fresh, akting Ryan Reynolds dalam membawakan karakter Jerry Hickfang si pembunuh yang innocent dan cute ini menambah point kenapa kamu harus nonton The Voices. Tidak bermaksud melebih-lebihkan tapi Ryan Reynolds ini benar-benar all out, mungkin ia terlalu charming kali ya untuk jadi seorang pembunuh, makanya kita melting duluan... yha~ *ini mah subjektif meur.


Gemma Artenton dan Anna Kendrick mendapatkan porsi sedikit untuk tampilan full body namun tetap memukau dengan kebawelannya. Awalnya KZL ya kenapa sih mesti kepala? Kan ngeri lihatnya... tapi lama kelamaan kita akan terbiasa kok melihat mereka, yang ada malah merasa geli dan konyol sendiri haha

Secara keseluruhan film The Voices ini memukau baik dari segi cerita maupun visual, at least... they give another view of murderer in fun way. Dunia Jerry Hickfung ternyata lebih menarik ketimbang dunia nyata. Eh BTW, terlalu lama sendiri juga ternyata nggak baik ya... 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebenarnya Sindu Kusuma Edupark ini out of list, nggak masuk itinerary. Sayangnya, aku dan Widy bersebrangan dalam memilih destinasi dan itinerary yang sebelumnya syudah tersusun rapi mesti dibuat ulang. Kita sepakat memilih Sindu Kusuma Edupark karena dekat dengan JCM (Jogja City Mall) posisi kita saat itu. Kalau lihat di review-nya Sindu Kusuma Edupark ini kayanya fun dan cool ya dan foto-foto Lightfest-nya sukses membuat penasaran.

Biar puas kita sengaja datang agak awal, ternyata kita jadi pengunjung pertama di hari itu haha... serasa dunia milik berdua 🫂.

Sindu Kusuma Edupark terbilang masih baru dan (sebagian) masih dalam tahap penyelesaian, memang sudah banyak petugas yang siap sedia jaga wahana tapi mungkin karena kita datang saat weekday jadinya sepi. Sebelumnya kita malah sempet cengo, dikirain lagi undermaintenance atau kita yang salah info, ternyata... emang lagi sepi aja sih *heu



Salah satu keuntungan dari sepinya Sindu Kusuma Edupark ini adalah kita nggak perlulah ngantri-ngantri atau desek-desekan kalau mau naik wahana, foto-foto pun bisa maksimal karena nggak rebutan spot. Eh tapi emang ada yang kurang kalau sepi mah, ambience keseruannya nggak dapet hehe Eh, iya nih... kalau sepi kita bisa nambah waktu sama petugasnya “Mas, sekali lagi boleh nggak?” *modus detected 😋.

Dari semua wahana yang ada di Sindu Kusuma Edupark, yang kita naiki cuma sebagian saja karena wahana tersebut diperuntukkan untuk pengunjung anak-anak. Sempat merasa agak menyesal ya karena kita belinya tiket terusan ++ seharga Rp. 100.000, tapi kalau dipikir-pikir lagi harga segitu termasuk reasonable mengingat penambahan wahana diluar tiket masuk adalah sekitar Rp. 30.000an. So... Rp. 100.000 itu flat price ya.

Selain entrance fee, tiket terusan bisa digunakan untuk;

KOMIDI PUTER
Atau Korsel ((Korsel 😁)) Meski bukan wahana utama di Sindu Kusuma Edupark dan sebenarnya lebih cocok untuk anak-anak, kita akhirnya nyerah juga naik Komidi Puter, bukan apa-apa ya... kita udah geje nungguin lampu Lightfest dinyalain. Oh iya, kalau mau naik Komidi Puter usahakan naik kuda yang bagian terluar ya yang dekat dengan pagar, karena apa? Karena kudanya bisa naik turun hehe


SEPEDA MABUR
Bukan Cuma sepedanya yang mabur ya, wahana ini juga sukses membuat jantung kita ikutan mabur karena was-was di sepanjang rute-nya. Awalnya kita pikir cuma sepedahan di atas doang mah nggak akan kenapa-napa haha ((cuma 🥲)) ternyata pas sepedahnya udah mulai lepas landas baru kerasa deg-degannya. Kita sempat mentok dan ingin balik lagi dong saking deg-degannya,  tapi ternyata NGGAK BISA !!!


FLYING FOX
Seumur-umur kita jalan-jalan ini adalah kali pertama kita naik Flying Fox, cyusss... Karena kalau naik Flying Fox saat liburan keluarga ku terlalu gengsi untuk teriak diliatin orang-orang haha *fayah Ternyata... naik Flying Fox biasa aja yha~ Deg-degannya diawal kesananya mah nggak gimana-gimana. Karena lintasan Flying Fox di Sindu Kusuma Edupark cukup panjang dan jauh, well... ehm... bisa kali pulangnya nebeng motor petugas yang bolak balik.


MOVIE 8D
Ada beberapa pilihan film yang bisa ditonton di bioskop 8D, kalau dilihat dari posternya sih ber-genre horror + comedy karena menyesuaikan dengan pengunjung anak-anak. Durasi filmnya ± 15 menit dan jeda antar filmnya adalah ± ½ jam, untuk schedule film-nya bisa tanya ke petugas yang jaga. Yang membuat kita ngeri malah bukan filmnya, tapi kenyataan kalau cuma kita berdua yang nonton.

GRASS SLIDE
Inti dari wahana ini adalah; serodotan di atas rumput sintetis dengan kemiringan ± 45◦., sebenernya asik-asik aja ya cuma pas naiknya lagi malesnya nggak ada dua haha mana mesti ngegeret-geret alas serodotannya. Padahal ya tambah 1 orang petugas lagi untuk ngangkutin alas serodotannya biar pengunjung senang J atau kalau nggak mau nambah perugas bisa pake katrol kaya flying fox.



CAKRA MANGGILINGAN
Atau bianglala. Atau kincir. Widy yang masih parno akibat Sepeda Mabur nggak mau ikut naik,with or without you ya sist ... sendiri juga asyik kok *menghibur diri. Wahana ini adalah point of interest dari Sindu Kusuma Edupark, mungkin Satu-satunya concern adalah bianglalanya terus berputar (meski lambat), jadi kalau mau naik atau turun mesti ambil ancang-ancang dulu.


ROTI PUTER
Lebih cocok untuk anak-anak, kita nggak naik karena “merasa” udah dewasa.

SEPUR KLUTHUK
Lebih cocok untuk anak-anak, kita nggak naik karena “merasa” udah dewasa.

PANGGON LUNJAK
Atau segway. Nggak bisa dipake karena petugasnya nggak ada.

SEPUR MINI
Lebih cocok untuk anak-anak, kita nggak naik karena “merasa” udah dewasa.

KOPI PUTER
Lebih cocok untuk anak-anak, kitanya naik sebentar tapinya nggak rame jadinya udahan yha~

KURSI MABUR
Nggak sempet naik karena udah keburu maghrib.

HOUSE OF TERROR
Sebenarnya cocok untuk orang dewasa, tapi kitanya nggak mau masuk karena cuma berdua.

MONTOR TUMBUR
Atau yang bahasa millennials-nya berarti; Boom Boom Car. Mungkin karena melihat kita yang nggak asyik mainnya cuma berdua, petugas yang jaga wahana berinisiatif ikutan main geura haha mayanlah ada temen ‘tubrukan’. Kita jelas excited bisa main Boom Boom Car, karena terakhir kali main adalah saat kita SD di Kings Bandung, jauh sebelum kebakaran.

WATER PARK
Lebih cocok untuk anak-anak, kita nggak nyebur karena “merasa” udah dewasa.

LIGHTFEST
Diantara semua wahana yang ada di Sindu Kusuma Edupark Lightfest ini adalah yang paling ditunggu-tunggu, apalagi kalau bukan demi foto yang instagrambable, loveable dan commentable. Banyak spot foto yang sayang kalau Cuma untuk selfié belaka, meski memiliki variasi bentuk yang sedikit namun karena ditata dengan rapi dan apik Lightfest ini cukup memuaskan dahaga kekinian kita. Yha~














Meski sepi aku pikir Sindu Kusuma Edupark ini lumayan worth to visit, mempertimbangkan bahwa sebagian besar wahana yang ada disana diperuntukkan untuk pengunjung anak-anak dan agak anyep~ untuk pengunjung dewasa seperti kita yha~ So far, kita puas kok bisa jadi pengunjung pertama hari itu haha the best part-nya adalah kita mendapatkan banyak benefits yang nggak akan bisa didapatkan kalau weekend.

SINDU KUSUMA EDUPARK

Jam operasional   : Senin-Jum’at       (15.30 WIB - 23.00 WIB)
                              Sabtu-Minggu     (09.00 WIB - 23.00 WIB)
Harga tiket          : Rp. 35.000 – Rp. 150.000
Transportasi        : Grab
Website               : http://www.kusuma-edupark.com/
Instagram            : @skedupark
 
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Hello fashion people ...

Bertahun-tahun yang lalu aku pernah menceritakan tentang online game yang sempat digandrungi cewek-cewek saat kuliah bernama Looklet, aplikasi asal Swedia ini memungkinkan user-nya untuk ngemix and match pakaian di template yang telah disediakan, mirip-miriplah dengan mainan BP-BPan (Bongkar Pasang) saat zaman SD dulu Cuma bedanya Looklet ini virtual jadi kepalanya nggak akan buntung 🤭.

Setelah website Looklet resmi undermaintenance, user Looklet lawas mulai mencari pengganti online game sejenis untuk menyalurkan minat dan bakat fashionnya. Sebenarnya saat itu sudah ada beberapa online game sejenis Looklet seperti Glamstorm yang bisa dijadikan pelampiasan namun sayang fiturnya tidak secanggih Looklet. Jadinya netyzen kesyel ...

Mungkin satu-satunya website  yang mendekati Looklet adalah Polyvore ya karena fashion itemnya real, biasanya yang main Looklet pasti main Polyvore juga. Kalau Pinterest memiliki banyak kategori gambar maka Polyvore ini mengkhususkan diri untuk beauty, fashion dan decor.

Meski intinya sama-sama membuat kolase (atau mood board) baik Polyvore dan Pinterest memiliki cara penggunaan yang berbeda. Kalau di Pinterest, kita bisa mengumpulkan gambar-gambar dengan cara nge-pin dan memasukkannya pada board. Maka di Polyvore kita bisa membuat kolase langsung tanpa terbatas pada template tampilan.

Polyvore adalah sebuah  website yang dibuat olah Idris Sadri yang (pada saat itu) masih bekerja pada Yahoo, berdasarkan pada pengalamannya ketika akan mendekor rumah yaitu ingin membuat kolase  tanpa harus mengunting majalah. Website Polyvore secara resmi diluncurkan pada 2007 dan mendapat apresiasi yang sangat baik di kalangan netizen.

Polyvore adalah salah satu social commerce website awal yang menggunakan strategi affiliate marketing dengan jumlah pengguna aktif terbanyak. Gambar-gambar (items) yang ada di Polyvore merupakan gambar fresh yang berasal dari website partner-nya (seller) Polyvore. Website Polyvore sendiri bisa diakses melalui PC atau smartphone.

Untuk membuat kolase di Polyvore kita harus memiliki akunnya terlebih dulu. Bagi yang belum punya akunnya bisa membuka website Polyvore dan sign up  via e-mail atau Facebook, kemudian tunggu confirmation e-mailnya dan aktifkan! Tapi kalau sudah punya akunnya mah bisa langsung login. It’s free!


Ada 2 tipe set (tampilan) yang bisa dibuat di Polyvore, yang pertama adalah set (regular) yaitu set yang kita buat sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan dan yang kedua adalah contest set yaitu set yang kita buat berdasarkan tema dari Polyvore. Contest di Polyvore ini berhadiah loh ... kalau menang kita bisa mendapatkan fashion items seperti pakaian, sepatu, tas atau aksesoris. Worth to try banget kan ya ...

Pada dasarnya membuat set (regular) dan contest set sama saja step by step-nya. Kalau kita ingin langsung membuat set bisa langsung klik create set button, sedangkan untuk ikutan contest kita harus klik tab contest, baru setelah muncul deskripsi contest seperti di bawah ini klik create set button. 


Kemudian kita akan diarahkan menuju working sheet, disana sudah tersedia basic tools untuk meng-edit gambar yang dipilih, seperti fungsi rotation, fungsi flip flop, fungsi copy paste (clon) dan fungsi backwards-afterwards. Items yang dipilih bisa dihilangkan background-nya seperti halnya format PNG atau bisa juga di trimming sesuai selera. Sedangkan untuk mengatur posisi gambar dan resize gambar dilakukan secara manual menggunakan mouse pada PC atau touchscreen pada smartphone. 

Selain itu, bedanya antara membuat set (regular) dan ikutan contest adalah adanya items yang wajib dimasukkan di kolase yang akan kita buat seperti di bawah ini. Biasanya items yang dimasukkan adalah judul tema contest-nya, mungkin tujuannya untuk menandai set yang ikutan contest.
 

Kemudian kita tinggal memilih items apa yang sekiranya cocok dengan tema contest, ada 3 kategori yang bisa ‘dibedah’ isinya yaitu woman, man dan home. Kalau kita nggak nemu-nemu gambar yang cocok banget atau sudah punya items yang dikecengin bisa langsung ketik keyword-nya di tab search, tapi kalau memang masih belum puas dengan hasil pencarian kita bisa memfiltrasi gambar berdasarkan warnanya. Then, untuk memasukkan gambar ke working sheet klik saja add to set button. 

FYI, semua items yang ada di Polyvore ini bisa kita beli ya ... ketika kita klik gambar yang tertera di pop up product description maka kita akan diarahkan langsung ke laman order. Tapi kalau mau langsung order tanpa membuat set atau ikutan contest juga bisa kok, kita tinggal klik tab shop yang tertera di bagian atas. Oh iya, kita juga nggak usah pusing-pusing lah ya mikirin rate convertion karena harga yang dicantumkan adalah IDR (berbeda-beda tergantung negara asal pemilik akun).


Setelah selesai membuat set atau mengikuti contest kita bisa langsung mem-publish-nya namun sebelumnya kita harus mengisi dulu set description seperti di bawah ini. Tidak ada keharusan untuk menamai dan mendeskripsikan set menggunakan Bahasa Inggris, bisa juga menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Bahasa Inggris lebih banyak digunakan karena merupakan bahasa persatuan internasional dan mempermudah mencari set *siapa tahu ada yang iseng nyari

 
Kalau kita adalah umat Pinterest yang ingin set yang sudah dibuat di-publish (dan di-pin di board), kita bisa mengkoneksikan akun Polyvore dengan akun Pinterest milikmu. Namun ada sedikit perbedaan mengenai hasil publish-annya, jika di Polyvore set yang di-publish berbentuk gambar kotak 1X1, maka lain lagi dengan set yang di-publish via Pinterest. Ukurannya akan lebih panjang karena selain memuat set, gambar tersebut memuat gambar thumbnail-nya yang dipecah-pecah per-items-nya seperti di bawah ini.


Selain Pinterest ada beberapa akun social media yang bisa dikoneksikan dengan akun Polyvore (seperti yang tertera di bawah ini). Tapi ingat ya ... setiap platform memiliki hasil publish-an yang berbeda-beda. Aku pernah mencobanya pada akun Blogger namun gagal ehehe Eym ... rasa-rasanya kurang cocok weh di-publish di Blogger, karena hasil publish-annya rada apeu-apeu gimana gitu yha~. Mungkin akun Facebook lebih cocok untuk dikoneksikan dengan akun Polyvore karena langsung masuk ke album tanpa ada deskripsi produknya. Eh tapi ini terserah sih yahh ... 
 

Set yang sudah di-publish akan terlihat seperti akun di bawah ini (^.^)  Gimana? Gimana?


Kalau kalian adalah fashion enthusiast atau memiliki (online) fashion shop, set yang dibuat di Polyvore sangatlah membantu terutama untuk membuat mood board atau sekedar membuat teaser picture untuk next collection. Oh iya, kita juga bisa bergabung di group Indonesia atau group lainnya, kelebihan bergabung di group adalah fitur multi publish, jadi set yang di-publish bakal otomatis ter-publish juga di laman group. Selain itu kita bisa berinteraksi dengan member di group, sangat memudahkan untuk mencari teman yang satu frekuensi, then, jangan lupa untuk membalas love dan comment ya 😉.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ▼  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ▼  Oct (7)
      • Behind The Keyboard
      • Oseng Mercon & Labirin Kauman
      • Mirota (Hamzah Batik) X Raminten
      • Polyvore
      • Saat Serasa Dunia Hanya Milik Berdua di Sindu Kusu...
      • The Voices (2015)
      • Kenapa Kita Nggak Jadi Selebgram Atau Youtuber?
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ►  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ►  Apr (1)

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates