Mari kita flashback sejenak ke masa dimana FTV adalah sebutan bagi film-film
berkualitas sekali tamat (non serial) yang ditayangkan di televisi.
Pada awalnya FTV (film televisi) adalah
wadah bagi para sineas muda berbakat yang ingin menunjukkan eksistensinya di
dunia perfilman. Banyak nama besar lahir dari FTV. Banyak film berkualitas
untuk ditonton. SCTV bahkan pernah meraih penghargaan karena FTV sebagai
program terbaik.
Dulu FTV adalah hiburan cerdas bagi
siapapun yang ingin menonton film bagus tanpa harus pergi ke bioskop, maklum, saat itu bioskop
Indonesia sedang lesu.
Saat ini FTV adalah hanyalah pilihan
terakhir jika tidak ada lagi tontonan menarik di TV, kadang hanya berperan
sebagai backsound semata, sementara
mata tertuju pada layar laptop menonton K-Drama, selebihnya hanya berperan
sebagai penanda I was here yang
menyatakan ‘disini (masih) ada orang loh’.
Sungguh disayangkan, program sebaik FTV
mesti melempem karena mengikuti arus yang keliru.
Kalau masih ingat, dulu pernah ada FTV
dengan judul Di Balik Asrama. FTV tersebut adalah salah satu FTV horror legendaris yang meski membuat
merinding tetap ingin ditonton. Menceritakan tentang rahasia kelam di balik
sebuah asrama putri, FTV ini dibintangi oleh Syahrul Gunawan dan Sophia
Latjuba. BTW. Ambience FTV DI Balik
Asrama ini mirip dengan sinetron Beranak Dalam Kubur yang pernah ditayangkan di
RCTI oke.
FTV dengan judul Ayah yang dibintangi
oleh Dede Yusuf juga cukup menguras emosi. Menceritakan tentang drama sebuah
keluarga yang ditinggalkan oleh sosok kepala keluarga (ayah) yang memilih untuk
menikah lagi dengan wanita lain. Di penghujung usianya, ayah ingin kembali lagi
kepada keluarganya. Hal tersebut memicu konflik pertentangan diantara anak-anaknya.
Disini drama dimulai ...
Siapa yang tidak ingat dengan FTV yang
berjudul Jangan Panggil Aku Puspa? FTV yang dibintangi Dicky Chandra dan Enno
Lerian ini sangat memorable. Menceritakan
tentang pergolakan batin seorang ayah tulang lunak yang ingin memberikan
kehidupan normal bagi putri semata wayangnya. Yang namanya Puspa pasti pernah deh
diceng-cengin pake judul FTV ini ~ v(^.^)
Mungkin karena dulu FTV digarap secara
serius maka hasilnya apik, sedangkan FTV yang sekarang lebih banyak fantasinya
sehingga terkesan ngelantur ... Sorry
to say, tapi dari judulnya saja sudah bisa ditebak bagaimana alur
ceritanya. Pemilihan judul yang asal-asalan malah terkesan murah dan norak.
Yang tak mungkin ditampik adalah FTV pernah
menjadi gerbang bagi (calon) artis muda berbakat jebolan salah satu majalah
remaja yang hits pada masanya,
seperti halnya portfolio, belum sah
terjun ke dunia entertainment kalau
belum main di FTV.
Beberapa diantaranya ada yang berhasil,
seperti Jungkir Balik Dunia Sisi yang melambungkan nama Putri Titian yang
berperan sebagai Sisi. Atau Pembantu Cantik itu Pacarku yang dibintangi oleh
Kirana Larasati, yang meski proses shootingnya
dilakukan di Yogyakarta tidak lantas membuatnya menjadi murah (karena borongan)
sebab digarap secara apik.
Ketika FTV menggeser market genre ke arah remaja, ada kekecewaan berdasar yang menginginkan FTV
masih (tetap) bisa ditonton bersama keluarga, bukan Cuma remaja dan ART di
rumah. Menyesuaikan dengan market
adalah alasan basi. Rumah produksi yang membuat FTV tentu menyesuaikan dengan request stasiun TV yang menanyangkannya.
Seller menggantungkan nasib pada buyer.
Jadi apa masalahnya? Selera masyarakat
yang berubah atau selera (petinggi) stasiun TV yang mesti diupgrade? Itu memang persoalan pribadi.
Tapi please ya ... coba deh
sekali-kali dipikirin juga nasib penonton yang pindah ke stasiun TV sebelah karena
lebih butuh tontonan berkualitas ketimbang kuantitas.
FYI. Rating bisa tinggi itu karena
dijadikan backsound bukan karena
ditonton.
Melihat banyaknya film Indonesia di
bioskop, muncul sedikit pengertian. Mungkin, FTV jadi kurang greget karena
sutradara dan penulis naskahnya yang dulu membuat FTV sudah banyak yang sukses
dan memilih berkarya di film ketimbang di FTV.
Mungkin ya ...