Living On Denial
Mungkin bagi
sebagian orang tua yang anaknya masih single (and enjoying their life happily)
adalah beban jika harus mengatakan “Ya ... nanti kalau sudah waktunya pasti
menikah” kepada pemirsa sekalian yang senang menonton kehidupan orang lain.
Mereka yang bisa
bangga dan mengomentari sana sini karena anaknya menikah tepat waktu sesuai
standar sosial. Eh, tapi gimana kalau
anaknya nggak menikah tepat waktu? Pasti jawabannya “Ya ... nanti kalau sudah
waktunya pasti menikah”. (-._-)
Just a question. Orang
lain bahagia karena kita bahagia? Atau kita bahagia karena orang lain bahagia?
Pernah gak sih
kepikiran, kalau ternyata kita nggak akan pernah hidup bahagia kalau bukan
(menjalaninya) dengan orang yang diinginkan? Pernah gak? How if I’m not happy as I
should be ... why should I forced to
be happy because it’s what peoples expect from me?
I’m happy because I want to not because to.
Tapi balik
lagi sih, it’s a life decision. Memilih untuk tidak bahagia juga adalah
pilihan.
There is a doubt on everything. Termasuk dalam memilih pasangan hidup. Kaya travelling, bukan kemana
tujuannya tapi dengan siapa. Nah, untuk yang udah nikah, tahu dari mana pasangan
yang sekarang itu jodoh? Yakin beneren
jodoh?
***
“Cis, what
made you fell in love with Inez? Apa karena elo itu udah punya karier? Udah punya green card? Dan lo butuh
Inez sebagai pelengkap hidup lo,
Cis?” Berondong Sisi.
“Hhhhmmm ...”
“I think you
are on denial, Cis ... Elo ngerasa kalo elo tuh mesti move on dari seseorang
... Dari what’s her name? Retno?” Lanjut
Sisi.
“Si ... Hhhhmmm ...”
“Semua orang tahu betapa elo hancur ... Berkali-kali pula ... Oleh Retno. Dan kita semua happy melihat elo jatuh cinta lagi dengan orang lain. Menikah dengannya. Moving on. But if you’re having doubts ... Well”
“...“
“Apakah lo
sudah bener-bener move on dari masa
lalu lo?”
Good question.
“You’re not in
love, Cis ... You just like the idea
of falling in love with Inez”
“...”
“Membuat lo
mengira bahwa elo sudah move on dari masa lalu lo”
Good point.
“Apa sih diem aja
?!? Respon kek!”
Semua yang dia katakan, menohok. Aku melayangkan
pandanganku ke orang-orang di New York yang lalu lalang. Bertanya dalam hati
apakah hidup mereka sebegini complicated.
Angin meniup daun-daun yang mulai gugur, apakah angin itu bisa memberikan
jawaban pada Sisi? No.
“Hhhhmmm ... Gue
gak ngerti mesti ngomong apa, Si.
Kayaknya apa yang elo omongin itu bener semua ... I just like the
idea of falling in love ... Hhhhmmm ... With someone
else.”
Untuk perasaanku
terhadap Inez, aku memang bebal. Ini bukan kali pertama Sisi
mengingatkanku. Sambil menerawang aku memperhatikan interior tempat ini. Sudah pukul sepuluh pagi tapi orang-orang
masih saja mengantre dari tadi untuk menikmati berbagai sandwich atau cold cuts
seperti salami, turkey atau roast beef dari delicatessen yang sudah terkenal sejak tahun 1888 ini.
“Can we please
change the subject?”
“Can you please control your
destiny?”
***
We always question life, but can life question us?
Can life question you?
***
Mengapa peluk diketatkan, sedang hati tak sampai”
(Sapardi Djoko Damono)
0 comments
Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~