Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.
www.google.com
Bertahun-tahun yang lalu saya sering merasa envy setiap kali membaca blog atau social media post teman dan temannya teman yang menggunakan Bahasa Inggris.
Kenapa? Karena keren (^.^).
It’s true.
Lantas, terbersitlah keinginan yang menggebu-gebu untuk bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris,  I just wanna be like them hehe. Bukan karena ingin dianggap keren juga ya ... tapi karena saya ingin orang lain (foreigner) selain pribumi mengerti apa yang saya maksud, secara Bahasa Inggris adalah bahasa persatuan seluruh umat di dunia selain bahasa kalbu (T.T) GTL.
FYI, secara historis Inggris sudah pernah menjajah hampir separuh dunia, maka wajar saja jika bahasanya berceceran di bekas koloni-koloni jajahannya.
Setelah bekerja di offshore factory yang mengharuskan karyawannya bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris, saya menyadari bahwa yang paling dibutuhkan dalam komunikasi adalah daya tangkap dan sense yang baik. Grammar yang perfect dan pronounciation yang clear memang dibutuhkan, tapi itu tidak menjadi jaminan jika lawan bicara tidak bisa mengerti apa yang dimaksud.
Tahu kenapa?
Karena tidak semua orang memiliki grammar dan pronounciation sebaik test TOEFL.
Dalam percakapan, yang terpenting adalah mendapatkan keyword dari apa yang dibicarakan, sedangkan dalam penulisan yang dibutuhkan adalah basa-basi yang melambai-lambai ala Syahrini. Dalam hal berkirim e-mail pun bahasa yang digunakan lebih casual dan simple, yang penting bisa dimengerti oleh kedua belah pihak.
Bersyukurlah jika lawan bicara adalah orang asing selain orang Inggris, karena bukan bahasa ibu (bahasa asli) maka bisa dipastikan bahwa mereka pun memiliki keterbatasan yang sama dengan kita, dialek. Lain negara lain juga dialeknya, ada yang seperti dikulum, ada yang kenyes-kenyes,ada yang berbuntut (memakai imbuhan khas negaranya) ada juga yang memang tidak jelas sama sekali.
Terkadang, tanpa disadari kita akan menggunakan gesture tubuh seperti tangan dan mata untuk mengutarakan apa yang dimaksud. Hal tersebut dangat membantu lawan bicara memahami apa yang dimaksud. `
Banyak yang berpendapat bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa yang sulit, kebanyakan karena sewaktu sekolah dulu tidak berminat, tidak mau terjajah (zaman mana men?) atau merasa tidak percaya diri. Mungkin Bahasa Inggris terasa sulit karena mereka belum bisa menemukan cara yang tepat untuk memahaminya.
Saya pun butuh waktu untuk bisa memahami  dan menggunakan Bahasa Inggris dalam keseharian, dari mulai ikutan les Bahasa Inggris saat SD, uji nyali ikutan kompetisi telling story, sok-sokan mengisi friendster profile menggunakan Bahasa Inggris, rempong membuka kamus setiap kali ingin mengirim sms sampai akhirnya mampu menulis post di blog menggunakan Bahasa Inggris.
No pain no gain.
Nah, berikut ini adalah beberapa hal yang mempengaruhi kemampuan Bahasa Inggris based on my experience J.
1.       Lagu
Lagu adalah sarana yang tepat untuk mengekspresikan mood (perasaan) dan melatih pronounciation. Karena lagu, saya menghabiskan waktu senggang dengan menulis ulang lirik lagu dan menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia
2.       Film
Gara-gara DVD bajakan yang saya beli tidak memiliki pilihan subtittle Bahasa Indonesia, saya terpaksa harus menonton sambil memegang kamus (FYI, saat itu saya belum menginstall aplikasi Kamus 2.03 di laptop). Dengan harap-harap cemas saya mencoba untuk mencerna subtittlenya, jika ada vocabulary yang tidak dimengerti saya akan langsung mengklik pause icon lalu mencari-cari artinya di dalam kamus (FYI, saat itu translator gadget saya hilang).
Meski awalnya ribet, karena harus siap membolak balik halaman kamus tapi lama-kelamaan saya pun terbiasa dan akhirnya bisa mengerti tanpa harus mencari artinya di kamus. Selain dengan bantuan kamus diperlukan sense untuk menebak-nebak, karena ujung-ujungnya semua kalimat dalam bahasa inggris akan diterjemahkan secara bebas menurut penalaran diri kita sendiri, so ... lets be sensitive.
3.       Bacaan
Bacaan yang dimaksud bukan hanya terbatas pada buku, koran atau majalah saja, melainkan termasuk dengan artikel dan berita di internet, semua yang bisa dibaca adalah bacaaan. Apalagi sekarang banyak authors yang menyisipkan berbagai quotes dan thought menggunakan Bahasa Inggris dalam bukunya.
4.       Social media
The easiet way to waving check hehe Selain status updates, rajin-rajinlah stalking akun orang lain. Maksudnya, saya mempelajari Bahasa Inggris yang digunakan orang lain dalam status updates, bagaimana grammarnya, vocabulary, spellingnya. Benarkah? Sempurnakah? Bisa dimengertikah? Jika bisa memenuhi requirement tersebut, biasanya saya akan mengcapturenya, just in case hehe ...
Dari status updates, saya mulai bisa membedakan yang menggunakan Bahasa Inggris ala google translete dan yang memang sudah terbiasa menggunakan Bahasa Inggris.
But, be carefull dear ... social media (users) is so cruel (T.T).                                                                                 
Suatu kali saya pernah melihat teman saya mengupdate status Facebooknya menggunakan Bahasa Inggris yang ala kadarnya, katakanlah masih dalam tahap pemula. Tapi ya ... namanya juga social media ala Indonesia, ada salah seorang temannya yang (tega) comment di statusnya itu, intinya ia mengkoreksi grammar dan vocabulary yang teman saya gunakan sesuai dengan TOEFL. Hell-OOO ...
5.       Lingkungan
Untuk membuat lingkungan yang mendukung saya membiasakan diri melalui gadget (HP dan Laptop) serta social media yang dimiliki dengan merubah setting bahasanya menggunakan Bahasa Inggris. Meski terlihat remeh, hal tersebut adalah motivation factor sangat mempengaruhi karena digunakan hampir setiap hari.
6.       Menulis
Awalnya saya menulis diary dengan grammar dan vocabulary yang seadanya, kalau sekiranya mentok dan capek bolak balik kamus ujung-ujungnya dicampur dengan Bahasa Indonesia (dan Bahasa Sunda). Kemudian lama-lama menulis surat (yang bukan surat cinta) kepada si lorem ipsum yang fiktif, Entah itu hanya status Facebook atau hanya sekedar curhat di diary #eh.  

Sebenarnya ada banyak cara untuk bisa menggunakan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari, tapi yang terpenting adalah niat dan kepercayaan diri. So ... Let’s do it!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hampir satu dekade yang lalu aku berkenalan dengan Friendster, sebuah jejaring sosial menyenangkan tempat berbagi profile secara virtual. Sebagai newbie yang haus eksistensi aku mengisi Friendster profileku apa adanya sesuai dengan fakta, seperti mengisi biodata di kertas loose leaf untuk disimpan di binder teman sekelasku.
Demi Friendster profile yang ‘gue banget’ aku sempatkan untuk melihat Friendster orang lain, temannya teman, temannya teman temannya atau siapa pun yang namanya eyecatching. Aku bahkan memiliki jadwal 2 minggu sekali untuk mengcostumize template Friendster dengan theme yang ke emo-emo an atau colorful yang sebelumnya diedit dengan efek pelangi (rainbow effect) di Adobe Photoshop.
Fitur terfavorite adalah profile picture, aku menggantinya sesuai dengan current mood dan mengetik caption yang sebenarnya adalah quote dari buku. Aku juga memasukkan foto diriku dalam sebuah album khusus yang dinamai me, myself and I, nama yang standard tapi cukup stylish karena menggunakan Bahasa Inggris.
Berbalas testimoni dengan teman-teman yang sengaja kucari namanya di search box meski hanya sekedar bertanya kabar. Berlomba-lomba mencitrakan diri dengan berusaha menampakkan the best side of me, meski harus (sedikit) berdusta.

Sering aku cengar-cengir saat membaca Friendster profile teman-temanku, ia menyebutkan banyak hal keren sebagai favoritenya meski kenyataan tidak seperti itu. Ia mengisi kolom buku favorite dengan buku-buku fiksi yang sedang booming, padahal ia sendiri kurang suka membaca buku karena lebih suka membaca sms dari pacarnya. Ia mengisi kolom film favorite dengan film-film bagus yang disiarkan dari layanan TV kabel, padahal bisa menonton TV tanpa bersama-sama di ruang makan pun sudah mesti bersyukur.
Puncaknya adalah ketika temanku membuat akun palsu.
Salah seorang temanku pindah ke kota lain mengikuti orang tuanya, ia persis seperti deskripsi Aditya Mulya tentang tokoh Farah Babedan di buku Traveller’s Tale, meski tanpa mata biru yang indah. Salah seorang temanku yang lain membuat akun Friendster atas nama Ferisha (bukan nama sebenarnya), tidak ada yang salah dengan keterangan di profilenya, namun ia menggunakan foto temanku si Farah Babedan untuk profile picture dan album fotonya.
Atas nama iseng, Ferisha sukses memperoleh banyak teman Friendster dalam beberapa minggu, kebanyakan adalah laki-laki yang kecantol at first sight dengan profile picturenya. Tak butuh waktu lama bagi Ferisha untuk dihujani puja-puji yang ujung-ujungnya minta kenalan dan nomor handphone.
Ferisha tak keberatan membalas testimoni atau berkirim message dengan mereka, ia berbaik hati menjawab semua pertanyaan seperti costumer service malah ia sendiri yang memulai interaksi.
Aku pernah bertanya kepada Ferisha “kenapa sih gak pake foto asli?”, ”emang gak akan ketauan?”, “kalau dianya marah gimana?” dan sederet pertanyaan serupa lainnya. Dengan tenangnya Ferisha selalu menjawab “gue gak pede (percaya diri) Non kalau pake foto sendiri” dan “nanti kalau temen gue udah banyak fotonya gue ganti pake foto sendiri hahaha ...”.
Berkali-kali kita mengingatkan Ferisha mengenai akun Friendster bodongnya, khawatir si Farah Babedan akan marah besar ketika tahu pelaku dibalik akun palsu yang mencatut fotonya adalah temannya sendiri. Tapi ... apa mau dikata Ferisha tetap keukeuh menjalankan aksinya hingga bertahun-tahun kemudian, sampai akhirnya ia menyerah dan mempunyai akun Facebook asli.
Ternyata, tingkat percaya diri yang rendah mampu berpotensi memicu orang melakukan hal-hal tak terduga. Dan dalam kasus temanku ini adalah akun Friendster palsu.
Bertahun-tahun kemudian, aku mengetahui dari teman kuliahku yang ternyata adalah teman si Farah Babedan semasa SMA. Katanya ia (si Farah Babedan) sudah tahu ada akun palsu yang mencatut fotonya, ia sebenarnya kesal tapi ya mau gimana lagi, ia juga tidak tahu siapa pelakunya. Kalau saja ia tahu ... Ahh ... Ferisha bikin malu aja deh ... (U.U)
Mungkin sebenarnya Ferisha berbakat jadi admin fanpage.

Bersamaan dengan Friendster aku juga berkenalan dengan MIRC, yang sering nongkrong di warnet pasti tahu apa itu MIRC. MIRC adalah aplikasi penyelia layanan chatting seperti Yahoo Messenger (YM) yang katanya RIP pada awal Agustus kemarin.
YM membutuhkan akun Yahoo untuk membuat ID YM, user bisa mengadd (menambahkan) teman sesama YM user dan memerlukan persetujuan untuk chatting dengan user diluar lingkar pertemanannya, sedangkan MIRC tidak.
MIRC tidak butuh akun apapun untuk bisa chatting karenanya IDnya bersifat temporary (sementara), hanya bisa digunakan pada saat itu saja. Chattingnya pun lebih mengasyikkan, aku bisa memilih kota atau areanya kemudian memilih ID yang sedang online. Cocoklah untuk curcol mah. ASL* please ... :P
Visualisasi chatting via MIRC bisa dilihat di film 5 cm yang diadaptasi dari buku berjudul 5 cm karya Donny Dhirgantoro, scene ketika Zafran a.k.a Juple dan Rianti sedang curhat random via chatting di komputer. Atau buku Supernova : Petir karya Dewi ‘Dee’ Lestari ketika Elektra betah di warnetnya Betsye di daerah Dipati Ukur. MIRC juga disebutkan dalam buku-buku yang terbit sekitar tahun 2008 ke bawah.
Tapi sepertinya, MIRC lebih cocok untuk ajang mencari jodoh hehe ... Salah satu kakak kelasku dinikahi pria yang dikenalnya via MIRC. Subhanalove ...
Kalau MIRC udah jelas modus (modal dusta), dari pemilihan user IDnya saja jelas-jelas mengarang bebas semacam @photographer_biru, @menanti_matahari_terbit atau @cewek_mellow_kesepian_butuh_teman_curhat. Herannya ... semakin nyeleneh dan aL4y user IDnya, semakin banyak yang ngajakin chatting, sama-sama butuh teman curhat kali ...
Awal-awal menggunakan MIRC aku sering ditinggalkan oleh teman chattingku tanpa sebab yang jelas, baru setelah tanya temanku yang MIRC addict aku mengerti. Ternyata aku ini gak asyik dan gaptek karena selalu menjawab Garut setiap kali mereka chat “ASL* please ...” hahaha ...
Aku kira “ASL please ...” adalah menanyakan tempat asal, disingkat ASL seperti bahasa SMS “udh?” yang artinya “udah?”. (*Age Sex Location, standard perkenalan di MIRC)
Friendster dan MIRC adalah satu paket reguler dalam dunia virtual, setidaknya dalam masa awal pertumbuhan internet dan bisnis warnet lemot yang menjanjikan. Sedikit kesegaran ketika menanti laman Friendster theme yang loadingnya kebangetan.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Masih dalam masa hiatus, 1 tahun lebih pasca mama terkena stroke.
Untuk mengisi jeda libur berkepanjangan, aku mengikuti pelatihan editing video / penyuntingan video yang diadakan oleh LKP Primacom, salah satu LKP milik teman orang tuaku. Pelatihan editing video adalah officially name dari kegiatan A to Z how to creating a video like a pro.
Karena tujuannya untuk mengentaskan pengangguran dan meningkatkan SDM, maka setelah mengikuti pelatihan tersebut diharapkan agar alumninya bisa berwirausaha, seperti membuka jasa videography atau membuat advertisement produk UMKM.
But as a millenial generations yang dimanjakan teknologi, aku tidak berfikir demikian. Ada banyak kesempatan dan jenjang karir yang bisa dicapai selain menjadi wedding videographer atau local production house.
You can be a vlogger beybeh! Like @awkarin, uppss ...
Vlog atau video blogging yang sedang trend saat ini adalah kegiatan dokumentasi gambar bergerak (video), sedangkan vlogger adalah sebutan bagi orang yang mengupload video (tersebut) di internet, seperti blogger bagi orang yang memposting di blog.
Vlog merupakan salah satu media alternatif untuk mengekspresikan diri, selain menulis tentunya, yang lebih duluan booming dengan blognya. Kalau menulis lebih pada menuangkan ide, gagasan atau cerita dalam bentuk tulisan, dengan gambar sebagai illustrasi pelengkap. Maka vlog agak lebih kompleks, karena esensinya harus bisa digambarkan secara nyata dan penonton harus mampu catch ‘em all. :p
Demi menyongsong masa depan cerah sebagai vlogger haha
It’s quite fun, I met peoples by any background ... kebanyakan dari teman (baru) ku merupakan fresh graduate yang sedang menunggu ijazah SMA keluar, beberapa diantaranya adalah mahasiswa/i yang sedang libur semesteran sedangkan sisanya adalah jobseeker yang sedang mencari jati diri.
Ada hidden fortune dibalik pertemananku dengan mereka, entah karena apa tapi mereka mengira aku adalah mahasiswi berusia sekitar ± 21-23 tahunan. OK, tidak semua sih, ada beberapa yang telah aku beri tahu ketika berkenalan, but somehow ... those awkward status berhasil membuatku berbaur dengan mereka.
Yes! Mission accomplished! Stay young ...
Pelatihan editing video dimulai sejak bulan Ramadhan sampai sebulan setelah Iedul Fitri, teori dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang (kebayang banget kan ngantuknya ...) dan praktek dari jam 1 siang sampai ngabuburit.
Setelah Iedul Fitri, materi semakin padat karena keterbatasan alat dan pemecahan kelompok yang banyak. Tadinya aku berniat untuk menggunakan handycam pribadi untuk mempersingkat waktu, tapi setelah dicek handycamku bermasalah karena terlalu lama tidak digunakan.
Selain itu, setelah Iedul Fitri kita jadi punya kebiasaan baru, yaitu jajan-jajan gak ngenyangin ala anak sekolah haha Ada Batagor, Baso Tahu, Baso reguler, Cuanki, Cakue, Cilok (aci dicolok), Cimol (aci digemol), Cilung (aci digulung), Lumpia Basah, Seblak, Mie Setan, Pempek KW sejuta, Tahu Bulat dan teman-teman dari MSG club yang datang silih berganti.
Kalau haus ada es doger, ice juice, es teh no name yang pake es batu dan cupnya yang disegel secara live. Tapi kalau ingin yang lebih natural ada minuman berembun di display casenya AA counter yang jadi konsultan paket internet hemat.
Nom ... nom ... nom ...
Saat kecil dulu, ayah pernah bilang pekerjaan yang cocok untukku adalah kritikus, kritikus apa saja, mau kritikus makanan kek, kritikus film kek, kritikus buku kek, kritikus olahraga kek, kritikus politik kek atau kritikus apalah, yang jelas jadi kritikus.
Pasalnya, aku selalu mengkritik setiap hal, dari urusan bentuk rumah yang gak enakeun, fried chicken yang gak sesuai dengan gambar di display, baju yang designnya kurang ‘gue banget’, susunan kotak sereal di rak minimarket yang gak rapi, iklan-iklan di TV and lain sebagainya. I critizied so many things ... karena bagiku hal tersebut sangat mengganggu.
Saat ini sifat semacam itu dianggap kritis, tapi tidak dengan dulu. Mama beranggapan mengkritik adalah annoying habit yang harus dihilangkan, ia khawatir aku akan menjadi seorang pencela ketika besar nanti. Seiring waktu aku mempelajari bahwa mengkritik adalah salah satu cara mengungkapkan analisis.
Salah satu hal yang kusukai adalah menonton, baik itu menonton film, menonton serial, menonton dokumenter, menonton teater, menonton berita, menonton iklan, menonton MV atau menonton kehidupan orang lain #eh.
Aku selalu mempunyai unek-unek ketika selesai menonton. Bisa jadi karena acting pemainnya yang kurang menjiwai, alur cerita yang sulit difahami, pengambilan gambar yang kurang enak dilihat, jumping scene yang berantakan, editing tambalan yang ngeselin, dubbing yang gak sesuai, text yang hilang di tengah-tengah scene, figuran yang sadar kamera, setting yang kurang real, cover yang nggak nyambung dengan cerita sampai bayangan kameramen yang kelihatan di aspal.
I’m a details watcher ...
Kita semua beruntung mendapatkan mentor yang expert di bidangnya, ia bersedia mengajar semua yang diketahuinya dan mengejar hingga ke detail terakhir, bahkan rela menunggui kita mengedit sampai malam. Selama kalian punya keinginan, kenapa tidak?
Sebagai permulaan, kita diminta membuat video sederhana menggunakan kamera handphone, meski hasilnya pas-pasan setidaknya bisa memberikan gambaran apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Untuk membuat sebuah video dibutuhkan kru yang pengertian dan SOP yang detail, as very details as can be. Dalam setiap scene dibutuhkan minimal 3 shoot dari view yang berbeda, bisa secara bertahap atau random sekalian, tergantung skenario.
But the most important thing is the concept, apalah artinya materi yang banyak dan editing yang canggih kalau konsepnya sendiri gak jelas. Butuh kreativitas dan kerja keras pada tahap ini, karena dalam satu tim ada banyak kepala yang memiliki ide subjektif. Bukan hal yang mudah juga untuk bisa membuat sebuah konsep tanpa meninggalkan rasa ketidakpuasan dan rasa ‘gak enak’.
Nah, proses editing video adalah proses yang sangat panjang, ada banyak detail yang harus diperhatikan dan dibenahi sehingga membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Yang dibutuhkan untuk editing video adalah  software Adobe Premiere dan komputer yang memadai, bisa juga menggunakan notebook atau netbook, tapi kadang error karena membutuhkan memory space yang besar.
Karena netbook yang ngeblank sewaktu ngerender adalah ujian terbesar bagi seorang videographer.
Kekurangan video akan terlihat saat proses editing, entah itu materinya yang kurang banyak, pengambilan gambar yang kurang pas, gambarnya ngeblur, kameramen kelihatan di kaca atau instruksi standar (camera!, action!, cut!) yang gak sengaja keselip. Untuk menyiasatinya, kita usahakan untuk mengambil materi sebanyak-banyaknya. Proses detailing inilah yang nantinya menentukan kualitas suatu video.
Semenjak mengikuti pelatihan editing video aku memiliki kegiatan baru, yaitu menonton FTV dan sinetron stripping. Sebagai bahan referensi :D . Menurutku, FTV dan sinetron stripping adalah versi canggih dari tugas-tugas yang pernah kita buat hehe
Tak terasa hampir 3 bulan lamanya aku berkutat dengan kamera dan rendering, eh bukan Cuma aku, kita semua. Selama ini kita telah menghasilkan berbagai macam video dengan berbagai teknik, dari company profile, dubbing film impor, MV, dokumenter, interview, short movie sampai tutorial memasak.
Ternyata ... eh ternyata ... membuat video tidak sesulit yang dibayangkan, namun juga tidak mudah. Yang sulit adalah membuat konsep dan memanage waktu.
It’s the productivest 3 months of my hiatus cycle.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Bermula dari link yang pernah dishare @ikanatassa di Twitternya, yaitu sebuah artikel di www.buzzfeed.com mengenai The Urban Poor You Haven’t Noticed: Millenials Who’re Broke, Hungry But On Trend yang ditulis oleh Gayatri Jayaraman dari India. (sorry but the link is broken, but you still can search about it)

Dalam artikelnya, ia (Gayatri Jayaraman) menjabarkan betapa ia mengasihani para urban poverty yang hidup sengsara di balik gengsi, tentang bagaimana mereka (urban poverty) menjalani keseharian dengan was-was dan rasa lapar yang mendera, tentang kebutuhan sekunder dan tersier yang menjadi prioritas dibandingkan dengan kebutuhan primer, tentang life style penuh pencitraan.

Awalnya aku mengira fenomena (yang kini disebut) urban poverty hanya terjadi di Indonesia saja, atau wilayah Asia pada umumnya. Tapi setelah membaca artikel tersebut aku menyadari bahwa urban poverty adalah fenomena global yang cukup mengkhawatirkan.

Urban poverty atau yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia adalah kaum urban (masyarakat yang tinggal di perkotaan) miskin adalah sebuah fenomena nyata yang terjadi saat ini. Dimana kaum urban yang seharusnya bisa menikmati hidup adem ayem bisa menjadi miskin hanya karena gengsi.

Di Indonesia sendiri, jika tinggal di daerah Jawa Barat yang notabene masyarakatnya gemar bersosialisasi, pasti pernah mendengar kalimat “paribasa geus digawe ...” yang dalam terjemahan bebasnya bisa diartikan sebagai ”istilahnya sudah bekerja ...”.

Kalimat tersebut ditujukan untuk menyindir orang yang sudah bekerja namun masih hidup pas-pasan. Intinya sih menuntut agar orang yang disindir itu mau sedikit pamer, meski sekedar membayarkan ongkos angkot temannya atau terlihat memakai pakaian dengan model terbaru.

Ada anggapan bahwa yang bekerja pastilah (selalu) berduit. Entah itu bekerja sebagai karyawan, PNS, freelancer atau buruh sekalipun. Selalu ada tuntutan sosial dimana mereka harus menampilkan hasil jerih payahnya, semacam “ini loh, hasil kerja di anu ... “.

Bahkan tak jarang anggota keluarga juga ikut berpartisipasi. Demi menjaga gengsi gaji bulan pertama, ada orang tua yang rela mengeluarkan uang agar anaknya bisa mentraktir makan teman-temannya, sepupu-sepupunya atau bahkan keluarga besarnya. Mengatakan itu adalah hasil kerja si anak, meski kenyataannya gaji tersebut masih jauh dari kata UMR (Upah Minimum Rata-rata).

Kalau mau tahu seberapa besar efek urban poverty, lihatlah bagaimana kehidupan buruh (worker) di daerah. Smartphone terbaru, kendaraan pribadi yang masih mulus, dandanan yang stylish, tempat nongkrong yang hits dan sifat konsumtif adalah hal yang biasa. Namun di balik semua itu, ada petugas leasing dan rentenir yang menanti. Kadang-kadang ...

Ada orang tua yang curhat tentang  anaknya yang masih suka meminta uang meski sudah bekerja, ia   tak habis pikir kemana perginya gaji si anak, mempertanyakan apa bedanya sekolah dan bekerja kalau masih tetap dibiayai orang tua?

Mungkin si anak akan menjawab “on my body ...” atau “on my face ...” sambil bergaya dan menunjuk wajah. LOL

Ketika masa OJT (On Job Training), salah satu (mantan) atasanku bertanya “how many percentage of your salary that would you give to your parents?” yang aku jawab dengan “it’s depends on situation Sir”, ia bertanya lagi “so your parents is working right?” aku menjawab “yes” karena kedua orang tuaku masih bekerja, setelah mendengar jawabanku  ia berkata “off course you are”.

Ia kemudian bercerita bahwa di Korea ada peraturan tersendiri mengenai gaji untuk karyawan baru atau fresh graduated. Jika orang tua karyawan tersebut tidak bekerja (tidak menghasilkan uang) maka sepersekian persen dari gajinya akan ditransfer ke rekening orang tuanya, ia bisa mendapatkan gajinya secara full hanya jika orang tuanya bekerja.

Karena tanpa bantuan dan dukungan dari orang tua, anak tersebut tidak akan menjadi seperti ini (bekerja) dan sepersekian persen dari gaji adalah bentuk rasa terimakasih dan tanggungjawab. It’s a nice habit  ... tapi mungkin jika diterapkan di Indonesia akan menuai pro dan kontra besar-besaran, meski masih jadi wacana.

Orang tuaku pernah bertanya kenapa aku tidak menggunakan gajiku seperti anak-anak temannya, membeli pakaian baru, sepatu baru, tas baru, make up baru, pergi nongkrong dengan teman-teman, pergi jalan-jalan dengan pacar dan hal lain yang anak-anak temannya lakukan ketika sudah bekerja.

Aku tidak melakukan hal-hal yang tidak ku sukai hanya karena orang lain melakukannya. Aku lebih suka menabung serta membelanjakan sisa gajiku untuk membeli buku terbaru dan sketch tools.  Membeli pakaian baru, sepatu baru, tas baru  dan make up baru bukanlah suatu keharusan di setiap bulannya, begitu pun dengan nongkrong dan jalan-jalan. Membaca blog dan artikel di internet jauh lebih berharga daripada sosialisasi haha hihi.

Karena ikan Salmon tidak perlu mengikuti arus untuk menjadi diri sendiri.

Aku melihat temanku membeli pakaian baru, sepatu baru, tas baru dan make up baru di setiap bulannya, pada suatu hari ia mengeluh tentang betapa ‘trendy is pain’ . Ia sangat trendy, tapi dengan gaji yang pas-pasan ia hanya mampu membeli yang biasa saja, katakanlah low quality. Ia berasumsi, selama mengenakan model terbaru, orang tidak akan pernah mengetahui berapa harganya.

Kenyataannya, hampir semua  barang trendy kebanggaannya rusak setelah dipakai beberapa kali, ia harus terus menerus berbelanja setiap bulan untuk menutupi kebutuhannya. Dengan ‘sampah’ yang bertambah setiap bulannya, ia merasa telah jatuh miskin, menyadari bahwa sebenarnya ia tidak memiliki apa-apa.

Dosenku pernah berkata: jika ingin menjadi designer harus wise dan kuat iman, karena profesi tersebut adalah yang paling dekat dengan neraka. Tahu kenapa? Karena ia (designer) harus mampu untuk membangkitkan naluri terendah dalam diri manusia yaitu lust dan desire. Dan sebaik-baiknya designer adalah yang mampu mendesign produk yang memunculkan rasa ingin memiliki hanya dengan melihatnya. Seperti love at the first sight (with sins following after).   

Mungkin urban poverty muncul akibat designer atau creativepreneur yang sangat produktif.

Semacam ‘our goals is your poverty’. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
WANITA SUNDA VS WANITA JAWA

BAB 1
Pendahuluan
1.1    Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki ritme hidupnya masing-masing, meskipun berbeda-beda caranya pemenuhannya, namun secara garis besar kegiatan yang dilakukannya sama. Dimulai dari bangun pagi, mandi, sarapan, kerja, ibadah, santai, sampai kembali tidur. Dari bangun tidur itulah bisa diketahui bagaimana keadaan aktifitas yang selanjutnya jika bangunnya telat biasanya aktifitas yang selanjutnya akan berantakan karena banyak waktu yang tumpang tindih antara kebutuhan yang satu dengan kebutuhan yang lainnya.

Kebiasaan pun ikut mempengaruhi aktifitas lainnya, baik itu kebiasaan yang memang sudah ditanamkan sejak lahir, atau kebiasaan yang memang tercipta dari aktifitas yang dilakukannya. Ada beberapa wacana yang tak terdokumentasikan, hanya beredar antar bibir saja,bahwa kebiasaan dari suku bangsa/etnis lah yang mempengaruhi pola kerja seseorang. 


Menurut wacana tersebut wanita yang beretnis Sunda lebih mendahulukan penampilannya daripada pekerjaan rumahnya makanya meskipun cantik namun rumahnya berantakan, sedangkan wanita yang beretnis Jawa lebih mendahulukan pekerjaan rumanya daripada penampilannya makanya kebanyakan wanita beretnis Jawa berpenampilan lebih sederhana dibandingkan dengan wanita beretnis Sunda.
Maka daripada itulah, penulis ingin mengangkat peristiwa itu sebagai tema dari tugas yang berjudul “Wanita Sunda VS Wanita Jawa”.

1.2    Identifikasi Masalah
Menilik keadaan yang seperti itu, penulis ingin menekankan pembahasan di dalam makalah ini terhadap:
1.       Kebiasaan wanita Sunda dan wanita Jawa
2.       Perbedaan prioritas bagi wanita Sunda dan wanita Jawa

1.3    Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1           Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam makalah adalah semua hal yang mencangkup ruang lingkup kebiasaan dan prioritas.
1.3.2           Perumusan Masalah
Perumusan masalah di dalam makalah ini adalah “Adakah Pengaruh Prioritas pada Kebiasaan  Wanita Sunda dan Wanita Jawa”.

1.4    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pihak yang terkait (wanita Sunda dan wanita Jawa) bisa saling memaklumi dan menghargai kebiasaan masing-masing etnis.

1.5    Metode penelitian
Metode penelitian yang dilakukan ialah dengan cara survei langsung ke lapangan dan mencari tahu tentang kebiasaan masing-masing etnis.

1.6    Pelaksanaan penelitian
Penelitian ini dilakukan di sebuah asrama putri berisikan 22 orang, yang terdiri dari: 15 0rang wanita beretnis Sunda, 5 orang wanita beretnis Jawa dan 2 orang lainnya (Aceh dan Padang)

Penelitian  1
Penelitian tentang kegiatan yang dilakukan mereka (wanita Sunda dan wanita Jawa) setelah sholat shubuh / bangun tidur?
Berdasarkan pengamatan penulis:
Wanita Sunda cenderung lebih memilih untuk tidur lagi daripada melakukan aktifitas lainnya (contoh: membereskan asrama, olahraga pagi)
Sedangkan, wanita Jawa cenderung lebih memilih untuk melakukan kewajiban akan kebutuhan mereka masing-masing (contoh: mencuci baju, membersihkan asrama)

Penelitian 2
Penelitian tentang mana yang lebih didahulukan? Mandi atau membereskan tempat tidur?
Berdasarkan pengamatan penulis:
Wanita Sunda setelah bangun biasanya lebih tertarik untuk mandi daripada membereskan tempat tidurnya, alasannya agar tidak ada kewajiban yang mesti dipenuhi lagi.
Sedangkan, wanita Jawa tentu saja lebih tertarik untuk membereskan tempat tidurnya terlebih dahulu sebelum mandi, alasannya agar bisa mengerjakan pekerjaan lainnya jika sudah selesai mandi.

Penelitian 3
Penelitian tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bersolek di depan kaca?
Berdasarkan pengamatan penulis:
Wanita Sunda membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk bersolek di depan kaca.
Sedangkan, wanita Jawa membutuhkan waktu lebih sedikit untuk bersolek di depan kaca.

1.7    Kesimpulan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, penulis mengamati bahwa memang benar adanya perbedaan prioritas antara wanita Sunda dan wanita Jawa.

Jangan dianggap terlalu serius ya... ini tugas Bahasa Indonesia mengenai penulisan makalah.
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Pasti kamu pernah lihat gambar semacam ini ...

Kalau kamu sering mencari tips-tips atau tutorial di situs www.pinterest.com tentu sudah tidak asing dengan infographic semacam itu. Ya, infographic. Infographic adalah informasi yang dirangkum dalam bentuk digital, tujuannya agar menarik untuk dibaca.

Seperti halnya membaca, kebanyakan orang lebih suka membaca komik daripada novel karena lebih mudah dicerna. Komik menyajikan visualisasi dan teks sebagai pelengkap sedangkan novel menyajikan teks tanpa visualisasi, jadinya kamu akan mudah bosan. Selain itu karena otak manusia lebih mudah mencerna ketika melihat visualisasi.

Mungkin ada diantara kamu yang juga ingin membagikan tips-tips dan tutorial kepada teman, tapi masih bingung gimana caranya atau gimana membuatnya karena merasa memiliki keterbatasan skill dalam bidang graphic design.

Kamu bisa kunjungi situs www.pictochart.com, situs tersebut menyediakan berbagai macam template gratis untuk membuat infographic. Kamu bisa mengedit lay out, font dan warnanya sesuai dengan yang kamu inginkan. Bahkan bisa juga menambahkan foto yang akan mendukung infographic kamu.

Tapi ingat ya ... sebelumnya kamu membuat list dari tips-tips yang akan kamu buat infographicnya. Karena ... kamu akan lupa waktu ketika mengedit templatenya hehe Serius deh, apalagi kalau kamu suka mengoprek, pasti betah berlama-lama.

Selain bisa mengasah skill dalam bidang graphic design, membuat infographic juga mengasah kemampuan dalam bidang kepenulisan. Sayangnya, saat ini www.pictochart.com hanya bisa diakses dengan koneksi internet sehingga kamu tidak bisa mengeditnya secara offline. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ▼  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ▼  Aug (7)
      • Pictochart
      • WANITA SUNDA VS WANITA JAWA
      • Urban Poverty dan Creativepreuner Goals
      • Videographer Wanna Be Life Be Like
      • Jumalia's Quote
      • A (Fake) Virtual Life 1
      • Melatih Skill BerBahasa Inggris
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ►  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ►  Apr (1)

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates