A (Fake) Virtual Life 1
Hampir
satu dekade yang lalu aku berkenalan dengan Friendster, sebuah jejaring sosial
menyenangkan tempat berbagi profile
secara virtual. Sebagai newbie yang haus eksistensi aku mengisi Friendster
profileku apa adanya sesuai dengan
fakta, seperti mengisi biodata di kertas loose
leaf untuk disimpan di binder teman sekelasku.
Demi Friendster profile yang ‘gue banget’ aku sempatkan
untuk melihat Friendster orang lain, temannya teman, temannya teman temannya
atau siapa pun yang namanya eyecatching.
Aku bahkan memiliki jadwal 2 minggu sekali untuk mengcostumize template Friendster dengan theme yang ke emo-emo an atau colorful
yang sebelumnya diedit dengan efek
pelangi (rainbow effect) di Adobe
Photoshop.
Fitur
terfavorite adalah profile picture, aku menggantinya sesuai dengan current mood dan mengetik caption
yang sebenarnya adalah quote dari
buku. Aku juga memasukkan foto diriku dalam sebuah album khusus yang dinamai me, myself and I, nama yang standard tapi cukup stylish karena menggunakan Bahasa Inggris.
Berbalas
testimoni dengan teman-teman yang sengaja kucari namanya di search box meski hanya sekedar bertanya
kabar. Berlomba-lomba mencitrakan diri dengan berusaha menampakkan the best
side of me, meski harus (sedikit) berdusta.
Sering aku cengar-cengir saat membaca Friendster profile teman-temanku, ia menyebutkan banyak hal keren sebagai favoritenya meski kenyataan tidak seperti itu. Ia mengisi kolom buku favorite dengan buku-buku fiksi yang sedang booming, padahal ia sendiri kurang suka membaca buku karena lebih suka membaca sms dari pacarnya. Ia mengisi kolom film favorite dengan film-film bagus yang disiarkan dari layanan TV kabel, padahal bisa menonton TV tanpa bersama-sama di ruang makan pun sudah mesti bersyukur.
Puncaknya
adalah ketika temanku membuat akun palsu.
Salah
seorang temanku pindah ke kota lain mengikuti orang tuanya, ia persis seperti
deskripsi Aditya Mulya tentang tokoh Farah Babedan di buku Traveller’s Tale,
meski tanpa mata biru yang indah. Salah seorang temanku yang lain membuat akun
Friendster atas nama Ferisha (bukan nama sebenarnya), tidak ada yang salah
dengan keterangan di profilenya,
namun ia menggunakan foto temanku si Farah Babedan untuk profile picture dan album
fotonya.
Atas
nama iseng, Ferisha sukses memperoleh banyak teman Friendster dalam beberapa
minggu, kebanyakan adalah laki-laki yang kecantol at first sight dengan profile
picturenya. Tak butuh waktu lama bagi Ferisha untuk dihujani puja-puji yang
ujung-ujungnya minta kenalan dan nomor handphone.
Ferisha
tak keberatan membalas testimoni atau berkirim message dengan mereka, ia berbaik hati menjawab semua pertanyaan
seperti costumer service malah ia
sendiri yang memulai interaksi.
Aku
pernah bertanya kepada Ferisha “kenapa sih
gak pake foto asli?”, ”emang gak
akan ketauan?”, “kalau dianya marah gimana?” dan sederet pertanyaan serupa
lainnya. Dengan tenangnya Ferisha selalu menjawab “gue gak pede (percaya diri) Non kalau pake foto sendiri” dan “nanti kalau temen gue udah banyak fotonya gue
ganti pake foto sendiri hahaha ...”.
Berkali-kali
kita mengingatkan Ferisha mengenai akun Friendster bodongnya, khawatir si Farah Babedan akan marah besar ketika tahu
pelaku dibalik akun palsu yang mencatut fotonya adalah temannya sendiri. Tapi
... apa mau dikata Ferisha tetap keukeuh
menjalankan aksinya hingga bertahun-tahun kemudian, sampai akhirnya ia menyerah
dan mempunyai akun Facebook asli.
Ternyata,
tingkat percaya diri yang rendah mampu berpotensi memicu orang melakukan
hal-hal tak terduga. Dan dalam kasus temanku ini adalah akun Friendster palsu.
Bertahun-tahun
kemudian, aku mengetahui dari teman kuliahku yang ternyata adalah teman si
Farah Babedan semasa SMA. Katanya ia (si Farah Babedan) sudah tahu ada akun
palsu yang mencatut fotonya, ia sebenarnya kesal tapi ya mau gimana lagi, ia juga tidak tahu siapa
pelakunya. Kalau saja ia tahu ... Ahh ... Ferisha bikin malu aja deh ...
(U.U)
Mungkin
sebenarnya Ferisha berbakat jadi admin
fanpage.
Bersamaan
dengan Friendster aku juga berkenalan dengan MIRC, yang sering nongkrong di
warnet pasti tahu apa itu MIRC. MIRC adalah aplikasi penyelia layanan chatting seperti Yahoo Messenger (YM) yang
katanya RIP pada awal Agustus kemarin.
YM
membutuhkan akun Yahoo untuk membuat ID YM, user
bisa mengadd (menambahkan) teman
sesama YM user dan memerlukan
persetujuan untuk chatting dengan user diluar lingkar pertemanannya,
sedangkan MIRC tidak.
MIRC
tidak butuh akun apapun untuk bisa chatting
karenanya IDnya bersifat temporary
(sementara), hanya bisa digunakan pada saat itu saja. Chattingnya pun lebih mengasyikkan, aku bisa memilih kota atau
areanya kemudian memilih ID yang sedang online.
Cocoklah untuk curcol mah. ASL* please ... :P
Visualisasi
chatting via MIRC bisa dilihat di
film 5 cm yang diadaptasi dari buku berjudul 5 cm karya Donny Dhirgantoro, scene ketika Zafran a.k.a Juple dan
Rianti sedang curhat random via chatting di komputer. Atau
buku Supernova : Petir karya Dewi ‘Dee’ Lestari ketika Elektra betah di
warnetnya Betsye di daerah Dipati Ukur. MIRC juga disebutkan dalam buku-buku
yang terbit sekitar tahun 2008 ke bawah.
Tapi
sepertinya, MIRC lebih cocok untuk ajang mencari jodoh hehe ... Salah satu
kakak kelasku dinikahi pria yang dikenalnya via
MIRC. Subhanalove ...
Kalau
MIRC udah jelas modus (modal dusta),
dari pemilihan user IDnya saja
jelas-jelas mengarang bebas semacam @photographer_biru, @menanti_matahari_terbit
atau @cewek_mellow_kesepian_butuh_teman_curhat. Herannya ... semakin nyeleneh dan aL4y user IDnya, semakin banyak yang ngajakin
chatting, sama-sama butuh teman
curhat kali ...
Awal-awal
menggunakan MIRC aku sering ditinggalkan oleh teman chattingku tanpa sebab yang jelas, baru setelah tanya temanku yang
MIRC addict aku mengerti. Ternyata
aku ini gak asyik dan gaptek karena
selalu menjawab Garut setiap kali mereka chat
“ASL* please ...” hahaha ...
Aku
kira “ASL please ...” adalah
menanyakan tempat asal, disingkat ASL seperti bahasa SMS “udh?” yang artinya
“udah?”. (*Age Sex Location, standard perkenalan di MIRC)
Friendster
dan MIRC adalah satu paket reguler
dalam dunia virtual, setidaknya dalam
masa awal pertumbuhan internet dan bisnis warnet lemot yang menjanjikan. Sedikit kesegaran ketika menanti laman
Friendster theme yang loadingnya kebangetan.
0 comments
Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~