Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.


Hallo... Hallo... Hallo...

Akhirnya... aku menulis review film lagi... Pasca pandemi yang belum jelas bakal kelar apa nggak, aku lebih banyak menikmati waktuku dengan menonton drakor-drakor yang menjual mimpi babu 😘 ketimbang menonton film (sekali tamat). Apalagi kalau bukan karena masih parno menonton di bioskop, eym... merasa kurang asyik aja menonton jauhan 😁.

Film Soul ini sebenarnya sudah release sejak natal tahun lalu di Disney+ Hotstar, kalau melihat review-nya orang-orang sih bagus, yha~ apa sih yang nggak bagus dari Pixar? Heuheuheu 😅 Tadinya aku mau langsung subscribe Disney+ Hotstar, tapi dipikir-pikir mending sekalian aja nungguin Wanda Vision biar bisa binge watching.

Aku juga bimbang sih mau me-review Soul apa Wanda Vision? 🤔 Dua-duanya aku suka, at least nggak terbunuh ekspektasi macem Mulan dan Artemis Fowl (yang bukunya kubaca sejak SMP). Apeu... Paling KZL sama Mulan sih, jelas nggak ku rekomendasikan untuk ditonton 🙅🏻‍♀️. Bikin sensi!

Soul adalah film kesekian Pixar, sebelumnya ada Onward yang terlupakan gegara pandemi. bercerita tentang pengalaman seorang musisi jazz bernama Joe Gardner (Jamis Foxx) dalam menemukan life purpose. Menurutku, film Soul ini lebih cocok untuk penonton dewasa macem kita-kita ketimbang anak-anak karena bahasannya yang agak deep.


Di paruh pertama kita diperlihatkan kehidupannya Joe yang mengajar anak-anak bermusik di sekolah, well... yang namanya pekerjaan kan pasti ada sumuknya ya apalagi kalau ternyata nggak sesuai dengan hati. Saat itu Joe akhirnya diangkat menjadi pegawai tetap dan berhak menerima tunjangang, relate sekali bukan dengan kehidupan manusia dewasa? Haha 😅

Sebagaimana orang tua pada umumnya, ibunya Joe bahagia karena akhirnya Joe memiliki status pekerjaan yang lebih baik dan income yang stabil. Ibunya Joe inilah yang terus mengingatkan Joe akan kenyataan hidup, bahwa passion nggak bisa membuat kenyang.

Damn... 😌


Padahal jauh di hatinya, Joe masih ingin menjadi musisi jazz yang hidup. Nggak masalah kalau ia mesti manggung dari cafe ke cafe dan nggak menghasilkan income yang stabil, selama ia melakukan apa yang disukainya maka ia akan bahagia. Yha~ secara teori itu benar 😉✨.

Tapi... Maap maap aja ni Bang Joe... itu apartemen + maintenance bulanannya udah dibayar seumur hidup apa gimana? 😁 Kalau makan regular (pagi, siang, malam) kan masih bisa bareng dengan ibu, lha cemilan cepuluhnya piye? 😅Meski hidup bisa di-reduce dengan konsep minimalis ala-ala tapi apakah nggak ingin membeli printilan lucu macem magnet kulkas? 😌.

Menjadi dewasa itu berat yakawan...

Sampai kemudian, salah satu mantan anak didiknya Joe mengabari kalau Dorothea Williams sedang open audition untuk band-nya. Mimpi apa coba semalam? Setelah menanti sekian tahun Joe akhirnya berkesempatan menjadi musisi jazz (yang sesungguhnya) dan sepanggung dengan crush-nya.

Tentcu. It was too good to be true.

Saat selebrasi itulah, Joe tanpa sengaja terjatuh ke lubang di jalan dan membuatnya terhempas ke... katakanlah, alam barzakh versi Pixar yang dinamai Great Beyond, Joe yang tentcunya menolak mati langsung meloncat dari jembatan (yang pastinya bukan shirothol mustaqim 🥲) dan mendarat di Great Before.



Yaampun... lucu banget yaini Great Beforenya 😍, meski tone color-nya cuma pake warna biru dan ungu tapinya ngademin banget. Unchhh... gemayyy (bukan gelayyy 😌).

Oh iya, ketika berada di alam barzakh ini penggambaran karakternya langsung berubah ya, dari yang bentukannya manusia menjadi soul (jiwa/ruh). Kupikir visualisasi soul versi Pixar lebih menyerupai kacang-kacangan yang light dan fluffy. Yaiyalah... Dilempar sana sini, soul-nya masih bisa ketawa ketiwi. Lucu... 😘.


Di Great Beyond semua staff-nya bernama Jerry *masih belum nemu asbabun nuzul penamaannya 🤔. Jerry-Jerry inilah yang mengurusi semua hal di Great Before dan Great Beyond, penggambaran bentukannya terbilang absurd ya, dibilang 2D iya, dibilang 3D juga iya. Tapi kalau masih ingat, bentukannya Jerry ini pernah muncul di Inside Out saat Joy dan Bing Bong mengalami transisi dimensi di shortcut.

Karena miskom, Joe dianggap sebagai mentor yang bertugas untuk membantu new soul menemukan sparks-nya. Jadi, setiap new soul punya earth pass yang berisikan beberapa kolom sparks, kalau semua sparks-nya terisi maka new soul tersebut berhak terlahir ke dunia. Sparks disini diartikan sebagai things what made you alive, mirip-miriplah dengan konsep sparks of joy-nya Marie Kondo ✨.

Soulmate-nya Joe adalah 22 (Tina Fey) yang dikenal skeptis dan ngeselin, dari Bunda Teresa, Abraham Lincoln sampai Copernicus pernah menjadi mentor-nya namun nggak ada yang berhasil. Nah, mereka berdua memutuskan pergi ke Hall of Everything guna menemukan bakatnya si 22, tapi tentcu nggak ada yang berhasil ya...

Maka pergilah mereka menemui Moonwind untuk mengembalikan Joe ke dunia. Alih-alih kembali ke tubuhnya Joe malah masuk ke tubuh kucing terapis dan 22 malah masuk ke tubuh Joe. Bagi Joe yang sudah terbiasa dengan kehidupan di dunia, hal basic macem jalan-jalan, kemacetan atau pizza adalah hal byasa namun bagi 22 ini adalah pengamalan baru dan ia menyukainya.



Ada momen-momen dimana 22 tampak menikmati kunjungannya ke dunia, sedang Joe mulai melihat hidupnya dari perspektif yang lain. Disini aku merasa relate. Kalau kata Icunk mah; hidup ini penuh prasangka, kita menyangka hidup orang lain kaya gimana, orang lain menyangka hidup kita kaya gimana, intina mah pada silih sangka 😂.

Sesuatu akan tampak lebih menarik ketika sudah menjadi milik orang lain 🙃.

Fix.

No debat.

Baik Joe maupun 22 sama-sama menginginkan kehidupan dan ingin (kembali) menikmatinya, sparks-nya pun akhirnya berubah menjadi earth pass. Masalahnya... hanya ada satu (soul) yang bisa memilikinya dan kembali ke dunia. Jadi, siapakah diantara mereka berdua yang akan mendapatkan earth pass? 🙃.

Mungkin karena nontonnya via smartphone aku jadi kurang fokus ya, banyak scene yang kekerenannya berkurang gegara screen-nya kurang besar haha 😂.

Scene favorite-ku adalah saat Joe memainkan pianonya dan me-recall memori yang membuatnya menjadi seperti saat ini, scene yang membuatku cirambay bombay saking hangatnya 🥲 Rasanya terharu sekali... Apalagi tone color-nya Joe memang di-setting menggunakan tone color yang warm dan bold, golden hour-nya sampai di sanubari audience.


Seperti byasanya, film-film Pixar selalu memberikan after taste yang begitu mengena, setelah nonton Soul aku jadi sedikit merenung, sedikit ya... 😁 Aku merenungkan tentang apa yang terjadi sebelum kita terlahir. Asli ini bahasannya agak deep juga ya...

Berdasarkan apa yang kubaca di Quora, sebelum kita terlahir kita sudah diberitahu apa yang akan terjadi dalam hidup seperti siapa orang tua kita, teman, pasangan dan kehidupan macam apa yang akan dijalani. Makanya saat dipertemukan kembali di dunia, kita akan merasa familiar seakan-akan sudah mengenal lama. Alasan yang sama mengapa istilahnya adalah soulmate👩‍❤️‍👨.


Berdasarkan apa yang kupelajari saat di Ma’had, tujuan diciptakannya manusia adalah sebagai khilafah di muka bumi. To be honest, aku merasa menjadi khilafah bukanlah jawaban yang kuinginkan, kupikir ada hal yang lebih besar dan hebat dibalik penciptaan manusia. Namun cukuplah wallahu a’lam bisshawab sebagai penutup dari semua ketidaktahuan kita saat ini 🙏🏻.

Hal yang membuatnya runyam adalah ketika netizen mempertanyakan apakah manusia diciptakan sebagai konten? Hahanjirrr... bisa-bisanya pikiran kita sama 😂. aku juga pernah berpikiran begini karena Tuhan selalu dikaitkan sebagai pembuat skenario dan timeline. Makin-makin aja yekan... 😅.

Mungkin pernah membaca atau melihat dimana gitu... bahwa salah satu ungkapan Friedrich Nietzche yang terkenal adalah amor fati. Amor fati berasal dari kata amore yang berarti cinta dan fati yang berasal dari kata fate yang berarti takdir. Amore fate atau amor fati kemudian diterjemahkan secara bebas sebagai mencintai takdir.

Aku merasa amor fati inilah yang menjadi intisari dari film Soul, kubilang begini karena di ending film Joe mengungkapkan hal yang kurang lebih sama sebelum melangkahkan kakinya ke pintu. Scene terbaik menurutku... Meski rasanya macem kena jentik Uya Kuya pasca aibnya dijarah haha 😂.

Tentcunya, aku merekomendasikan Soul ini sebagai film Pixar yang mesti ditonton dengan khidmat.

Note: Yakin banget nih sobat overtihinking langsung deep search tentang amor fati.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hello...

Akhirnya nyampe juga ya di penghujung bulan Febuari, bulan yang katanya penuh cinta padahal cuma bujuk rayu marketing belaka 😁. Terhitung sudah 2 bulan sejak netizen beramai-ramai nge-tweet pengharapan tahun barunya, meski nyatanya sampai saat ini Twitter masihlah didominasi tweet war dan tetesan teh 🍵.

Kalau masih masih ingat atau pernah membaca post-ku saat jalan pagi di sekitaran Ujung Berung; Jalan Jalan Nyasar Sampai Fanatisme Buta, ada satu tempat yang nggak sengaja kita temukan di daerah Panghegar yakni Pojok Tilu Tilu. Sayangnya saat itu Pojok Tilu Tilu belum buka jadi kita nggak sempat mampir.

Beberapa minggu yang lalu Icunk dan teman kerjanya sempat mampir ke Pojok Tilu Tilu, menurutnya sih OK dan lebih dekat dari meeting point ketimbang ke Teduh Coffee yang masuk waiting list dari saban hari. Biar makin okcey dan memang sudah lama nggak bercengkrama, kita ngajakin Deya yang selama pandemi sibuk me time di Korea 🇰🇷.

Seperti byasa, belum afdhol rasanya kalau ke kosan Icunk tapi belum makan Pecel Lele 😁 Kalau sebelum pandemi kita makan Pecel Lele di depan Ubertos setelah nonton film, kini kita mesti puas meng-order Pecel Lele via Go-Food. 

Oh ya... FYI. Pecel Lele yang OK di Go Food dan Grab Food adalah Pecel Lele Lapang Api dan Pecel Lele Ronggolawe. Note: jangan lupa beli Kol Goreng-nya 😍.


Dari kosan Icunk kita pake ancot warna pink kemudian turun di pom bensin, nah... dari situ lanjut jalan kaki 😂 Aku lupa kalau jarak dari pom bensin ternyata agak jauh dari Pojok Tilu Tilu, kalau mau kesana kusarankan pake kendaraan pribadi atau transportasi online, kalau mau pake ojek biasa ada juga kok. Nggak usah khawatir nggak kebagian space karena parkirannya cukup lega.

Kita kesana setelah dzuhur ya jadi memang waktunya makan siang, makanya agak rame meski nggak rame-rame amat juga sih 😅. Meski letaknya di pinggir jalan, Pojok Tilu Tilu ini teduh ya karena banyak pepohonan dan konsepnya open space jadi nyess aja gitu kesannya. Cuma kadang suka kaget aja sama biji-bijian yang jatuh atau daun yang bergemerisik, kaya hujan.


Ada 2 opsi tempat duduk, yang pertama yang pake meja dan kursi, yang kedua lesehan. Tentcunya, kita pilih opsi yang pake meja dan kursi yang letaknya hampir di pojokan, biar adem hehe Oh ya, salah satu hal yang kusuka dari Pojok Tilu Tilu adalah pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh alih-alih ditebang dan dijadikan bagian dari bangunan.

Selain cafe, terdapat vintage shop yang menjual berbagai koleksi furniture jadul. Kebanyakan adalah sofa, meja, credenza dan printilan interior lainnya, kalau suka dengan vintage furniture bisa niya mampir dimari. Terdapat pula fashion shop (yang nggak tahu namanya apa wkwk 😂) yang menjual fashion sisaan ekspor.


Untuk menunya cukup beragam, mostly adalah rice bowl dengan berbagai olahan daging ayam dan daging sapi. Minuman dan side dish-nya cukup menarik apalagi kalau kita memang berniat nongkrong lama. Untuk harga makanan antara Rp 5000 – Rp 79000 sedangkan untuk minuman Rp 15000 – Rp 25000.

Kebetulan, minggu ini ada menu collaboration antara Pojok Tilu Tilu X Karniv.012. FYI ya, Pojok Tilu Tilu ini adalah bagian dari Altima Group yang menaungi Karniv.012 (di dunia nyata), Nanny’s Pavillion, Porto Bistreau (yang dulu ada di jalan Setiabudhi) atau kalau mau tahu lebih lengkap bisa dikepoin niya @narabandung.


Eh iya, kalau ke Pojok Tilu Tilu jangan lupa pakein hashtag #CafenyaBandungTimur, ciye banget kan Ujung Berung punya cafe hehe 😉 Akhirnya ya... kita punya opsi cafe beneran deket kosan Icunk yang jaraknya Cuma sekali pake ancot meski sisanya mah nyikreuh haha.

Waktu yang dibutuhkan untuk meyiapkan order-an kita nggak begitu lama ya, mungkin karena saat kita kesana ramenya B aja. Nggak tahu kalau lagi full table... 



Tenderloin Steak 49K
Pada dasarnya aku nggak begitu suka steak, tapi karena belakangan ini aku sudah bosan makan ayam-ayaman mulu jadilah aku meng-order steak. Menurutku sih enak ya karena dagingnya lembut dan saus blackpaper-nya OK, tapi (untukku) sayurannya malah agak overcook, terutama wortel dan buncisnya kalau kacang polong dan jagungnya mah pas.

Aku nggak tahu kita sebenarnya bisa memilih tingkat kematangan apa nggak, karena saat order pun nggak ditanya atau dikasih opsi sama mas-masnya. 

Crispy Chicken Steak 39K
Saat order-an datang kita nggak mengira kalau chicken steak-nya akan sebesar itu, makanya kan kelihatan di foto ada tangan Deya yang gercep fotoin. Kata Deya chicken steak-nya juga enak dan ngenyangin meski agak menyesal memilih saus mushroom karena ternyata kurang cocok. Percayalah, untuk saus pelengkap (pedas dan tomat) kita dikasihnya saus botolan ABC bukan Tabasco macem di gambar 😁.

Sirsak Mint Squash 19K



Jl. Mekar Mulya No. 33 Cipadung Kulon, Panyileukan
11.00-21.00
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Pinterest

Seminggu ke belakang Clubhouse lagi anget-angetnya dibahas, apa pun social media-nya yang dibahas Clubhouse. Sebenarnya yang begini bukanlah hal yang baru, toh kalau liat tab explore-nya Instagram banyak screenshoot dari Twitter dan Quora yang juga ikut seliweran, kalau WAG mah, macem forum di dalam forum.

Tentcunya, sebagai warga android I can’t relate haha 😂 Aku berada diantara netizen yang Cuma bisa nontonin insto-nya orang-orang yang baru aja mendengarkan percakapannya influencer dan teman sejawatnya, lengkap dengan efek typing yang bikin gemes nungguinnya haha.

Lalu aku jadi teringat lagi dengan jargon salah satu iklan rokok (tapi lupa brand-nya apa *heu 😅) saatku SMA yakni: yang tetap adalah perubahan, pernah juga jadi quote kesukaannya si Pici, diomong-omogin mulu makanya hapal yaini 😁.

Iya sih... kalau melihat beberapa tahun terakhir rasa-rasanya agak ngos-ngosan ngikutin perkembangan zaman, hampir setiap hari ada aja yang baru. Kupikir hidup kini sudah macem Twitter... ditinggal bentar eh sudah ketinggalan tetesan teh, mana cepet banget trending-nya 🥲.

Sebagai generasi 90an, kupikir kita adalah generasi yang tumbuh seiring perkembangan teknologi. 

Inget banget dulu saat SMP, flashdisk masih jadi barang hi-tech yang wow keren karena kita masih pake disket 🥲. Ada berita di TV bahwa sebuah perusahaan elektronik (lupa lagi apa brand-nya 😅) yang menghadiahi PM Jepang sebuah flaskdisk 1000 gb alias alias 1 tb yang berisikan data penting negara. 

Saat itu kupikir 1 tb itu banyak banget, nggak kebayang berapa banyak data yang bisa ditampung. Maklum ye... flashdisk pertamaku Kingston 285 kb harganya bikin monagesss 200 ribeng aja gaesss... 😭 Sekarang mah 64 gb harganya nggak nyampe segitu. Isinya cuma bisa nampung surat-surat organisasi, beberapa mp3 pilihan dan foto-foto yang sudah dikompress.

Yha~ everything has a price, apalagi teknologi baru yang masih anget.

Aku pun turut merasakan transformasi chatting, dari MIRc yang cuma bisa diakses pake kompi labkom, kemudian YM yang bisa diakses pake laptop, kemudian E-Buddy yang bisa diakses pake handphone (belum 
musim istilah smartphone) dan akhirnya kini malah puyeng sendiri dengan berbagai aplikasi chatting lintas platform 🤭.

Salah satu hal kuperhatikan adalah bahwa akan selalu ada rising star dalam setiap platform. Tahu sendirilah... siapa ya itu orangnya (haha ternyata sudah lupa) yang katanya bercita-cita ingin meng-upload 1000 foto HD ke Facebook sebelum meninggal. Padahal mah ya... tanpa perlu meng-upload sendiri pun lama-lama fotonya bisa nyampe 1000 karena spam. Who knows yekan? 🙃.

Kupikir android turut punya andil dalam keriuhan ini, belum pernah rasanya seasyik ini jadi orang 😂 Kalau sebelumnya aku cukup puas dengan Samsung Corby yang casing-nya bisa ganti-ganti, saat berpindah haluan ke android hidupku sekejap langsung berwarna haha Banyak banget aplikasi yang bisa dioprek... terutama, Camera 360 😌.

Saat itu aplikasi yang hype adalah Instagram, Path dan Twitter. Hmm... apa itu Facebook? *heu Facebook di-kiceup-in android begini langsung jadi social media platform kebanggaan orang tua. Happy banget rasanya jadi warga android, nge-tweet sudah nggak pake embel-embel Uber Tweet lagi 😜. 

FYI. Aku belum pernah pake BB (BlackBerry) jadi nggak tahu rasanya ngomong; minta pin-nya dong 😅.

Beruntungnya sebagian orang mampu menjadikan social media platform menuju arah yang lebih baik, entah itu untuk self(ish) branding, jualan atau mencari penghidupan. Dan menurutku social media platform yang mampu merubah hajat hidup orang banyak adalah Instagram, sudah nggak terhitung lagi kan berapa banyak influencer lulusan Instagram University.

Kupikir content creator sudah menjadi istilah yang bias ya, karena pada dasarnya apa pun yang dibuat dan di-share di social media adalah content. Yha~ kita adalah content creator, Cuma memang nggak self proclaim dan rajin bikin content 😉.

Saat COVID-19 outbreak, beberapa social media platform laris manis macem gorengan di bulan Ramadhan. Hampir semua akun yang lewat di timeline-ku mengunggah konten partisipasi TikTok-nya, terutama influencer dan selebtwit. Well... ini belum termasuk dengan YouTube channel dan podcast ya... Eh, iya Instagram live.

Yha~ Gini-gini juga aku faham gimana rasanya Instagram live tapi pada leave...
*bukan aku yang live 😌

Sumpeh (yang nggak sampai tumpeh-tumpeh 😉)... kadang aku pusing sendiri mau nonton Instagram live yang mana, karena waktu live-nya barengan. Kadang aku juga bingung mau mendengarkan podcast yang mana karena hampir semua kecenganku tetiba bikin podcast. 

Damn... alamat balik lagi mendengarkan mb TayTay ini mah 🙃.

Di satu sisi aku merasa overwhelm karena kita memiliki waktu yang cukup untuk mengenal diri sendiri, tapi di sisi lain aku merasa khawatir jati diri tergerus. Yha~... balik lagi, ngos-ngosan ngikutin perkembangan zaman. Apa yang kita pikir keren saat ini akan basi pada waktunya.

Aku lupa siapa yang bilang, kurang lebih begini kata-katanya; Jangan pernah menyerah menekuni suatu platform dan mendalami suatu niche, karena akan ada saatnya audience menemukan kita. Percayalah, apa pun market-nya, pada akhirnya akan selalu ada yang nyangkut 😉✨

Setiap kali gamang dengan fakta bahwa aku masih betah nge-blog dan nge-tweet ketimbang bikin channel YouTube atau podcast, aku selalu inget dengan kata-kata tersebut. Bukankah kita semua memiliki porsi masing-masing? Apa yang cocok untukku belum tentcu cocok untuk orang lain dan apa yang cocok untuk orang lain belum tentcu cocok untukku.

Aku masih belum tahu sampai kapan hype-nya Clubhouse akan berakhir, tahu sendiri laya... netizen +62 kadang suka hangat-hangat tahi ayam 🐓💩.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hallo...

Selamat weekend ya guise...

Kemarin sore aku mampir ke Gramedia niatnya mau beliin buku untuk hadiah ultah Widy, tapi ternyata mbnya nggak mau, lagi malay baca buku katanya. Jadilah aku bookshelf shopping sendiri. Dan yha~ untukku yang menarik saat ini adalah buku-buku ber-genre self development yang (sepertinya) karena tuntutan trend menyelipkan kata “seni” di judulnya.

Setelah sekian lama nggak mampir ke Gramedia, gimana ya, merasa asing aja gitu padahal dulu kita coy banget haha 😂 Sedih juga lihatnya, banyak rak-rak yang kosong dan sepi, apalagi section anak-anak.

Tadinya aku berniat membeli buku yang masuk di list-ku yakni bukunya Eka Kurniawan atau Harumi Murakami, sayangnya (atau malah beruntungnya?! 🤔) kedua buku yang kuincar nggak ada *heu... Meski kutahu bukunya Tere Liye memang jaminan mutu aku kurang tertarik untuk membelinya, begitu pun dengan bukunya Andrea Hirata.

Mungkin gegara ilustrasi cover-nya yang jor-joran aku sampai siwer saat melihat rak buku. Aslikk... Aku merasa sedang melihat Pinterest dalam dunia nyata.

Akhirnya aku menjatuhkan pillihanku pada bukunya Paulo Coelho yang berjudul The Alchemist, meski sebenarnya nggak suka pake banget dengan cover-nya yang terlalu meriah. Lha terus kenapa dibeli? Karena ingat dulu pernah menginginkannya 😁 dan yha~ mungkin inilah yang dinamakan maktub.

Aku mengenal Paulo Coelho ini sejak SMP, saat itu bukunya The Alchemist sempat booming (aslinya rilis tahun 1988). Sayangnya, buku Paulo Coelho pertamaku bukanlah The Alchemist melainkan Di Tepi Sungai Piedra Aku Menangis dan Tersedu (By the River Piedra I Sat Down and Wept, 1994). Maklum ya... saat itu aku masihlah yesterday afternoon kid sok idealis yang lebih tertarik dengan underrated thingy.

Sumpah itu buku sempet-sempetnya dicengcengin Shanty dan Pichi gegara judulnya yang agak dangdut, hemeh banget sih ... 😂 Untukku Di Tepi Sungai Piedra Aku Menangis dan Tersedu masih ketinggian level-nya karena membahas tentang proses hijrah-nya seseorang karena permasalahan hidup. Well... seperti yang sudah kubilang, aku masihlah yesterday afternoon kid... 😌.

Di Tepi Sungai Piedra Aku Menangis dan Tersedu menceritakan pergolakan batin seorang wanita bernama Pilar, yang bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Mereka kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama ke Prancis, perjalanan yang tak mudah sebab mereka dihadapkan pada konflik yang terjadi dalam hati masing-masing selama 10 tahun lamanya.

Beberapa tahun setelahnya, saat aku awal-awal kerja pasca wis... udah. Aku membeli buku Paulo Coelho keduaku, yang mana (masih) bukan The Alchemist, yakni Iblis dan Nona Prym (The Devil and Miss Prym, 2000) karena suka cover-nya haha Nah, seri cover ini yang paling kusuka, menyesal kenapa nggak beli The Alchemist sekalian 😢.

Iblis dan Miss Prym bercerita tentang Chantal Prym yang bekerja sebagai pelayan penginapan di sebuah desa terpencil, yang tentcunya sangat mendambakan kehidupan diluar sana. Suatu hari muncul orang asing yang menawarkan emas jika Prym bersedia membunuh seseorang di desa itu. Pergolakan batin Prym inilah yang memunculkan iblis dihadapannya.

Dan barulah kemarin aku membeli buku The Alchemist 🥳.

Secara garis besar The Alchemist menceritakan seorang bocah gembala bernama Santiago (yang mengingatkanku akan The Old Man and The Sea) yang memutuskan untuk berkelana dari rumahnya di Spanyol demi menemukan harta karun di piramid Mesir gegara tafsir mimpi seorang gypsy.

Dalam perjalanannya Santiago mendapati dirinya dipertemukan dengan beberapa orang yang kelak akan mengantarkannya menemukan hartanya. Dari seseorang yang mengaku Raja Salem, pemilik toko Kristal yang bermimpi pergi ke Mekah, seorang peneliti Inggris, Fatima si gadis gurun dan Sang Alkemis.

Diceritakan juga bahwa Alkemis adalah seorang yang sanggup mengubah logam menjadi emas, ia tinggal di Mesir dan jarang bisa ditemui. Kalau di film-film mah, Alkemis ini adalah tipikal karakter yang tiba-tiba muncul memberikan petunjuk dan menghilang ketika karakter utama hampir sampai di tujuan.

Alkemis ini mengingatkanku akan Nicholas Flamel dari Harry Potter ya haha 😁 Apalagi di bukunya ada kalimat yang menyingnggung tentang Jiwa Dunia, Batu Filsuf dan Ramuan Kehidupan, sungguh sangat ke-Deathly Hollow-an sekali bukan? Kalau Batu Filsuf adalah philosopher stone, maka Ramuan Kehidupan adalah invisible cloak dan Jiwa Dunia adalah ender wand. Wow... halu sekali ya aku... 🥲.

Di buku The Alchemist, salah satu kata yang sering muncul adalah maktub yang berarti; telah tertulis.


Aku mesti bilang bahwa Paulo Coelho memiliki referensi dan kedalaman pemahaman yang baik mengenai falsafah muslim mengenai takdir. Sesungguhnya harta karun terbaik dalam hidup adalah takdir itu sendiri, sedang untuk mencapainya kita mesti membaca pertanda melalui hati. Karenanya... dimana hatimu berada disitulah hartamu berada.

Selama membaca buku The Alchemist aku merasa hatiku mendadak penuh dan hangat, mengingatkanku akan quotes pencerahan hidup yang sering ku save di IG 😋.

Semua buku Paulo Coelho yang pernah kubaca memiliki garis merah yakni setting waktu yang dibiaskan, nggak ada spesifikasi tahun atau trend yang terlalu ditonjolkan. Menurutku, jika suatu saat nanti The Alchemist diadaptasikan ke film, maka haruslah menjadi milik Tarsem Singh, tapi bolehlah kalau Guillermo del Torro berminat 😁.


Dengan The Alchemist akhirnya aku merasakan lagi letupan kegembiraan membaca buku, belum pernah rasanya dalam 10 tahun terakhir aku membaca sambil duduk dengan stabilo di tangan, mewarnai baris kata-kata dan teguh membaca meski kasur dan smartphone melambai manja😌. Semoga The Alchemist adalah pertanda berakhirnya era reading slump-ku.

Menurutku, The Alchemist adalah buku yang menarik, bukan tipikal buku berat yang bisa membuat pembacanya overthinking, melainkan tipikal buku compact yang dikemas dengan cerdas dan ringan. Sudah pasti kurekomedasikan bagi jiwa-jiwa galau gundah gulana yang belum menyerah menemukan life purpose.

Lebih dari segalanya, The Alchemist berpotensi memberikan insight dan pengalaman baru dalam memaknai hidup, terutama bagi kita yang merupakan muslim. Tanpa bermaksud mengglorifikasi keyakinan pribadi, kupikir pemahaman dan research Paulo Coelho mengenai maktub dan segala yang menyertainya adalah cukup 👌🏻.

Akhirul kalam, pastikanlah kamu membaca The Alchemist at least sekali dalam seumur hidup.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hallo... 
Bertemu lagi di annual birthday post yang kesekian haha

Happy birthday to me
Happy birthday to you
Happy birthday to everyone that have birthday today

Kalau kau adalah penonton Game of Thrones pasti ingat di ending season 6, Sansa Stark mengatakan “I’m slow learner, it's true... but I learn” sebagai last words-nya untuk Lord Baelish yang misuh-misuh sebelum dieksekusi Arya Stark. Hal yang mengesankan mengingat Sansa Stark adalah karakter yang sama sekali nggak pernah terpikirkan akan survive hingga season terakhir.

Kalau ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana kesanku saat memasuki fase hidup baru, kupikir Sansa's last words ini cukup mewakili.

Selama tahun-tahun kehidupanku (haha malay banget nih nyebut umur) ada banyak hal yang sudah kulalui. Dari yang menyenangkan, menyedihkan, mengesalkan, mengkhawatirkan, mengharu biru, membahagiakan, melegakan sampai yang nggak ingin terulang lagi.

1 dekade belakangan ini *heu😅 kupikir aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk berpikir... berpikir... berpikir... mengenai esensiku sebagai manusia. Ada banyak kejadian yang membuatku merasa bahwa hal-hal luar biasa telah terjadi tanpa sebab yang pasti, yang malah membuatku semakin mempertanyakannya.

Saat aku masih kuliah dan galau tentang tujuan hidup, aku dan beberapa teman pernah menemui Teh Uwi (dosenku) untuk sekedar curhat haha Hayoolohh ngaku... pasti pernah kan berada di fase ini. Saat itu aku galau gegara merasa apa yang kulakukan saat itu berada jauh dari goals hidupku. Sungguh sebuah ke-nggak-nyambungan yang HQQ.

Let’s see...

Goals (seumur) hidupku adalah:
1. Menjadi arsitek
2. Punya perkebunan
3. Hidup bahagia selamanya abadan wadaiman
Selama OTW dari point 1 ke point 3 aku menikmati waktu (dengan) menjadi backpacker sekaligus travel blogger.

Tapi aku malah:
1. Kuliah di jurusan Desain Produk
2. Nggak punya hobby lantaran seluruh saripati kehidupan terserap tugas
3. Nggak sempat mengurusi blog lantaran patah hati dicampakkan Multiply
Lebih dari segalanya, aku nggak tahu lagi mau dibawa kemana hidupku ini.

Saat itu Teh Uwi bilang kalau kita (aku dan teman-teman) nggak harus terlalu mengkhawatirkan betapa jauhnya expectation and reality, karena pada akhirnya hidup itu sendiri yang akan mengantarkan kita pada goals yang diinginkan. Believe it or not, it happened pada orang-orang di sekitar Teh Uwi, ingin sekali rasanya hal itu terjadi padaku juga.

Hal lain yang kuingat dari teh Uwi adalah; akan ada saatnya kita mengalami fase menemukan Tuhan (lupa lagi kalimatnya gimana, tapi intinya gini) yakni di usia sekitar 20 akhir atau 30 awal. Pada fase tersebut kita pasti akan lebih concern terhadap hal-hal yang menyangkut keyakinan, macem lebih peduli halal dan haram, berusaha menjalankan sholat 5 waktu bahkan mengikuti kajian tertentu.

Later did I know, yang dimaksud saat Teh Uwi saat itu kini disebut hijrah.

Aku sendiri mengartikan hijrah sebagai improvement, dari good jadi better (dan jadi best). Good adalah saat aku menjalankan sholat 5 waktu, better adalah saat aku menjalankan sholat 5 waktu kemudian sholat sunnah, sedang best adalah saat aku menjalankan sholat 5 waktu kemudian sholat sunnah kemudian ber-dzikir setelahnya.

Hmm... kayanya mending dibahas di post terpisah ya haha (sip, ditunggu eaaa).

Dari memory tersebut aku menyadari bahwa apa yang kudapatkan saat ini mungkin nggak akan langsung berguna saat ini juga, namun akan ada saatnya digunakan.

Pelajaran yang kudapat saat di ma’had mungkin nggak terlalu berguna (dan digunakan) saat kuliah, namun nyatanya pelajaran tersebut malah relevan dengan situesyen saat ini. Pelajaran mengenai tafsir uluhiyah dan rububiyah mendadak muncul di kepalaku saat melihat akun-akun hijrah membahas tentang tauhid, begitu pun dengan dalil-dalil penggunaan uang digital yang Hot Hot Pop.

Pelajaran yang kudapat saat kuliah mungkin nggak terlalu digunakan saat bekerja, hanya sebagian aja, namun cerita-cerita dan petuah yang disisipkan di sela-sela kuliah masih membuatku overwhelmed sampai saat ini. Mungkin seharusnya aku memberikan lebih banyak effort untuk mata kuliah teori, karena nyatanya sama bergunanya dengan mata kuliah studio.

Benih yang ditanam hari ini nggak akan langsung berbuah hari ini guise...

Kecuali,

Toge haha

Udah ya, kapan-kapan post ini dilanjut.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (23)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Jun (6)
    • ►  Jul (2)
    • ▼  Aug (2)
      • Pirates of the Carribean Movies
      • Diam Itu (C)Emas

SERIES

Book Annual Post Quaranthings Screen Shopping Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Dinda Puspitasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kae Pratiwi
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Mira Afianti
  • Monster Buaya
  • N Journal
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Check This Too

  • Minimalist Baker
  • Spice The Plate

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Community

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates