Draft post ini terangkai dalam pikiranku saat berada di Yoshinoya di bulan Oktober hampir setahun yang lalu. Selama menunggu Beef Bowl-ku diantar ke meja, aku kembali memikirkan apa yang sudah ku lalui di hari itu demi bisa duduk di tempatku, masih dengan pakaian yang basah dengan hujan yang tak kunjung reda.
Aku memulai hariku seperti byasa, karena hari itu adalah hari Sabtu maka aku menunda sarapanku atas nama kesantuyan, pun dengan mandi 🤭. Menjelang tengah hari aku dikabari bahwa aku mesti meng-cover pekerjaan temanku yang sedang cuti untuk; membeli kantung plastik di Cibadak, mengantarkannya ke tukang sablon di Pagarsih dan nge-print thank you card di Angkasa Putra.
Terdengar mudah bukan? 😌
Setelah menyelesaikan pekerjaan domestik dan sarapan (yang malah makin kesiangan 😋) aku pergi ke Cibadak menuju toko plastik yang direkomendasikan oleh temanku. Sialnya, kantung plastik yang diinginkan sedang out of stock. Otentcu, aku diminta untuk mencari kantung plastik di toko lain, meski tahu bahwa di Cibadak hanya ada satu toko yang menjual kantung plastik seperti yang diinginkan.
Yha~ aku kemudian berjalan menyusuri Cibadak, kemudian menyusuri Astana Anyar, kemudian menyusuri Kebon Jati, kemudian menyusuri Otista dan kembali ke Cibadak. Sudah pasti hasilnya nihil 🙃. Aku memang terbiasa untuk berjalan kaki karena lebih mudah untuk keluar masuk toko dan yha~ hal semacam ini bukanlah hal baru untukku.
Masalahnya adalah, kantung plastik yang diinginkan adalah kantung plastik putih susu dengan handle berwarna hitam, sedang yang ada di toko adalah kantung plastik putih susu dengan handle berwarna pink. Yap. Kantung plastik yang sama (persis) dengan (warna) handle yang berbeda.
Saat itu aku hanya memiliki sub-source sebagai jembatan karena main source-nya beda server 🇺🇲🇮🇩 jadi aku mesti menunggu instruksi dan informasi dari sub-source. Yawww... hari menjelang sore dan hujan turun rintik-rintik, tapi keputusan tentang kantung plastik putih susu belum ada.
Di saat pegawai toko mulai memasukkan etalase trotoarnya, barulah aku mendapatkan informasi bahwa aku mesti membeli kantung plastik susu (dengan handle berwarna pink) sebanyak 2 pak. Nggak usahlah ditanya seberat apa karena tanganku pun sakit saat membawanya.
Aku kemudian memakai jaket water ressistant-ku yang sebenarnya nggak sekeren istilahnya LOL, berharap smartphone-ku memiliki cukup baterai karena mesti mencari alamat tukang sablon yang nggak bisa match dengan koordinat di GPS 😭. Ketimbang menunggu hal yang nggak pasti kuputuskan untuk berjalan menuju Pagarsih. Lagi-lagi. Ini bukanlah hal yang baru untukku.
Hujan yang tadi turun rintik-rintik mulai berubah semakin deras. Sambil berteduh dan mengistirahatkan tangan aku memikirkan rute terbaik menuju koordinat tukang sablon. Menurut GPS (yang akhirnya bisa kuandalkan), jarakku dengan koordinat tukang sablon tak sampai 1 km dan posisinya berada di belakang ruko tempatku berteduh.
Semakin lama hujan turun semakin deras, sungai kecil yang berada di dekat ruko tempatku berteduh mulai terisi dan debit airnya terlihat semakin meninggi. Pemilik ruko dan beberapa warlok mulai memindahkan barang-barang dan mengamankan kendaraan. Lagi-lagi. Ketimbang menunggu hal yang nggak pasti kuputuskan untuk menghampiri koordinat tukang sablon. Lebih cepat lebih baik bukan?
Saat menuju koordinat tukang sablon, air hujan (yang nantinya menjadi cai cileuncang) sudah mengaliri sisi-sisi trotoar, berebut memasuki gorong-gorong. Kupikir ini semua akan berakhir saat aku sampai di koordinat tukang sablon, karenanya aku mempercepat langkahku.
Kamu tahu?
Aku dan koordinat tukang sablon hanya terpisahkan oleh satu jembatan kecil dan aku tinggal menyebranginya. Sialnya, curah hujan yang tinggi membuat sungai kecil itu meluap, mengantarkan airnya ke sepatuku yang sudah terlanjur basah. Aku hanya bisa melongo, masih berpikir bagaimana caranya menyebrangi jembatan yang sedang huru hara tanpa mesti terseret arus.
Berkali-kali aku menguatkan niat sekaligus memikirkan konsekuensi apa yang akan kudapatkan kalau tetap nekat menyebranginya. Namun melihat hujan curah hujan yang semakin tinggi, jaket water ressistant-ku yang akhirnya merembes dan luapan air sungai yang semakin menjadi-jadi, aku memutuskan untuk ikut berteduh dengan orang-orang yang senasib denganku.
Sambil menunggu sub source-ku memberikan solusi untuk keadaanku, yang mana lamaaa... (pake banget), aku menanyakan (kepada orang-orang yang berteduh) adakah kemungkinan jalan lain menuju koordinat tukang sablon. Masih berharap bisa segera menyelesaikan pekerjaanku di penghujung hari.
Lagi-lagi. Ketimbang menunggu hal yang nggak pasti kuputuskan untuk mencari jalan lain menuju koordinat tukang sablon. Voila! Aku berhasil menemukan rute lain menuju koordinat tukang sablon via GPS dan langsung berjalan menuju kesana. Hujan masih belum reda, meski curahnya nggak setinggi sebelumnya.
Setelah berjalan cukup jauh, lagi-lagi aku dihadapkan pada jembatan kecil dengan debit air yang cukup tinggi. Saat itu belum terlihat indikasi bahwa sungai akan meluap, aku menyebranginya dengan perasaan yakin kali ini akan berhasil. Ternyata, hampir semua jalan menuju koordinat tukang sablon ditutup karena air sudah meluap.
Saat itu aku baru dikabari sub-source-ku untuk mencari tukang sablon lainnya.
Tentcunya, yang nggak terkena banjir 😌.
Hahahanjirrr... 🤣
Sialnya, sungai yang tadi kusebrangi sudah meluap menyisakan kepanikan warlok yang sibuk mengamankan barang-barang. Eteh asakan yang hiteris melihat gerobaknya hanyut, ‘Mang sotoy yang gercep bongkar tenda, ibu warung yang teriakannya heboh macem toa, hansip yang riweuh memarkirkan kendaraan di TKP dan remaja tanggung yang asyik mendokumentasikan kejadian terkini.
Baru kali itu aku merasakan bagaimana rasanya nggak jelas berada di tengah-tengah kejadian yang sepertinya akan viral. Aku hanya seseorang yang kebetulan sedang lewat, kebetulan (lagi) kesamprok banjir cileuncang, kebetulan (lagi) sedang berteduh bersama warlok. Yawla... Ingin pulang... Ingin mandi... Ingin rebahan... 😭
Hangatnya cai cileuncang menelusupi kakiku dengan airnya yang cokelat dengan topping sampah yang sesekali lewat.
Disini. Aku merasa kotor.
Sambil menunggu banjir surut, aku memikirkan tujuanku selanjutnya. Tadinya aku akan langsung menuju Angkasa Putra, namun menimbang keadaan jalanan yang masih banjir dan kesempatan mendapatkan driver ojol yang kecil. Well... kupikir aku mesti memberikan reward untuk diriku sendiri.
Beef Bowl Yoshinoya enak kali ya... 😋
And there I am... kembali menyusuri jalanan (yang akhirnya lenggang) dengan segala kesialanku di hari itu. Jaket water ressistant yang tinggal nama, pakaian yang mengering seiring waktu, sepatu yang kuyakin penuh dosa, tangan yang pegal maksimal, badan yang lelah dan yha~ perasaan yang campur aduk memikirkan apa yang sudah kulalui dan akan kulalui nanti.
Hari itu mungkin bukanlah hari terbaikku, yha~ kesamprok banjir dua kali mah mana asyik meur, namun aku menemukan banyak pelajaran, yang kupikir sayang kalau hanya kusimpan sendiri. Meski sebenarnya mah apa yang kan kubagikan bukanlah hal yang baru.
Sambil menunggu Beef Bowl-ku diantar ke meja, aku menyusun pelajaranku di hari itu. yakni...
MANUSIA BERENCANA, TUHAN MENENTUKAN
Saat sungai di jembatan pertama meluap, seharusnya aku menghentikan perjalananku, namun karena aku masih keukeuh ingin menyelesaikan pekerjaanku di hari itu aku tetap melanjutkan perjalananku dan kembali dipertemukan dengan sungai di jembatan kedua (yang juga) meluap.
Seperti yang sudah kubilang, yha~ kesamprok banjir dua kali mah mana asyik meur.
Aku baru menyadari hal itu saat berada di tengah-tengah kepanikan warlok yang sibuk mengamankan barang-barang, di satu sisi aku merasa menyesal nggak bersikap peka namun di sisi lain aku merasa puas sudah berusaha menyelesaikan pekerjaanku.
Kalau kupikirkan lagi; kok bisa ya aku sengeyel itu??? 😌
Sekeras apa pun memaksa kalau Tuhan belum menghendaki pasti ada aja halangannya... Disini aku merasa relate dengan cerita gagal nikahnya orang-orang 😁.
Kebayang nggak sih kalau aku sampai di koordinat tukang sablon lebih dulu, kemungkinan besar aku akan lebih berjibaku dengan banjir. Bahkan sekali pun aku sampai, belum tentu tukang sablon itu akan menyanggupi order-anku karena banjir yang sama kemungkinan merendam perangkat sablonnya.
Sampai sekarang aku nggak tahu bagaimana kabar tukang sablon itu, karena saat ku hubungi esoknya (dan beberapa hari setelahnya) smartphone-nya sudah nggak pernah aktif lagi.
Moral of the story kali ini... (cukup) diambil hikmahnya aja ya... 😅
Kalau aku nggak berjalan menyusuri Astana Anyar mungkin aku nggak akan pernah tahu ada Toko Roti Dji Seng yang menjual roti jadul macem Toko Roti Sidodadi. FYI. Rotinya enak yaini harganya juga murce dan yang paling penting, tokonya lowong nggak sepenuh Toko Roti Sidodadi.
Kalau aku nggak nekat meneruskan perjalananku meski hujan turun dengan derasnya, mungkin aku nggak akan pernah tahu durability jaket water resistant-ku, nggak akan pernah bisa membuktikan sendiri bahwa sepatu berwarna terang lebih mudah ladig ketimbang sepatu berwarna gelap, nggak akan pernah tahu betapa pentingnya wiper kacamata haha.
Kalau aku nggak memutuskan untuk jalan terus mencari jalan lain menuju koordinat tukang sablon, mungkin aku akan bernasib sama dengan orang-orang yang berteduh denganku. Kena banjir guise... Aku baru membaca berita banjir cileuncang Pagarsih ini sebelum tidur. Lumayan parah ternyata... 😢.
Kalau aku nggak memilih untuk memberikan reward untuk diriku sendiri di Yoshinoya, mungkin aku akan kembali menerobos hujan dan terjebak macet pasca banjir. Beruntung aku berada di tempat yang lebih aman (meski outfit sudah nggak nyaman 😭) saat hujan kembali mengguyur Bandung sore itu.
***
Kalau ada satu hal baik di diriku, mungkin itu adalah...
PUSH UNTIL THE LIMIT
Cara kerjaku terkadang agak sporadis, tapi nggak usahlah dipertanyakan sebanyak apa effort yang akan kuberikan. Aku akan berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku dengan baik dan mencoba setiap kemungkinan yang ada, to make itu true. Mental push until the limit ini ku bangun dan ku dapatkan sejak aku kuliah.
Jadi, ini bukan kali pertamaku berhujan-hujan ria membawa belanjaan dalam rangka tugas / pekerjaan. Bukan kali pertamaku keluar masuk toko mencari barang yang diinginkan. Bukan kali pertamaku berjalan menyusuri jalanan Bandung dengan hasil nihil.
***
Sejak tahun lalu aku jadi lebih sering memikirkan apa yang sudah kulalui sepanjang hari sebelum tidur, selalu amazed karena nggak pernah mengira aku bisa sampai sejauh ini.