Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.
Edu Hostel Jogja

Setelah vakum more than a years dari kegiatan travelling dan sejenisnya, berkutat di rumah dan membenahi segala tetek bengek sejak mama sakit sampai dikira switch cereer menjadi PRT 😅. Finally... I’m going to Yogyakarta. 

It’s been 2 years since I visit Yogyakarta for marathon weddingnya Mazia dan Fahria. Betapa time flies so fast... kini Abdurrahman (Mazia’s) sudah berusia 1 tahun lebih.dan Meimei (Fahria’s) sudah asyik berenang di kolam pompa.

Bagaikan oasis di tengah Gurun Sahara, seketika aku bersemangat dan langsung riweuh memilih baju, padahal sehari sebelumnya aku memble ½ mati karena gak beres-beres ngedit vlog.

Jika berkunjung ke Yogyakarta, biasanya kita (aku dan teman-teman) akan menginap di rumahnya Ana di daerah Kauman, posisi rumahnya yang strategis dan dekat pusat kota membuatnya jadi check point andalan.

Tapi kali ini aku datang sendiri, gak sendiri banget sih, tapi ya tanpa teman hehe dan dengan mempertimbangkan sikon Ana yang kini sedang menyusun thesis, aku kemudian memilih untuk menginap di hotel.

Setelah searching di Google dan membaca-baca review tentang hotel di sekitaran Malioboro, aku menemukan sebuah tempat menginap yang sesuai dengan requirement-ku, seperlunya dan sesuai budget. Jarak bukanlah masalah selama aku mempunyai peta dari Mirota :)

Yogyakarta sunrise.

Dan pilihanku adalah EDU Hostel Jogja, selain karena sesuai requirement dan dekat dengan rumah Ana, aku memilih EDU Hostel Jogja karena... aku belum pernah menginap di hostel hehe *norak I wanna try a new things after my hiatus.

Untuk mencapai EDU Hostel Jogja dari Stasiun Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan Stasiun Tugu bisa menggunakan becak, gojek atau jalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh yaitu di Jl. Letjen Soeprapto no 17 Ngampilan, Wirobrajan, Yogyakarta.

EDU Hostel menyediakan 2 tipe kamar, yaitu tipe dormitory dan tipe private dormitory. Untuk tipe dormitory, satu kamar terdiri dari 3 bunk bed (ranjang susun) untuk 6 orang dan locker dengan steker (colokan listrik) di dalamnya, selain itu terdapat 1 toilet dan shared bathroom yang bisa digunakan untuk 2 orang.

Kamar tipe dormitory EDU Hostel Jogja

Kamar tipe dormitory EDU Hostel Jogja 

Mural quote di salah satu kamar EDU Hostel Jogja, setiap kamar berbeda-beda.

Sedangkan untuk private dormitory, satu kamar terdiri dari 2 bunk bed untuk 6 orang dengan fasilitas yang kurang lebih sama dengan tipe dormitory. Tipe private dormitory ini lebih cocok untuk keluarga atau genggeus yang gak mau dipisahin dan butuh privasi tinggi.

Oh iya, kamar cowok dan cewek dipisah, lantai 2 untuk dormitory cewek, lantai 3 untuk dormitory cowok dan lantai 4 untuk private dormitory. Setiap kamarnya dinamai dengan nama Jawa seperti Ningrum (mine room), Lastri, Pratiwi dkk

Lantai 1 adalah lobby merangkap receptionist area dan meeting room. Satu tingkat diatasnya adalah livingroom atau ruang rekreasi kalau di buku Harry Potter mah, tempat bersantai untuk menonton TV atau membaca majalah dan buku impor. Selain itu ada juga meja karambol, fussball, gitar etc bagi mereka yang bosan leyeh-leyeh internetan pake wifi gratis.

Living room di EDU Hostel Jogja. 

Lantai 5 adalah rooftop area merangkap ruang makan, jadi mau gak mau pasti kita digiring ke rooftop setiap paginya. Tersedia plunge pool (kolam celup) berbentuk huruf L yang gak bisa dipake berenang heboh, jangan khawatir, ada petugas khusus yang membersihkan kolam setiap harinya.

Rooftop EDU Hostel Jogja sangat #instagenic, pasalnya setiap dinding kosong (plain wall) dihiasi mural sederhana yang cantik kalau diupload ke IG. Dan yang terpenting, kita bisa melihat sunrise dan sunset dalam wide screen mode, juga bonus pesawat yang lepas landas dari Bandara Adisucipto Yogyakarta. Serius deh, rooftopnya #instagenic hehe


#instagenic rooftop ala EDU Hostel Jogja. 

Ketika check in, petugas EDU Hostel Jogja akan meminta deposito sebesar Rp. 50.000 (2016) yang akan dikembalikan ketka check out, mereka juga akan memberikan electric key, selimut, handuk dan voucher sarapan yang bisa digunakan dari jam 06.30 sampai dengan jam 08.30 pagi.

Menu sarapan setiap harinya berbeda-beda sesuai dengan yang terpajang di lift, namun jika ingin menu yang lain bisa order ke petugas hostel sebelumnya, dan dikenakan charge. Sarapan yang disediakan EDU Hostel Jogja menggunakan sistem buffet namun tetap diambil (dialas) oleh petugasnya, setelah selesai piring dan gelas kotor harap disimpan sendiri ke tempat yang telah disediakan.

Breakfast menu on EDU Hostel Jogja. 

Quote paling horror ada di lift hehe

Ketika sampai di Yogyakarta pada dini hari, aku cukup kebingungan karena bawaanku yang agak banyak (ehmm...), sedangkan waktu check in adalah jam 14.00 siang. Masalah sebenarnya sih aku belum mandi hahaha Stasiun Tugu hanya menyediakan toilet kering saja, tanpa kamar mandi. Jadinya Cuma bisa gosok gigi di wastafel T.T

Dari Stasiun Tugu aku jalan-jalan ke Malioboro yang masih belum buka, ngeliatin pedagang yang mau buka lapak dan tukang becak yang menawarkan jasa keliling kota dengan harga Rp. 5000. Aku bertahan sampai jam 9 pagi di Malioboro, lalu masuk ke Mirota yang kini berganti nama menjadi Hamzah Batik meski masih menggunakan logo yang sama.

Tentu saja aku betah haha dan sibuk melihat-lihat sampai tengah hari, karena sudah bosan aku kemudian menelepon EDU Hostel Jogja untuk kemungkinan early check in yang ternyata tetap ditolak dengan alasan kamar belum siap. Dan untuk mengisi waktu luang aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju EDU Hostel Jogja.


Sebenarnya jarak antara Malioboro dan EDU Hostel Jogja tidak terlalu jauh, tapi karena belum mandi dan tasnya berat kebayang kan perjuangannya kaya apa... Fakkk !!! aku baru tahu ada gojek ketika sampai di main entrance. Tau gitu ihh...

Kesan pertama ketika sampai ke kamar adalah suasana dormitory yang familiar, yes, aku pernah tinggal di dormitory selama 6 tahun dengan bunk bed dan locker. No worries. Kerasan malah hehe

So far I enjoyed stay at EDU Hostel Jogja, rooftoofnya #instagenic (keukeuh) dan fasilitasny OK. Recommended banget sist... cocok deh untuk yang ingin nginep ala-ala backpacker namun tetap ingin nyaman.

For further information, please check their website http://www.eduhostels.com/

Mini Tugu di rooftopnya EDU Hostel Jogja. 

Roommate. 

Weefie with a roommate.
Tips :
·         Jangan lupa untuk membawa gembok sendiri untuk locker
·         Jangan lupa untuk membawa sajadah untuk sholat

EDU Hostel Yogyakarta
@eduhosteljogja
🏨 Jl. Letjen Suprapto No.17, Ngampilan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55261
📞 (0274) 543295

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Hi... I want to share my crush 😁

Saat kuliah temanku pernah kasih folder yang isinya Enchanted Dolls karena memurutnya detail bonekanya keren. Aku pun setuju ya, apalagi setting dan propertinya juga nggak kalah keren. Niat banget ✨.

Enchanted Dolls ini adalah karyanya  Marina Bychkova seorang seniman boneka yang berasal dari Kanada, ia menjual Enchanted Dolls melalui E-Bay.  Ia lahir di Russia pada tahun 1982 dan bermukim di Kanada, ia memulai karirnya sebagai jewelery designer sebelum akhirnya memutuskan untuk mengejar passionnya, membuat boneka.

Marina Bychkova menyadari bahwa setiap anak perempuan menyukai boneka sehingga mereka memiliki memory dengannya. Nah, dari situlah Marina Bychkova kemudian mencoba untuk membuat boneka versinya sendiri, yang real namun agak misterius 😉.

Enchanted Dolls terbuat dari porselen dan polyurethane, dengan tangan ajaibnya Marina Bychkova membuat detail dan memberikan ekspresi pada wajah boneka-boneka tersebut. Ia juga mendesain aksesoris dan perhiasan yang dikenakan Enchanted Dolls yang dipengaruhi oleh budaya Russia yang menjadi tempat kelahirannya.

Marina Bychkova mendesain 3 jenis Enchanted Dolls berdasarkan jenis kelamin (sex), yaitu male (lelaki), female (perempuan) dan shemale (banci). Karena hal tersebut, kebanyakan pembeli Enchanted Dolls adalah orang dewasa atau kolektor boneka, meski ada juga yang merupakan anak-anak.

Marina Bychkova juga mendesain Enchanted Dolls berdasarkan karakter dalam dongeng anak-anak seperti Princess and Princess and The Pea (Putri dan Kacang), Snow White (Putri Salju), Cinderella, The Red Riding Hood (Si Jubah Merah) dan lainnya.





Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Some people say a dream is a sleeping flower, a hidden lust that haunts your mind. So don’t try so hard to figure out your dream, it will disappear 5 minutes after you wake up.

Really?
 
So, how is it about me?

I wake up in my dream while my body is sleeping, it feels like switching the TV channel by remote control, just press the button and wink. A dimension-hopping just by closing your eyes and you didn’t know why it kept happening.
 
I’d traveled in that dimension uncountable times. Met strangers who never noticed me, explored a dead city, walked among the plantations, felt the air, breathed, and so many things. I can feel how was it, seems it happened before and I was the main cast.

Peoples called it déja vu.

Other people called it visions.

But Google called it reincarnation

I forgot when it began, I had a continuous dream like a serial movie, a past period with a vintage filter, seriously it was a vintage filter on my eyes. It’s always the same, same area, same building, same sensations, and same feelings. Soon after woke up I remembered all those things, more than 5 minutes, and got tired.

***

I’d dreamt saw old Bandung city lights from one of Lembang hills, it was a beautiful view from the top, sparkling in the dark. I wasn’t alone, I was there with a blurry dashing man and I can’t remember how his face was.

In the twilight, we walk on a path among the big grass of fertile land, pass the small wood bridge, and enter a small building like a medical cube. He said it was a lab, I don't know what kind of lab, maybe it is an architect's lab because I found a curve ruler on his desk and craftmanship tools on the walls. 

Who knows?

I remember seeing the sparkling light appear from the windows. After dark, we went closer to the hill, breaking through the big grass that blocked our way. He held my hand and pointed to an under-constructed building near the lab, telling me that building was Boscha.

When we reached the peak, he was standing beside me and pointing to the sparkling light that I saw from the windows, telling me that it was a Bandung city lights view in the night. I can’t describe how beautiful it is, I can see the whole Bandung like a bowl of lamps and touch the lights as my own.

The sky full of stars is Bandung City's light reflection.

Then. He asked me to wait in the lab and promised would send someone to pick me up, I saw him leaving on the lab door into the woods. I can hear the chaos of battle but never know when it begins or how it ends. I had been waiting for a long time, until one day an old man in Javanese clothes with his rusty wood cart came to me.

I looked around and realized the lab was broken, seems it had been left for a long time, full of mess and dust. The grass grew higher and wilder, the bush changed the path and the weather became dry. That man never saw me.

Sometimes I saw him peeking up at me from the woods, I could hear his white horse step when he stayed around. He always disappeared every time I tried to get closer.

***

I was standing at the intersection, trying to decide which path I should choose. Should I go to the right? Should I go to the left? I can see a life across the cliff in front of me...

This morning I rode a bicycle with my friend among the tea plantations, and we met other groups at the meeting point. They are older than us, and some of those men used hats to cover their heads and wore semi-formal suits, even wearing vests and pocket watches like they went to church before.

It’s a serious journey, we don’t talk or joke as usual. The air blew my skirt and waved my lace bow, my friends smiled and tried to go ahead, and raced in silently. We ride from one hill to another hill, going up and going down, passing the river, and climbing a little.

We arrived at the hidden site, isolated in the middle of plantations and woods. They told me it’s a place for ill people. I can see many people around here, most of them are old people, walking wobbly and coughing every time, but the rest of them are laughing or prattling like crazy.

On the other side, I found an glasses old man painting on his canvas, whistling a song that I don’t know. The old couples are visited by their relatives and decide to sit on the mat in a garden center, they are happy and satisfied. The loneliest man is the quietest, he just stares across the fences.

Some women took responsibility for their daily needs, they were not maids or nurses, they were volunteers. There was a woman asked me to sit at the dining table, she served a cup of tea and a few biscuits. This site feels like home, there is a porch for spending afternoon tea and a rocking chair if you want, an open kitchen so you can see the landscape while eating meals, and a nice room in a wooden cottage.

I do not see a child here, maybe this place is just for adults. Actually, it is a perfect place to retire or calm down. Despite the fact, this place is isolated in the middle of plantations and woods.
I still can remember how happy they were there...

***

The door opened when I came, warming me nicely. Finally... I’m going to this ball.

I met my friends that I had been looking for a few minutes before, they were wearing pretty dresses and beautiful as me. After tasting a cookie and drinking a little, we went upstairs to get a wider view of this ball.

I can see the whole picture of this ball. Men and women danced following the rhythm in the dance hall, they looked gorgeous. A manner man in a suit and neat hair, and a beautiful woman in a charming dress and stylish hairdo are laughing at their dance. The older couple beside them is more attractive, they are dancing energetically and making a space. The rest are dancing happily, seems this is their happiest moment.

The band is playing music that cheers up the ball. On the other side, there a people who talking seriously, some of them are nervous, maybe they are talking about business nowadays. The women's group gossiped and shared about the newest hat design, or showed off the jewelry on her body and told everyone it was a gift from her husband's business trip.

The older boys kept an eye on and stared at a girl who was smiling behind the feathers fan, they knew each other but to shy to talk in front of people. The waiters walk around the hall offering a drink or cookies.

Suddenly, there is a huge chaos in the main entrance. The guards tried to hold back, but I think it was not working, the men were screaming and the women cried anxiously. We are under attack. I open the glass door and see tiny soldiers coming to our buildings, they are coming from everywhere.

This is my first time seeing them, I thought they were a kid but their behaviors weren’t. We were so panicked, people ran and got caught everywhere, the glass was broken and the cookies fell on the floors. We were lucky to meet a man who brought us into a room and locked us inside, he told us to wait for our soldiers to come and bear down the enemy.

I hear our soldier's command voice and peek a little from the curtains, they are there... armed and ready for the worst. We are trapped in the battle for a while. My friends start to cry and pray because it’s the best thing we can do.

The battle voice is slowing down, quiet until you can hear yours breathe. We were waiting when the door hit hard. That man opened the glass door which is linked to the porch, and he asked us to leave by going down the pipe, we didn’t have a choice.

I climbed the pipe rashly trying not to slip my shoes or my dress on it. The view is so awful, many people die and are bloody,. I don’t know which side whom winning this battle. I was so shocked when I saw a new wave of tiny soldiers come toward our buildings, my shoes slipped on my dress and I ended up hitting the ground hard.

I can hear my friends crying anxiously, I can hear that man fighting with someone over the door, I can hear the tiny soldier's voice command with strange language and accent. I must run. I’ll try my best to get up and run, I run so fast, fast and fast.

The more I faster, the more I see that (many) tiny soldiers.

***

That is a little bit of my dream, a weird dream, but I believe it’s not just a dream. Sometimes I dreamt about the other side of my dream setting area, exactly and real. I can show you... Some people think I’m influenced by Risa Sarasvati's books when I told them this, they even took those books because worrying about me.

The fact is that dream happened before I read the book.

The first time I realized this was when I visited the building, I was attending a fashion exhibition at that time. That night, there is a little spark burst on me when I saw the building in my dream. I recognized the hall and the pillar when came in, I found the stairs and the glass window, it was still as beautiful as I had seen before. I can't focus on the exhibition because distracted by it. It is real.

Actually, I always had sad feelings when visiting some places, streets, or parks. Seems I lived there before. because of that, I always avoid passing those. I don’t want to be buried in other's life. IYKWIM.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
www.google.com
Bertahun-tahun yang lalu saya sering merasa envy setiap kali membaca blog atau social media post teman dan temannya teman yang menggunakan Bahasa Inggris.
Kenapa? Karena keren (^.^).
It’s true.
Lantas, terbersitlah keinginan yang menggebu-gebu untuk bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris,  I just wanna be like them hehe. Bukan karena ingin dianggap keren juga ya ... tapi karena saya ingin orang lain (foreigner) selain pribumi mengerti apa yang saya maksud, secara Bahasa Inggris adalah bahasa persatuan seluruh umat di dunia selain bahasa kalbu (T.T) GTL.
FYI, secara historis Inggris sudah pernah menjajah hampir separuh dunia, maka wajar saja jika bahasanya berceceran di bekas koloni-koloni jajahannya.
Setelah bekerja di offshore factory yang mengharuskan karyawannya bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris, saya menyadari bahwa yang paling dibutuhkan dalam komunikasi adalah daya tangkap dan sense yang baik. Grammar yang perfect dan pronounciation yang clear memang dibutuhkan, tapi itu tidak menjadi jaminan jika lawan bicara tidak bisa mengerti apa yang dimaksud.
Tahu kenapa?
Karena tidak semua orang memiliki grammar dan pronounciation sebaik test TOEFL.
Dalam percakapan, yang terpenting adalah mendapatkan keyword dari apa yang dibicarakan, sedangkan dalam penulisan yang dibutuhkan adalah basa-basi yang melambai-lambai ala Syahrini. Dalam hal berkirim e-mail pun bahasa yang digunakan lebih casual dan simple, yang penting bisa dimengerti oleh kedua belah pihak.
Bersyukurlah jika lawan bicara adalah orang asing selain orang Inggris, karena bukan bahasa ibu (bahasa asli) maka bisa dipastikan bahwa mereka pun memiliki keterbatasan yang sama dengan kita, dialek. Lain negara lain juga dialeknya, ada yang seperti dikulum, ada yang kenyes-kenyes,ada yang berbuntut (memakai imbuhan khas negaranya) ada juga yang memang tidak jelas sama sekali.
Terkadang, tanpa disadari kita akan menggunakan gesture tubuh seperti tangan dan mata untuk mengutarakan apa yang dimaksud. Hal tersebut dangat membantu lawan bicara memahami apa yang dimaksud. `
Banyak yang berpendapat bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa yang sulit, kebanyakan karena sewaktu sekolah dulu tidak berminat, tidak mau terjajah (zaman mana men?) atau merasa tidak percaya diri. Mungkin Bahasa Inggris terasa sulit karena mereka belum bisa menemukan cara yang tepat untuk memahaminya.
Saya pun butuh waktu untuk bisa memahami  dan menggunakan Bahasa Inggris dalam keseharian, dari mulai ikutan les Bahasa Inggris saat SD, uji nyali ikutan kompetisi telling story, sok-sokan mengisi friendster profile menggunakan Bahasa Inggris, rempong membuka kamus setiap kali ingin mengirim sms sampai akhirnya mampu menulis post di blog menggunakan Bahasa Inggris.
No pain no gain.
Nah, berikut ini adalah beberapa hal yang mempengaruhi kemampuan Bahasa Inggris based on my experience J.
1.       Lagu
Lagu adalah sarana yang tepat untuk mengekspresikan mood (perasaan) dan melatih pronounciation. Karena lagu, saya menghabiskan waktu senggang dengan menulis ulang lirik lagu dan menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia
2.       Film
Gara-gara DVD bajakan yang saya beli tidak memiliki pilihan subtittle Bahasa Indonesia, saya terpaksa harus menonton sambil memegang kamus (FYI, saat itu saya belum menginstall aplikasi Kamus 2.03 di laptop). Dengan harap-harap cemas saya mencoba untuk mencerna subtittlenya, jika ada vocabulary yang tidak dimengerti saya akan langsung mengklik pause icon lalu mencari-cari artinya di dalam kamus (FYI, saat itu translator gadget saya hilang).
Meski awalnya ribet, karena harus siap membolak balik halaman kamus tapi lama-kelamaan saya pun terbiasa dan akhirnya bisa mengerti tanpa harus mencari artinya di kamus. Selain dengan bantuan kamus diperlukan sense untuk menebak-nebak, karena ujung-ujungnya semua kalimat dalam bahasa inggris akan diterjemahkan secara bebas menurut penalaran diri kita sendiri, so ... lets be sensitive.
3.       Bacaan
Bacaan yang dimaksud bukan hanya terbatas pada buku, koran atau majalah saja, melainkan termasuk dengan artikel dan berita di internet, semua yang bisa dibaca adalah bacaaan. Apalagi sekarang banyak authors yang menyisipkan berbagai quotes dan thought menggunakan Bahasa Inggris dalam bukunya.
4.       Social media
The easiet way to waving check hehe Selain status updates, rajin-rajinlah stalking akun orang lain. Maksudnya, saya mempelajari Bahasa Inggris yang digunakan orang lain dalam status updates, bagaimana grammarnya, vocabulary, spellingnya. Benarkah? Sempurnakah? Bisa dimengertikah? Jika bisa memenuhi requirement tersebut, biasanya saya akan mengcapturenya, just in case hehe ...
Dari status updates, saya mulai bisa membedakan yang menggunakan Bahasa Inggris ala google translete dan yang memang sudah terbiasa menggunakan Bahasa Inggris.
But, be carefull dear ... social media (users) is so cruel (T.T).                                                                                 
Suatu kali saya pernah melihat teman saya mengupdate status Facebooknya menggunakan Bahasa Inggris yang ala kadarnya, katakanlah masih dalam tahap pemula. Tapi ya ... namanya juga social media ala Indonesia, ada salah seorang temannya yang (tega) comment di statusnya itu, intinya ia mengkoreksi grammar dan vocabulary yang teman saya gunakan sesuai dengan TOEFL. Hell-OOO ...
5.       Lingkungan
Untuk membuat lingkungan yang mendukung saya membiasakan diri melalui gadget (HP dan Laptop) serta social media yang dimiliki dengan merubah setting bahasanya menggunakan Bahasa Inggris. Meski terlihat remeh, hal tersebut adalah motivation factor sangat mempengaruhi karena digunakan hampir setiap hari.
6.       Menulis
Awalnya saya menulis diary dengan grammar dan vocabulary yang seadanya, kalau sekiranya mentok dan capek bolak balik kamus ujung-ujungnya dicampur dengan Bahasa Indonesia (dan Bahasa Sunda). Kemudian lama-lama menulis surat (yang bukan surat cinta) kepada si lorem ipsum yang fiktif, Entah itu hanya status Facebook atau hanya sekedar curhat di diary #eh.  

Sebenarnya ada banyak cara untuk bisa menggunakan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari, tapi yang terpenting adalah niat dan kepercayaan diri. So ... Let’s do it!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hampir satu dekade yang lalu aku berkenalan dengan Friendster, sebuah jejaring sosial menyenangkan tempat berbagi profile secara virtual. Sebagai newbie yang haus eksistensi aku mengisi Friendster profileku apa adanya sesuai dengan fakta, seperti mengisi biodata di kertas loose leaf untuk disimpan di binder teman sekelasku.
Demi Friendster profile yang ‘gue banget’ aku sempatkan untuk melihat Friendster orang lain, temannya teman, temannya teman temannya atau siapa pun yang namanya eyecatching. Aku bahkan memiliki jadwal 2 minggu sekali untuk mengcostumize template Friendster dengan theme yang ke emo-emo an atau colorful yang sebelumnya diedit dengan efek pelangi (rainbow effect) di Adobe Photoshop.
Fitur terfavorite adalah profile picture, aku menggantinya sesuai dengan current mood dan mengetik caption yang sebenarnya adalah quote dari buku. Aku juga memasukkan foto diriku dalam sebuah album khusus yang dinamai me, myself and I, nama yang standard tapi cukup stylish karena menggunakan Bahasa Inggris.
Berbalas testimoni dengan teman-teman yang sengaja kucari namanya di search box meski hanya sekedar bertanya kabar. Berlomba-lomba mencitrakan diri dengan berusaha menampakkan the best side of me, meski harus (sedikit) berdusta.

Sering aku cengar-cengir saat membaca Friendster profile teman-temanku, ia menyebutkan banyak hal keren sebagai favoritenya meski kenyataan tidak seperti itu. Ia mengisi kolom buku favorite dengan buku-buku fiksi yang sedang booming, padahal ia sendiri kurang suka membaca buku karena lebih suka membaca sms dari pacarnya. Ia mengisi kolom film favorite dengan film-film bagus yang disiarkan dari layanan TV kabel, padahal bisa menonton TV tanpa bersama-sama di ruang makan pun sudah mesti bersyukur.
Puncaknya adalah ketika temanku membuat akun palsu.
Salah seorang temanku pindah ke kota lain mengikuti orang tuanya, ia persis seperti deskripsi Aditya Mulya tentang tokoh Farah Babedan di buku Traveller’s Tale, meski tanpa mata biru yang indah. Salah seorang temanku yang lain membuat akun Friendster atas nama Ferisha (bukan nama sebenarnya), tidak ada yang salah dengan keterangan di profilenya, namun ia menggunakan foto temanku si Farah Babedan untuk profile picture dan album fotonya.
Atas nama iseng, Ferisha sukses memperoleh banyak teman Friendster dalam beberapa minggu, kebanyakan adalah laki-laki yang kecantol at first sight dengan profile picturenya. Tak butuh waktu lama bagi Ferisha untuk dihujani puja-puji yang ujung-ujungnya minta kenalan dan nomor handphone.
Ferisha tak keberatan membalas testimoni atau berkirim message dengan mereka, ia berbaik hati menjawab semua pertanyaan seperti costumer service malah ia sendiri yang memulai interaksi.
Aku pernah bertanya kepada Ferisha “kenapa sih gak pake foto asli?”, ”emang gak akan ketauan?”, “kalau dianya marah gimana?” dan sederet pertanyaan serupa lainnya. Dengan tenangnya Ferisha selalu menjawab “gue gak pede (percaya diri) Non kalau pake foto sendiri” dan “nanti kalau temen gue udah banyak fotonya gue ganti pake foto sendiri hahaha ...”.
Berkali-kali kita mengingatkan Ferisha mengenai akun Friendster bodongnya, khawatir si Farah Babedan akan marah besar ketika tahu pelaku dibalik akun palsu yang mencatut fotonya adalah temannya sendiri. Tapi ... apa mau dikata Ferisha tetap keukeuh menjalankan aksinya hingga bertahun-tahun kemudian, sampai akhirnya ia menyerah dan mempunyai akun Facebook asli.
Ternyata, tingkat percaya diri yang rendah mampu berpotensi memicu orang melakukan hal-hal tak terduga. Dan dalam kasus temanku ini adalah akun Friendster palsu.
Bertahun-tahun kemudian, aku mengetahui dari teman kuliahku yang ternyata adalah teman si Farah Babedan semasa SMA. Katanya ia (si Farah Babedan) sudah tahu ada akun palsu yang mencatut fotonya, ia sebenarnya kesal tapi ya mau gimana lagi, ia juga tidak tahu siapa pelakunya. Kalau saja ia tahu ... Ahh ... Ferisha bikin malu aja deh ... (U.U)
Mungkin sebenarnya Ferisha berbakat jadi admin fanpage.

Bersamaan dengan Friendster aku juga berkenalan dengan MIRC, yang sering nongkrong di warnet pasti tahu apa itu MIRC. MIRC adalah aplikasi penyelia layanan chatting seperti Yahoo Messenger (YM) yang katanya RIP pada awal Agustus kemarin.
YM membutuhkan akun Yahoo untuk membuat ID YM, user bisa mengadd (menambahkan) teman sesama YM user dan memerlukan persetujuan untuk chatting dengan user diluar lingkar pertemanannya, sedangkan MIRC tidak.
MIRC tidak butuh akun apapun untuk bisa chatting karenanya IDnya bersifat temporary (sementara), hanya bisa digunakan pada saat itu saja. Chattingnya pun lebih mengasyikkan, aku bisa memilih kota atau areanya kemudian memilih ID yang sedang online. Cocoklah untuk curcol mah. ASL* please ... :P
Visualisasi chatting via MIRC bisa dilihat di film 5 cm yang diadaptasi dari buku berjudul 5 cm karya Donny Dhirgantoro, scene ketika Zafran a.k.a Juple dan Rianti sedang curhat random via chatting di komputer. Atau buku Supernova : Petir karya Dewi ‘Dee’ Lestari ketika Elektra betah di warnetnya Betsye di daerah Dipati Ukur. MIRC juga disebutkan dalam buku-buku yang terbit sekitar tahun 2008 ke bawah.
Tapi sepertinya, MIRC lebih cocok untuk ajang mencari jodoh hehe ... Salah satu kakak kelasku dinikahi pria yang dikenalnya via MIRC. Subhanalove ...
Kalau MIRC udah jelas modus (modal dusta), dari pemilihan user IDnya saja jelas-jelas mengarang bebas semacam @photographer_biru, @menanti_matahari_terbit atau @cewek_mellow_kesepian_butuh_teman_curhat. Herannya ... semakin nyeleneh dan aL4y user IDnya, semakin banyak yang ngajakin chatting, sama-sama butuh teman curhat kali ...
Awal-awal menggunakan MIRC aku sering ditinggalkan oleh teman chattingku tanpa sebab yang jelas, baru setelah tanya temanku yang MIRC addict aku mengerti. Ternyata aku ini gak asyik dan gaptek karena selalu menjawab Garut setiap kali mereka chat “ASL* please ...” hahaha ...
Aku kira “ASL please ...” adalah menanyakan tempat asal, disingkat ASL seperti bahasa SMS “udh?” yang artinya “udah?”. (*Age Sex Location, standard perkenalan di MIRC)
Friendster dan MIRC adalah satu paket reguler dalam dunia virtual, setidaknya dalam masa awal pertumbuhan internet dan bisnis warnet lemot yang menjanjikan. Sedikit kesegaran ketika menanti laman Friendster theme yang loadingnya kebangetan.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates