Masih dalam masa hiatus, 1 tahun lebih pasca mama terkena stroke.
Untuk mengisi jeda
libur berkepanjangan, aku mengikuti pelatihan editing video /
penyuntingan video yang diadakan oleh LKP Primacom, salah satu LKP milik teman
orang tuaku. Pelatihan editing video adalah officially name dari kegiatan A
to Z how to creating a video like a pro.
Karena tujuannya
untuk mengentaskan pengangguran dan meningkatkan SDM, maka setelah mengikuti
pelatihan tersebut diharapkan agar alumninya bisa berwirausaha, seperti membuka
jasa videography atau membuat advertisement produk UMKM.
But as a millenial generations yang dimanjakan
teknologi, aku tidak berfikir demikian. Ada banyak kesempatan dan jenjang karir
yang bisa dicapai selain menjadi wedding
videographer atau local production house.
You can be a vlogger beybeh! Like @awkarin, uppss ...
Vlog atau video blogging yang sedang trend saat ini adalah kegiatan
dokumentasi gambar bergerak (video),
sedangkan vlogger adalah sebutan bagi
orang yang mengupload video (tersebut) di internet, seperti blogger
bagi orang yang memposting di blog.
Vlog merupakan salah
satu media alternatif untuk mengekspresikan diri, selain menulis tentunya, yang
lebih duluan booming dengan blognya. Kalau menulis lebih pada
menuangkan ide, gagasan atau cerita dalam bentuk tulisan, dengan gambar sebagai
illustrasi pelengkap. Maka vlog agak
lebih kompleks, karena esensinya harus bisa digambarkan secara nyata dan
penonton harus mampu catch ‘em all. :p
Demi menyongsong
masa depan cerah sebagai vlogger haha
It’s quite fun, I
met peoples by any background ... kebanyakan dari teman (baru) ku merupakan
fresh graduate yang sedang menunggu ijazah SMA keluar, beberapa
diantaranya adalah mahasiswa/i yang sedang libur semesteran sedangkan sisanya
adalah jobseeker yang sedang mencari
jati diri.
Ada hidden fortune dibalik pertemananku dengan mereka, entah karena apa tapi
mereka mengira aku adalah mahasiswi berusia sekitar ± 21-23 tahunan. OK, tidak
semua sih, ada beberapa yang telah
aku beri tahu ketika berkenalan, but somehow ... those awkward status berhasil membuatku berbaur dengan
mereka.
Yes! Mission accomplished! Stay young ...
Pelatihan editing video dimulai sejak bulan Ramadhan sampai sebulan setelah Iedul
Fitri, teori dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang (kebayang banget kan ngantuknya
...) dan praktek dari jam 1 siang sampai ngabuburit.
Setelah Iedul Fitri,
materi semakin padat karena keterbatasan alat dan pemecahan kelompok yang
banyak. Tadinya aku berniat untuk menggunakan handycam pribadi untuk mempersingkat waktu, tapi setelah dicek handycamku bermasalah karena terlalu
lama tidak digunakan.
Selain itu, setelah
Iedul Fitri kita jadi punya kebiasaan baru, yaitu jajan-jajan gak ngenyangin
ala anak sekolah haha Ada Batagor, Baso Tahu, Baso reguler, Cuanki, Cakue, Cilok (aci dicolok), Cimol (aci digemol), Cilung
(aci digulung), Lumpia Basah, Seblak, Mie Setan, Pempek KW sejuta, Tahu Bulat
dan teman-teman dari MSG club yang
datang silih berganti.
Kalau haus ada es doger,
ice juice, es teh no name
yang pake es batu dan cupnya yang disegel secara live. Tapi kalau ingin yang lebih natural ada minuman berembun di display casenya AA counter yang
jadi konsultan paket internet hemat.
Nom ... nom ... nom
...
Saat kecil dulu,
ayah pernah bilang pekerjaan yang cocok untukku adalah kritikus, kritikus apa
saja, mau kritikus makanan kek,
kritikus film kek, kritikus buku kek, kritikus olahraga kek, kritikus politik kek atau kritikus apalah, yang jelas jadi kritikus.
Pasalnya, aku selalu
mengkritik setiap hal, dari urusan bentuk rumah yang gak enakeun, fried chicken yang gak sesuai dengan gambar di display,
baju yang designnya kurang ‘gue banget’, susunan kotak sereal di rak
minimarket yang gak rapi, iklan-iklan di TV and lain sebagainya. I critizied
so many things ... karena
bagiku hal tersebut sangat mengganggu.
Saat ini sifat
semacam itu dianggap kritis, tapi tidak dengan dulu. Mama beranggapan mengkritik
adalah annoying habit yang harus dihilangkan, ia khawatir aku akan menjadi seorang
pencela ketika besar nanti. Seiring waktu aku mempelajari bahwa mengkritik
adalah salah satu cara mengungkapkan analisis.
Salah satu hal yang
kusukai adalah menonton, baik itu menonton film, menonton serial, menonton
dokumenter, menonton teater, menonton berita, menonton iklan, menonton MV atau menonton
kehidupan orang lain #eh.
Aku selalu mempunyai
unek-unek ketika selesai menonton. Bisa jadi karena acting pemainnya yang kurang menjiwai, alur cerita yang sulit
difahami, pengambilan gambar yang kurang enak dilihat, jumping scene yang
berantakan, editing tambalan yang ngeselin, dubbing yang gak sesuai, text yang hilang di tengah-tengah scene, figuran yang sadar kamera, setting yang kurang real, cover yang nggak
nyambung dengan cerita sampai bayangan kameramen yang kelihatan di aspal.
I’m a details watcher ...
Kita semua beruntung
mendapatkan mentor yang expert di
bidangnya, ia bersedia mengajar semua yang diketahuinya dan mengejar hingga ke
detail terakhir, bahkan rela menunggui kita mengedit
sampai malam. Selama kalian punya keinginan, kenapa tidak?
Sebagai permulaan,
kita diminta membuat video sederhana menggunakan kamera handphone, meski
hasilnya pas-pasan setidaknya bisa memberikan gambaran apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Untuk membuat sebuah
video dibutuhkan kru yang pengertian dan SOP yang detail, as very details as
can be. Dalam setiap scene
dibutuhkan minimal 3 shoot dari view yang berbeda, bisa secara bertahap
atau random sekalian, tergantung
skenario.
But the most important
thing is the concept, apalah artinya materi yang
banyak dan editing yang canggih kalau
konsepnya sendiri gak jelas. Butuh
kreativitas dan kerja keras pada tahap ini, karena dalam satu tim ada banyak
kepala yang memiliki ide subjektif. Bukan hal yang mudah juga untuk bisa membuat
sebuah konsep tanpa meninggalkan rasa ketidakpuasan dan rasa ‘gak enak’.
Nah, proses editing video adalah proses yang sangat panjang, ada banyak detail yang
harus diperhatikan dan dibenahi sehingga membutuhkan ketekunan dan kesabaran.
Yang dibutuhkan untuk editing video adalah software
Adobe Premiere dan komputer yang memadai, bisa juga menggunakan notebook atau netbook, tapi kadang error
karena membutuhkan memory space yang
besar.
Karena netbook yang ngeblank sewaktu ngerender
adalah ujian terbesar bagi seorang videographer.
Kekurangan video akan terlihat saat proses editing, entah itu materinya yang kurang
banyak, pengambilan gambar yang kurang pas, gambarnya ngeblur, kameramen kelihatan di kaca atau instruksi standar (camera!, action!, cut!) yang gak
sengaja keselip. Untuk menyiasatinya,
kita usahakan untuk mengambil materi sebanyak-banyaknya. Proses detailing inilah yang nantinya
menentukan kualitas suatu video.
Semenjak mengikuti pelatihan
editing video aku memiliki kegiatan baru, yaitu menonton FTV dan sinetron stripping. Sebagai bahan referensi :D . Menurutku,
FTV dan sinetron stripping adalah
versi canggih dari tugas-tugas yang pernah kita buat hehe
Tak terasa hampir 3
bulan lamanya aku berkutat dengan kamera dan rendering, eh bukan Cuma aku, kita semua. Selama ini kita telah
menghasilkan berbagai macam video
dengan berbagai teknik, dari company profile, dubbing film impor, MV, dokumenter, interview, short movie sampai tutorial memasak.
Ternyata ... eh
ternyata ... membuat video tidak sesulit yang dibayangkan, namun juga tidak
mudah. Yang sulit adalah membuat konsep dan memanage
waktu.
It’s the productivest 3 months of my hiatus cycle.
Bermula dari link yang pernah dishare
@ikanatassa di Twitternya, yaitu sebuah artikel di www.buzzfeed.com mengenai The Urban Poor You Haven’t Noticed: Millenials Who’re
Broke, Hungry But On Trend yang ditulis oleh Gayatri Jayaraman dari India. (sorry but the link is broken, but you still can search about it)
Dalam artikelnya, ia (Gayatri Jayaraman) menjabarkan
betapa ia mengasihani para urban poverty
yang hidup sengsara di balik gengsi, tentang bagaimana mereka (urban poverty) menjalani keseharian dengan
was-was dan rasa lapar yang mendera, tentang kebutuhan sekunder dan tersier
yang menjadi prioritas dibandingkan dengan kebutuhan primer, tentang life style
penuh pencitraan.
Awalnya aku mengira fenomena (yang kini
disebut) urban poverty hanya terjadi
di Indonesia saja, atau wilayah Asia pada umumnya. Tapi setelah membaca artikel
tersebut aku menyadari bahwa urban poverty adalah fenomena global yang cukup mengkhawatirkan.
Urban
poverty atau yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia
adalah kaum urban (masyarakat yang
tinggal di perkotaan) miskin adalah sebuah fenomena nyata yang terjadi saat
ini. Dimana kaum urban yang
seharusnya bisa menikmati hidup adem ayem bisa menjadi miskin hanya karena
gengsi.
Di Indonesia sendiri, jika tinggal di daerah Jawa
Barat yang notabene masyarakatnya gemar bersosialisasi, pasti pernah mendengar kalimat
“paribasa geus digawe ...” yang dalam terjemahan bebasnya bisa diartikan
sebagai ”istilahnya sudah bekerja ...”.
Kalimat tersebut ditujukan untuk menyindir
orang yang sudah bekerja namun masih hidup pas-pasan. Intinya sih menuntut agar orang yang disindir
itu mau sedikit pamer, meski sekedar membayarkan ongkos angkot temannya atau terlihat
memakai pakaian dengan model terbaru.
Ada anggapan bahwa yang bekerja pastilah
(selalu) berduit. Entah itu bekerja
sebagai karyawan, PNS, freelancer atau
buruh sekalipun. Selalu ada tuntutan sosial dimana mereka harus menampilkan
hasil jerih payahnya, semacam “ini loh,
hasil kerja di anu ... “.
Bahkan tak jarang anggota keluarga juga ikut
berpartisipasi. Demi menjaga gengsi gaji bulan pertama, ada orang tua yang rela
mengeluarkan uang agar anaknya bisa mentraktir makan teman-temannya,
sepupu-sepupunya atau bahkan keluarga besarnya. Mengatakan itu adalah hasil
kerja si anak, meski kenyataannya gaji tersebut masih jauh dari kata UMR (Upah
Minimum Rata-rata).
Kalau mau tahu seberapa besar efek urban poverty, lihatlah bagaimana kehidupan buruh (worker) di daerah. Smartphone
terbaru, kendaraan pribadi yang masih mulus, dandanan yang stylish, tempat nongkrong yang hits
dan sifat konsumtif adalah hal yang biasa. Namun di balik semua itu, ada
petugas leasing dan rentenir yang
menanti. Kadang-kadang ...
Ada orang tua yang curhat tentang anaknya yang masih suka meminta uang meski
sudah bekerja, ia tak habis pikir
kemana perginya gaji si anak, mempertanyakan apa bedanya sekolah dan bekerja kalau
masih tetap dibiayai orang tua?
Mungkin si anak akan menjawab “on my body ...” atau “on my face ...” sambil bergaya dan
menunjuk wajah. LOL
Ketika masa OJT (On
Job Training), salah satu (mantan) atasanku bertanya “how many percentage of your salary that would you give to your parents?”
yang aku jawab dengan “it’s depends on
situation Sir”, ia bertanya lagi “so
your parents is working right?” aku menjawab “yes” karena kedua orang tuaku masih bekerja, setelah mendengar
jawabanku ia berkata “off course you are”.
Ia kemudian
bercerita bahwa di Korea ada peraturan tersendiri mengenai gaji untuk karyawan baru
atau fresh graduated. Jika orang tua karyawan tersebut tidak bekerja (tidak
menghasilkan uang) maka sepersekian persen dari gajinya akan ditransfer ke
rekening orang tuanya, ia bisa mendapatkan gajinya secara full hanya jika orang tuanya bekerja.
Karena tanpa bantuan
dan dukungan dari orang tua, anak tersebut tidak akan menjadi seperti ini
(bekerja) dan sepersekian persen dari gaji adalah bentuk rasa terimakasih dan
tanggungjawab. It’s a nice habit ... tapi mungkin jika diterapkan di Indonesia
akan menuai pro dan kontra besar-besaran, meski masih jadi wacana.
Orang tuaku pernah bertanya
kenapa aku tidak menggunakan gajiku seperti anak-anak temannya, membeli pakaian
baru, sepatu baru, tas baru, make up
baru, pergi nongkrong dengan teman-teman, pergi jalan-jalan dengan pacar dan
hal lain yang anak-anak temannya lakukan ketika sudah bekerja.
Aku tidak melakukan
hal-hal yang tidak ku sukai hanya karena orang lain melakukannya. Aku lebih
suka menabung serta membelanjakan sisa gajiku untuk membeli buku terbaru dan sketch tools. Membeli pakaian baru, sepatu baru, tas
baru dan make up baru bukanlah suatu keharusan di setiap bulannya, begitu
pun dengan nongkrong dan jalan-jalan. Membaca blog dan artikel di internet jauh lebih berharga daripada
sosialisasi haha hihi.
Karena ikan Salmon
tidak perlu mengikuti arus untuk menjadi diri sendiri.
Aku melihat temanku membeli pakaian baru,
sepatu baru, tas baru dan make up
baru di setiap bulannya, pada suatu hari ia mengeluh tentang betapa ‘trendy
is
pain’
. Ia sangat trendy, tapi dengan gaji
yang pas-pasan ia hanya mampu membeli yang biasa saja, katakanlah low quality. Ia berasumsi, selama
mengenakan model terbaru, orang tidak akan pernah mengetahui berapa harganya.
Kenyataannya, hampir
semua barang trendy kebanggaannya rusak setelah dipakai beberapa kali, ia harus
terus menerus berbelanja setiap bulan untuk menutupi kebutuhannya. Dengan
‘sampah’ yang bertambah setiap bulannya, ia merasa telah jatuh miskin, menyadari
bahwa sebenarnya ia tidak memiliki apa-apa.
Dosenku pernah
berkata: jika ingin menjadi designer
harus wise dan kuat iman, karena
profesi tersebut adalah yang paling dekat dengan neraka. Tahu kenapa? Karena ia
(designer) harus mampu untuk
membangkitkan naluri terendah dalam diri manusia yaitu lust dan desire. Dan
sebaik-baiknya designer adalah yang
mampu mendesign produk yang
memunculkan rasa ingin memiliki hanya dengan melihatnya. Seperti love at the first sight (with sins following after).
Mungkin urban poverty muncul akibat designer atau creativepreneur yang sangat produktif.
Semacam ‘our
goals is your poverty’.
WANITA
SUNDA VS WANITA JAWA
BAB 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masalah
Manusia
memiliki ritme hidupnya masing-masing, meskipun berbeda-beda caranya
pemenuhannya, namun secara garis besar kegiatan yang dilakukannya sama. Dimulai
dari bangun pagi, mandi, sarapan, kerja, ibadah, santai, sampai kembali tidur.
Dari bangun tidur itulah bisa diketahui bagaimana keadaan aktifitas yang
selanjutnya jika bangunnya telat biasanya aktifitas yang selanjutnya akan
berantakan karena banyak waktu yang tumpang tindih antara kebutuhan yang satu
dengan kebutuhan yang lainnya.
Kebiasaan pun ikut mempengaruhi aktifitas lainnya, baik itu kebiasaan yang memang sudah ditanamkan sejak lahir, atau kebiasaan yang memang tercipta dari aktifitas yang dilakukannya. Ada beberapa wacana yang tak terdokumentasikan, hanya beredar antar bibir saja,bahwa kebiasaan dari suku bangsa/etnis lah yang mempengaruhi pola kerja seseorang.
Menurut wacana tersebut wanita yang beretnis Sunda lebih mendahulukan penampilannya daripada pekerjaan rumahnya makanya meskipun cantik namun rumahnya berantakan, sedangkan wanita yang beretnis Jawa lebih mendahulukan pekerjaan rumanya daripada penampilannya makanya kebanyakan wanita beretnis Jawa berpenampilan lebih sederhana dibandingkan dengan wanita beretnis Sunda.
Kebiasaan pun ikut mempengaruhi aktifitas lainnya, baik itu kebiasaan yang memang sudah ditanamkan sejak lahir, atau kebiasaan yang memang tercipta dari aktifitas yang dilakukannya. Ada beberapa wacana yang tak terdokumentasikan, hanya beredar antar bibir saja,bahwa kebiasaan dari suku bangsa/etnis lah yang mempengaruhi pola kerja seseorang.
Menurut wacana tersebut wanita yang beretnis Sunda lebih mendahulukan penampilannya daripada pekerjaan rumahnya makanya meskipun cantik namun rumahnya berantakan, sedangkan wanita yang beretnis Jawa lebih mendahulukan pekerjaan rumanya daripada penampilannya makanya kebanyakan wanita beretnis Jawa berpenampilan lebih sederhana dibandingkan dengan wanita beretnis Sunda.
Maka
daripada itulah, penulis ingin mengangkat peristiwa itu sebagai tema dari tugas
yang berjudul “Wanita Sunda VS Wanita Jawa”.
1.2
Identifikasi Masalah
Menilik keadaan
yang seperti itu, penulis ingin menekankan pembahasan di dalam makalah ini
terhadap:
1.
Kebiasaan wanita Sunda dan wanita Jawa
2.
Perbedaan prioritas bagi wanita Sunda
dan wanita Jawa
1.3
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1
Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam makalah adalah semua hal yang mencangkup ruang
lingkup kebiasaan dan prioritas.
1.3.2
Perumusan Masalah
Perumusan masalah di dalam makalah ini adalah “Adakah Pengaruh Prioritas
pada Kebiasaan Wanita Sunda dan Wanita Jawa”.
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan dari
penelitian ini adalah pihak yang terkait (wanita Sunda dan wanita Jawa) bisa
saling memaklumi dan menghargai kebiasaan masing-masing etnis.
1.5
Metode penelitian
Metode penelitian
yang dilakukan ialah dengan cara survei langsung ke lapangan dan mencari tahu
tentang kebiasaan masing-masing etnis.
1.6
Pelaksanaan penelitian
Penelitian ini
dilakukan di sebuah asrama putri berisikan 22 orang, yang terdiri dari: 15
0rang wanita beretnis Sunda, 5 orang wanita beretnis Jawa dan 2 orang lainnya
(Aceh dan Padang)
Penelitian 1
Penelitian
tentang kegiatan yang dilakukan mereka (wanita Sunda dan wanita Jawa) setelah
sholat shubuh / bangun tidur?
Berdasarkan
pengamatan penulis:
Wanita Sunda
cenderung lebih memilih untuk tidur lagi daripada melakukan aktifitas lainnya
(contoh: membereskan asrama, olahraga pagi)
Sedangkan,
wanita Jawa cenderung lebih memilih untuk melakukan kewajiban akan kebutuhan
mereka masing-masing (contoh: mencuci baju, membersihkan asrama)
Penelitian 2
Penelitian
tentang mana yang lebih didahulukan? Mandi atau membereskan tempat tidur?
Berdasarkan
pengamatan penulis:
Wanita Sunda
setelah bangun biasanya lebih tertarik untuk mandi daripada membereskan tempat
tidurnya, alasannya agar tidak ada kewajiban yang mesti dipenuhi lagi.
Sedangkan,
wanita Jawa tentu saja lebih tertarik untuk membereskan tempat tidurnya
terlebih dahulu sebelum mandi, alasannya agar bisa mengerjakan pekerjaan
lainnya jika sudah selesai mandi.
Penelitian 3
Penelitian
tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bersolek di depan kaca?
Berdasarkan
pengamatan penulis:
Wanita Sunda
membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk bersolek di depan kaca.
Sedangkan,
wanita Jawa membutuhkan waktu lebih sedikit untuk bersolek di depan kaca.
1.7
Kesimpulan
berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, penulis mengamati bahwa memang
benar adanya perbedaan prioritas antara wanita Sunda dan wanita Jawa.
Jangan dianggap terlalu serius ya... ini tugas Bahasa Indonesia mengenai penulisan makalah.
Pasti kamu pernah lihat gambar semacam ini ...
Kalau kamu sering mencari tips-tips atau tutorial
di situs www.pinterest.com tentu sudah
tidak asing dengan infographic
semacam itu. Ya, infographic. Infographic adalah informasi yang
dirangkum dalam bentuk digital,
tujuannya agar menarik untuk dibaca.
Seperti halnya membaca, kebanyakan orang lebih
suka membaca komik daripada novel karena lebih mudah dicerna. Komik menyajikan
visualisasi dan teks sebagai pelengkap sedangkan novel menyajikan teks tanpa
visualisasi, jadinya kamu akan mudah bosan. Selain itu karena otak manusia
lebih mudah mencerna ketika melihat visualisasi.
Mungkin ada diantara kamu yang juga ingin
membagikan tips-tips dan tutorial kepada teman, tapi masih
bingung gimana caranya atau gimana membuatnya karena merasa memiliki
keterbatasan skill dalam bidang graphic design.
Kamu bisa kunjungi situs www.pictochart.com, situs tersebut
menyediakan berbagai macam template
gratis untuk membuat infographic.
Kamu bisa mengedit lay out, font dan warnanya sesuai dengan yang kamu inginkan. Bahkan bisa
juga menambahkan foto yang akan mendukung infographic
kamu.
Tapi ingat ya ... sebelumnya kamu membuat list dari tips-tips yang akan kamu buat infographicnya.
Karena ... kamu akan lupa waktu ketika mengedit
templatenya hehe Serius deh, apalagi kalau kamu suka mengoprek, pasti betah berlama-lama.
Selain bisa mengasah skill dalam bidang graphic
design, membuat infographic juga mengasah
kemampuan dalam bidang kepenulisan. Sayangnya, saat ini www.pictochart.com hanya bisa diakses
dengan koneksi internet sehingga kamu
tidak bisa mengeditnya secara offline.