Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.


Bermula dari link yang pernah dishare @ikanatassa di Twitternya, yaitu sebuah artikel di www.buzzfeed.com mengenai The Urban Poor You Haven’t Noticed: Millenials Who’re Broke, Hungry But On Trend yang ditulis oleh Gayatri Jayaraman dari India. (sorry but the link is broken, but you still can search about it)

Dalam artikelnya, ia (Gayatri Jayaraman) menjabarkan betapa ia mengasihani para urban poverty yang hidup sengsara di balik gengsi, tentang bagaimana mereka (urban poverty) menjalani keseharian dengan was-was dan rasa lapar yang mendera, tentang kebutuhan sekunder dan tersier yang menjadi prioritas dibandingkan dengan kebutuhan primer, tentang life style penuh pencitraan.

Awalnya aku mengira fenomena (yang kini disebut) urban poverty hanya terjadi di Indonesia saja, atau wilayah Asia pada umumnya. Tapi setelah membaca artikel tersebut aku menyadari bahwa urban poverty adalah fenomena global yang cukup mengkhawatirkan.

Urban poverty atau yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia adalah kaum urban (masyarakat yang tinggal di perkotaan) miskin adalah sebuah fenomena nyata yang terjadi saat ini. Dimana kaum urban yang seharusnya bisa menikmati hidup adem ayem bisa menjadi miskin hanya karena gengsi.

Di Indonesia sendiri, jika tinggal di daerah Jawa Barat yang notabene masyarakatnya gemar bersosialisasi, pasti pernah mendengar kalimat “paribasa geus digawe ...” yang dalam terjemahan bebasnya bisa diartikan sebagai ”istilahnya sudah bekerja ...”.

Kalimat tersebut ditujukan untuk menyindir orang yang sudah bekerja namun masih hidup pas-pasan. Intinya sih menuntut agar orang yang disindir itu mau sedikit pamer, meski sekedar membayarkan ongkos angkot temannya atau terlihat memakai pakaian dengan model terbaru.

Ada anggapan bahwa yang bekerja pastilah (selalu) berduit. Entah itu bekerja sebagai karyawan, PNS, freelancer atau buruh sekalipun. Selalu ada tuntutan sosial dimana mereka harus menampilkan hasil jerih payahnya, semacam “ini loh, hasil kerja di anu ... “.

Bahkan tak jarang anggota keluarga juga ikut berpartisipasi. Demi menjaga gengsi gaji bulan pertama, ada orang tua yang rela mengeluarkan uang agar anaknya bisa mentraktir makan teman-temannya, sepupu-sepupunya atau bahkan keluarga besarnya. Mengatakan itu adalah hasil kerja si anak, meski kenyataannya gaji tersebut masih jauh dari kata UMR (Upah Minimum Rata-rata).

Kalau mau tahu seberapa besar efek urban poverty, lihatlah bagaimana kehidupan buruh (worker) di daerah. Smartphone terbaru, kendaraan pribadi yang masih mulus, dandanan yang stylish, tempat nongkrong yang hits dan sifat konsumtif adalah hal yang biasa. Namun di balik semua itu, ada petugas leasing dan rentenir yang menanti. Kadang-kadang ...

Ada orang tua yang curhat tentang  anaknya yang masih suka meminta uang meski sudah bekerja, ia   tak habis pikir kemana perginya gaji si anak, mempertanyakan apa bedanya sekolah dan bekerja kalau masih tetap dibiayai orang tua?

Mungkin si anak akan menjawab “on my body ...” atau “on my face ...” sambil bergaya dan menunjuk wajah. LOL

Ketika masa OJT (On Job Training), salah satu (mantan) atasanku bertanya “how many percentage of your salary that would you give to your parents?” yang aku jawab dengan “it’s depends on situation Sir”, ia bertanya lagi “so your parents is working right?” aku menjawab “yes” karena kedua orang tuaku masih bekerja, setelah mendengar jawabanku  ia berkata “off course you are”.

Ia kemudian bercerita bahwa di Korea ada peraturan tersendiri mengenai gaji untuk karyawan baru atau fresh graduated. Jika orang tua karyawan tersebut tidak bekerja (tidak menghasilkan uang) maka sepersekian persen dari gajinya akan ditransfer ke rekening orang tuanya, ia bisa mendapatkan gajinya secara full hanya jika orang tuanya bekerja.

Karena tanpa bantuan dan dukungan dari orang tua, anak tersebut tidak akan menjadi seperti ini (bekerja) dan sepersekian persen dari gaji adalah bentuk rasa terimakasih dan tanggungjawab. It’s a nice habit  ... tapi mungkin jika diterapkan di Indonesia akan menuai pro dan kontra besar-besaran, meski masih jadi wacana.

Orang tuaku pernah bertanya kenapa aku tidak menggunakan gajiku seperti anak-anak temannya, membeli pakaian baru, sepatu baru, tas baru, make up baru, pergi nongkrong dengan teman-teman, pergi jalan-jalan dengan pacar dan hal lain yang anak-anak temannya lakukan ketika sudah bekerja.

Aku tidak melakukan hal-hal yang tidak ku sukai hanya karena orang lain melakukannya. Aku lebih suka menabung serta membelanjakan sisa gajiku untuk membeli buku terbaru dan sketch tools.  Membeli pakaian baru, sepatu baru, tas baru  dan make up baru bukanlah suatu keharusan di setiap bulannya, begitu pun dengan nongkrong dan jalan-jalan. Membaca blog dan artikel di internet jauh lebih berharga daripada sosialisasi haha hihi.

Karena ikan Salmon tidak perlu mengikuti arus untuk menjadi diri sendiri.

Aku melihat temanku membeli pakaian baru, sepatu baru, tas baru dan make up baru di setiap bulannya, pada suatu hari ia mengeluh tentang betapa ‘trendy is pain’ . Ia sangat trendy, tapi dengan gaji yang pas-pasan ia hanya mampu membeli yang biasa saja, katakanlah low quality. Ia berasumsi, selama mengenakan model terbaru, orang tidak akan pernah mengetahui berapa harganya.

Kenyataannya, hampir semua  barang trendy kebanggaannya rusak setelah dipakai beberapa kali, ia harus terus menerus berbelanja setiap bulan untuk menutupi kebutuhannya. Dengan ‘sampah’ yang bertambah setiap bulannya, ia merasa telah jatuh miskin, menyadari bahwa sebenarnya ia tidak memiliki apa-apa.

Dosenku pernah berkata: jika ingin menjadi designer harus wise dan kuat iman, karena profesi tersebut adalah yang paling dekat dengan neraka. Tahu kenapa? Karena ia (designer) harus mampu untuk membangkitkan naluri terendah dalam diri manusia yaitu lust dan desire. Dan sebaik-baiknya designer adalah yang mampu mendesign produk yang memunculkan rasa ingin memiliki hanya dengan melihatnya. Seperti love at the first sight (with sins following after).   

Mungkin urban poverty muncul akibat designer atau creativepreneur yang sangat produktif.

Semacam ‘our goals is your poverty’. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
WANITA SUNDA VS WANITA JAWA

BAB 1
Pendahuluan
1.1    Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki ritme hidupnya masing-masing, meskipun berbeda-beda caranya pemenuhannya, namun secara garis besar kegiatan yang dilakukannya sama. Dimulai dari bangun pagi, mandi, sarapan, kerja, ibadah, santai, sampai kembali tidur. Dari bangun tidur itulah bisa diketahui bagaimana keadaan aktifitas yang selanjutnya jika bangunnya telat biasanya aktifitas yang selanjutnya akan berantakan karena banyak waktu yang tumpang tindih antara kebutuhan yang satu dengan kebutuhan yang lainnya.

Kebiasaan pun ikut mempengaruhi aktifitas lainnya, baik itu kebiasaan yang memang sudah ditanamkan sejak lahir, atau kebiasaan yang memang tercipta dari aktifitas yang dilakukannya. Ada beberapa wacana yang tak terdokumentasikan, hanya beredar antar bibir saja,bahwa kebiasaan dari suku bangsa/etnis lah yang mempengaruhi pola kerja seseorang. 


Menurut wacana tersebut wanita yang beretnis Sunda lebih mendahulukan penampilannya daripada pekerjaan rumahnya makanya meskipun cantik namun rumahnya berantakan, sedangkan wanita yang beretnis Jawa lebih mendahulukan pekerjaan rumanya daripada penampilannya makanya kebanyakan wanita beretnis Jawa berpenampilan lebih sederhana dibandingkan dengan wanita beretnis Sunda.
Maka daripada itulah, penulis ingin mengangkat peristiwa itu sebagai tema dari tugas yang berjudul “Wanita Sunda VS Wanita Jawa”.

1.2    Identifikasi Masalah
Menilik keadaan yang seperti itu, penulis ingin menekankan pembahasan di dalam makalah ini terhadap:
1.       Kebiasaan wanita Sunda dan wanita Jawa
2.       Perbedaan prioritas bagi wanita Sunda dan wanita Jawa

1.3    Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1           Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam makalah adalah semua hal yang mencangkup ruang lingkup kebiasaan dan prioritas.
1.3.2           Perumusan Masalah
Perumusan masalah di dalam makalah ini adalah “Adakah Pengaruh Prioritas pada Kebiasaan  Wanita Sunda dan Wanita Jawa”.

1.4    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pihak yang terkait (wanita Sunda dan wanita Jawa) bisa saling memaklumi dan menghargai kebiasaan masing-masing etnis.

1.5    Metode penelitian
Metode penelitian yang dilakukan ialah dengan cara survei langsung ke lapangan dan mencari tahu tentang kebiasaan masing-masing etnis.

1.6    Pelaksanaan penelitian
Penelitian ini dilakukan di sebuah asrama putri berisikan 22 orang, yang terdiri dari: 15 0rang wanita beretnis Sunda, 5 orang wanita beretnis Jawa dan 2 orang lainnya (Aceh dan Padang)

Penelitian  1
Penelitian tentang kegiatan yang dilakukan mereka (wanita Sunda dan wanita Jawa) setelah sholat shubuh / bangun tidur?
Berdasarkan pengamatan penulis:
Wanita Sunda cenderung lebih memilih untuk tidur lagi daripada melakukan aktifitas lainnya (contoh: membereskan asrama, olahraga pagi)
Sedangkan, wanita Jawa cenderung lebih memilih untuk melakukan kewajiban akan kebutuhan mereka masing-masing (contoh: mencuci baju, membersihkan asrama)

Penelitian 2
Penelitian tentang mana yang lebih didahulukan? Mandi atau membereskan tempat tidur?
Berdasarkan pengamatan penulis:
Wanita Sunda setelah bangun biasanya lebih tertarik untuk mandi daripada membereskan tempat tidurnya, alasannya agar tidak ada kewajiban yang mesti dipenuhi lagi.
Sedangkan, wanita Jawa tentu saja lebih tertarik untuk membereskan tempat tidurnya terlebih dahulu sebelum mandi, alasannya agar bisa mengerjakan pekerjaan lainnya jika sudah selesai mandi.

Penelitian 3
Penelitian tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bersolek di depan kaca?
Berdasarkan pengamatan penulis:
Wanita Sunda membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk bersolek di depan kaca.
Sedangkan, wanita Jawa membutuhkan waktu lebih sedikit untuk bersolek di depan kaca.

1.7    Kesimpulan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, penulis mengamati bahwa memang benar adanya perbedaan prioritas antara wanita Sunda dan wanita Jawa.

Jangan dianggap terlalu serius ya... ini tugas Bahasa Indonesia mengenai penulisan makalah.
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Pasti kamu pernah lihat gambar semacam ini ...

Kalau kamu sering mencari tips-tips atau tutorial di situs www.pinterest.com tentu sudah tidak asing dengan infographic semacam itu. Ya, infographic. Infographic adalah informasi yang dirangkum dalam bentuk digital, tujuannya agar menarik untuk dibaca.

Seperti halnya membaca, kebanyakan orang lebih suka membaca komik daripada novel karena lebih mudah dicerna. Komik menyajikan visualisasi dan teks sebagai pelengkap sedangkan novel menyajikan teks tanpa visualisasi, jadinya kamu akan mudah bosan. Selain itu karena otak manusia lebih mudah mencerna ketika melihat visualisasi.

Mungkin ada diantara kamu yang juga ingin membagikan tips-tips dan tutorial kepada teman, tapi masih bingung gimana caranya atau gimana membuatnya karena merasa memiliki keterbatasan skill dalam bidang graphic design.

Kamu bisa kunjungi situs www.pictochart.com, situs tersebut menyediakan berbagai macam template gratis untuk membuat infographic. Kamu bisa mengedit lay out, font dan warnanya sesuai dengan yang kamu inginkan. Bahkan bisa juga menambahkan foto yang akan mendukung infographic kamu.

Tapi ingat ya ... sebelumnya kamu membuat list dari tips-tips yang akan kamu buat infographicnya. Karena ... kamu akan lupa waktu ketika mengedit templatenya hehe Serius deh, apalagi kalau kamu suka mengoprek, pasti betah berlama-lama.

Selain bisa mengasah skill dalam bidang graphic design, membuat infographic juga mengasah kemampuan dalam bidang kepenulisan. Sayangnya, saat ini www.pictochart.com hanya bisa diakses dengan koneksi internet sehingga kamu tidak bisa mengeditnya secara offline. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Dumb Ways To Die atau yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia diartikan sebagai Cara Konyol Untuk Mati adalah sebuah game android yang uniknya dirilis oleh sebuah perusahaan kereta api swasta dari kota Melbourne Australia bernama Metro Trains.

Dumb Ways To Die sebenarnya adalah iklan atau campaign dari perusahaan tersebut untuk meningkatkan self awareness (kesadaran) masyarakat agar menjaga keselamatan dari bahaya kereta api.

Meski dibuat untuk campaign perusahaan kereta api, karakter yang digunakan tidaklah bertema kereta api atau hal yang berkaitan dengannya, melainkan karakter simple nan dinamis yang colorful. Sekilas dilihat, karakter yang digunakan menyerupai kacang-kacangan atau permen-permenan kenyal seperti Yupi.

Cara memainkan game Dumb Ways To Die cukup mudah, gamers akan ditantang untuk menyelamatkan karakter tersebut dari hal-hal konyol yang bisa mengakibatkan kematian. Seperti misalnya meloncat diantara peron dan kereta api agar tidak terjatuh, menautkan tali balon ke tangan agar tidak tertabrak kereta api atau menggeser karakter agar tidak terserempet kereta api.

Tapi walaupun dibuat untuk campaign perusahaan kereta api, tidak semua gamenya berkaitan dengan kereta api. Beberapa diantaranya merupakan aktivitas sehari-hari, hal-hal kecil yang jika dilakukan dengan tidak tepat bisa mengakibatkan kematian. Seperti misalnya menyambungkan kabel dengan tepat, menghindarkan ikan Piranha ketika sedang berada di dalam air dan mengeluarkan roti dari dalam toaster.

Selain graphic designnya yang simple, Dumb Ways To Die juga memiliki theme song yang earcatching, untuk mendengarkan full theme song Dumb Ways To Die gamers bisa melihat video yang terdapat di dalam game.


Dumb Ways To Die memang bukanlah game dengan tingkat kesulitan yang tinggi atau membutuhkan ketekunan seperti game lainnya, namun game Dumb Ways To Die cukup menyenangkan sebagai time killer.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

I have been waiting for a long time for someone whom understand me just at the first sight, someone whom known me better than anyone else, someone whom would give me the answers that I craved for so long.

Maybe I asked to much. But curiousity is thirstiest, isn’t it?

I can’t counting how many peoples came and go, tried to open out my (limited) mind and persuaded me, told me that they were the same as me and I needed them as I needed my glasses.

I know someone like you, she is bla  bla bla ... I understand what do you feel, I also feel the same bla bla bla ... You know what? We are in one frequency bla bla bla ... We are connected in a mysterious way bla bla bla ... Maybe this is the right time for me to meet you bla bla bla ... you name it Hon!

I’m exhausted.

I need more than a long conversation of the topic I already knew from internet nor the book I finished while eating, I lost my appetite when they repeated my words as they own it. The fact, I loathed the way they pretend I don’t know what they are talking about, seems I watching how to serve Indomie on Youtube.

Google has had everything, so please give me something that Google hasn’t had.

BTW, how could they think I could trust someone just by their words or because we connected (as they said) in mysterious way, such an accidentally meet on the perfect time. Come on guys ...

I really appreciated how they tried to made me felt so special, a rare items on online games, a limited edition type or one in a million of minions. They wish me wanted them as they wanted me, mesmerized me by a chance of discovering an astral world that I’m not really intresting about.

Err ...

All this time, I might always locked my lips like a silent readers on social media timeline, always shown a little interesting to every hints that leads me into a tricky conversations, always looking so bored to every conversation we had been through. Because I knew, playing dumb is the quickest way to end those meaningless conversations.  

They were there, waiting patiently for me to share my (other) mind, even sometimes they pointly toward asking. Actually, I don’t mind as long as I want to, not because to ... So, the problem is, I still looking for that on.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates