Disclaimer: post ini
panjang banget ... 😳
Beberapa waktu
lalu aku menemukan artikel mengenai emotionaleating yang ditulis oleh Sitta
Karina. Emotional eating adalah suatu
kondisi dimana kita makan dengan tujuan untuk menyamankan diri. Jadi, makan bukan
hanya karena kebutuhan biologis melainkan untuk mengatasi permasalahan emosi
yang dipicu oleh rasa marah, khawatir, kesal, bosan atau gelisah.
Dipikir-pikir
... 😒
Dipikir-pikir
... 😒
Dipikir-pikir
... 😒
Ternyata aku
dulu pernah begini ...
Kalau kalian
terhubung denganku di dunia nyata (atau virtual) pasti pernah menemukan fotoku
yang dikomentari “kok gendutan?” oleh khalayak netyzen sekalian. Masa-masa excited-nya punya akun Instagram dan
Path. Masa-masa kuliah tingkat akhir. Masa-masa awal bekerja. Masa-masa hiatus season 1. Serta masa-masa selanjutnya
... selalu ada yang mengomentari “kok gendutan?” bak “hai! Apa kabar?”.
FYI. Saat ini
“kok gendutan?” adalah body shaming. Kali aja belum pada tahu
...
Aku merasa
bersyukur menemukan artikel mengenai emotional
eating ini bukan pada saat mengalaminya,
melainkan setelah mengalaminya, yang artinya ... aku sudah berhasil melaluinya 👼.
Ohya emotional eating versiku ini terjadi karena stress berkepanjangan sebab terlalu lelah menghadapi hidup 😅 Intinya
sih kecapekan ... dan #kurangpiknik aja 😁
Sebelumnya aku
nggak memiliki masalah dengan makan, palingan malas karena aku picky eater yang berimbas pada menyelingi makan dengan ngemil. Yang
menjadikannya emotional eating adalah ketika aku makan dalam
kondisi (yang tanpa disadari) sedang stress.
Dan itu bermula di tahun terakhir
kuliahku ...
Kalau biasanya
teman-temanku minum kopi biar nggak ngantuk saat (berniat) begadang, well ... bagiku kopi malah nggak ngaruh
sama sekali, yang ada malah ngantuk dan kadang malah ketiduran (makanya
jangan heran ya kalau abis jajan ke coffee
shop mataku kriyep-kriyep haha 😉). Hanya
ada satu cara untuk membuatku tetap terjaga kala begadang; ngemil. Trust me, it works!
Namun mesti
diakui, tahun terakhir kuliah adalah masa-masa yang cukup membebani. Kalau
mahasiswa lain harus melalui 1-3 kali sidang untuk bisa lulus aku harus melalui
8 kali sidang. (Normalnya hanya 6 kali sidang, 3 sidang KP dan 3 sidang TA
bermuatan 8 sks. Sayangnya aku harus mengulang sidang KP karena di
sidang (terakhir) KP season 1 aku
sakit *heu ... 😵).
Saking seringnya
sidang, temanku ngeceng-cengin: “cie ... simulasi anggota MPR” 😫
Karena sidang KP
dan sidang TA dilakukan secara kontinyu, maka sudah bisa dipastikan selama 1
tahun lebih itu nggak ada hari tanpa begadang yang berarti hampir setiap malam
aku ngemil. Kupikir normal ya untuk merasa lapar setiap 6 jam sekali karena
waktu tidurku kurang dari 6 jam sehari, jadi sebelum dan sesudah tidur aku
terbiasa untuk ngemil 😍
Aku aja
cemilanku? Saat itu aku jarang makan mie instan ya paling sebulan 1-2 kali, lebih
ke roti dan susu serta makanan berat lainnya yhaha 😋 ini termasuk aneka cookies atau keripik. Ternyata begadang
bukan Cuma menguras tenaga dan pikiran ya namun juga kesehatan mental 😌. Kesal
dikit, ngemil. Capek dikit, ngemil. Bingung dikit, ngemil. Galau dikit, ngemil.
Baper dikit, ngemil. Kalau nggak ngemil ya makan 😳
Kupikir
semua baik-baik aja, tapi tenyata nggak bagi
teman-temanku. Maka mulailah banyak yang berkomentar “kok gendutan?”,
“orang lain ma h TA tuh ngurusin, ini
kok malah gendutan” atau “tumbuh tuh ke atas bukan ke samping” BGST memang~ ... 😂 Tapi karena nggak merasa ada yang salah aku adem ayem tentrem bae ... melanjutkan hidup sambil eungap.
Pernah ada yang
tanya: “Non, kenapa kamu gendut?” bosan ditanyai maka kujawab “kamu sendiri
kenapa item?” yang dijawabnya “dari dulu juga item kok, bukannya gitu ... kalau
gendut ntar susah punya pacar” karena nggak merasa ada korelasi antara gendut
dan punya pacar maka kujawab “lah ... kamu kurus dari dulu tetep aja nggak ada
mau”.
Kupikir, ketimbang
menyuruhku ini itu seharusnya ia berusaha membenahi hidupnya sendiri 😏.
Pernah terjadi saat
aku membeli celana panjang, aku jelas request
ukuran 30 begitu datang ukurannya ditambahi jadi ukuran 34 dengan alasan “kan
sekarang udah gendut”, wajar dong kalau marah-marah dan minta ditukar dengan
ukuran yang ku request. Ehh ... ternyata
yang datang bukan ukuran 30 melainkan ukuran 32 katanya “takutnya nggak cukup”.
Eym ... tabok gak nih haha 😅
FYI. 30 itu udah
ukuran final, masih agak kegedean karena sebelumnya pake
ukuran 28-29 dan memang masih cukup. Meski akhirnya dibeli karena mamaku merasa
nggak enak dengan penjualnya, begitu sampai kamar kulempar dan ketemunya lagi
pas doi udah bulukan haha Nggak habis pikir ... kenapa orang-orang terasa lebih
underestimate saat aku ‘berubah’ 😮.
Saat kuliah
ukuran pakaianku kalau nggak S ya M bahkan SS, kemudian berubah menjadi L atau
XL. Nah, disini aku merasa sedih ... Serius deh ini ... sedihnya beneran sedih,
pakaian favoritos teronggok siya-siya di pojokan lemari karena nggak pada muat.
Yawla! Makin ambyar aja eksistensiku ... 😭😭😭
Meski ZBL
setengah mati dari sini aku jadi berpikir: “Ohh ... jadi begini ya yang
dirasakan orang-orang sebelumku”. Mungkin aku adalah orang kesekian
ratus juta yang mengalami hal seperti ini, namun bagiku ini adalah kali pertama
dan ternyata menyedihkan ... 😰
Lingkungan jelas
nggak berpihak karena apa pun yang kulakukan selalu tampak salah, yang woles mah Cuma Bude Sumiyati 😁 Entah terbuat
dari apa yaini bibir netyzen komentarnya pada pacux semua. “kalau belum nikah mah gak boleh gendut!”, “kamu jelek
kalau gendut, kaya ibu-ibu”, “jangan makan banyak-banyak”, “diet napa sih?” etc
yang berujung pada pertanyaan genggeus lainnya yakni “kapan nikah?” 😴.
"Sesalah itu ya
kalau gendutan?"
– Lestari (waktu masih) 23 tahun –
– Lestari (waktu masih) 23 tahun –
Tentu aku merasa
sadar kalau kondisi fisikku berubah, namun yang masih belum bisa kumengerti
adalah alasan kenapa bisa sampai sebegininya. Karena kalau ditelaah lebih
lanjut, asupan ngemilku nggak jauh berbeda dari saat kuliah (sebelum masa tingkat
akhir), palingan makan jadi lebih rutin nggak sekenanya seperti saat kuliah.
Jadi, dimana
masalahnya?
Kalau
dibandingkan dengan kuliah seharusnya (fase) kerja ini nggak serumit kuliah, seenggaknya
kerjaannya nggak membuatku begadang. Mungkin karena sebelumnya terbiasa dengan ritme
hidup yang serba-ketat-namun-nggak-teratur, bagiku fase kerja malah
membingungkan.
Secara visual pekerjaanku terbilang : bisa
dikuasai asalkan ada niat. Itu visualisasinya ya ... Behind the scene-nya gimana nih?
Blingsatan qaqa
... 😂😂😂
Sebagai fresh graduate tentu masih ada sisa-sisa idealisme yang masih membuntuti,
kupikir itu wajar karena (sebagai fresh
graduate) kita masih dihinggapi
euphoria yang meledak-ledak tentang
merealisasikan hal-hal yang sebelumnya bersifat teoritis. Namun bukan idealisme
sebagai fresh graduate yang membuatku gelisah melainkan idealisme pada
diri sendiri.
Untuk pekerjaan aku
masih bisa mengikuti, namun untuk hal-hal yang bersifat kehakikatan alias hati,
jiwa dan pikiran. Jelas nggak pernah bisa nyambung.
I don’t
feel alive anymore.
a.k.a aku nggak
bahagia nih guise ... 😭
Itu masalahnya.
Maka dimulailah
(lagi) masa-masa: Kesal dikit, ngemil. Capek dikit, ngemil. Bingung dikit,
ngemil. Galau dikit, ngemil. Baper dikit, ngemil.
Makan. Ngemil.
Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil.
Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil.
Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil. Makan. Ngemil.
Makan. Ngemil. Begitu seterusnya sampai bosan nyaman ... 💃
Hampir setiap bulan
aku mesti ke dokter, ceritanya sakit kepala melulu padahal mah hatinya yang mangkel
melulu haha Gimana nggak mangkel ya
hampir setiap hari aku disodori sampah sosial.
Tentang si A
yang sudah bekerja bahkan sebelum wisuda. Tentang si B yang akan di-khitbah hanya 3 bulan setelah bekerja.
Tentang si C yang membeli smartphone
terbaru dengan gaji pertamanya. Tentang si D yang mengambil cicilan KPR meski
statusnya masih kontrak. Tentang si E yang posting
foto liburannya ke Singapura. Tentang si F, G, H sampai Z atau (mulai lagi
dari) A1, A2, A3, A4, A5, Letter, Legal, Kwarto, Blanko, Porto, Bakso ...
O ... O ... O ...
Bacotan tetangga memang lebih shahih
ketimbang akun per-Lambe-an 💋💋💋
Berhubung di
depan kantorku ada Alfamart maka berasa ada guilty
pleasure kalau nggak mampir barang
sekejap yhaha ... 👻 Bisa lah ya jajan Aice atau nyetok snack kecil-kecil sekali tamat macem Oreo, Go Potato atau Tango.
Aku memang udah tidak dalam masa pertumbuhan, namun apa salahnya makan
dan ngemil?
Ada masanya
ketika aku baru beranjak dari kasur 1 jam setelah terbangun, hal itu terjadi
selama berbulan-bulan lamanya. Ngapain aja selama 1 jam itu? Aku ... berpikir
... berpikir ... berpikir ... mengenai banyak hal. Yha~ Intinya adalah overthinking dengan ketidak-puasan,
ketidak-berdayaan, ketidak-hidupan serta ketidak-tidakan lainnya.
Dengan emosi
yang fluktuatif semakin hari kumerasa semakin labil wkwk ... 😅 Kadang suka nggak
fokus dengan apa yang dikerjakan, mendadak badmood,
mudah tersinggung, sering marah-marah bahkan untuk hal remeh sekalipun.
Pokoknya intensitas mood swing-nya tinggi (sekali) sampai sering merasa
ubun-ubun ngebul saking panasnya 😱.
Selalu terselip
pikiran: “Aku dimana? Aku siapa? Aku apa?” setiap kali merasa asing ditengah
keriuhan yang bagiku ... sorry to say
... memuakkan 😯. Topik obrolan sehari-hari HANYA berkisar antara: jodoh, menikah serta
angan-angan masa depan, hhhhhhadddehhhhh
.... yukate hidup cuma untuk beregenerasi?! 😵😵😵
Hidup ini Cuma
sekali ya kawan ... kamu nggak akan mati kalau nggak menikah besok. Single juga nggak akan menjadi masalah
kalau kamu nggak membesar-besarkannya. Kupikir: dunia nggak akan runtuh hanya
karena aku nggak menikah besok dan aku nggak akan mati siya-siya hanya karena
masih single.
Eh. Tapi balik
lagi sih ... what doesn’t
kill me may kill somebody 😏
Mungkin pernah
mendengar seloroh candaan: “geuleuh? Utahkeun weh ...”
HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA
HAHAHAHAHA
I did!
Saking muaknya.
Aku (sampai)
mual.
Lantas muntah.
Aku nggak merasa
connect dengan lingkunganku, mau itu
di rumah atau di kantor atau di sekitarnya. Aku merasa orang-orang cenderung
menuntut banyak hal, banyak bangedh ... lebih banyak ketimbang dosa malah
... Makanya sering KZL.
Sadar hidupku
mulai ‘menyimpang’ haha aku mulai berpikir untuk mengembalikannya ke jalan yang
benar *wink *wink *wink Karena aku meyakini men
sana in corporesano, maka aku
memutuskan untuk lebih dulu membenahi pikiranku ketimbang membenahi berat
badan, I want to keep my mind back on the right track 😎
Maka aku resign.
Orang-orang
bukan Cuma menyayangkan keputusanku namun juga menganggapku goblok, yhaha ...
memang. resign dengan alasan ‘lelah’
disaat orang-orang kesulitan mendapatkan pekerjaan adalah goblok, tapi kupikir
lebih goblok lagi kalau terus memaksakan diri menjalani kehidupan yang (kutahu)
nggak pernah kuinginkan.
Bukannya sok
kaya ya haha 😂 tapi frasa uang tidak bisa membeli kebahagiaan itu benar adanya. Kupikir
percuma bekerja dan berpenghasilan sedang setiap bulan mesti ke dokter, minum
obat yang kutahu sama sekali nggak ada efeknya (karena bulan depan pasti balik
lagi) dan entah kenapa sering merasa berada di tempat yang salah.
Karena
sesejahtera apapun hidupmu kalau nggak bahagia yha~ ... hambar.
Lama-lama
ambyar.
Ujungnya bubyar.
Yagimana dong
... namanya juga nggak bahagia *heu.
Thanks untuk Fahria dan Mazia yang udah
menyelenggarakan marathon wedding haha Karena kalian resign-ku jadi epic. Gimana nggak epic
lah yha? Paginya aku resign. Siangnya
ke Bandung. Sorenya ke Jakarta. Besoknya ada di Yogyakarta. Liburan ...
Ternyata euphoria resign Cuma bertahan selama 2-3 bulan aja yhaha ... dan orang-orang
jelas gelisah dengan ‘kemalasan’ku ini 😜.
FYI. Aku nggak
malas ya ... tapi lelah ... 😅
Saat itu aku
merencanakan untuk ‘istirahat’ sejenak selama ± 1 tahun (yang pada
kenyataannya malah molor sampai ± 3 tahun). Membersihkan hati, jiwa dan pikiran
juga butuh proses kali ah ... kelak aku menyebutnya: hiatus.
Bagiku, masa
hiatus adalah masa terberat. Selalu ada godaan untuk kembali
menggadaikan kebahagiaan dikarenakan kekerean ini. Duhai #sobatmiskin ... aku
padamu. Hanya Twitter yang paling mengerti gimana rasanya nggak sanggup buka
akun Instagram dan Path karena sayang kuota 😊.
Nggak terhitung
berapa banyak teguran, kritikan atau perintah yang disampaikan, dari cara yang
baik-baik sampai kurang ajar sekali pun. Orang-orang berpikir 20 tahun dalam
hidupku terbuang siya-siya sebab sekolah tidak menjadikanku lebih terdidik
ketimbang seharusnya.
Let me tell you
... there always a black sheep to be blamed in every family isn’t? 🐑.
Kupikir
orang-orang sudah cukup gila untuk menilai sesorang hanya berdasarkan kulit
luarnya saja. Perkara sampah sosial atau pencapaian-pencapaian ambisius
membuatku tersadar bahwa aku mesti menyelamatkan serta memelihara kewarasanku. At least
... aku masih ingin memiliki hati, jiwa dan pikiran yang stabil.
I stand for myself.
So ... What are you stand for?
⌛
Ngapain aja nih pasca resign?
Memanjakan diri
dengan menonton TV dan tidur siang. Menghabiskan waktu dengan membaca buku dan beres-beres.
Menekuni lagi hobby yang sempat terlupakan.
Mencoba mengurai dan membenahi apa-apa yang ditinggalkan. Menyiram tanaman dan
... ngeblog lagi. Intinya sih menyenangkan diri sendiri.
Anggaplah yang
kulakukan ini sebagai the art of
doing nothing 😂😂😂
Aku belajar lagi
menikmati setiap hal yang kukira terlalu mevvah untuk dilakukan dan terlalu
muluk untuk dibayangkan. So ...
ketimbang misuh-misuh dengan masa lalu yang “hemeh bin hadeh” aku memilih untuk
berdamai dengan diri sendiri dengan memberikan second chance sebagai reward atas pencapaianku.
Well ... Tydac menyerah juga adalah pencapaian 👌
Hidup ini
berproses ya ... aku juga nggak langsung kurus begitu aja dalam semalam.
Dibutuhkan waktu yang “cukup” lambreta untuk “berubah” kembali seperti dulu~
Semuanya berjalan beriringan, saat pikiran tercerahkan maka saat itu juga
semesta mendukung meski seringnya menikung *eh.
Ohya, selama
mengalami emotional eating ini adakah yang berusaha membantu
dan menuntunku kembali ke jalan yang benar? Eym ... kayanya nggak ada
*heu 😅 Maklumlah ... orang-orang lebih senang menjadi komentator ketimbang
menjadi motivator. Meski “kok gendutan?” kini sudah merubah menjadi “kok
kurusan?” akan selalu ada hal yang salah dimata khalayak sekalian.
Aku merasa lebih
beruntung karena bisa berhenti pada
tahap emotional eating, nggak sampai eating
disorder. Alhamdulillah nggak ada
keinginan untuk suicide karena aku
nggak mau jadi hantu penasaran seperti beberapa karakter di bukunya Risa
Sarasvati. Geje aja gitu ... hidup nggak ke akhirat juga nggak haha ...
Pada akhirnya
... kembali ke haribaan diri sendiri. Siapa yang akan menolong dan mengusahakan
kalau bukan diri sendiri.
Yang kurasakan
setelah mengalami emotional eating, yha~ mungkin aku lebih menerima
diri apa adanya (self acceptance), lebih santai menanggapi
orang-orang, lebih woles dalam menjalani keseharian dan tahu benar apa yang
kuinginkan. Well ... hidup ini bukan
Cuma dijalani namun juga dinikmati yaw~
Aku masih ngemil.
Dan berbahagia.
Yawla! Panjang
banget ya post akhir tahun ini.