Hampir setiap hari guru yang mengajar di kelas selalu membicarakan tentang calon pemimpin baru yang akan datang, tentang awai karirnya di Garut dan sepak terjangnya di dunia politik, serta kemungkinan menjadi menteri kalau batasan umur masih mencukupi. Kami yang tidak tahu apa-apa Cuma patuh mendengarkan meski terkadang bosan karena mendengarkan hal yang sama berulang-ulang.
Kehebatan calon pemimpin baru tersebut sudah
hingar bingar ke seluruh penjuru Ma’had, jauh sebelum ia benar-benar menjabat
sebagai pimpinan. Mungkin karena terpengaruh oleh doktrin dari guru dan
pembina, kami mulai terbiasa untuk menyisipkan sebagian doktrin tersebut ke
dalam percakapan sehari-hari.
Di suatu sore yang menjemukan, kami mengikuti
pelajaran Kesenian yang berlokasi di bangunan paling depandi dekat pos Satpam,
di samping gerbang masuk utama. Bangunantersebut sudah beberapa kali beralih
fungsi, dari tempat pendaftaran santri baru, kantor TU (Tata Usaha), rumah
pembina, dan terakhir dijadikan Lab Kesenian yangbaru saja pindah dari ruang
makan putra di samping rumah Pak Miskun.
Seperti standard
kantor dan rumah pembina pada umumnya, Lab Kesenian memiliki telepon extension yang saling terkoneksi satu
sama lain. Jika ingin menelepon ke Ma’had, si penelepon wajib mendengarkan basa
basi operator telepon lalu memasukkan nomor extension
yang terdiri dari 3 digit angka.
Setiap nomor extension akan
tersambung ke rumah berbeda, maka dari itu si penelepon harus tahu pasti nomor extension si penerima.
Saat guru Kesenian sedang menjelaskan tentang
fungsi dari gamelan, sebagian dari kami sudah tidak memperhatikan, keadaan
menjadi semakin tidak terkendali ketika beliau mendemonstrasikan bagaimana
caranya memainkan gamelan. Beberapa dari kami mulai berlalu lalang, menyelinap
memasuki ruangan-ruangan kosong untuk mengusir kebosanan.
Melihat telepon extension yang tergantung tanggung dan terabaikan membuat beberapa
teman saya, yaituAnya, Eneng dan Kiwilberinisiatif
untuk memainkannya. Bergantian mereka memencet nomor secara acak (random) lalu berbicara pada telepon extension seolah-olah ada yang
mendengarkan.
***
Suara motor bising memecah perhatian kami yang
memang tidak memperhatikan sedari tadi, seorang pembina santri putra turun dari
motor dan bergegas menghampiri pintu Lab Kesenian dengan tergesa-gesa. Ia lalu
membuka pintu seraya bertanya dengan intonasi suara yang tajam.
“Siapa yang tadi menelepon?”
Hening.
“Siapa yang tadi pakai telepon?”
Bingung.
“Siapa yang tadi berbicara di telepon?”
Bingung.
“Kenapa tidak ada yang menjawab?”
Tatapan kosong.
“Kalau tidak ada yang mau mengaku !!! saya akan segera laporkan masalah ini ke
pembina kalian !!!”
Krikk ... Krikk ... Krikk ... Krikk ...
“Kalian semua keluar !!!”
Yes !!! (*dalam hati)
Pelajaran Kesenian sore itu berakhir paksa
karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Kami bergegas meninggalkan
Lab Kesenian dengan mulut terkunci rapat, mengabaikan santri putra yang sudah
siap ngeceng di pinggir jendela asrama. Kami langsung menuju asrama dan
mengadakan rapat darurat angkatan membahas insiden yang baru saja terjadi.
Demi kemaslahatan Ma’had dan reputasi
angkatan, hasil rapat angkatan kali ini telah memutuskan bahwa Anya, Eneng dan
Kiwil harus mengakui perbuatannya kepada pembina, biarlah pembina yang
memutuskan nasib mereka selanjutnya. Apakah mereka akan dimarahi? Apakah mereka
akan diskors? Apakah mereka akan di keluarkan dari sekolah?
Tapi, yang sebenarnya terjadi dalam rapat
angkatan tidaklah setegas itu, kami sejujurnya lebih tertarik untuk mengetahui
apa yang mereka katakan di telepon extension
sehingga membuat murka seorang pembina. Tanpa perlu didesak, meluncurlah sebuah
cerita fiktif nan konyol karya mereka yang membuat kami tertawa terbahak-bahak.
***
Awalnya Anya, Eneng dan Kiwil hanya ingin mengetahui
apakah telepon extension tersebut
masih berfungsi atau tidak, mereka (sempat) mengetesttapi tidak ada reaksi apa-apa dan suaranya terdengar seperti
telepon rusak.
Darisemua angka yang dipencet secara acak di
telepon extension, tanpa diduga salah
satu kombinasi angkanya tersambung ke rumah salah seorang pembina. Sialnya,
pembina tersebut sedang berada di rumah dan tertarik untuk mengangkatnya,
alih-alih memarahi si penelepon iseng ia lebih memilih untuk mendengarkan ocehan
si penelepon dalam diam dan setelah dirasa cukup mendapatkan bukti ia langsung
memburu si penelepon.
Bagaimana ia tahu dimana si penelepon berada? Mudah
saja, pada telepon extension nomor
penelepon akan tertera di layar, ia hanya tinggal mencari di listextention yang (biasanya) ditempel di
tembok.
Nah, cerita fiktif nan konyol yang diceritakan
di telepon extension itu sebenarnya
hanya celoteh spontan khas ABG labil tanpa pernah ada maksud untuk mengejek,
namun terdengar fantastis karena ditanggapi terlalu serius. Tema besar
ceritanya adalah tentang kasus penculikan yang melibatkan 3 nama tokoh di
Ma’had. Ketiga teman saya masing-masing berperan sebagai:
1.
Mr. Max adalah seorang calon
pemimpin baru Ma’had, ia berperan sebagai orang penting yang disekap, menanti
keluarganya mengirimkan uang tebusan.
2.
Mr. Reagan adalah seorang guru dan
pembina santri putra yang ditakuti ketika mengajar, ia berperan sebagai
penjahat yang menyekap Mr. Max.
3.
Mr. Robby adalah seorang guru dan
pembina santri putra yang banyak disukai karena baik hati, ia berperan sebagai
polisi yang membebaskan Mr. Max.
Dari ketiga peran diatas sudah bisa ditebak
bagaimana alur cerita penculikan tersebut. Sederhana. Mr. Max diculik oleh seorang
penjahat bernama Mr. Reagen, ia disekap di sebuah ruangan, penjahat tersebut
meminta uang tebusan kepada keluarga Mr. Max.
Setelah mendapatkan laporan dari
keluarga Mr. Max, Mr. Robby ditugaskan untuk membebaskan Mr. Max dari sekapan
Mr. Reagan. Terjadi baku tembak antara Mr. Reagan dan Mr. Robby, namun akhirnya
Mr. Robby berhasil mengalahkan Mr. Reagan dan membebaskan Mr. Max.
That’s
it.
Dalam seketika insiden di Lab Kesenian menjadi
trending topic di Ma’had, tak
terkecuali Anya, Eneng dan Kiwil yang namanya ikut melejit. Pembina dan wali
kelas kami langsung turun tangan setelah mendengar laporan dari pembina yang
(kebetulan) mendengarkan ceritapenculikan fiktif tersebut.
Pada beberapa kesempatan, Anya, Eneng dan
Kiwil diinterogasi di kantor TU baru yang terletak di bawah Perpustakaan. Tak
perlu waktu lama bagi kami untuk mengetahui apa yang akan terjadi, karena kami
semua (satu angkatan) ikut dipanggil ke kantor TUuntuk mendengarkan kemarahan
yang meledak-ledak dan menyaksikan ketiga teman kami menjadi objek penderita.
Adayang mengatakan mereka bertiga akan
diskors, ada yang mengatakan mereka bertiga dilaporkan atas pelecehan nama baik
dan ada yang mengatakan mereka bertiga tidak layak disebut sebagai santri.Ter
... La ... Lu ...
Perkembangan insiden telepon extensionakhirnya menemui titik terang
setelah rapat besar antara seluruh pembina dan wali kelas di Ma’had. Keputusannya
adalah Anya, Kiwil dan Neng diharuskan untuk meminta maaf secara personal kepada 3 orang yang namanya
dicatut dalam insiden telepon extension
tersebut.
Dalam rapat itu terungkap pula bahwa yang
menjadi akar permasalahan dilaporkannya Anya, Eneng dan Kiwil pada insiden
telepon extension bukan karena ceritapenculikan
fiktifnya, melainkan karena penyebutan nama calon pimpinan baru Ma’had yang
dilakukan secara berulang-ulang dengan intonasi yang (dianggap) melecehkan.
Masalahnya, jika Anya, Eneng dan Kiwil tidak merasa melakukannya, maka siapa
yang melakukannya?
Yang pertama dimintai maaf adalah Mr. Reagan, karena
ia dinilai sebagai target permohonan
maaf tersulit, ternyata Mr. Reagan tidaklah semenakutkan ketika di kelas, ia
bersedia menerima permohonan maaf mereka bertiga setelah memberikan
nasihat-nasihat bijak selama ± ½ jam.
Yang kedua dimintai maaf adalah Mr. Robby,
sebelum bersedia menerima permohonan maaf ia meminta mereka bertiga untuk
menceritakan cerita penculikan fiktif versi original
kepadanya, tak disangka-sangka ia malah tertawa-tawa ketika mendengarkannya. Ia
juga senang karena jadi polisi.
Yang ketiga dimintai maaf adalah Mr. Max,
karena sulit ditemui ia menjadi orang terakhir yang dimintai maaf, ia bersedia
menerima permintaan maaf mereka bertiga dan menganggap insiden telepon extension merupakan tantangan di tempat
kerja yang baru.
Keputusan Ma’had dalam memberikan sanksi
kepada Anya, Eneng dan Kiwil dianggap cukup fair,
karena insiden telepon extension
dinilai lebih bersifat personal.
Lagipula, bagaimana mungkin Ma’had akan menskors ketiga orang santrinya hanya
karena berimajinasi (terlalu) berlebihan?
Sering ada yang bertanya tentang cerita
penculikan di telepon extension pada
kami, entah itu adik kelas, kakak kelas, kecengan, pacar, guru, pembina atau personil Bu Oyon Group.
Kebanyakan dari mereka memiliki sense of humor
yang baik dan tertawa-tawa ketika mendengarkannya, menggelikan sekaligus menghibur,
bagaimana mungkin sebuah cerita konyol seperti itu bisa membuat geger seisi
Ma’had.
Sejak insiden telepon extension itu, kami tidak diperkenankan untuk menginjakkan kaki di
Lab Kesenian. Ma’had memindahkan (lagi) Lab Kesenian ke atas aula, bersamaan
dengan mushola putra yang ikut hijrah
karena renovasi.
***
Saat insiden telepon extension hampir habis pamornya, saya baru ‘ngeh’. Sebenarnya, pada saat insiden telepon extension itu ada lima orang yang berada di sekitar tempat
kejadian, bukan tiga orang yang selama ini diketahui secara umum, yaitu Anya,
Eneng, Kiwil, Andien dan saya.
Ketika penjelasan gamelan semakin sulit
dimengerti, saya memilih untuk menyelinap ke ruangan lain dan bertemu dengan
mereka. Satu-satunya benda yang menarik perhatian di ruangan tersebut hanyalah
sebuah telepon extension.
Saya ikut tertawa ketika mendengarkan mereka
berceloteh riang dan bergantianmemerankan tokoh pilihannya di telepon extension. Saya berada diantara mereka
sedang mengobrol seru dengan Andien mengenai iklan terbaru Ax* (deodorant) versi manekin(Yang ketika si
pria pengguna Ax* berjalan melewati pertokoan, bukan hanya wanita saja yang kepincut
dengan harumnya, sampai-sampai manekin di
window displays menempel di
kaca saking kepincutnya).
Mungkin suara saya dan Andien terlalu samar di
telepon sehingga yang terdengar bukanlah Ax* seperti yang kami bicarakan,
melainkan nama Mr. Max yang selama ia bicarakan di kelas. Tidak percaya? Coba
lafalkan sendiri kata Ax* dan Max berulang-ulang, niscaya kuping yang normal
pun akan menganggapnya sama, karena kedua kata tersebut menggunakan dua huruf
yang sama, a dan x.
Kami semua punya alibi. Anya, Eneng dan Kiwil sedang bergantian berbicara di telepon
extension, saya dan Andien sedang
membicarakan iklan Ax* dan yang terakhir sedang mendengarkan semua itu di rumah.
Jika memang harus ada yang dipersalahkan, satu-satunya yang layak
disalahkan adalah telepon extension.
Life is short, don't take life too seriously.