Kalau kau mencari tahu apa itu faktor X di google, kau akan menemukan banyak sekali definisi mandiri yang mencoba mejelaskan apa sebenarnya faktor X itu. Mostly, faktor X dijabarkan sebagai faktor penentu yang menyebabkan terjadinya sesuatu, sulit diungkapkan dan invisible. Bahkan beberapa menjabarkan faktor X ini sebagai faktor yang terkait dengan (kuasa) Tuhan.
Sedang kupikir, faktor X adalah kombinasi random dari cakupan berbagai variabel kemungkinan. Karena belum ada kepastian akan komposisi baku dari faktor X, maka kusimpulkan bahwa faktor X sebagai; hal (yang) tak terdefinisikan. Kalau kata orang Sunda mah “tah eta (pokona mah)”.
Yha~ (kupikir) karena ini juga orang menggunakan istilah Mr. X untuk menyebut seseorang yang identitasnya misterius 🕵️. Tak terdefinisi. Begitu pun dengan serial The X-Files (haha... ketahuan kan angkatan mana), setelah menonton berbulan-bulan akhirnya kutahu bahwa The X-files disini adalah tentang unidentified (flying) object. (masih) tak terdefinisi juga yekan 😊.
Kalau ajang pencarian bakat The X Factor mah sudah jelas laya...
Mari kita flashback ke 2 bulan yang lalu...
Saat itu aku, Icunk dan Deya memutuskan untuk makan Ngikan dulu (yang kayanya akan menjadi favorite baru menggantikan ABB) sebelum pulang ke rumah masing-masing. Lupa lagi ngobrolin apa, tapi Icunk bilang; rasa kol goreng tukang pecel dan rasa kol goreng buatan sendiri itu beda karena minyaknya hitam alias sudah pernah menyerap sari-sari makanan sebelumnya.
Sepanjang perjalanan pulang di motor Deya, aku jadi lebih kepikiran; apa yang sebenarnya membedakan rasa kol goreng tukang pecel dengan rasa kol goreng buatan sendiri? 🤣.
Kuyakin kau pun pernah merasakan nikmatnya kol goreng... Lembaran kol yang setengah gosong nan berminyak adalah coy yang cocok untuk nasi uduk hangat dan pecel lele yang disirami sambal tomat yang nggak pedas-pedas amat. Meski mengandung minyak berlebih, nikmat sekali bukan? Well... Membayangkannya aja sudah membuatku kepikiran 🤤.
Menurut analisa sotoyku;
Karena hal teknis, macem jenis kol yang digunakan; apakah berasal dari daerah tertentu, waktu tanam yang lebih panjang atau ada treatment khusus, level api yang digunakan untuk menggoreng, waktu yang tepat untuk memasukkan kol di penggorengan, peralatan yang digunakan atau kombinasi dari semuanya.
Karena hal non teknis, macem benda apa yang sebelumnya dipegang tukang pecel; siapakah yang disalami oleh tukang pecel sebelum ia meraup potongan kol, untuk siapakah ia membuat kol gorengnya (adakah perasaan khusus untuknya 🤔), uang pecahan berapakah yang sebelumnya disentuhnya, doa siapakah yang membuat kol gorengnya nikmat atau kombinasi dari semuanya.
Tentcunya, aku (bahkan kita) nggak bisa menebak kombinasi manakah yang menghasilkan kenikmatan kol goreng, satu yang pasti, tukang pecel itu memiliki faktor X. Ada hal yang tak terdefinisikan yang membuat rasa kol goreng tukang pecel dengan rasa kol goreng buatan sendiri berbeda. Dan kita nggak pernah benar-benar tahu.
Faktor X ini berlaku untuk semua hal ya, bukan hanya kol goreng...
Salah satu makanan favorite-ku adalah Sapo Tahu dan aku punya satu tempat sering kudatangi kalau sedang ingin makan Sapo Tahu. Karena Sapo Tahunya made by order jelas rasanya nggak pernah konsisten, ada aja yang berbeda setiap kali kesana. Kadang agak asin, kadang agak pedas, kadang kuahnya kental, kadang tahunya hancur, kadang seafood-nya banyak, kadang nunggunya lama.
Aku selalu mendapatkan ‘rasa’ yang berbeda setiap kali makan Sapo Tahu, tapi kalau ditanya apakah nikmat? Ya tentcu nikmat. Aku nggak bisa mendefinisikan standar Sapo Tahu apa yang kugunakan untuk membuat Sapo Tahu ini sebagai favorite-ku, selama kumerasa semuanya berjalan baik-baik aja dan nggak ada complain, kupikir nggak ada masalah haha 😊.
Eym... Mungkin ini adalah kerjaannya si faktor X 😝.
Bukankah ini lucu? Bahwa sebenarnya kita nggak perlu mencari alasan mengapa kita menyukai sesuatu...