Well ... mungkin ini adalah kesekian kalinya
pertanyaan itu muncul di benakku “Kenapa kita nggak (ada yang) jadi selebgram atau
Youtubers?” *kaya orang-orang.
Eh. Pertanyaan sejuta umat kali ya ...
Saat
ini Selebgram dan Youtuber
adalah cita-cita populer yang jadi dambaan kids
zaman now, lebih didamba ketimbang
jadi presiden atau dokter seperti di zaman kita dulu. ((kita)). ‘Katanya’ kita
ini generasi instan yang dimanja teknologi makanya agak sulit untuk diajak
susyah, selalu ingin jalan pintas, jadinya ya seperti selebgram-selebgram atau youtuber-youtuber inilah.
Siapa sih yang nggak tergiur dengan
kehidupan menyenangkan ala selebgram dan youtuber,
yang kerjaannya keliatannya Cuma foto-foto, Cuma jalan-jalan atau Cuma
menghadiri event tapi bisa dapet endorsement dan diundang kesana kesini
dengan titel influencer.
Selain
tampang yang mau nggak mau mesti kece, background
yang hype serta referensi style ala fashionista, tools pendukungnya
mesti canggih. Apalah artinya semua itu kalau di-capture-nya pake kamera 2.0 MP. Ya kan?
Hidup ini keras ya ... adek-adek ...
So far, di circle
teman-teman seangkatan sekolahku (TK, SD, SMP & SMA) belum ada yang jadi selebgram
atau youtuber, kalau yang jadi reseller Cireng Banyur atau punya online shop mah ada *heu. Kita juga
sering heran, kenapa kok diantara kita semua nggak ada yang jadi selebgram atau
youtuber, minimal bibit-bibitnya lah
... nyoba-nyoba membuat tutorial
hijab kek atau posting foto
sebadan-badan dan nge-tag semua IG brand yang barangnya lagi dipake.
Ada sih beberapa, tapi nggak banyak dan
itu pun Cuma kasih testimony. Kita ini
termasuk golongan orang-orang yang jarang posting
foto yang aesthetic atau sekedar
bikin vlog “hai guys, kita lagi ada
di ...” dengan muka sebagai centre of attention.
Kita lebih suka posting foto atau
video yang menurut kita adalah sumber kebahagiaan hidup, meski hanya dimengerti
oleh diri sendiri dan inner circle pun sudah cukup.
Kalau memang posting foto nge-blur pas
kakinya lagi nyelup di air lebih membuat kita bahagia ketimbang foto HD pas
kakinya lagi nyelup di air dengan komposisi dan tone color yang mesti di-setting
dulu, kenapa mesti risau? Bahagia itu (sifatnya) receh ya, meski nilainya
berbeda-beda bagi setiap orang intinya sama; sederhana.
Kadang suka kepikiran, apakah
orang-orang yang fotonya aesthetic
menikmati moment yang fotonya mereka
ambil? Atau mereka malah menikmati moment
yang didapatkan dari foto? Eh. Tapi itu mah
relatif ya, da bahagia juga relatif.
Bukan mau sombong ya, tapi kita mau
belagu haha
Kita sudah pernah merasakan masa-masa
dimana gadget semacam digicam, camcorder dan handycam
adalah tools maha penting untuk
pencitraan. Apalagi kalau bukan untuk foto profile
Friendster, serius loh ini, kita bahkan sampai pernah meluangkan satu hari
penuh hanya untuk jalan-jalan sambil mencari spot keren untuk materi foto profile.
((spot
keren)) *antara Mesjid Agung Garut dan Toserba Asia.
Dulu kita menganggap diri kita ini
paling eksis karena hampir setiap hari kerjaan kita foto-foto mulu,
ngerekam-rekam mulu, nyampah-nyampah mulu, berasa rugi kayanya kalau digicam dianggurin Beruntungnya,
temen-teman yang punya digicam apa camcorder apa handycam nggak pelit ngojekin, sok-sok aja asalkan di-charge dan diurus. Memory
card isinya foto temen-temen semua,
yang punyanya mah bagian nge-burn ke CD #thuglyfe
Nggak kebayang ya kalau di masa sekolah udah
kezamanan Instagram atau Youtube, bisa-bisa hampir setiap hari bikin konsep
foto dan materi vlog. Nggak ada yang mau nonton kita pentas drama di Lailah
At-Tashliyah, yang ada kita malah sibuk bikin drama hidup masing-masing. Malah
bisa-bisa kita bikin channel Youtube
angkatan geura haha
Pagi-pagi di asrama; “Haii ... masih
ngantuk nih tapi mesti sekolah, Ya Allah kuat
ka tunduh kieu ...”. “Barudak ningal sapatu abi teu?”.
“Eh, udah ada yang beres PR Fisika belum? Nyalin
atuh ...”. “Hari ini kita makan apa
sih? Enak nggak? Kalau nggak mau puasa ah ...”.
Nunggu guru datang (pelajaran kosong);
“Haii barudak!!! Lagi apa?” *kemudian
di zoom satu-satu. Mamih + Anis lagi
serius ngerjain PR Matematika untuk contekan, Icunk lagi nyobek-nyobek kertas
untuk kocokan arisan, Ringring lagi main gimbot sementara tangan yang satunya
lagi ngetik sms, Marella lagi nyanyi track
ke 5 album kompilasi Super Fresh dan Eneng ... Yahh ... lagi ‘tatapan kosong’.
Mau makan siang; “Haii ... Kita sekarang
lagi mau makan nih di ruang makan ... Menu hari ini sama ikan goreng pleus
sambel goreng kentang ... Sebentar ... Sebentar ... Kita metik cengek dulu yuks
di Lab Fisika, mau nyambel”. “Ana atos
teu acan?”. “Muhun Ucunk ...
Sabar ya ...”.
Ngantri di kamar mandi; “Hellohh ...
Haii ... Berapa bata? Tuhh kan diselak ...”
Khusus untuk hari Jum’at opening scene-nya “Dear guise ...
kita sekarang lagi mau jalan-jalan nih ke Cipeujeuh ... Mau makan naskun di saung deket kebon engkol. Ikutin terus
kita yha~”.
Ternyata kids zaman now lebih
edyan ya ...
Lebih niat.
Effort-nya juga lebih tinggi.
Mereka yang dengan niat bangun shubuh
demi sunrise di Balitsa. Mereka yang
dengan niat nabung demi bisa beli branded
stuff atau sekedar nongkrong di café kekinian. Mereka yang dengan niat
belajar bahasa Inggris biar netizen nggak salah fokus dengan pronounciation-nya.
Mereka yang dengan
niat rajin baca beauty journal demi
jadi beauty blogger yang fasih. Mereka
yang dengan niat mantengin tweet-nya
@goenrock demi dapet ilmu ngedit
video. Mereka yang dengan niat mikirin ‘mau
bikin challenge apa bulan ini?’.
Satu-satunya hal yang membedakan kita
dengan mereka adalah; tujuan. Tujuan mereka jelas, ingin membuat konten yang viral biar punya banyak followers, urusan dinyinyirin netizen
mah belakangan. Kalau orang tua zaman dulu percaya ‘banyak anak banyak
rezeki’, kids zaman now percaya ‘banyak followers banyak rezeki’. Meski beda zaman, keduanya adalah fakta.
Kita juga punya tujuan kok... tapi ya
ngggak sejelas mereka haha Tujuan kita tak lebih dari ingin menyimpan memory sebanyak-banyaknya di salah satu fase terpenting dalam hidup. High school never end. Saat itu kita
juga nggak pernah mengira hal-hal semacam foto dan video akan menjadi ‘sesuatu’
di kemudian hari, kita malah lebih percaya Icunk yang bilang ‘memory itu disimpan di dalam hati bukan
di memory card’.
Mungkin untuk saat ini jawaban
terdekat dari pertanyaan “Kenapa kita nggak (ada yang) jadi selebgram atau youtubers kaya orang-orang?” adalah
bukan karena kita kelewat katro atau nggak ngerti evolusi fashion masa kini yha~ tapi karena kita sudah pernah melewati life phase ala selebgram dan youtuber dengan begitu baik sampai pada point kita nggak merasa perlu untuk iri atau
berusaha mengimbangi jeda kekosongan eksistensi diri.
Ya. Kita pernah muda dan kita pernah bahagia.
It cost than anything else.
Eh.
Berarti tua dong sekarang?