Ketika curhat penghujung tahun lalu adalah urusan “beli mobil dulu apa rumah dulu?”, maka curhat awal tahun ini dibuka dengan keresahan ala living on denial-nya Francis Lim. Belum lagi urusan birthday trip sekaligus bachelorette trip-nya Pici yang terancam gak jadi karena bridesmaid-nya absen ngurusin nikahannya sendiri.
Mungkin bagi sebagian orang tua yang anaknya masih single (and enjoying their life happily) adalah beban jika harus mengatakan: ya... nanti kalau sudah waktunya pasti menikah kepada pemirsa sekalian yang senang menonton kehidupan orang lain. Mereka yang bangga dan mengomentari sana sini karena anaknya menikah tepat waktu sesuai standar sosial.
Eh, tapi gimana kalau anaknya nggak menikah tepat waktu? Apakah jawabannya: ya... nanti kalau sudah waktunya pasti menikah juga?
Just a question. Orang lain bahagia karena kita bahagia? Atau kita bahagia karena orang lain bahagia?
Pernah gak sih kepikiran, kalau ternyata kita nggak akan pernah hidup bahagia kalau bukan (menjalaninya) dengan orang yang diinginkan? Pernah gak? How if I’m not happy as I should be... why should I forced to be happy because it’s what peoples expect from me? I’m happy because I want to not because to.
Tapi balik lagi sih, it’s a life decision. Memilih untuk tidak bahagia juga adalah pilihan. There is a doubt on everything. Termasuk dalam memilih pasangan hidup. Kaya travelling, bukan kemana tujuannya tapi dengan siapa. Nah, untuk yang udah nikah, tahu dari mana pasangan yang sekarang itu jodoh? Yakin beneren jodoh? 😁.
***
“Cis, what made you fell in love with Inez? Apa karena elo itu udah punya karier? Udah punya green card? Dan lo butuh Inez sebagai pelengkap hidup lo, Cis?” Berondong Sisi.
“Hhhhmmm...”
“I think you are on denial, Cis... Elo ngerasa kalo elo tuh mesti move on dari seseorang... Dari what’s her name? Retno?” Lanjut Sisi.
“Si... Hhhhmmm...”
“Semua orang tahu betapa elo hancur... Berkali-kali pula... Oleh Retno. Dan kita semua happy melihat elo jatuh cinta lagi dengan orang lain. Menikah dengannya. Moving on. But if you’re having doubts... Well”
“...“
“Apakah lo sudah bener-bener move on dari masa lalu lo?”
Good question.
“You’re not in love, Cis... You just like the idea of falling in love with Inez”
“...”
“Membuat lo mengira bahwa elo sudah move on dari masa lalu lo”
Good point.
“Apa sih diem aja ?!? Respon kek!”
Semua yang dia katakan, menohok. Aku melayangkan pandanganku ke orang-orang di New York yang lalu lalang. Bertanya dalam hati apakah hidup mereka sebegini complicated. Angin meniup daun-daun yang mulai gugur, apakah angin itu bisa memberikan jawaban pada Sisi? No.
“Hhhhmmm... Gue gak ngerti mesti ngomong apa, Si. Kayaknya apa yang elo omongin itu bener semua... I just like the idea of falling in love... Hhhhmmm... With someone else.”
Untuk perasaanku terhadap Inez, aku memang bebal. Ini bukan kali pertama Sisi mengingatkanku. Sambil menerawang aku memperhatikan interior tempat ini. Sudah pukul sepuluh pagi tapi orang-orang masih saja mengantre dari tadi untuk menikmati berbagai sandwich atau cold cuts seperti salami, turkey atau roast beef dari delicatessen yang sudah terkenal sejak tahun 1888 ini.
“Can we please change the subject?”
“Can you please control your destiny?”
***
We always question life, but can life question us?
Can life question you?
***
Mengapa peluk diketatkan, sedang hati tak sampai
(Sapardi Djoko Damono)