Such a Bullyable Life

by - December 19, 2016


Beberapa bulan yang lalu aku mengunjungi toko buku, dari deretan majalah yang dipajang ada satu majalah yang judulnya menarik perhatianku, Celebrate Your Weirdness dari KaWanku yang mengangkat issue bullying di kalangan remaja. I’m not a teenager anymore, tapi nggak ada salahnya juga kan baca?

“Am I ever being bullied or being a bullier?”

Absolutely

“Both”

Aku cukup beruntung menghabiskan masa sekolah tanpa gangguan social media semacam Ask.Fm atau Instagram, wajar saja, pada saat itu social media paling keren yaitu My Space dan Friendster baru saja muncul.

Jadi, bully hanya dilakukan secara verbal dan (sedikit) fisik. Sindir menyindir adalah hal yang biasa, namun membalas sindiran adalah keharusan. Ada harga diri yang mesti dibela.

Tinggal di asrama itu intensitas bullynya lebih tinggi karena hampir semua kegiatan dilakukan dalam satu lingkungan. Mau pergi ke kelas di bully, mau pergi ke ruang makan di bully, mau baca buku di perpustakaan di bully, mau pergi jajan di bully, mau pergi sholat ke musholla di bully sampai mau mandi pun di bully.

Berada dalam rantai terendah ekosistem, tentu saja membuatku dan teman-teman seangkatan jadi sasaran empuk senior. Awalnya kita diam karena tidak ingin berurusan dengan senior, tapi lama-kelamaan kita kesal dan balik membalas mereka.

Karena hal itu juga kita mesti berurusan dengan pembina dan wali kelas, dimusuhi senior karena dianggap nggak sopan dan beringas. Tapi akhirnya dengan self defense yang konsisten dan cukup extreme, kita akhirnya malah menjadi angkatan yang ditakuti.

We only bullying if bullied. Yang nggak mah biasa aja ...

Tapi ya, selama masih junior pasti ada saja yang dipermasalahkan senior, meski sebenarnya nggak penting-penting amat. The way we dressed, the way we talk, the way we walk, the way we live is so matter with them. Kadang kesannya sampai mencari-cari kesalahan.

Biar apa? Biar kita tahu mereka itu senior. Ya kan?

Ada 2 alasan kenapa senior sering membully kita:

1. Karena kita emang songong
2.  Karena kita enggak temenan

Karena sesongong-songongnya teman tetaplah teman.


Salah satu hal yang membuat kesal adalah ketika harus jalan sendirian melewati sekawanan senior, duh ...  berasa lagi diincer sama Piranha, siap dimangsa. Setiap langkahnya pasti diikuti tatapan sinis yang menunggu perbuatan salah, meski nggak ada apa-apa tetap saja merasa risih.

Padahal secara personal mereka sebenarnya baik kok, apalagi kalau lagi ujian semester. Untuk  menghindari kerjasama atau kecurangan saat ujian, pihak sekolah mengatur tempat duduk untuk 3 kelas, yang artinya mengharuskan junior dan senior duduk berdampingan.

Disitulah simbiosis mutualisme terjadi, junior dan senior yang biasanya saling serang menjadi partner karena butuh bantuan. Saat masih menjadi junior aku sering diberi bantuan oleh senior, begitu juga sebaliknya kelak. Sayangnya, ketika ujian semester berakhir maka berakhir pula masa tenang bullying.
Satu-satunya alasan kenapa kalau bullying harus banyakan adalah karena nggak berani kalau sendirian.

Percayalah ... Guru BK baru dihire ada saat aku kelas 2 SMA, mungkin pembina dan wali kelas sudah cukup kawalahan menghadapi tingkah laku siswa/siswinya yang mengikuti perkembangan zaman.

Memanfaatkan acara sekolah, seniorku membuat nominasi “The Weirdeist Person of The Year”, aku dan salah seorang temanku dinominasikan bersanding dengan juniorku yang juga dianggap weird. Demi apalah ini ... aku menemukan kartu nominasinya terselip di tumpukan properti acara dan menyobeknya.

Ya ... ada banyak alasan kenapa aku dianggap weird dan bullyable (selain 2 alasan diatas). Aku memiliki kehidupan yang berbeda dari mereka, aku memiliki fashion taste yang berbeda dari mereka, aku memiliki kesukaan yang berbeda dari mereka, aku memiliki lingkungan yang berbeda dari mereka, aku memiliki penampilan yang berbeda dari mereka. Intinya aku berbeda dari mereka.

So?

What?

JUST BECAUSE MY SINS ARE DIFFERENTLY THAN YOURS, DOESN’T MEAN I'M WRONG !!!


Aku bisa menghandle semua bullyan karena sadar aku juga terlibat didalamnya, namun yang paling membuatku kesal adalah di bully untuk kesalahan yang tidak pernah ku perbuat.

Gimana rasanya diomongin hampir satu sekolahan dan dibully karenanya? Seems the world against me. Kaya dikudeta. Ketika semua orang tahu sedangkan aku tidak tahu apa-apa adalah moment terngenes, seakan-akan aku adalah manusia tersabar yang perlu diperingatkan dengan cara dibully.

We all knew, selalu ada frienemies dalam setiap pertemanan. Bahkan antar teman pun bisa saling membully. Tergantung orangnya juga sih.

Aku dan salah seorang temanku pernah ditolak masuk eskul (atau klub) karena dianggap tidak memiliki skill. Nyali kita kandas karena ditanya “Emang kamu bisa apa?”.

Meski awalnya kesal ½ mati karena pertanyaan tersebut, lama-lama kita menyadari bahwa mengutuki orang yang mengatakannya tidak akan menghasilkan apa-apa, malah membuat semakin terpuruk. Kemudian, karena rasa sakit hati yang mendalam kita bertekad dan termotivasi untuk memiliki skill yang bisa dibanggakan agar tidak dianggap remeh.


Kalau dibandingkan dengan teman yang lain kita termasuk kategori yang biasa-biasa saja, nggak pintar, nggak cantik, nggak alim, nggak populer dan nggak gimana-gimana. Nggak ada yang menonjol. Tapi disitulah keuntungannya, orang tidak akan terlalu notice sehingga kita bisa leluasa mengeksplore minat dan bakat.

Berbagai macam kegiatan kita jajal demi mencari skill, dari yang penting sampai nggak penting sama sekali. Dalam perjalanannya kita akhirnya menemukan skill yang dirasa cocok untuk diri kita masing-masing, mengembangkannya dan jadi eksis karenanya.

Melampaui pertanyaan “Emang kamu bisa apa?”. What doesn’t kill me, makes me stronger.
Temanku Maya pernah bilang “ada 3 macam orang di dunia ini, yang pertama adalah menang-kalah yaitu orang menang tapi sebenarnya dia kalah dan yang kedua adalah kalah-menang yaitu orang yang kalah tapi sebenarnya dia menang, Mbak harus jadi yang ketiga menang-menang yaitu orang yang menang karena dia layak untuk menang”.

I’d fought for it.

Tak peduli sekesal atau senasteung apa, selama masih ada teman yang peduli dan mau membantu, bullier hanyalah angin lalu. Selalu ada penghiburan. Tapi kalau emang nggak ada yang mau menghibur, cukuplah dengan menghibur diri sendiri. 

You May Also Like

0 comments

Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~