"Yang pernah merasakan masa surat menyurat pasti tahu bagaimana rasanya deg-degan menunggu balasan, bagaimana sulitnya merangkai kata agar tidak salah intonasi ketika membacanya, bagaimana kerasnya berusaha membuat tulisan yang rapi, bagaimana seringnya membaca buku dan mendengarkan lagu hanya untuk menemukan kata-kata yang pas untuk menggambarkan perasaan saat ini"
Sebelum zaman handphone, saya lebih dulu mengenal surat sebagai sarana komunikasi diantara putra dan putri. Diberikan lewat teman secara sembunyi-sembunyi. Surat menyurat identik dengan pacaran, pacaran tidak diperbolehkan oleh pembina karena menjurus pada dosa. Makanya, perlu keberanian yang besar untuk menulis dan membalas surat, karena akan menyangkut reputasi sampai lulus.
Kebanyakan hubungan pada masa itu diawali dengan surat menyurat, untuk market test biasanya pengirim surat tidak akan mencantumkan nama aslinya, ia hanya akan mencantumkan nama aliasnya saja. Alasannya sederhana, yang pertama adalah untuk menghindari razia dari pembina. Yang kedua menghindari jatuh ke tangan yang salah, karena bisa jadi surat tersebut dibaca dan si pengirim jadi bahan olok-olokan. Yang ketiga adalah ungentle mind, mungkin karena takut tidak dibalas atau gengsi tidak mau ketahuan teman yang lain.
Alias di surat ibarat chatting ID, sekalipun berbeda dari nama aslinya atau ngasal banget, suratnya pasti sampai. Tugas temannyalah yang harus mencari tahu siapa pemilik alias tersebut dan menjaga kerahasiaannya.
Tidak pernah ada kode etik yang baku dalam surat menyurat, hanya saja jangan pernah sekali pun bertanya “udah makan belum?” di dalam surat, karena jawabannya pasti sudah basi. Nanyanya hari ini, baru besok dijawabnya. Yang harus dipelajari adalah bagaimana caranya melipat surat, selain agar tampak cantik dan menarik, setiap jenis lipatan surat mengandung arti yang berbeda. Tidak perlu buku khusus untuk mempelajarinya, cukup ikuti cara melipat surat dari kakak kelas, mereka tentu lebih senior dalam hal ini.
Seringkali hubungan surat menyurat kandas di tengah jalan karena salah satu tidak bisa menerima siapa partner surat menyuratnya, beberapa dari mereka bisa bertahan dan mulai meeting di lapangan basket, selainnya tidak dan memutuskan untuk mengakhiri surat-suratnya.
Suatu hari, salah seorang teman saya dikirimi surat random yang isinya mengajak berkenalan, nama pengirimnya adalah Onang. Tentu saja Onang bukan nama sebenarnya, Onang adalah alias, alias siapa? Alias someone di somewhere.
Teman saya yang lain kemudian iseng mengirim surat kepada Onang, dia menyebut dirinya sendiri dengan Onah. Mungkin ada yang tanya, kenapa namanya mesti Onah? Karena Onah lebih cocok sama Onang ketimbang someone di somewhere.
Onang membalas surat Onah. Onah membalas lagi surat Onang. Onang kirim salam untuk Onah, Onah kirim salam balik untuk Onang. Kalau ada teman Onang yang lewat Onah titip salam, kalau ada teman Onah yang lewat Onang juga titip salam.
Onang dan Onah akhirnya menjadi partner surat menyurat yang konsisten, setiap 2 hari sekali mereka saling berkirim kabar. Kalau hari ini Onang kirim surat ke Onah, berarti besoknya Onah kirim surat balasan ke Onang, begitu seterusnya, sampai Onang lulus dari DA dan Onah punya handphone.
Onang yang sebelumnya memang senang ‘jual ngaran’di inventaris sekolah kini punya nama baru, Onang & Onah. Tidak ada tanda ‘lope’ atau ‘eceng’ diantara nama mereka, Cuma ada & (dan). Tapi itu cukup membuat Onah senang dan membuatnya ikutan ‘jual ngaran’ di ranjang asrama.
Isi surat antara Onang dan Onah tidak seperti surat pada umumnya, yang setelah beberapa kali saling berkirim surat lantas mengajak ketemuan di Kopra (Koperasi Putra) atau mengajak meeting dibawah aula. Isi surat mereka lebih kepada pertanyaan-pertanyaan bercanda dengan jawaban-jawaban geje nan menghibur, tidak terlalu serius namun tekun.
Setiap kali Onah menerima surat dari Onang, saya dan teman-teman lainnya suka ikut berkumpul di ranjang Onah, sekedar ingin tahu isi surat Onang untuk Onah. Seringkali Onah meminta saran dari kami tentang isi atau topik yang sebaiknya dibahas di surat balasan untuk Onang. Onah punya semacam tim khusus untuk membalas surat dari Onang, gak tahu deh kalau Onang, mungkin Onang juga punya tim khusus seperti punya Onah, cuma gak bilang-bilang.
Nah, tim Onah inilah yang tugasnya kirim salam kalau ada temannya Onang yang lewat. Yang suka neriakin nama Onang dari dalam kelas, kalau lihat Onang dan teman-temannya pulang dari lab Komputer. Yang suka bilang “pang-salam-in ke Onang dari Onah” ke teman meetingnya meskipun Onah nya juga gak ada. Yang suka hideng mengirim bursam (bursa salam) untuk Onang dari Onah dengan ucapan “apa kabar?”, yang pasti nanti dibalas Onang di bursam selanjutnya dengan “apa kabar juga?”
Onang dan Onah adalah fenomena baru, mereka adalah alias yang sukses menjalin hubungan non adik-kakak angkat yang biasanya hanya dijadikan alibi untuk bisa terus berhubungan tanpa kepastian status, katakanlah HTS. Onang dan Onah menjadi nama yang tidak terpisahkan, setidaknya secara pelafalan nama mereka mirip. Sama-sama dari O dan N dan A yang kalau dikaji lebih dalam lagi menadakan keduanya berlatar belakang Sunda.
Berbulan-bulan lamanya Onang mengirim kirim surat ke Onah, berbulan-bulan lamanya juga Onah membalas surat dari Onang. Setiap kali Onang bertanya “Onah, nama asli kamu siapa sih?“ Onah selalu menjawab “nanti aja pas Tapantri”.
Onang yang semakin penasaran dengan Onah partner surat menyuratnya,tapi Onah tidak. Onah yang sudah lebih dulu mempunyai tim khusus telah mengetahui siapa Onang sebenarnya, siapa nama aslinya, dimana rumahnya, seperti apa ciri-cirinya, serta bagaimana reaksi Onang ketika mendapatkan surat dari Onah dan apa yang ia lakukan setelahnya.
Kali ini tim Onang yang bergerak, teman-teman yang sudah direkrut Onang ke dalam timnya mulai gencar menanyakan tentang Onah kepada teman-teman saya yang suka meeting dengan mereka. Awalnya basa basi “eh, kamu tau gak Onang?” lalu “dia sering susuratan sama Onah” lantas “kamu tau gak siapa Onah?”. Karena kebanyakan teman saya yang diajak meeting sama tim Onang adalah tim Onah, tentu saja jawabannya “iyah, tau” lalu “iyah, dia (Onah) juga sering susuratan sama Onang” lantas “iyah, tapi saya gak mau kasih tau, nanti aja pas Tapantri”.
Begitulah kira-kira secuil basa basi tentang Onang & Onah di meeting di malam Jum’at, diantara tim Onang dan tim Onah yang sama-sama berusaha mencari informasi diantara kepentingan pribadi. Mungkin Onah punya alasan tersendiri kenapa ia tidak mau Onang mengetahui jati dirinya, tapi itu rahasia, Cuma Onah yang tahu.
Entah kenapa Tapantri selalu dijadikan moment klimaks untuk menyatakan. Yang mau katakan cinta terpendam “nanti aja pas Tapantri”, yang mau ngaku pernah ngejailin “nanti aja pas Tapantri”, yang mau minta foto bareng “nanti aja pas Tapantri”, yang mau ngobrol santai sama ke-fans-an (baca: kepenan) “nanti aja pas Tapantri”. Tapantri ibarat gong di acara fashion show, save the best for the last.
Dan tibalah saat yang dinantikan oleh Onang dan Onah beserta tim mereka masing-masing. Di hari Tapantri, di saat istirahat adzan Dzuhur. Onah menghampiri Onang yang sudah menunggunya sedari tadi, Onah bertanya “A, mau tau gak Onah teh siapa?” Onang antusias “iyah, siapa Onah teh?” Onah menjawab “kita semua”.
Onang spechless, mungkin dia gak nyangka kalau Onah sudah berevolusi menjadi sebuah tim, tim sukses. Tim Onah terdiri dari teman dekat Onah, teman sebangku Onah, teman seasrama Onah, yang kalau dijumlahkan adalah lebih dari separuh kelas. Mungkin 2/3 kelas. Dan sedang nyengir kuda kepada Onang.
Onah bukan lagi seseorang yang dulu selalu membalas surat-suratnya, melainkan sekumpulan orang-orang yang selalu berusaha membuat Onang senang dengan balasan suratnya, yang telah mengisi hari-hari surat menyurat Onang, yang ingin membuat Onang terkesan menjalani tahun terakhir di DA.
Semenjak Onang lulus dan Onah mengakhiri kisah mereka dengan dramatis, berakhir pula lah era surat menyurat di DA. Bukan karena kisah Onang dan Onah terlalu legend dan membekas di hati saya dan teman-teman, melainkan karena kelas putra yang di pinggir lapangan basket pindah ke bangunan baru di samping kelas putri.
Dengan posisinya yang sekarang terlalu sulit untuk tetap melanjutkan kegiatan surat menyurat, meski pernah dibuat kotak pos surat sementara di dekat pos satpam, tidak membuat distribusi surat menjadi lebih efektif, malah kolaps. Media menulis surat pun berubah, kalau dulu hanya selembar kertas ditulisi dan dilipat-lipat tanpa amplop lalu dikirim, saat itu surat ditulis langsung di buku, pura-pura meminjamkan catatan pelajaran kalau ada yang tanya. Tanpa alias.
Seiring dengan perkembangan teknologi, semakin banyak yang memiliki handphone, dalam sekelas hanya beberapa orang saja yang tidak memilikinya. Tak perlu berusaha menulis sebagus mungkin untuk berkirim kabar karena ini bukan surat, cukup sisihkan uang untuk beli pulsa karena sms tidak bisa menggantikan surat yang isinya bisa sampai berlembar-lembar.
Oh, ya. Onah apa kabar? Onah sudah move on dan punya handphone, ia larut ketika merambah dunia maya.