Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.

Hello~

Beberapa minggu yang lalu di FYP-ku lewat potongan video fashion show dari salah satu modest fashion brand yang eyewear-nya mengingatkanku pada eyewear yang dipake di Schiaparelli wedding-nya Elizabeth ‘Liz’Roseberry. Aku nggak sempat nge-save videonya karena saat layarnya ku-tap malah ke-refresh, dan aku nggak kepikiran cari videonya di history 😅.

Saat mengecek draft folder-ku aku menemukan draft post untuk spring 2024 couture collection, yha~ tumben-tumbenan yekan aku yang mageran ini bikin post tentang fashion. Saat itu aku terkesima oleh desainnya Robert Wun yang dramatis abis bis bis hingga tetes terakhir, pun dengan mb Brienne of Tarth yang cucok jadi muse-nya Maison Margiela.



Tadinya aku ingin bikin rating mandiri looks favorite-ku di spring 2024 couture collection, namun mendadak nggak mood karena nggak mendapatkan foto Maison Margiella yang proper di Getty Images. FYI. Aku sering pake gambar dari Getty Images karena sering mager menulis ulang nama fotografernya di credit 😁. Well… karena spring 2024 haute couture udah lewat mari kita revisi ulang post-nya menjadi Schiaparelli wedding 😉.

***

Muqaddimah dulu ya…

Schiaparelli adalah rumah mode yang didirikan oleh Elsa Schiaparelli pada tahun 1927 di Paris, dari namanya kita tahu bahwa mb Schiaparelli ini berasal dari Italy. Saat kuliah dosenku pernah bilang: Italy adalah puncak segala taste, melebihi Prancis dan Inggris. Taste-nya italian udah teruji selama ratusan tahun melalui patung-patung marmer, karya seni, craftsmanship, fashion, kuliner dan lainnya. Makanya sering-sering lihat desain orang Italy biar desain kalyan nggak kayak tahu *ytta *wkwk 😂.

Iyaaa… sketsaku (dan manteman) pernah dikatain tahu gegara butut 😂😂😂.

Schiaparelli berada di era yang sama dengan Channel, sayangnya Schiaparelli kurang bisa beradaptasi dengan sehingga ditutup. Desainnya Schiaparelli beraliran surealis karena banyak dipengaruhi oleh karya seniman di masanya macem Salvador Dali dan Jean Cocteau, apalah artinya desain yang kece kalau nggak bisa balik modal yekan 😁. Setelah hiatus selama puluhan tahun, Schiaparelli dihidupkan lagi pada tahun 2014.



Schiaparelli dibeli oleh Diego Della Vale dari Tod’s Group dan menunjuk Christian Lacroix sebagai creative director, setelahnya ada Marco Zanini dan Betrand Guyon. Pada tahun 2019 Schiaparelli menunjuk Daniel Roseberry sebagai creative director. Kurasa ini adalah keputusan yang tepat ya sebab Daniel Roseberry tahu bagaimana membangkitkan kembali spirit-nya Maison Schiaparelli ke masa kini ✨👌.

Saat ini Schiaparelli memiliki koleksi ready to wear yang omaga… *pake suara Cardi B 😂, kusuka jewelry dan aksesorisnya nya yang surealis nan manis 😍. Diantaranya adalah golden lung necklace yang dipake oleh Bella Hadid di Cannes Festival dan golden dove brooch yang dipake oleh Lady Gaga di Inauguration Day. Maaf banget ini mah… untukku Doja Cat bertabur Swarovski adalah salah satu kegagalan Maison Schiaparelli, gagal faham hamba… 😭.




Mungkin karena keseringan nonton video Jewel with Jules, semesta algoritma mengantarkanku pada video Schiaparelli wedding-nya Liz Roseberry yang cakep banget. Dia pake Schiaparelli from head to toe, detail menyerupai tulang rusuk di gaunnya cantik dan warna pas, pun dengan aksesoris yang dipakenya. Aku jelas naksir eyewear yang mengingatkanku pada Pans Labyrinth dan sepatunya yang super duper fun 💖💖💖.

Schiaparelli wedding-nya Liz Roseberry bikinku mikir bahwa beruntung banget ya mbnya punya Daniel Roseberry 😍. 

Kalau nggak baca caption-nya aku nggak akan tahu Liz Roseberry dan Daniel Roseberry adalah saudara kandung. Yha~ aku bahkan nggak tahu doi adalah creative director-nya Schiaparelli 😅. Oh ya, Liz Roseburry adalah seorang jewellery designer dan ia terlibat dalam proses kreatifnya Schiaparelli, nggak secara resmi sih 😅. Kurasa The Roseberry memang berbagi taste sehingga desain yang mereka hasilkan mirip-mirip.

Kalyan bisa mengecek toko online-nya mb Liz disini.







Meski judul post-nya adalah Schiaparelli Wedding, isi post-nya nggak sebanyak intro-nya. Aku hanya ingin berbagi what is interesting and curious about also every little thing in between berbulan-bulan lalu. Kali aja kalyan tertarik 😁…

***

Schiaparelli's wedding picture taken from the Vogue website
Schiaparelli's jewelry and accessories are taken from their website
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
source

Hello~

Sejak minggu lalu di feed Pinterest-ku nyempil gambar-gambarnya Alexa Chung, kemungkinan gegara aku searching sepatu mulu, yaiyalah… Waas aja gitu guise 😅… berasa disuntrungin ke era 2000an, dimana doi menjadi fashion inspiration-nya rang-o-rang. FYI, saat itu Alexa Chung adalah pacarnya Alex Turner (pokalisnya Arctic Monkey) sayangnya kini mereka udah bubar jalan dan menjalani hidup masing-masing.

Entah angan-anganku ketinggian atau memang sulit tergapai, namun menjadi Alexa Chung salah satu wish list-ku 😂. Setiap kali melihat gambarnya, aku merasa: this is what I want 😍… jadi cewek cakep yang style-nya keren (not to mention, the one and only Alex Turner 😆). Aku suka personal style-nya Alexa Chung yang casual, chic and a little bit quirk ✨👌🏻, yang mana masih okay untuk diadaptasikan oleh rakyat jelita sekalyan.


Menurutku, personal style-nya Alexa Chung terasa nggak pernah gagal karena masih berada dalam batas aman dan nyaman, aman untuk budget dan nyaman untuk dipake bahkan di negara tropis. Di era 2000an agak sulit menemukan straight denim dan sepatu Mary Jane yang mirip dengan punyanya Alexa Chung, kalau pun ada pasti out of budget mahasiswi banyak tugas. Sekarang mah udah banyak ya... 😊.

Oh ya, #alexachungcore adalah fashion stuff yang menjadi ciri khasnya Alexa Chung, yang kalau kita pake niscaya berasa jadi titisannya 😆. FYI, Mary Jane adalah model sepatu dengan strap di punggung kaki, yang seiring perkembangan zaman turut berkembang desain turunannya. Sepatu Mary Jane yang menjadi #alexachungcore adalah sepatu Mary Jane Kina berwarna merah dari brand Carel (Paris).

yang Alexa Chung pake - yang paling keren - yang aku mau

xilau men...

Karena #alexachungcore ini aku jadi kepikiran untuk beli sepatu Mary Jane *mendadak impulsive 😅. Aku dari tadi tuh pikir-pikir, mending beli apa nggak nih sepatu Mary Jane 😆. Desainnya okay untuk daily use dan cakep, apalagi kalau kakinya kagak burik dan gosong. Udah lama juga yekan aku nggak beli sepatu cewek yang bertali-tali, kayanya terakhir beli 5-6 tahun yang lalu. *aku ingin pembenaran 😌 *suapi egoku 😀.

Kenapa di rentang waktu 5-6 tahun aku nggak beli sepatu cewek? Karena kurasa sneakers lebih mampu mengakomodir kebutuhanku akan alas kaki yang bisa digunakan di berbagai surface, ditambah lagi musim pancaroba nggak kelar-kelar. Selain itu aku sempat remote working selama 2 tahunan, yang mana membuatku jarang keluar rumah.


Kekurangan sepatu cewek byasanya adalah: material-nya tipis, jadi sering bikin lecet di bagian atas tumit, kalau lecetnya dibiarkan bisa meninggalkan bekas yang nggak enak dilihat. Untuk kita yang udah biasa pake sneakers, sole-nya yang flat akan terasa kurang nyaman. Kalau jadi beli sepatu Mary Jane (apfah? Yakin nggak mau jadi titisan Alexa Chung? 😆) kayanya aku akan beli 2 item ini.

Heels pad
Heels pad ini dipake untuk meminimalisir lecet di bagian tumit atas yang disebabkan oleh gesekan material di kulit. Untuk sepatu cewek byasaya pake yang lurus menyesuaikan dengan pinggiran sepatunya, kalau kepepet bisa pake panty liner cuma memang mesti di-double karena tipis banget.

Insole
Insole ini dipake untuk memberikan kenyamanan pada kaki, terutama kalau udah terbiasa pake sneakers. Untuk insole usahakan pilih yang ada cushion di bagian medial (dalam) biar menyesuaikan dengan ergonomi kaki yang dinamis. Kalau kalyan flat footed usahakan pilih yang non cushion ya, kan kakinya udah datar. Byasanya insole ini pake ukuran standar (all size) jadi kalau ukurannya kurang pas bisa digunting.

FYI. Kalau kalyan beli sepatu kebesaran 1 size atau lebih 2-3 mm, bisa diakali pake insole ini.


Secara Mary Jane Carel out of budget ya, so… aku akan mencari di e-commerce aja. Let me know kalau kalyan punya rekomendasi brand yang OK, please bantu aku menjelma menjadi titisannya Alexa Chung 🙏🏻😂.

credits: Carel & Alexa Chung
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Hello…

Kali ini aku ingin membagikan salah satu draft post yang udah lama ke-skip 😁 yakni post: what is in my bag, seingatku post macem gini pernah hype saat pandemi / post pandemi. Distraksi duniawi membuatku khilaf  😅.

Untuk kuliah dan bekerja aku lebih sering menggunakan backpack ketimbang sling bag atau tote bag karena sadar bawaanku juga banyak. Meski nggak keberatan dengan hal-hal yang bersifat spontan alias nggak bisa diprediksi aku akan merasa lebih baik kalau semuanya well prepared. Yha~ namanya juga usaha, kepake syukur nggak kepake berat 🥲.

Meski terkesan bulky dan kurang dewasa, kupikir backpack lebih mampu mengakomodir kebutuhanku ketimbang tas jenis lainnya. Yha~ aku tahu… seharusnya aku pake tas yang lebih cakep untuk dikepoin 🧐. Tapi balik lagi ya… aku lebih sering menggunakan transportasi publik dan merasa backpack lebih balance dalam membagi beban.


Saat ini aku pake backpack-nya Eiger yang seri 1989 Migrate Laptop (25 lt) aslinya untuk cowok tapi karena warnanya masuk di palette-ku kukira untuk cewek 😂. Awalnya aku pake backpack ini hanya untuk bepergian atau nginep tipis (1-2 hari). Tapi karena aku belum menemukan kandidat backpack lain untuk berkerja maka backpack ini masih kupake.

Yagimana… setiap kali searching mentoknya ke Eiger lagi 😅.

Ketimbang Eiger sebenarnya aku lebih sering membeli Exsport ya karena warnanya yang gemay dan stylish, opsi lainnya adalah Three Rey. Mesti diakui kualitasnya ok punya, bahkan sampai sekarang ada beberapa tas yang mampu survive padahal dipakenya barbar 🥲. Saat menyuruhku membeli backpack ayah bilang: belinya di Eiger ya biar awet. *backpack-nya dibeliin makanya manut 🙏🏻.

FYI. Ini bukan review produk Eiger 😌.

Biar nggak kelamaan intro-nya yumari markicek what is in my bag?

GADGET

Termasuk diantaranya smartphone, netbook dan pouch berisi: smartphone charger, netbook charger, mouse dan headset. FYI. Per-gadget-an ini adalah barang terberat yang ada di backpack-ku. Saat masih bekerja remote aku jarang membawa netbook dan printilannya kecuali saat liburan, begitu bekerja regular… anjayy berat 🥴. Sekarang mah B aja ya, udah berdaptasi ✨👌🏻.

Meski bekerja regular aku masih mesti zooming, aku lebih sering zooming pake smartphone ketimbang netbook biar bisa mengerjakan hal lain. Dalam seminggu bisa beberapa kali kali zooming, meski durasinya nggak panjang cukup membuatku puyeng dan ngahuleng 🥴 Jadi, per-gadget-an ini adalah penghuni tetap backpack-ku, makanya jangan sampai ada yang ketinggalan.


BASIC NEEDS

Selanjutnya ada basic needs yang terdiri dari notebook, gel pen, flash disk dan tumbler. Notebook-nya freebies dari Microsoft, kupake untuk mencatat dan gagambaran kalau lagi gabut. Meteran yakali ada yang mesti diukur. Flash disk-nya udah penuh karena isinya drakor drakor dan drakor 😎. Sedang tumbler-nya dibeliin mama yang jadi member Tupperware, udah bertahun-tahun kupake tapi belum uzur 🥲.



SELF CARE

Nah, ini nih printilan yang nggak seringnya menuh-menuhin backpack-ku. Dompet legend yang kubeli sebagai hadiah hiburan karena naik level dari SMP ke SMA. Pouch yang isinya lap kacamata, lip balm, tetes mata, sabun etc. Plossa dan hand sanitizer maylop. Masker cadangan dan tissue kering (yang disempilin di pouch-nya). Serta tissue basah yang kubeli gegara promo buy 1 get 1.



ALL SEASON ESSENTIALS

Yang paling nggak boleh ketinggalan kalau berpergian: mukena dan light parka.

Aku selalu membawa mukena + sajadah sendiri karena parno pake mukena di tempat umum. Pernah kejadian beberapa tahun yang lalu, aku pake mukena yang disediakan pengelola musholla, pulang-pulang kepalaku panas dan gatal nggak karuan meski udah dikeramasin 🥴. Eh, ternyata ada kutu… Fakkk! 🤯 Ini adalah pengalamanku yang paling ciihhh 😤 dengan mukena di tempat umum. Iyuh banget lah pokoknya.

Aku juga selalu membawa light parka karena nggak mau masup angin, yha~ udah merambah usia jompo 😅. Meski desainnya stylish, light parka-nya nggak water resistant, untuk gerimis tipis mah masih okaylah tapi kalau untuk hujan lebat yang biasanya lama mah nggak ku rekomendasikan ya mending pake jas hujan sekalian. Anyway, light parka ini lebih sering kupake saat OTW pake ojol biar nggak keanginan.


***

Kadang aku malay membawa semua ini , ingin banget ribet-less tapi belum menemukan backpack yang sesuai. Please let me know ya kalau ada rekomendasi backpack non Eiger yang bisa menampung bawaanku :)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Hallo kawan sepermageran dan seperebahan....
Sudah nonton berapa film? 😁

Beberapa minggu lalu (atau bulan 🤔) Puty sharing tentang kesannya selama mengikuti online course di masa pandemi ini melalui post IG-nya. Well... sebagai #sobimager yang (kebetulan) sedang enroll online course tapinya nggak kelar-kelar 😅, aku pun tergerak untuk turut beropini mengenai keabsahan sertifikat online course bagi khow-khow sekalyan. 


Dari jawaban Puty ini aku mendapatkan insight yang menarik. 
Sekaligus merasa tertantang untuk enroll online course (lagi) dan menyelesaikannya tepat waktu. 

DEMMM 🙃

Yang mana mengingatkanku bahwa aku masih punya hutang post mengenai online course yang kuikuti di sini. Heu... padahal draft-nya sudah ada 😅. Tapi, better late than never ya... ku revisi dan selesaikannya post-nya biar nggak kepikiran 😁 sekaligus me-reduce file draft-ku. 

Online course yang pertama kali kuikuti adalah Skill Set dari Future Learn: How To Build A Sustainable Fashion Bussiness (nggak usah di-search ya, course-nya sudah selesai di tahun 2018). Aku tertarik untuk mengikuti online course ini karena temanya yang menarik, (at least) pada saat itu belum banyak yang membahas tentang sustainable fashion. 

Materi How To Build A Sustainable Fashion Bussiness ini disusun untuk 6 weeks dengan durasi 2 jam per minggunya. Pada kenyataannya course ini ku selesaikan hanya dalam waktu 6 bulan aja haha 😂 Nggak kuwat guise... Untukku materinya cukup berat karena mesti menonton berbagai video dan membaca berbagai artikel untuk bisa mengekstraksinya jawabannya, hal yang baru, karena sebelumnya aku terbiasa dengan practice. 

Kurang lebih beginilah silabus course-nya, FYI setiap point-nya beranak ya, bercucu malah 😁. 

credit: Future Learn

Kalau diperhatikan, materinya lebih ke pengenalan mengenai apa sustainable fashion dan bagaimana peluangnya di masa depan. Tentcunya, kita diarahkan untuk mengimplementasikan konsep sustainable fashion pada brand yang ceritanya sedang OTW, aku sih yes ya, kupikir 3-5 tahun yang akan datang sustainable fashion is a things 💡. 

Course ini membuka mataku bahwa konsep sustainable bisa diterapkan dalam fashion, nggak selalu berhubungan dengan turbin di bawah laut atau kebun organik seperti yang kutonton di National Geographic. Alasan mengapa sustainable mesti diterapkan dalam fashion karena fashion adalah salah satu penyumbang sampah terbesar yang sulit terurai. 

Cakupan sustainable memanglah luas, namun pada intinya sustainable adalah konsep keberlanjutan mengenai proses terciptanya suatu produk. Keberlanjutan disini kumaknai sebagai rantai yang menggerakkan supply chain circle, mencakup SDA dan SDM yang digunakan, proses pengerjaan dan dampak jangka panjang pada lingkungan. 

Kupikir sebenarnya kita (orang Indonesia) sudah menerapkan konsep sustainable dalam banyak hal. Ya. UMKM dan home industry sudah menerapkan konsep sustainable lebih baik ketimbang pabrik. Satu-satunya catatan hanyalah upah yang kadang nggak mencapai UMR daerah masing-masing 😅. 

Kubilang begini karena kupikir UMKM dan home industry (di tengah segala keterbatasanya) berusaha menggunakan sumber daya dengan sebaik-baiknya, dan yang paling penting: mampu memanfaatkan (bukan mengolah) limbah. Selain itu, kita memiliki banyak teknik pengolahan tradisonal yang kupikir masuk ke kriteria sustainable. 

Salah satu materi wajib di course ini adalah menonton The True Cost, yang sayangnya belum sempat kutonton karena mesti pake Netflix hehe Merasa bersalah belum nonton, aku pernah mencari The True Cost tapinya nggak nemu-nemu juga 🤔.

Ohya... karena saat ini aku sedang enroll online class (lagi) di Future Learn: Sustainable Fashion Develoment kupikir akan lebih baik kalau dibahasnya sekalian. Yha~ sekaligus minta doanya yakawan semoga kubisa segera menyelesaikannya *heu  😅. Sudah 2 minggu course-ku terbengkalai, so pasti nggak akan beres tepat waktu 🥺. 

credit: Future Learn

Kurang lebih beginilah silabus course-nya, ketimbang course How To Build A Sustainable Fashion Business kupikir course Sustainable Fashion Develoment ini lebih mengarah pada dampak yang ditimbulkan oleh industri fashion. Materinya tentcu lebih banyak dan menggurita macam MLM haha 😂 Ada masanya aku sampai nggak kuwat ngikutin course-nya dan memilih untuk syaree... 😁.

Menurutku dibandingkan saat aku mengikuti course How To Build A Sustainable Fashion Business, saat ini kita sudah aware dengan sustainable fashion, meski kalau search di Google mah artikel (dengan preferensi bahasa Indonesia) yang muncul ya itu-itu lagi. 

Dalam kurun waktu 5 tahun (dan semoga tahun-tahun yang akan datang) perkembangan sustainable fashion cukup signifikan yaw, peralahan merambat naik. Kalau dulu hanya ada beberapa fashion brand yang mengusung konsep sustainable fashion dan fokus terhadap pengembangan produknya kini sudah mulai bermunculan brand dengan konsep serupa. 

Bisa dilihat ya di tab search Instagram... 


Beberapa (bahkan) memasukkan ethical fashion dan sustainable guide development di bionya. Wow... Aku termasuk golongan orang yang memiliki ekspektasi tinggi untuk segala gelar dan statement, makanya ketika seseorang mengatakan... katakanlah self proclaimed sebagai expert, kupikir ia harus mampu mempertanggungjawabkannya. 

Tanpa bermaksud salty pada brand yang mengusung konsep sustainable, malah aku overwhelmed karena akhirnya ada yang aware. Menyenangkan sekali melihat mereka berusaha untuk lebih sustainable, dimulai dari hal kecil macam packaging atau movement who made my clothes?.

I just want to say... Sustainable nggak melulu tentang linen-linen atau katun-katun, nggak melulu tentang simplicity, nggak melulu tentang earth tone, nggak melulu tentang less plastic package, nggak melulu tentang cuap-cuap marketing. Yang akhirnya malah membuat kita lupa pada sustainable itu sendiri. 


Setahuku, bahkan brand besar semacam Adidas dan Nike belum bisa menyatakan secara resmi bahwa mereka mendukung atau ambil bagian dalam SGD (sustainable guide development), sebagai gantinya brand tersebut membuat campaign mandiri yang mengarah pada konsep sustainable. 

Kenapa nggak menggunakan SGD padahal brand mereka sudah besar? Karena berat... 😅 Kalau merujuk pada standar SGD sendiri, setidaknya ada 17 kriteria goals yang bisa diolah untuk mencapai standar SGD. Dan... kriteria goals pertama dari SGD adalah poverty (kemiskinan) maksud poverty disini apakah SDM yang bekerja pada brand tersebut sudah mendapatkan upah yang layak sehingga terentas dari kemiskinan? 

PR banget kan, padahal masih nomor 1 😌.


Untuk menerapkan konsep sustainable sesuai SGD tenctu dibutuhkan proses yang panjang dan komitmen. Menurutku, kita nggak mesti memaksakan mesti mencapai semua goals-nya, pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Nggak masalah kalau kita baru bisa menerapkan sebagian, anggaplah seperti hijrah, dari (yang asalnya) baik menjadi lebih baik. 

Saat ini organisasi yang bergerak di bidang sustainable fashion dan segala tetek bengeknya adalah www.fashionrevolution.org yang didirikan pasca tragedi runtuhya Rana Plaza di India. So... kalau kalyan tertarik dengan sustainable fashion thingy bisa mampir ya, beberapa bulan yang lalu aku mampir ternyata mereka sudah punya tim di Indonesia ✨👌🏻. 

Menurutku, konsep sustainable ini masih panjang perjalanannya, masih perlu perlu penyesuaian, masih perlu diberdayakan, masih akan tumbuh. Tapi kalau melihat euphoria-nya aku yakin sustainable fashion is (still) a thing. 

Sebenarnya masih banyak sih yang bisa diceritakan dari course-ku, yang kutulis ini hanyalah sebagian kecil dari materi yang kudapatkan. Kalau kalyan ada waktu dan berminat ikut course-nya bisa dicoba yaini Future Learn (aku belum menemukan course tentang sustainable fashion di situs sejenis). 

Note:
Akhirnya aku menyelesaikan course-ku tepat waktu 😊.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hello fashion people ...

Bertahun-tahun yang lalu aku pernah menceritakan tentang online game yang sempat digandrungi cewek-cewek saat kuliah bernama Looklet, aplikasi asal Swedia ini memungkinkan user-nya untuk ngemix and match pakaian di template yang telah disediakan, mirip-miriplah dengan mainan BP-BPan (Bongkar Pasang) saat zaman SD dulu Cuma bedanya Looklet ini virtual jadi kepalanya nggak akan buntung 🤭.

Setelah website Looklet resmi undermaintenance, user Looklet lawas mulai mencari pengganti online game sejenis untuk menyalurkan minat dan bakat fashionnya. Sebenarnya saat itu sudah ada beberapa online game sejenis Looklet seperti Glamstorm yang bisa dijadikan pelampiasan namun sayang fiturnya tidak secanggih Looklet. Jadinya netyzen kesyel ...

Mungkin satu-satunya website  yang mendekati Looklet adalah Polyvore ya karena fashion itemnya real, biasanya yang main Looklet pasti main Polyvore juga. Kalau Pinterest memiliki banyak kategori gambar maka Polyvore ini mengkhususkan diri untuk beauty, fashion dan decor.

Meski intinya sama-sama membuat kolase (atau mood board) baik Polyvore dan Pinterest memiliki cara penggunaan yang berbeda. Kalau di Pinterest, kita bisa mengumpulkan gambar-gambar dengan cara nge-pin dan memasukkannya pada board. Maka di Polyvore kita bisa membuat kolase langsung tanpa terbatas pada template tampilan.

Polyvore adalah sebuah  website yang dibuat olah Idris Sadri yang (pada saat itu) masih bekerja pada Yahoo, berdasarkan pada pengalamannya ketika akan mendekor rumah yaitu ingin membuat kolase  tanpa harus mengunting majalah. Website Polyvore secara resmi diluncurkan pada 2007 dan mendapat apresiasi yang sangat baik di kalangan netizen.

Polyvore adalah salah satu social commerce website awal yang menggunakan strategi affiliate marketing dengan jumlah pengguna aktif terbanyak. Gambar-gambar (items) yang ada di Polyvore merupakan gambar fresh yang berasal dari website partner-nya (seller) Polyvore. Website Polyvore sendiri bisa diakses melalui PC atau smartphone.

Untuk membuat kolase di Polyvore kita harus memiliki akunnya terlebih dulu. Bagi yang belum punya akunnya bisa membuka website Polyvore dan sign up  via e-mail atau Facebook, kemudian tunggu confirmation e-mailnya dan aktifkan! Tapi kalau sudah punya akunnya mah bisa langsung login. It’s free!


Ada 2 tipe set (tampilan) yang bisa dibuat di Polyvore, yang pertama adalah set (regular) yaitu set yang kita buat sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan dan yang kedua adalah contest set yaitu set yang kita buat berdasarkan tema dari Polyvore. Contest di Polyvore ini berhadiah loh ... kalau menang kita bisa mendapatkan fashion items seperti pakaian, sepatu, tas atau aksesoris. Worth to try banget kan ya ...

Pada dasarnya membuat set (regular) dan contest set sama saja step by step-nya. Kalau kita ingin langsung membuat set bisa langsung klik create set button, sedangkan untuk ikutan contest kita harus klik tab contest, baru setelah muncul deskripsi contest seperti di bawah ini klik create set button. 


Kemudian kita akan diarahkan menuju working sheet, disana sudah tersedia basic tools untuk meng-edit gambar yang dipilih, seperti fungsi rotation, fungsi flip flop, fungsi copy paste (clon) dan fungsi backwards-afterwards. Items yang dipilih bisa dihilangkan background-nya seperti halnya format PNG atau bisa juga di trimming sesuai selera. Sedangkan untuk mengatur posisi gambar dan resize gambar dilakukan secara manual menggunakan mouse pada PC atau touchscreen pada smartphone. 

Selain itu, bedanya antara membuat set (regular) dan ikutan contest adalah adanya items yang wajib dimasukkan di kolase yang akan kita buat seperti di bawah ini. Biasanya items yang dimasukkan adalah judul tema contest-nya, mungkin tujuannya untuk menandai set yang ikutan contest.
 

Kemudian kita tinggal memilih items apa yang sekiranya cocok dengan tema contest, ada 3 kategori yang bisa ‘dibedah’ isinya yaitu woman, man dan home. Kalau kita nggak nemu-nemu gambar yang cocok banget atau sudah punya items yang dikecengin bisa langsung ketik keyword-nya di tab search, tapi kalau memang masih belum puas dengan hasil pencarian kita bisa memfiltrasi gambar berdasarkan warnanya. Then, untuk memasukkan gambar ke working sheet klik saja add to set button. 

FYI, semua items yang ada di Polyvore ini bisa kita beli ya ... ketika kita klik gambar yang tertera di pop up product description maka kita akan diarahkan langsung ke laman order. Tapi kalau mau langsung order tanpa membuat set atau ikutan contest juga bisa kok, kita tinggal klik tab shop yang tertera di bagian atas. Oh iya, kita juga nggak usah pusing-pusing lah ya mikirin rate convertion karena harga yang dicantumkan adalah IDR (berbeda-beda tergantung negara asal pemilik akun).


Setelah selesai membuat set atau mengikuti contest kita bisa langsung mem-publish-nya namun sebelumnya kita harus mengisi dulu set description seperti di bawah ini. Tidak ada keharusan untuk menamai dan mendeskripsikan set menggunakan Bahasa Inggris, bisa juga menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Bahasa Inggris lebih banyak digunakan karena merupakan bahasa persatuan internasional dan mempermudah mencari set *siapa tahu ada yang iseng nyari

 
Kalau kita adalah umat Pinterest yang ingin set yang sudah dibuat di-publish (dan di-pin di board), kita bisa mengkoneksikan akun Polyvore dengan akun Pinterest milikmu. Namun ada sedikit perbedaan mengenai hasil publish-annya, jika di Polyvore set yang di-publish berbentuk gambar kotak 1X1, maka lain lagi dengan set yang di-publish via Pinterest. Ukurannya akan lebih panjang karena selain memuat set, gambar tersebut memuat gambar thumbnail-nya yang dipecah-pecah per-items-nya seperti di bawah ini.


Selain Pinterest ada beberapa akun social media yang bisa dikoneksikan dengan akun Polyvore (seperti yang tertera di bawah ini). Tapi ingat ya ... setiap platform memiliki hasil publish-an yang berbeda-beda. Aku pernah mencobanya pada akun Blogger namun gagal ehehe Eym ... rasa-rasanya kurang cocok weh di-publish di Blogger, karena hasil publish-annya rada apeu-apeu gimana gitu yha~. Mungkin akun Facebook lebih cocok untuk dikoneksikan dengan akun Polyvore karena langsung masuk ke album tanpa ada deskripsi produknya. Eh tapi ini terserah sih yahh ... 
 

Set yang sudah di-publish akan terlihat seperti akun di bawah ini (^.^)  Gimana? Gimana?


Kalau kalian adalah fashion enthusiast atau memiliki (online) fashion shop, set yang dibuat di Polyvore sangatlah membantu terutama untuk membuat mood board atau sekedar membuat teaser picture untuk next collection. Oh iya, kita juga bisa bergabung di group Indonesia atau group lainnya, kelebihan bergabung di group adalah fitur multi publish, jadi set yang di-publish bakal otomatis ter-publish juga di laman group. Selain itu kita bisa berinteraksi dengan member di group, sangat memudahkan untuk mencari teman yang satu frekuensi, then, jangan lupa untuk membalas love dan comment ya 😉.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates