Sebagai seseorang yang terlalu enjoy dengan diri sendiri dan kurang peduli dengan kehidupan orang lain, ada kalanya aku merasa terusik dengan sikap-sikap mempertanyakan dari khalayak sekalian.
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari ngeblog? Apakah menghasilkan cuan selayaknya iklan adsense? Apakah menghasilkan buku selayaknya Raditya Dika? Apakah menghasilkan film selayaknya Keluarga Tak Kasat Mata? Apakah menghasilkan trend fashion selayaknya Diana Pelangi?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari kuliah di jurusan Desain Produk? Apakah menghasilkan cuan berlimpah selayaknya IKEA? Apakah menghasilkan design keren selayaknya designer yang di-review Hypebeast? Apakah menghasilkan produk inovatif selayaknya handphone Nokia? Apakah menghasilkan online shop yang berujung pada cuan?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari mengikuti online course? Apakah menghasilkan cuan selayaknya beasiswa tapi ini mah online? Apakah menghasilkan tawaran pekerjaan selayaknya seleksi calon pegawai tapi ini mah online? Apakah menghasilkan tawaran magang selayaknya seleksi calon pegawai magang tapi ini mah online? Apakah menghasilkan apapun yang berujung pada cuan?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari ... let say ... menggambar? Apakah menghasilkan cuan selayaknya lukisan di gallery? Apakah menghasilkan gambar yang bisa dijual selayaknya artwork? Apakah menghasilkan film animasi selayaknya animator? Apakah bisa menghasilkan apapun yang (lagi-lagi) berujung pada cuan?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari membaca? Apakah bisa menghasilkan cuan selayaknya editor? Apakah bisa menghasilkan buku selayaknya para penulis? Apakah bisa menghasilkan tawaran pekerjaan selayaknya pikiran orang-orang? Apakah menghasilkan apapun yang (lagi-lagi lagi-lagi) berujung pada cuan?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari menonton film?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari mengikuti workshop?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari menata barang-barang?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari memotret?
Sering ada yang mempertanyakan apa yang ku hasilkan dari semua-hal-yang-ku-sukai-tapi-mereka-tidak?
Aku lantas mempertanyakan,
Apakah hasil berarti cuan?
Yha~~~
Truthfully ... Tiada pertanyaan yang paling mengusik di hidupku ini selain pertanyaan “menghasilkan nggak?”, mengesankan bahwa yang bertanya seolah-olah sungguh sangat expert di bidang per-cuan-an sedangkan aku baru saja sampai dari dimensi lain.
Well ... Nggak tahu ya dengan kalian, tapi bagiku tidak semua hal harus ada hasilnya, harus jelas perhitungan untung ruginya, harus kelihatan masa depannya karena hasil bersifat relatif dan tidak mampu menjamin nilai (value).
Aku melakukan semua hal yang aku sukai (blogging, menggambar, membaca dll) pure karena merasa suka, tanpa ada sedikitpun pemikiran harus ada hasilnya. I enjoying the process without distracted by the results, just let it flow .... passionately, urusan menghasilkan cuan apa nggak mah itu belakangan.
Karena yang terpenting bukan hasilnya tapi prosesnya. Ya kan?
Saat masa TPB ada mata kuliah Menggambar Bentuk, kita diharuskan untuk menggambar apa yang kita ‘lihat’ bukan apa yang kita ingin lihat, salah satu proses terpenting dalam melatih sense. Bagiku ini sulit ya karena aku adalah tipikal orang rusuh dan sangat senseless.
Setelah seharian menggambar, mengabaikan jam makan siang dan kalut memikirkan kenapa gambarnya nggak kelar-kelar. Tibalah saatnya untuk menyetor gambar dan mempertanyakan kelayakannya kepada dosen, kupikir gambarku bakal langsung di approve karena sudah memenuhi kriteria gambar, tapi tenyata tidak begitu ...
Gambarku dikembalikan lagi agar diperbaiki, saat kutanya “Kenapa dikembaliin? Kan udah selesai” jawabnya “Karena ngegambarnya nggak pake hati” Halaahhh ... Belum sempat aku tanya “Tau dari mana pake hati apa nggak gambarnya?” ia menjelaskan ...
“Kenapa gambarnya saya kembalikan? Alasannya adalah ... Karena kamu masih ‘berfikir’ ketika menggambar, pewarnannya terlalu rapi dan tarikan garisnya terlalu perfect untuk sebuah benda hidup (still life). Perfect is imperfection. Coba deh sekarang kamu lihat lagi objeknya pake hati pasti rasanya beda”.
Mungkin karena dasarnya aku ini rusuh dan sangat senseless jadi prosesnya agak lama, disaat teman-temanku beres-beres tools mau lanjut nongkrong, aku dan beberapa teman masih berkutat di meja gambar yang berantakan mencoba menangkap objek menggunakan hati. Beruntungnya, dosen yang bertugas mau berbaik hati menunggui kita menggambar sampai malam.
Butuh hampir 2 semester untuk membuatku sadar bahwa segala sesuatu yang didasari oleh hati akan menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai lebih ketimbang sesuatu yang hanya didasari oleh pikiran. It’s very worthy. IYKWIM.
So with this, karena merasa melakukan hal-hal yang disukai berdasarkan hati, maka aku tidak merasa memiliki kewajiban untuk menghasilkan cuan darinya. I enjoying the process as I enjoying myself as I should be.
Kadang kupikir kenapa orang-orang mau bersusah payah memikirkan apa yang dihasilkan sementara aku sendiri malah adem ayem tentrem bebas merdeka. Tapi kemudian ku sadar bahwa mereka tidaklah sepertiku, yha~ bagiku mereka yang mempertanyakan hasil belum menemukan esensi dari hidup itu sendiri. Berat khann ... bahasannya.
Salah satu dosenku pernah kasih statement; Tahu nggak kenapa menjadi designer adalah hal yang paling menyenangkan? Karena disaat orang-orang sibuk mengurusi angka-angka, data-data, rencana-rencana atau target-target, kita ... designer ... (wait for it) berproses dan berkarya ...