Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.

Hello~

Akhir tahun ini kita (siapa lagi?! 😁) mengunjungi soft opening rumahnya Pici di Garut yang masih satu area dengan rumah orang tuanya. Kalau kalyan pernah main ke rumah orang tuanya Pici pasti ngeh deh kalau rumahnya Pici ini (taste-nya) bapaknya banget 😉. Kubilang begini karena kutahu bapaknya Pici hobby-nya merenovasi rumah, senang mengeksplorasi material dan detail oriented. Sudut anak tangga pake list, rooster yang bermotif, teralis yang berulir, pokoknya sebisa mungkin nggak ada space kosong yang sia-sia ✨👌🏻.

Aku dan Deya berangkat di hari Sabtu pagi, transit sebentar di Nagrek karena bisnya Icunk kena macet dan kita sampai di Garut menjelang tengah hari. Tadinya kita mau jalan-jalan di kota, namun karena udah keasyikan ngobrol jadinya mager, ujung-ujungnya kita beli minuman yang berembun, berasa dan berwarna via Go Food 😅. Malamnya kita beli baso aci dan tolak bala karena perut kita bergejolak paska minum eskosu jahara, fix nggak akan beli lagi 🥺.

Tadinya kita mau jalan-jalan ke kota (masih keukeuh) atau lanjut ngobrol di mana gitu… namun menimbang situesyen yang kurang kondusif sebab terhalang Karnaval SCTV, kita memutuskan untuk jalan-jalan ke Gunung Papandayan. Berdasarkan observasi Icunk di TikTok, saat ini adalah tempat wisata baru di Gunung Papandayan yang sedang hype, dimana bunga hydrangea (hortensia) sedang bermekaran. Kuy, marki-try… 😎.


Perjalanan menuju Gunung Papandayan bikinku nostalgia entah karena apa… kemungkinan sih gegera kangen saat masih tinggal di Darul Arqam. Aku, Pici, Nurma dan Shanty pernah jalan dari belakang Darul Arqam melintasi sawah dan sungai, tahu-tahu sampai di Bayongbong. Capek banget… untungnya kita bawa uang jadi pulang ke Darul Arqam-nya pake angkot. Nggak kebayang yekan gimana capeknya kalau kita mesti balik lagi melintasi sawah dan sungai karena nggak bawa uang 😂.

Kita juga pernah camping di Gunung Papandayan, untuk post-nya ada di link ini:
Camping di Gunung Papandayan
Camping di Gunung Papandayan (lagi)

Dari gapura selamat datang di gunung Papandayan yang ada opangnya kita mesti agak bersabar karena jalannya sedang diperbaiki, sisanya mah sih aman ya. Jarak dari gapura ke loket cukup jauh meski jalannya udah lebih baik, merasa heran sendiri, kok mau-maunya ya aku dulu ke loket pake ojek padahal jalannya masih rombeng. Memang ya pulang dari sana aku sakit pinggang dan sakit pantat 😂 mana jalan ke Pondok Saladanya jauh.

lokasi camping pertama kita di samping gapura itu, dulu di pinggirnya ada tempat sampah, sekarang udah berbenah

bunga edelweiss

air yang mengalir dari kolam renang

Sebelum pergi ke gunung Papandayan ada baiknya kalyan mengecek tarif masuk dan tarif lain-lainnya di TWA Papandayan. Untuk wisatawan lokal dan wisatawan internsional tarifnya tentcu berbeda, udah ada penyesuaian meski rate-nya flat (biar nggak pusing meureun nya). Kini di gunung Papandayan kita nggak hanya bisa camping, hiking atau foto prewedding. Kita juga bisa berenang, jalan-jalan di tamannya bahkan menginap di cottage. Fasilitas umum macem toilet, musholla, parkiran dan warung so pasti tertata rapi. Nah, gini dongs… ✨👌🏻.

Kita memilih untuk berjalan-jalan di taman bunga hydrangea (hortensia) sekalian menunggu Alka dan Sangga yang berenang. Disini ada Orchid Garden tapi karena bingung masuknya dari mana kita nggak kesana haha isokey kok, taman bunga hydrangea-nya memuaskan apalagi untuk buibu yang demen bikin story. Hydrangea memang tumbuh di area bersuhu dingin, makanya cocok banget kalau bikin taman bunga hydrangea di gunung Papandayan.

sayangnya nggak wangi

mamanya Pici dan Sangga

mau bilang ini di Jeju, tapi udah pada tahu ini di Papandayan

masih ada yang ukurannya lebih besar daripada ini

lagi pada ngaps?

fotoin bunga ini

another bunga di tepi toilet

Ohya, kalyan menyebut bunga hydrangea sebagai bunga apa? Aku tahunya Kembang Bokor dan bunga Tiga Bulan (karena mekar selama 3 bulan), mama menyebutnya bunga Hortensia dan Deya menyebutnya bunga Borondong 🍿.

Beruntung saat kita kesana bunga hydrangea-nya masih mekar, masih berbentuk bulat sempurna. Selama ini aku hanya tahu bunga hydrangea berwarna yang biru dan putih aja, ternyata ada warna lain yang nggak kalah cantik. Saat kecil bunga hydrangea sering menjadi dekorasi di stand di pameran instansi tempat mama kerja, setelah pamerannya usai dekorasi tanamannya jadi incaran buibu, mayan… masih ada sisa mekar hingga 1 bulan kemudian.

Saat Alka dan Sangga berenang, kita sempat jajan di warung yang ada di area parkiran. Kalyan bisa langsung cap cip cup pilih warung karena barang yang dijual hampir sama, untuk harga mungkin beda tipis tapi gorengan mah kemungkinan sama *sotoy 😁. Kalyan nggak perlu khawatir kekurangan asupan micin karena ada pedagang cilor, cilung, batagor dan peracian duniawi yang mangkal di sebelah warung dengan tertib. Selain itu suasananya memang cocok untuk sekedar ngopi (minum teh hangat sambil ngemil gorengan).

yang anget... yang anget...

ter-legend se-Darul Arqam-eun

Kita turun dari gunung Papandayan saat tengah, waktu yang tepat untuk makan siang yekan… Yha~ dimana lagi kalau bukan di Mulang Sari 😅. Kita ke Mulang Sari yang di depan Mall Garut macem terakhir kali aku kesana dengan Icunk. Saat kita makan sayup-sayup terdengar suara musik dari acara Karnaval SCTV, kenapa sih venue-nya di alun-alun kan di depannya ada Mesjid Agung?! Macem, apakah lapangan Kerkoff kurang OK untuk dijadikan venue acara? 🤔


Setelah nge-drop Pici dan duo bocil di rumahnya kita kembali ke Bandung, Icunk kembali di-drop di Nagrek. Tumben-tumbenan yekan kita pulang saat masih sore 😁. Saat kembali ke Bandung aku baru melihat stasiun Tegalluar yang meriah dari jauh, ketara banget ya udah lama nggak lewat tol 😅 Saat awal tahun ke rumah Pici mah stasiunnya belum jadi.

Garut kota Burayot

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Kami melanjutkan perjalanan menggunakan bis menuju Malang, tak banyak tingkah atau pun bicara kami lalui perjalanan dalam senyap. Lelap. Saya terbangun mendengar Rega kasak kusuk seru dengan orang asing, seorang pria paruh baya dengan kuku panjang yang meliuk-liuk. Berdasarkan penjelasannya, dia adalah salah dua dari pemegang rekor MURI untuk orang Indonesia dengan kuku terpanjang.

Tujuan kami di Malang adalah untuk menginap di salah satu kerabat Hany, jeda sejenak sebelum melanjutkan ke Pulau Sempu. Wajah dan logat kami yang bukan pribumi membuat kami berulang kali menjadi sasaran calo, begitu juga ketika membayar ongkos angkot yang lebih mahal daripada tarif lokal, meskipun kesal kami berusaha mafhum karena bukan di tanah sendiri.


Saya baru tahu kalau susunan seat angkot Malang itu agak berbeda, jika biasanya di Jawa Barat sana kursi tambahan disediakan di belakang front seat (supir) dekat dengan pintu keluar lain halnya dengan angkot di daerah Jawa belahan Timur, kursi tambahan terletak di tengah-tengah row seat (diantara kedua deretan kursi penumpang) dan yang kebagian duduk di row seat harus rela nyempil hehe

Pada malam hari kami diajak jalan-jalan ke Roma alias rombengan malam yakni sejenis pasar dadakan seperti di Gasibu Bandung, Roma hanya ada di malam hari saja, barang yang dijual biasanya adalah barang-barang loakan layak pakai dan dagangan lain khas PKL. Tujuan kami sebenarnya adalah untuk mengantar Pici mencari sepatu karena sepatu yang dipakainya jebol sesaat setelah kami tiba di Malang, malang sekali ya Pici hehe

Karena budget yang sungguh sangat terbatas kami mencarinya di Roma, meskipun ada beberapa lapak yang menjajakan sepatu belum ada satu pun yang cocok, yang menjadi masalah bukanlah model atau harganya tapi ukurannya. Pici yang bertubuh mungil, sepatunya juga kecil tapi ukurannya sulit ditemukan. Akhirnya setelah mencari-cari dan bongkar sana sini Pici menemukan ukuran yang cocok, urusan model sudah tidak peduli, harga? cuma Rp. 25,000 haha


Kami tidur ala-ala pindang, khusus malam ini kami tidur seperti papan karena kaki masih nyeri gara-gara jalan (nggak) santai di Bromo. Pada saat seperti itu saya kangen dengan kasur dan bantal-bantal saya di kamar, sayangg saya hanya bisa membayangkannya saja. Meskipun sudah tempel koyo dan menggosok minyak kayu putih disana sini sebelum tidur, keesokan paginya saya terbangun masih dengan kondisi otot yang kaku, bahkan sholat pun masih belum bisa normal.

Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Sempu, setibanya di Pasar Turen kami langsung dikerubungi oleh pengusaha transportasi setempat (angkot dan Honda a.k.a motor). Fahria dengan cekatan mencarter angkot untuk menghindari suasana yang merisihkan.

Sebenarnya, terjadi perdebatan diantara kami mengenai rencana ke Pulau Sempu, menurut Simbah Google biasanya Pulau Sempu ramai dikunjungi pada saat weekend (camping) sedangkan pada hari-hari biasa jarang ada yang camping. Kami khawatir jika tidak ada orang lain / kelompok lain yang camping dan yang terbayang di kepala saya adalah scene-scene film horror epic tentang sekelompok anak muda yang lagi liburan di pantai :(


Tadinya kami mau membatalkan niat ke Pulau Sempu, tapi setelah dipikir-pikir lagi rasanya sayang jika mengingat-ngingat perjuangan kami membawa tenda dan peralatan kemping lainnya dari Jakarta. Setelah berembuk kami putuskan untuk pergi ke Pulau Sempu, jika memang tidak ada seorang pun yang camping disana maka kami akan nekat camping di bibir pantai atau jika memang tidak memungkinkan kami akan menginap di penginapan yang ada di sekitarnya.

Deskripsi mengenai kota Malang kurang lebih seperti yang dituturkan Donny Dirganthoro dalam bukunya '5 cm', khususnya mengenai kebiasaan penduduknya yang memiliki kegemaran membolak-balikkan kata-kata, dari nama angkot yang kami tumpangi, jargon-jargon di baliho sampai dengan nama caleg pun tak luput dibolak-balik. Jika kamu mengunjungi kota Malang dan menemukan kata atau kalimat yang tidak dimengerti mohon jangan putus asa mungkin anda terbalik membacanya ehehe


SENDANG BIRU

Kami tiba di Pantai Sendang Biru menjelang sore, lalu menuju kantor Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu untuk mendaftar camping. Alhamdulillah... kami tidak camping sendiri :) dan untuk bisa camping kami diharuskan untuk menyewa jasa guide polhut untuk menunjukkan jalan, salah-salah bisa tersesat. Di kantor tersebut terpajang gambar-gambar hewan yang terdapat di wilayah konservasi Pulau Sempu diantaranya adalah owa jawa, monyet, harimau dll tadinya saya pikir Pulau Sempu hanyalah pulau tak berpenghuni yang biasa dijadikan tempat kemping, tapi ternyata merupakan wilayah konservasi hewan-hewan khas Pulau Jawa.

Pulau Sempu terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian Timur, jaraknya tidak terlalu jauh, bahkan terlihat jelas sekali dari Pantai Sendang Biru. Untuk mencapai Pulau Sempu kami menyewa jasa perahu nelayan, Mas Kapal ini menawarkan untuk menjemput kami keesokan harinya dan tentu saja kami iyakan.




Sendang Biru merupakan deskripsi yang lugas mengenai tempat ini, airnya yang biru jernih dan tebal merefleksikan langit dengan sempurna, ombak yang menabrak-nabrak tak membuat kami urung untuk melihat dasar lautnya. Di bagian barat laut Pulau Sempu terdapat batu karang yang menancap kokoh dari dasar laut, menurut Mas Guide batu tersebut dijadikan gapura penunjuk bagi kapal-kapal asing di jaman kolonial.

Tujuan kami adalah sebuah laguna kecil di bagian barat daya Pulau Sempu, sebenarnya akan lebih dekat jika langsung menuju ke laguna menggunakan perahu namun sayangnya tak satu pun gentar menghadapi ganasnya ombak laut selatan. Perjalanan melalui jalur darat menghabiskan waktu sekitar 2-3 jam tergantung sikon dan kemampuan, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh hanya saja medan yang dilalui cukup sulit, jalanan yang licin penuh lumpur menyisakan beberapa pasang sandal dan sepatu terbengkalai hehe







Tanah yang terjal dan curam berkali-kali membuat saya terjatuh dan akar pohon yang bergelimpangan sering membuat kami terantuk, belum lagi kemunculan hewan-hewan penghuni Pulau Sempu yang tiba-tiba membuat saya selalu was-was serasa diawasi. Takut digabrug.

Ketika kami tiba sudah ada beberapa tenda milik sekelompok muda mudi yang sedang asyik main air, kami dan Mas guide pun lantas mendirikan tenda untuk menyimpan barang bawaan sebelum akhirnya ngacir foto-foto. Laguna tempat kami camping memiliki pesisir yang landai dengan pasirnya yang halus dan dikelilingi oleh tembok karang yang tinggi serupa benteng, di salah satu sisi terluar tembok karang itulah terdapat sebuah lubang yang berfungsi sebagai jendela yang menghubungkan laguna dan Samudra Hindia.

Dan satu lagi jangan harap untuk mencoba-coba mendekati lubang tersebut, sekali terseret maka akan terhempas keluar, tidak mudah untuk bisa kembali dan terlalu sulit untuk bertahan maka hanya ada 1 kemungkinan : tenggelam. Menikmati laguna Pulau Sempu secara pribadi membuat kami sadar, tidak semua hal ingin dibagi dengan orang lain, sebelumnya kami berharap bisa camping dengan orang / kelompok lain tapi setelah sampai dan menikmatinya kami malah berharap untuk sendiri.







Pada awalnya saya merasa kecewa karena merasa Gunung Bromo lebih menarik ketimbang laguna Pulau Sempu, tapi akhirnya saya tersadar, bukan masalah menarik atau tidaknya saya kecewa, tapi lebih dikarenakan saya kecewa tidak bisa menikmati Pulau Sempu seperti saya menikmati Gunung Bromo, ketika masih segar dan berapi-api. Kelelahanlah yang membuat saya tidak bersyukur

Pada malam hari kami memasak dengan menu yang amburadul hehe menanak nasi dicampur sarden kalengan menggunakan kompor parafin bukanlah pilihan yang tepat, sadar hasilnya jauh dari memuaskan kami berusaha memperbaikinya dengan menambahkan mie rebus ala kadarnya, jangan tanya rasanya, karena masih lebih baik daripada tidak makan sama sekali.





Disaat tenda sebelah gonjrang-gonjreng cekikian asyik tenda kami sudah sunyi senyap hehe Tenda yang kami gunakan adalah milik Fahria yang khusus dibawa dari Jakarta demi camping di Pulau Sempu ehm... milik Najwa (adik Fahria) yang suka main tenda-tendaan di dalam rumah. Ukurannya yang tidak seberapa membuat kami harus rela tidur dempet-dempetan, lalu ada Rega yang ngotot ingin tidur satu tenda karena takut tidur di luar. Saking pulasnya kami tidak sadar kalau malam itu hujan turun, diantara kami hanya Pici dan Mas Guide yang sanggup berlarian untuk menyelamatkan jemuran dan tas-tas kami.

Keesokan harinya kami terbangun dengan porak poranda, karena hujan semalam kami tidur dihiasi dengan toping pakaian 1/2 kering dan tas-tas yang isinya berhamburan. Meskipun Pici mengocehkan (b/d)eritanya semalam kami hanya menanggapinya dengan tertawa-tawa dan bersikeras menganggap aksinya adalah resiko karena tidak tidur pulas.




Kami sempatkan naik ke atas tebing untuk berfoto-foto, tidak boleh terlalu dekat karena ombak yang keras berpotensi untuk membuat badan limbung, jika kurang beruntung bisa jatuh ke samudra. Anyway... pemandangannya indah sekaligus bikin ngeri.

Meskipun enggan kami memaksakan diri bongkar tenda dan berbenah, masih ingin disini, tapi mengingat waktu yang telah saya curi cukuplah sampai disini. Mas guide mengarahkan kami menuju rute yang berbeda dari yang kemarin, lebih cepat dan agak landai, dengan kata lain jalan pintas !!! Hadehh Mas... Tau gitu kemarin kita lewat sini dehh..



Di perjalanan pulang itulah Mas Guide cerita tentang Pulau Sempu, intinya jangan datang ke Pulau Sempu dengan niat buruk atau akan terjadi sesuatu.

Pernah ada seseorang yang datang untuk berburu burung, tak tahu bagaimana dia menghilang, setelah dicari selama beberapa hari akhirnya dia diketemukan di atas tebing terluar, sendirian. Lalu ada sekelompok mahasiswa pria yang camping, di perjalanan pulang salah satu dari mereka bertemu dengan seorang wanita, entah bagaimana dia mengikuti wanita tersebut dan kemudian diketemukan beberapa hari setelahnya di dalam hutan. Selainnya adalah kecelakaan-kecelakaan akibat terjatuh dari tebing atau tenggelam di lautan. So, be careful dear...




Mas Perahu sampai tidak lama kemudian, lalu kami menuju Pantai Sendang Biru. Disana kami harus menunggu beberapa saat Bison yang kami carter datang, tujuan kami selanjutnya adalah Stasiun Kepanjen, menurut jadwal kereta kami akan berangkat beberapa jam lagi.

Mas Bison yang satu ini cukup mengerti keinginan kami, Bisonnya dikemudikan dengan cepat. Pada saat kami diburu waktu ada saja rintangannya, seperti misalnya saat Bison kami sedang on fire alias (rada) ngebut tiba-tiba ada serombongan anak sekolah yang menyebrang jalan... lama... sekali... oh... murid satu sekolahan bubar... berjamaah... Mereka berjalan santai sambil sesekali berceloteh riang dengan temannya sementara kami sudah keringetan panas khawatir ketinggalan kereta, geregetan!!!

Tapi itu belum seberapa dibandingankan dengan tiket bodong haha

Kami tiba tepat waktu di Stasiun lalu bergegas memasuki peron, karena ada keterlambatan kami harus menunggu hingga beberapa saat yang kami habiskan dengan berfoto-foto. Pada saat kereta mulai terlihat di kejauhan, barulah kami sadar belum beli tiket, berlari-lari saya dan Fahria kembali ke loket untuk membeli tiket.


Sepertinya Mas Tiket kurang peka kalau kami terburu-buru, meskipun sudah ada panggilan 'kepada seluruh penumpang ...' beliau tetap tak bergeming bahkan memberikan tiketnya, satu-persatu, kemudian menghitung uang kembalian dengan cermat dan teliti sebelum memberikannya kepada kami. Setelah mendapatkan tiket kami berlari-lari dan ikut berebut kursi dengan penumpang yang lain.

Perjalanan penuh kenyarisan hari itu mengantarkan kami menuju Stasiun Malang. Hal yang pertama kami lakukan adalah mandi. Saya belum merasakan mandi sejak kemarin lalu ditambah busik lengkat ala air laut dan keringat hasil lari-lari hari ini membuat saya merasa kotor hahaha ... Beruntung kami menemukan satu tempat mandi yang cukup bersih di pinggir gedung kantor kereta api, bergantian kami mandi sampai puas.



Selesai mandi kami berjalan-jalan sambil melihat-liat kereta, siapa tahu kereta kami sudah datang. Kami pun masuk ke dalam sebuah tempat makan, ketika kami sibuk memilih-milih makanan terdengar suara 'kepada seluruh penumpang...' lalu terdengar suara-suara gaduh antara penumpang dan kondektur dari kereta di depan kami, siap untuk berangkat.

Serasa diingatkan Fahria bertanya tentang kereta yang akan kami naiki kepada Ibu Warteg. Jawabannya menghetak kami, kereta yang nyaris berangkat di depan kami adalah kereta yang kami tunggu-tunggu. Tanpa membuang waktu kami berlarian naik ke dalam kereta meninggalkan Fahria dan Pici yang sibuk memaksa Ibu Warteg membungkus makanan secepat kilat. Masih teringat dalam benak saya bagaimana Fahria dan Pici berlarian mengejar kereta dengan ransel yang kebesaran dan keresek di pergelangan tangan, tadinya saya pikir mereka akan ketinggalan seperti di film-film hehehe



Kami habiskan malam di kereta dengan kaki yang masih pegal karena sulit sekali untuk digerakkan, mempersulit posisi duduk kami yang tidak nyaman. Penumpang yang lalu lalang di setiap perhentian dan pedagang asongan yang seliweran tidak membuat kami benar-benar tertidur. Maklum kereta ekonomi hehe

Setelah Hany turun di Yogyakarta, kini giliran Pici, Fahria, Rie dan Rega turun di Stasiun Cipeundeuy a.k.a Stasiun Malangbong karena mau menjenguk mamanya Icunk, akhirnya tinggal saya sendiri melanjutkan perjalanan sampai Stasiun Bandung. Sedih sih hehe... Udah lecek, kumal, gak ada yang jemput... eh, nggak deng, ada yang jemput haha



Saya pergi liburan ditengah-tengah SP (semester pendek) dan jatah bolos per mata kuliah adalah 3 hari, karena mata kuliah tersebut diadakan 3 hari dalam seminggu, otomatis jatah bolos saya habis dalam minggu ini, itu artinya saya harus masuk di hari-hari berikutnya. Sayangnya salah satu mata kuliah yang saya ambil terpaksa gugur karena suatu hal dan lain sebagianya hahaha ... tinggal satu mata kuliah lagi, yang membuat saya puyeng bukan main adalah ... UTS Meskipun saya datang tepat waktu (sehari sebelum UTS) saya harus mengerjakan tugas-tugas hutang bolos dan tugas penunjang UTS : (

Jadilah... Ketika teman-teman liburan saya sedang dalam masa pemulihan pasca liburan, saya masih sibuk begadang bikin sketsa huftt...

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates