Sustainable Adalah Kearifan Lokal

by - July 31, 2021

@charlesetoroma on Unsplash  

Hellooo…

Semua yang kutulis di post ini berdasarkan preferensi pribadi ya, nggak ada research mendalam kecuali mengamati kehidupan sehari-hari dan apa yang orang-orang post di media sosial. Feel free to discuss more about it.

Aku lupa lagi kapan tepatnya, tapi Deya pernah tanya tentang sustainable dan penerapannya di Indonesia gimana. Kalau nggak salah saat itu aku jawab sustainable adalah gaya hidup orang Indonesia alias kearifan lokal. Sayangnya, Deya tanya di saat kita mau pulang, padahal kalau tanyanya saat makan Sate DAMRI diantara sholat maghrib dan sholat isya bisa-bisa kita begadang haha *kangen kosan Icunk 😘.

Selama ini aku cukup mengikuti tentang sustainable, awalnya karena tertarik tentang sustainable fashion dan pernah menulis post-nya disini. Kalau membicarakan sustainable tentcu cakupannya sangat luas bahkan bisa dikatakan hampir semua hal kini diupayakan menjadi sustainable. Berbeda dengan alam yang memiliki life cycle-nya sendiri, semua yang diproduksi oleh manusia membutuhkan proses untuk mencapai sustainable.

Apakah sustainable berarti daur ulang? Nggak selalu. Daur ulang adalah salah satu opsi untuk memperpanjang masa pakai. Kalau ingin tahu mengenai sustainable lebih detail bisa di-search di Google ya… Kali ini aku skip 😁. Well… lantas apakah hubungan antara sustainable dan kearifan lokal?

Yha~ sustainable adalah kearifan lokal itu sendiri.

Kearifan lokal atau yang kini biasa disebut sebagai local wisdom adalah warisan berupa konsep hidup (ide, nilai, pengetahuan) yang diturunkan secara turun temurun untuk menjaga keselarasan hubungan antara manusia dan alam. Eh, tapi jangan lupa ya kita tinggal di Indonesia, jadi kearifan lokal ini erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang ✨👌🏻.

Nenek moyang kita (Indonesia) berhasil hidup berdampingan dengan alam selama ratusan tahun lamanya dengan mempertahankan kearifan lokal. Dalam prosesnya ada banyak nilai yang bisa diambil, ide yang dikembangkan dan pengetahuan yang diturunkan. Salah satu yang mampu mempertahankan kearifan lokal adalah Suku Baduy.

Pada dasarnya ada pakem-pakem yang dibuat berdasarkan pengalaman panjang. Katakanlah rumah. Dari Sabang sampai Merauke bentuk rumah berbeda-beda mengikuti kontur geografis, pernah nggak sih kalyan bertanya-tanya mengapa rata-rata rumah di Indonesia atapnya berbentuk limas? Karena… *drum roll dulu… hujan di Indonesia datang dari segala arah. Serius yaini… 😁.

Rumah dengan dak atau berkonsep minimalis dengan rooftop aesthetic sebenarnya kurang cocok untuk menghadapi hujan di Indonesia, tapi balik lagi ya pada akhirnya ini adalah tentang taste dan budget. Saran dosenku dulu; kalau kalyan ingin membangun rumah di suatu daerah, carilah rumah (adat) asli atau rumah lama di daerah tersebut, pelajari bentuknya dan jadikanlah acuan karena nenek moyang membangun rumah untuk jangka panjang.

Pernah ada masanya konsep dekorasi shabby chic booming, disusul konsep dekorasi monokrom, kemudian konsep dekorasi minimalis dan sekarang konsep dekorasi natural. Coba tebak, apa persamaan dari konsep dekorasi tersebut? Yha~ banyak printilannya 😁. Rata-rata orang Indonesia itu horror vacui alias memiliki ketakutan akan ruang kosong, makanya pasti gatal kalau masih ada ruang yang nganggur, ingin diisi, ingin di didekorasi, ingin diiniin diituin 😏.

Percayalah. Apa pun konsep dekorasi rumahnya, pasti punya sudut betrak betruk 🤣 Juara banget kalau nggak punya.

Horror vacui terjadi karena kita memang terbiasa hidup dengan “penuh”, kalau kosong kan ditempati lelembut 👻. Makanya rumah nenek moyang dipenuhi ukiran, lambat laun ukiran tersebut beradaptasi melalui furniture dan elemen dekorasi. Jarang banget kan menemukan rumah yang pure lapang tanpa printilan, jangan jauh-jauh deh… itu tanaman di pot pun posisinya pasti disebar 🤣.

Menurutku, horror vacui-nya orang Indonesia itu unik. Sekeras apa pun kita berusaha untuk mengabaikan pada akhirnya pasti akan kembali lagi. Meski sudah berusaha pake basic outfit nan earth tone, kalau ada versi full graphic tetap aja dibeli juga yekan 😂 Kupikir, pasangan yang menikah dengan kostum dan dekorasi Doraemon adalah sebenar-benarnya orang Indonesia.

Saat ke Gramedia, di antara bagian lifestyle dan self development terhampar buku-buku yang menawarkan berbagai konsep (gaya) hidup masa kini. Sayangnya, nggak ada satu pun buku yang menawarkan konsep hidup dari, oleh dan untuk orang Indonesia heuheuheu 😅 Sebegininyakah krisis konsep hidup sampai mesti mengadaptasikan konsep hidup negara lain yang notabene berbeda kultur dan geografis?

Syudah bisa ditebak… aku jadi mempertanyakan ada nggak sih konsep hidup yang “sesuai” untuk orang Indonesia?.

Ternyata jawabannya ada… di ujung langit ☁️💨.

Beberapa tahun belakangan sustainable living became a things, tapi semakin kucari tahu aku semakin menyadari bahwa adalah sustainable living adalah konsep hidup yang sebenarnya lekat namun terlupakan. Yha~ kalau sustainable living adalah kehidupan yang dijalani oleh Liziqi, maka hampir bisa dipastikan sebagian dari kita pernah menjalaninya.

Saat ini wooden toys adalah opsi yang ideal untuk mainan berbahan alami yakni kayu. Nah. Ingat nggak sih kalyan dengan mobil-mobilan dari yang dibuat dari kulit Jeruk Bali dan lidi? Keduanya, yakni kayu dan kulit Jeruk Bali adalah bahan alami, namun kulit Jeruk Bali akan lebih mudah terurai ketimbang kayu karena nggak menggunakan varnish.

Aku tahu ini perbandingan yang nggak apple to apple ya, aku hanya ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kita sudah lebih sustainable bahkan sebelum kita mengenal konsep sustainable itu sendiri.

Beberapa tahun yang lalu internet pernah heboh oleh berita; supermarket di Thailand menggunakan packaging daun pisang menggantikan plastik. Saat membaca artikel yang menyatakan bahwa daun pisang 100% eco friendly dan sustainable aku ngakak sekaligus bangga 😂. Pasalnya, hampir setiap hari aku menemukan si eco friendly packaging ini dalam bentuk Tempe, Papais, Leupeut, Lemper, Peuyeum, Pecel, Awug, Sate, Nasi Kuning and friends.

Mungkin kalyan pernah mengalami masa dimana packaging plastik belum lumrah digunakan. Setiap kali membeli Bakso atau Soto dari Mang-Mang yang beredar di sekitar rumah, kita selalu membawa rantang atau mangkuk sendiri. So… I just want to say. Bukankah ini yang kita lakukan sekarang? Membawa wadah sendiri demi mengurangi sampah.

Dalam rangka mengurangi limbah botol plastik sekali pakai, beberapa tempat menyediakan refill air minum gratis bagi yang membutuhkan (bisa ditemukan via aplikasi). Di daerah Jawa, sekitar tahun 90an masih bisa ditemukan rumah-rumah yang menyediakan kendi berisi air minum di pagar (pagar tembok) jadi setiap orang yang lewat dan kebetulan haus bisa berhenti dan minum. Biasanya anak sekolah atau petani yang baru pulang.

Aku pernah menonton home tour salah satu aktris Indonsia yang rumahnya bergaya American modern, salah satu keunggulannya adalah food storage (room) yakni ruang penyimpanan bahan makanan kering. Otakku langsung bekerja, dan… food storage (room) adalah Bahasa Inggris dari goah. Dimana hampir semua rumah (lama) orang Sunda pasti memilikinya.

Belum lengkap sustainable living tanpa memasukkan grow your own food alias bercocok tanam atau berkebun. Kupikir konsep grow your own food mirip-miriplah dengan konsep apotik hidup yang pernah kita pelajari saat SD (salim virtual kepada bapak/ibu penyusun kurikulum 🙇🏻‍♀️). Well… jangankan apotik hidup, pagar batas lahan aja kita mah pakenya tanaman Singkong, nggak kurang sustainable apa coba? 🥲.

Dosenku pernah bilang bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya karena memiliki keanekaragaman seni budaya semacam textile, kriya dan tarian. Artinya kita adalah bangsa yang bahagia karena nggak mungkin kita memiliki semua itu kalau nggak punya waktu luang untuk mempelajari dan membuatnya. Disaat bangsa lain bertahan mati-matian dari 4 musim yang berbeda, kita berada disini dengan matahari yang bersinar hampir sepanjang tahun 🌤️.

Oh, inilah yang dinamakan slow living. Biar slow alias rebahan bae tapi tetap hidup yekan haha 😂.

Menurutku, sustainable dan kearifan lokal memiliki banyak kesamaan, yang membedakan hanyalah istilahnya aja. Sustainable memang terlihat lebih cantik dan terdengar lebih baru ketimbang kearifan lokal yang terkesan tradisional. Terserah mau pake yang mana, tapi kita sama-sama tahu pada akhirnya kedua istilah tersebut mengantarkan kita untuk lebih aware.

Selama ini kita mencari mencari konsep hidup yang sesuai tanpa menyadari bahwa sebenarnya kita sudah menerapkannya sejak dulu. Semut di sebrang lautan tampak jelas, sedang Gajah di pelupuk mata tidak tampak.

You May Also Like

0 comments

Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~