Less Waste Menuju Zero Waste
Menyoal zero waste yang beberapa bulan belakangan ini mulai populer, eym... kupikir gatal juga ya ingin ikutan nimbrung
haha...
Selama ini yang kuketahui tentang zero
waste hanya bersumber pada
artikel-artikel di internet (yang tentunya berasal dari sumber yang kredibel dan
valid) serta dokumenter-dokumenternya Discovery Channel dan National
Geographic. Kupikir zero waste ini adalah bahasan yang menarik
untuk disimak, karena sebelumnya aku tidak pernah mengira bahwa impact (dari zero waste) sangat besar pada kehidupan ini.
Selain dari berita-berita di internet, yang cukup konsisten dengan tema
semacam zero waste adalah Discovery Channel dan National geographic. Agak miris memang, disaat orang-orang di pinggiran
Brazil sedang dalam masa peralihan dari kompor berbahan gas ke kompor berbahan
limbah dan memikirkan sumber energi terbarukan (sustainable energy) yang
bisa didapatkan secara cuma-cuma dari alam kita masih bergumul dengan masalah
sosial, tapi begitulah... negara berkembang 😶.
Setelah membaca sana sini, kemudian aku teringat masa-masa ngobrol
ngalor-ngidul dengan dosen di siang bolong.
Satu-satunya aspek yang sering terlupakan atau (memang) jarang digunakan
dalam perencanaan desain adalah konsep pelenyapan alias how to destroy. Apakah produk
tersebut bisa lenyap dengan sendirinya? Apakah produk tersebut bisa didaur
ulang? Apakah produk tersebut bisa didaur ulang hanya pada bagian-bagian
tertentu? Apakah produk tersebut tidak bisa didaur ulang sama sekali? Semacam
begitulah... Yang jelas, mahasiswa desain produk kalau ditanya beginian pas
presentasi pasti kelabakan 😓.
Selain dituntut untuk mencipta desainer juga memiliki tanggungjawab untuk
melenyapkan. From nothing to something
then to nothing (again). Kenyatannya, kebanyakan produk diciptakan hanya
untuk digunakan namun tidak untuk dilenyapkan. Disini aku tidak menyalahkan
produsen atau desainer, namun setidaknya perlu ada upaya pertanggungjawaban
dari kita semua baik sebagai produsen atau sebagai pengguna. Beberapa produsen
sudah menerapkan zero waste.
Zero waste bukanlah istilah yang baru ditemukan
kemarin sore ya, sudah lama ada namun movement-nya
baru hype belakangan ini. Thanks to social media yang menyajikan dengan yang lebih fun.
Beberapa sudah lebih dulu (mencoba) menerapkan zero waste dalam
keseharian, aku menemukannya pada @atiit yang pernah menjadi kontributor di LivingLoving, meski kontennya nggak banyak seru aja baca blognya. Kemudian aku
menemukan The Journal of Me yang juga merangkap sebagai kontributornya www.sustaination.id yang aktif
mengajak ber-zero waste via @sustaination Kemudian ada Maurilla Imron
kontributornya zerowaste.id yang juga aktif mengajak ber-zero waste ria via @zerowasteid. Bisa dicek juga IGnya @rarasekar.
Gelombang zero waste turut berpengaruh pada lifestyle, grow your (own) food
adalah ide yang menarik yakni bagaimana kita menanam sendiri makanan yang akan
kita makan, lebih terjamin dan hemat tentunya. Untuk yang senang bercocok
tanam, bisa menumbuhkan Wortel atau Sawi di grow
bed pastilah menyenangkan, eh bisa dicoba
juga nih membuat microenzym. Tahukah
kamu? Yang pertama kali terpikirkan saat membaca tentang grow your (own) food
adalah... film Cast Away To The Moon wkwkwk 😂😂😂
Yang perlu diingat; selain butuh usaha zero
waste juga butuh biaya 😉.
Cobalah intip beberapa akun yang menjual zero waste kit, printilan-printilan semacam sedotan
stainless, pouch belanjaan atau toples-kecil-kurang-penting-tapi-instagenic, semuanya disajikan dengan
cara yang menarik. Ternyata, selain digiring untuk ber-zero waste kita juga digiring untuk berbelanja haha Padahal kupikir,
zero waste akan lebih tepat kalau zero
cost juga. Well ... yha~ 😏nggak salah juga sih namanya juga usaha *heu 😟 Nah,
disini balik lagi ke diri masing-masing kalau nggak (terlalu) perlu lebih baik memanfaatkan
yang sudah ada. Jangan malah jadi; zero
waste yang nggak zero cost. Kan asyeemm
... 😳
Saat mengobrol dengan mama tentang zero
waste ini, mamaku bilang “semuanya
nanti kembali lagi ke zaman dulu”. Eh, iya ya ... dulu, hampir setiap rumah
memiliki apotik hidup atau tanaman rempah-rempah, pohon buah-buahan, guruku
bahkan ada yang menanam jagung di halaman rumahnya. Pasti ingat dong, kalau mau
beli bubur atau soto kita pasti bawa mangkok atau rantang sendiri, begitu pun
kalau ke pasar pasti bawa keranjang sendiri. Atas nama kepraktisan dan kehigienisan
kantong plastik hadir merubah lifestyle.
Revolusi industri memang mengubah banyak hal, termasuk manusianya sendiri.
Aku lebih berpikir kalau zero waste bukan sekedar life style namun juga survival
skill yang harus dikuasai. Kalau
pernah menonton dokumenter Natgeo ada orang-orang di Amerika sana yang bersiap
menghadapi masa depan. Mereka percaya bahwa di masa depan Amerika akan jatuh
dan chaos yang berakibat pada
langkanya sumber daya dan produk industri, mereka membeli emas dan perak karena
percaya bahwa di masa depan dollar tak kan berarti, menimbun makanan dan
logistik seperti pakaian, peralatan dan survival
kit di dalam kontainer yang dirubah
menjadi bunker. Serius deh ini...
berasa menonton persiapan menuju The Walking Dead 💀.
Sebagian lagi belajar bercocok tanam guna menumbuhkan sendiri makanan dan
belajar mengolahnya agar awet. Mereka percaya bahwa di masa depan bercocok
tanam adalah skill yang wajib
dimiliki. Begitu pun dengan keterampilan semacam berburu, berenang dan pertukangan,
sudah sepaket ya dengan keterampilan memperbaiki atau memanfaatkan
barang-barang (DIY). Hal-hal semacam : kehidupan baru setelah
perang nuklir, law of the
jungle atau doomsday adalah hal yang mereka yakini akan terjadi. Yha~ kita
nggak pernah tahu kan apa yang akan terjadi di masa depan...
Balik lagi ke bahasan zero waste.
Meski ada yang menganggap bahwa zero
waste hanyalah tren musiman seperti
halnya tren shabby chic di kalangan mamak-mamak masa kini,
tak sedikit pula yang menganggap zero
waste adalah gaya hidup positif yang
layak dipertahankan. Aku sih setuju, karena impact
dari zero waste bukan hanya tentang soal bagaimana kita mereduce dan merecycle sampah tapi juga soal bagaimana kita membangun mindset tentang partisipasi (kita) untuk
sustainable life circle.
Untuk merealisasikan konsep zero waste memang bukan perkara yang mudah
ya, terlebih lagi kita tinggal dan hidup di lingkungan
berkategori negara berkembang, yang berarti (masih) memproduksi sampah secara
aktif dengan tingkat daur ulang yang (masih) rendah. Maka dari itu dibutuhkan
komitmen serta konsistensi, dan jangan jauh-jauh dulu lah ya... mulailah dari
diri sendiri. Kalau belum sanggup untuk zero waste mungkin bisa dicoba dulu less wastenya,
kupikir less waste lebih bisa diterapkan dalam keseharian ketimbang zero waste.
Mungkin sebenarnya tanpa disadari kita sudah menerapkan konsep less waste menuju zero waste dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal kecil yang dianggap
remeh temeh namun ternyata berpengaruh besar, small action big impact.
Untuk saat ini aku baru mampu menerapkan sebagian kecil dari konsep less waste menuju zero waste dalam kehidupan sehari-hari, well... tak ada salahnya mencoba bukan?
Semoga bisa berlanjut yha~Lestari’s less waste to zero waste progress (update recently)
Membuang sampah pada tempatnya
Dan menyimpannya di dalam tas atau saku sebelum menemukan tempat sampah.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: SD karena kebersihan sebagian dari iman.
Quality over quantity
Untuk beberapa produk jangka panjang seperti furniture, peralatan makan dan pakaian (jaket, sepatu dan tas)
diusahakan untuk mendahulukan kualitas ketimbang kuantitas. Memang ya ada rupa ada harga, namun aku nggak menganggap ini sebagai
pemborosan karena sesungguhnya boros adalah over
budget, aku menganggapnya sebagai investment dan nggak khawatir
dengan tren karena tren terus berputar.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: masuk boarding
school karena keterbatasan space penyimpanan.
Kimia ke organik
Mengurangi penggunaan bahan kimia dalam produk yang digunakan sehari-hari, seperti body care, skin care dan healthy care. Begitu pula dengan makanan dan minuman, karena salah sedikit bisa langsung bereaksi.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: masuk di ma'had, karena ada alergi dan memiliki kulit sensitif. Didukung pula oleh mama yang alhadulillah sedang OTW kembali ke jalan yang benar.
Memilah sampah
Organik dan anorganik saja tidak cukup, sampah pun mesti dipilah berdasarkan jenis materialnya seperti sampah plastik, sampah kertas, sampah (barang) pecah belah dan sampah karet.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kuliah, karena aku memproduksi banyak sekali sampah lintas material untuk tugas dan volume sampah (tersebut) meningkat berkala terutama saat menjelang UTS/UAS.
Aku suka ber-DIY, dan salah satu resiko ber-DIY yang paling sulit diabaikan adalah banyaknya sampah hasil eksperimen dan kenyataan bahwa sebagian besar produk DIY bersifat tentatif alias tidak dibuat untuk jangka panjang. Sebagian hasil DIY disimpan untuk dokumentasi proses kreatif sedang sebagian lagi dioptimalkan, yakni terus diproses dan dikembangkan demi meminimalisir sisa sampah.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: aktif ber-DIY (kuliah), setelah menyadari setiap material memiliki nilai.
Recycle pakaian
Anak perempuan mana yang belum pernah menge-tag barang-barang mamanya hehe Selain tas aku sering mengincar pakaian mama, merubah ukurannya dan memodifikasinya menggunakan payet. Terlebih lagi mama sering membeli pakaian namun hanya dipakai sesekali, rezeki anak sholehah banget lah ini... Selain sukses berhemat, ada kepuasan tersendiri saat mampu menyelamatkan barang-barang tersebut.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kuliah, karena sedang excited dengan design thingy dan malas mencari pakaian baru.
Membawa tumblr dan peralatan makan sendiri atau kantong belanja
Meski kadang suka diceng-cengin ‘mau kemping’ kupikir tak ada salahnya untuk berpartisipasi mengurangi penggunaan wadah sekali pakai, semuanya sudah ada di tas ya.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kesal punya banyak kantong plastik.
Menggunakan lap ketimbang tissue
Untuk saat ini baru pemakaian domestik saja, biar nggak banyak sampah.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kesal melihat sampah tissue basah.
Decluttering barang-barang
Ini sih yang paling sulit karena salah satu budaya orang Indo selain sifat konsumtif adalah sifat gemar memiliki, selain itu kita sering menganggap barang adalah aset yang bisa diwariskan terutama jika barang tersebut memiliki nilai historis. Setelah dikurasi, sebagian barang ada yang diberikan kepada siapa saja yang menginginkan dan sebagian lagi dibuang. Serta berusaha untuk tidak #impulshop (impulsive shopping).
(sudah berusaha) dilakukan sejak: frustasi memindahkan barang-barang saat renovasi rumah.
Decluttering (isi) laptop
Dan memindahkan koleksi gambar-gambar, film-film dan lagu-lagu ke situs dan aplikasi sejenis Pinterest, Netflix dan Spotify. Sayangnya belum tertarik dengan Kindle karena masih suka buku fisik.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: hardisk external rusak dan laptop yang ngadat karena terlalu banyak menyimpan data.
Decluttering media sosial
Selain barang-barang yang bersifat fisik aku menganggap media sosial adalah satu hal yang mesti di-declutter, karena you are what you follow. Kalau sekiranya nirfaedah dan lebih sering ngiklan lebih baik unfollow saja haha
(sudah berusaha) dilakukan sejak: jengah melihat timeline-ku isinya iklan dan foto yang tidak berkaitan dengan caption.
Gimana dengan kamu?
0 comments
Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~