Less Waste Menuju Zero Waste

by - November 17, 2018


Menyoal zero waste yang beberapa bulan belakangan ini mulai populer, eym... kupikir gatal juga ya ingin ikutan nimbrung  haha...

Selama ini yang kuketahui tentang zero waste hanya bersumber pada artikel-artikel di internet (yang tentunya berasal dari sumber yang kredibel dan valid) serta dokumenter-dokumenternya Discovery Channel dan National Geographic. Kupikir zero waste ini adalah bahasan yang menarik untuk disimak, karena sebelumnya aku tidak pernah mengira bahwa impact (dari zero waste)  sangat besar pada kehidupan ini.

Selain dari berita-berita di internet, yang cukup konsisten dengan tema semacam zero waste adalah Discovery Channel dan National geographic. Agak  miris memang, disaat orang-orang di pinggiran Brazil sedang dalam masa peralihan dari kompor berbahan gas ke kompor berbahan limbah dan memikirkan sumber energi terbarukan (sustainable energy) yang bisa didapatkan secara cuma-cuma dari alam kita masih bergumul dengan masalah sosial, tapi begitulah... negara berkembang 😶.

Setelah membaca sana sini, kemudian aku teringat masa-masa ngobrol ngalor-ngidul dengan dosen di siang bolong.

Satu-satunya aspek yang sering terlupakan atau (memang) jarang digunakan dalam perencanaan desain adalah konsep pelenyapan alias how to destroy. Apakah produk tersebut bisa lenyap dengan sendirinya? Apakah produk tersebut bisa didaur ulang? Apakah produk tersebut bisa didaur ulang hanya pada bagian-bagian tertentu? Apakah produk tersebut tidak bisa didaur ulang sama sekali? Semacam begitulah... Yang jelas, mahasiswa desain produk kalau ditanya beginian pas presentasi pasti kelabakan 😓.

Selain dituntut untuk mencipta desainer juga memiliki tanggungjawab untuk melenyapkan. From nothing to something then to nothing (again). Kenyatannya, kebanyakan produk diciptakan hanya untuk digunakan namun tidak untuk dilenyapkan. Disini aku tidak menyalahkan produsen atau desainer, namun setidaknya perlu ada upaya pertanggungjawaban dari kita semua baik sebagai produsen atau sebagai pengguna. Beberapa produsen sudah menerapkan zero waste.

Zero waste bukanlah istilah yang baru ditemukan kemarin sore ya, sudah lama ada namun movement-nya baru hype belakangan ini. Thanks to social media yang menyajikan dengan yang lebih fun.

Beberapa sudah lebih dulu (mencoba) menerapkan zero waste dalam keseharian, aku menemukannya pada @atiit yang pernah menjadi kontributor di LivingLoving, meski kontennya nggak banyak seru aja baca blognya. Kemudian aku menemukan The Journal of Me yang juga merangkap sebagai  kontributornya www.sustaination.id yang aktif mengajak ber-zero waste via @sustaination Kemudian ada Maurilla Imron kontributornya zerowaste.id yang juga aktif mengajak ber-zero waste ria via @zerowasteid. Bisa dicek juga IGnya @rarasekar.

Gelombang zero waste turut berpengaruh pada lifestyle, grow your (own) food adalah ide yang menarik yakni bagaimana kita menanam sendiri makanan yang akan kita makan, lebih terjamin dan hemat tentunya. Untuk yang senang bercocok tanam, bisa menumbuhkan Wortel atau Sawi di grow bed pastilah menyenangkan, eh bisa dicoba juga nih membuat microenzym. Tahukah kamu? Yang pertama kali terpikirkan saat membaca tentang grow your (own) food adalah... film Cast Away To The Moon wkwkwk 😂😂😂

Yang perlu diingat; selain butuh usaha zero waste juga butuh biaya 😉.

Cobalah intip beberapa akun yang menjual zero waste kit, printilan-printilan semacam sedotan stainless, pouch belanjaan atau toples-kecil-kurang-penting-tapi-instagenic, semuanya disajikan dengan cara yang menarik. Ternyata, selain digiring untuk ber-zero waste kita juga digiring untuk berbelanja haha Padahal kupikir, zero waste akan lebih tepat kalau zero cost juga. Well ... yha~ 😏nggak salah juga sih namanya juga usaha *heu 😟 Nah, disini balik lagi ke diri masing-masing kalau nggak (terlalu) perlu lebih baik memanfaatkan yang sudah ada. Jangan malah jadi; zero waste yang nggak zero cost. Kan asyeemm ... 😳

Saat mengobrol dengan mama tentang zero waste ini, mamaku bilang “semuanya nanti kembali lagi ke zaman dulu”. Eh, iya ya ... dulu, hampir setiap rumah memiliki apotik hidup atau tanaman rempah-rempah, pohon buah-buahan, guruku bahkan ada yang menanam jagung di halaman rumahnya. Pasti ingat dong, kalau mau beli bubur atau soto kita pasti bawa mangkok atau rantang sendiri, begitu pun kalau ke pasar pasti bawa keranjang sendiri. Atas nama kepraktisan dan kehigienisan kantong plastik hadir merubah lifestyle.

Revolusi industri memang mengubah banyak hal, termasuk manusianya sendiri.

Aku lebih berpikir kalau zero waste bukan sekedar life style namun juga survival skill yang harus dikuasai. Kalau pernah menonton dokumenter Natgeo ada orang-orang di Amerika sana yang bersiap menghadapi masa depan. Mereka percaya bahwa di masa depan Amerika akan jatuh dan chaos yang berakibat pada langkanya sumber daya dan produk industri, mereka membeli emas dan perak karena percaya bahwa di masa depan dollar tak kan berarti, menimbun makanan dan logistik seperti pakaian, peralatan dan survival kit di dalam kontainer yang dirubah menjadi bunker. Serius deh ini... berasa menonton persiapan menuju The Walking Dead 💀.

Sebagian lagi belajar bercocok tanam guna menumbuhkan sendiri makanan dan belajar mengolahnya agar awet. Mereka percaya bahwa di masa depan bercocok tanam adalah skill yang wajib dimiliki. Begitu pun dengan keterampilan semacam berburu, berenang dan pertukangan, sudah sepaket ya dengan keterampilan memperbaiki atau memanfaatkan barang-barang (DIY). Hal-hal semacam : kehidupan baru setelah perang nuklir, law of the jungle atau doomsday adalah hal yang mereka yakini akan terjadi. Yha~ kita nggak pernah tahu kan apa yang akan terjadi di masa depan...

Balik lagi ke bahasan zero waste.

Meski ada yang menganggap bahwa zero waste hanyalah tren musiman seperti halnya tren shabby chic di kalangan mamak-mamak masa kini, tak sedikit pula yang menganggap zero waste adalah gaya hidup positif yang layak dipertahankan. Aku sih setuju, karena impact dari zero waste bukan hanya tentang soal bagaimana kita mereduce dan merecycle sampah tapi juga soal bagaimana kita membangun mindset tentang partisipasi (kita) untuk sustainable life circle.
Untuk merealisasikan konsep zero waste memang bukan perkara yang mudah ya, terlebih lagi kita tinggal dan hidup di lingkungan berkategori negara berkembang, yang berarti (masih) memproduksi sampah secara aktif dengan tingkat daur ulang yang (masih) rendah. Maka dari itu dibutuhkan komitmen serta konsistensi, dan jangan jauh-jauh dulu lah ya... mulailah dari diri sendiri. Kalau belum sanggup untuk zero waste mungkin bisa dicoba dulu less wast­enya, kupikir less waste lebih bisa diterapkan dalam keseharian ketimbang zero waste.
Mungkin sebenarnya tanpa disadari kita sudah menerapkan konsep less waste menuju zero waste dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal kecil yang dianggap remeh temeh namun ternyata berpengaruh besar, small action big impact. Untuk saat ini aku baru mampu menerapkan sebagian kecil dari konsep less waste menuju zero waste dalam kehidupan sehari-hari, well... tak ada salahnya mencoba bukan?
Semoga bisa berlanjut yha~

Lestari’s less waste to zero waste progress (update recently)

Membuang sampah pada tempatnya
Dan menyimpannya di dalam tas atau saku sebelum menemukan tempat sampah.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: SD karena kebersihan sebagian dari iman.

Quality over quantity
Untuk beberapa produk jangka panjang seperti furniture, peralatan makan dan pakaian (jaket, sepatu dan tas) diusahakan untuk mendahulukan kualitas ketimbang kuantitas. Memang ya ada rupa ada harga, namun aku nggak menganggap ini sebagai pemborosan karena sesungguhnya boros adalah over budget, aku menganggapnya sebagai investment dan nggak khawatir dengan tren karena tren terus berputar.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: masuk boarding school karena keterbatasan space penyimpanan.

Kimia ke organik
Mengurangi penggunaan bahan kimia dalam produk yang digunakan sehari-hari, seperti body care, skin care dan healthy care. Begitu pula dengan makanan dan minuman, karena salah sedikit bisa langsung bereaksi. 
(sudah berusaha) dilakukan sejak: masuk di ma'had, karena ada alergi dan memiliki kulit sensitif. Didukung pula oleh mama yang alhadulillah sedang OTW kembali ke jalan yang benar.

Memilah sampah
Organik dan anorganik saja tidak cukup, sampah pun mesti dipilah berdasarkan jenis materialnya seperti sampah plastik, sampah kertas, sampah (barang) pecah belah dan sampah karet.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kuliah, karena aku memproduksi banyak sekali sampah lintas material untuk tugas dan volume sampah (tersebut) meningkat berkala terutama saat menjelang UTS/UAS.

Selektif ber-DIY
Aku suka ber-DIY, dan salah satu resiko ber-DIY yang paling sulit diabaikan adalah banyaknya sampah hasil eksperimen dan kenyataan bahwa sebagian besar produk DIY bersifat tentatif alias tidak dibuat untuk jangka panjang. Sebagian hasil DIY disimpan untuk dokumentasi proses kreatif sedang sebagian lagi dioptimalkan, yakni terus diproses dan dikembangkan demi meminimalisir sisa sampah.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: aktif ber-DIY (kuliah), setelah menyadari setiap material memiliki nilai.

Recycle pakaian
Anak perempuan mana yang belum pernah menge-tag barang-barang mamanya hehe Selain tas aku sering mengincar pakaian mama, merubah ukurannya dan memodifikasinya menggunakan payet. Terlebih lagi mama sering membeli pakaian namun hanya dipakai sesekali, rezeki anak sholehah banget lah ini... Selain sukses berhemat, ada kepuasan tersendiri saat mampu menyelamatkan barang-barang tersebut.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kuliah, karena sedang excited dengan design thingy dan malas mencari pakaian baru.

Membawa tumblr dan peralatan makan sendiri atau kantong belanja
Meski kadang suka diceng-cengin ‘mau kemping’ kupikir tak ada salahnya untuk berpartisipasi mengurangi penggunaan wadah sekali pakai, semuanya sudah ada di tas ya.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kesal punya banyak kantong plastik.

Menggunakan lap ketimbang tissue
Untuk saat ini baru pemakaian domestik saja, biar nggak banyak sampah.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: kesal melihat sampah tissue basah.

Decluttering barang-barang
Ini sih yang paling sulit karena salah satu budaya orang Indo selain sifat konsumtif adalah sifat gemar memiliki, selain itu kita sering menganggap barang adalah aset yang bisa diwariskan terutama jika barang tersebut memiliki nilai historis. Setelah dikurasi, sebagian barang ada yang diberikan kepada siapa saja yang menginginkan dan sebagian lagi dibuang. Serta berusaha untuk tidak #impulshop (impulsive shopping).
(sudah berusaha) dilakukan sejak: frustasi memindahkan barang-barang saat renovasi rumah.

Decluttering (isi) laptop
Dan memindahkan koleksi gambar-gambar, film-film dan lagu-lagu ke situs dan aplikasi sejenis Pinterest, Netflix dan Spotify. Sayangnya belum tertarik dengan Kindle karena masih suka buku fisik.
(sudah berusaha) dilakukan sejak: hardisk external rusak dan laptop yang ngadat karena terlalu banyak menyimpan data.

Decluttering media sosial
Selain barang-barang yang bersifat fisik aku menganggap media sosial adalah satu hal yang mesti di-declutter, karena you are what you follow. Kalau sekiranya nirfaedah dan lebih sering ngiklan lebih baik unfollow saja haha
(sudah berusaha) dilakukan sejak: jengah melihat timeline-ku isinya iklan dan foto yang tidak berkaitan dengan caption.

Gimana dengan kamu?

You May Also Like

0 comments

Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~