Post ini adalah post lanjutan dari Trip Bromo & Malang - Prolog
Atas saran Rega, saat naik ke dalam kereta kami langsung mengincar kursi di gerbong restorasi. Kebetulan Rega dan keluarganya sudah pernah ke Surabaya menggunakan kereta api ini dan menurutnya lebih nyaman duduk di gerbong restorasi ketimbang duduk di gerbong biasa. Kami bisa duduk berdekatan tanpa mesti terpisah-pisah dan memesan makanan dengan mudah, sayangnya karena gerbong restorasi ini adalah tempat berkumpulnya para petugas kereta api saat istirahat, ada hal-hal yang akhirnya membuat kami menjadi merasa kurang nyaman.
Mulai dari mengajak berkenalan, mengobrol (dari yang jelas sampai yang tidak jelas) meminta berfoto sampai melakukan hal-hal yang mengganggu (bagi kami). Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami selalu memberikan nama dan keterangan palsu kepada siapa saja yang menanyakannya. Tidak ada salahnya untuk selalu bersikap waspada bukan?
Karena kami duduk di gerbong restorasi, otomatis banyak orang yang lalu lalang, dari yang sekedar memesan makanan, jalan-jalan saja atau salah gerbong. Ada kalanya mereka keheranan dengan kami yang anteng bermain 'geplakan' menggunakan kartu remi, mungkin mereka menganggap bermain kartu di tempat umum adalah hal yang kurang lazim, apalagi kami masih muda dan berhijab. Bahkan ada yang berkomentar: ‘masih muda sudah main kartu’.
Permainan kartu yang kami mainkan adalah 'geplakan' yang saya dapatkan dari Putri teman di kampus, ketika kami sudah bosan bermain 'cangkulan' tapi tidak mampu bermain poker *masih cupu.
Cara bermain 'geplakan' nya adalah dengan membagi rata semua kartu tertutup kepada semua pemain (minimal 2 orang). Lalu setiap pemain akan bergantian membuka satu persatu-satu kartu yang ia dapatkan sambil menghitung nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, Jack, Queen dan King secara berurutan di dalam hati. Jika kebetulan pemain tersebut mendapatkan kartu yang sesuai dengan urutan, maka kartu tersebut harus langsung digeplak (dipukul keras) oleh semua pemain, pemain terakhir yang menggeplak kartu akan mendapatkan semua kartu yang sebelumnya sudah dibuka.
Begitu juga dengan pemain yang menggeplak kartu bukan di urutannya, maka ia akan mendapatkan semua kartu yang sudah dibuka. Pemenangnya adalah pemain yang kartunya paling cepat habis, sedangkan yang mendapatkan kartu paling banyak di akhir permainan adalah pihak yang kalah. Untuk memenangkan permainan ini sekurang-kurangnya pemain harus cepat tanggap dan memiliki tangan yang siaga, resikonya adalah tangan yang kemerahan karena geplakan pemain yang lain.
Menjelang malam, kami meyakini situasi gerbong restorasi sudah tidak nyaman lagi, karenanya kami pun memutuskan untuk pindah ke gerbong yang lebih depan. Selain itu kami menunggu teman yang lain (Hany) yang kan naik di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Kami tiba di stasiun Gubeng sekitar tengah malam dan menginap di hotel, sedangkan Rega menginap di rumah kakaknya yang tinggal di Surabaya.
***
KEBUN BINATANG SURABAYA
Karena kami masih memiliki waktu luang sebelum pergi ke Bromo, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Kebun Binatang Surabaya yang ada patung ikan Hiu dan Buaya di depannya. Kebun Binatang Surabaya jauh lebih luas dan datar ketimbang Kebun Binatang Bandung sehingga kami bisa lebih leluasa untuk berjalan-jalan tanpa khawatir jatuh terjembab. Selain itu, hewannya tampak lebih terawat dan area kandangnya cukup layak untuk ditinggali.
Kami pun menemukan area terpisah tempat Orang Utan yang sedang sakit, kasihan sekali melihat melihatnya makan pisang di dalam kerangkeng dengan tatapan yang memelas seperti Puss in Boots. Kami juga mengunjungi Mini Museumnya yang memamerkan aneka hewan (beserta telur) yang diawetkan, mungkin itu mayat hewan yang pernah tinggal di sana, mungkin juga beli. Tak tahulah, karena sepertinya sulit sekali untuk mengawetkan mayat Burung Unta yang tingginya seperti saya.
Dan entah mengapa kami menikmati sekali makan es krim sambil memandangi pantat Babon yang ambeien.
***
Menjelang siang, barulah kami memulai perjalanan ke Bromo menggunakan bis, tak ada yang bisa kami lakukan untuk menikmati perjalanan selain tidur. Sesekali bangun hanya untuk melihat pedagang asongan yang ikutan naik bis. Disaat kami sibuk melihat pemandangan yang rasa-rasanya gersang ini, Bos Rega sudah belanja pisau dan Kelepon yang ternyata enak, sayangnya saat mau membeli lagi Kelepon pedagangngna sudah keburu turun, yasudahlah... mungkin lain kali.
Sesampainya di stasiun kami segera mencari mobil angkutan yang menuju Bromo, atas rekomendasi beberapa orang (yang kami ajak ngobrol) untuk mencapai Bromo kami harus menggunakan Bison. Pada saat itu kami berfikir Bison adalah kendaraan sejenis Truk yang bertanduk hehe Mengacu pada tubuh Bison yang besar, kuat dan bertanduk, kami memastikan harus mencari kendaraan yang gagah.
Ternyata eh ternyata, setelah bertanya-tanya tentang Bison kami dituduhkan pada minibus yang gahar a.k.a Elep (bisa juga Elf biar lebih English). Sebenarnya kami sudah tidak asing lagi dengan Bison ini, karena di Jawa Barat Elep adalah kendaraan yang lazim ditemui di hampir semua terminal, biasanya melayani rute ke daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh bis. Seperti saya yang harus menggunakan Elep setiap kali pulang ke Subang, karena tidak ada bis yang khusus melayani rute khusus Bandung-Subang.
Setelah mendapatkan Bison, kami segera menata diri dan barang bawaan sampai nyaman lalu kami dibawa ke terminal bagian lain untuk menjemput turis Eropa yang sedang asyik makan bakso yang dengan giragnya melemparkan koper dan tasnya ke atas Bison. Lalu kami dibawa ke agen perjalanan untuk menjemput pasangan turis Malaysia dan guide Indonesia-nya, Bison yang leluasa pun berangsur-angsur padat. Bison yang digunakan untuk ke Bromo susunan seatnya sudah sesuai dengan kapasitasnya alias tidak ada seat tambahan seperti di Elep Bandung-Subang yang bisa muat 22 orang, belum termasuk kenek dan barang bawaan.
Supir Bison mewanti-wanti agar kami tidak memberitahukan tarif turis domestik kepada turis mancanegara lainnya, hal yang lazim dan harus diberdayakan ya secara kurs $ masa kini naiknya semena-mena. Harga $ yang membumbung tinggi membuat turis domestik semacam kami harus mempersiapkan budget yang cukup untuk bisa pelesiran, bertambah sedih karena turis mancanegara tersebut sudah bisa pelesiran keliling Indonesia karena katanya murah. Di dalam Bison, turis Eropa tadi dengan bangganya menyebutkan daerah-daerah di Indonesia yang sudah pernah dikunjungi dan akan dikunjungi, sedangkan kami hanya bisa melongo karena belum pernah kesana.
Meskipun hari mulai gelap, kami masih sempat menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan menuju Bromo, kebun-kebun sayuran yang diselingi pohon pinus khas dataran tinggi, rumah-rumah penduduk dengan lampu yang mulai berkerlapan, mobil-mobil 4WD yang berjejer rapi dan kuda terpajang apik didepan rumah. Selainnya adalah bukit-bukit dan hutan-hutan yang bagus kalau dilihat dari jauh.
Moment sunset yang kami tunggu tak ubahnya ending film drama komedi bajakan. Pasangan turis yang duduk di kursi paling depan sebelah supir berkali-kali berciuman sambil sesekali cekikikan dan tertawa ala-ala bercanda, sekaligus menghalangi sunset yang kami idam-idamkan. Meski sempat merasa kesal karena scene mereka yang diulang-ulang, kami cukup terhibur bisa melihat sunset Bromo di sela-sela tubuh mereka yang labil.
***
Kami diturunkan di muka hotel Cemara Indah, hotel yang memiliki view paling dashyat dan private. Why? karena kawah Gunung Bromo bisa dilihat langsung dari jendela hotel. Sayangnya harga yang fasilitas yang ditawarkan tidak sesuai dengan budget kami, hanya tersisa 1 kamar seharga Rp. 150.000 (2010) yang hanya boleh digunakan untuk 2 orang saja. Cukuplah kami berfoto dengan patung kuda icon hotel tersebut. Lalu kami mencari penginapan di sekitarnya, sebenarnya banyak penginapan namun karena pencahayaan yang minim dan kebersihan yang kurang terjaga kami pun mengurungkan niat, belum lagi peraturan 1 kamar harus diisi max 3 orang dan kamar mandi yang letaknya di luar, menambah keengganan kami.
Akhirnya kami mendapatkan sebuah rumah dengan 2 kamar tidur, dapur, kamar mandi, ruang TV (beserta TV) dan ruang tamu seharga Rp. 150.000 permalam. Meskipun itu belum termasuk jasa pemilik rumah yang merangkap profesinya sebagai guide, kami merasa puas bisa menemukan tempat yang nyaman. Kami bergegas memasak mie rebus menggunakan kompor parafin Fahria yang baunya bergumul di ruangan, lalu membeli nasi dan lauknya di warung depan rumah, jadilah kami makan malam dengan mie rebus dan nasi (karbohidrat khas orang Indonesia), dessertnya biskuit sisa perjalanan tadi siang.
Meskipun kami kelelahan sulit rasanya untuk memejamkan mata, cuaca yang begitu dingin, dingin, dingin sekali membuat kami kesulitan untuk tidur. Selimut tidak membantu sama sekali untuk kami, bahkan bergeser atau merubah posisi tidur bisa membuat dinginnya bertambah. Saking dinginnya, serasa kepala masuk freezer, udara menyelinap sampai ke tulang, bisa jadi seminggu di Bromo pulangnya kena rematik.
***
PANANJAKAN 2
Kami berangkat menuju Panajakan sekitar pukul ½ 4, yang mana sudah dianggap kesiangan sama ayam. Karena tidak terbiasa, kami kedinginan, kami kelelahan, kami ketakutan, intinya kami ingin menyerah... Rega yang sudah tidak tahan, meminta guide kami untuk mencari mobil jeep. Setelah berkomunikasi dengan konco-konconya, dia (guide) menyatakan semua mobil yang ada dan terdaftar di koperasi sudah habis dipesan. Waahh... kami pun bertekad untuk memaksakan diri berjalan kaki selangkah demi selangkah, slow but sure...
Bagi kami yang tidak terbiasa jalan nanjak di subuh hari, jalanan yang rata pun dianggap berbahaya, berkali-kali kami harus berhenti karena kelelahan, minum sedikit lalu mengap-mengap mencari oksigen. Seringkali kami mendengar deru bergemuruh seperti air terjun, tapi ternyata angin lalu... haha...
ini sahur atau sarapan? :) |
Jalan menuju ke pos Pananjakan 2 sebenarnya cukup bagus, setidaknya rata dengan tanah dan diaspal sampai dibawah bukit, dari sana dilanjutkan dengan jalan setapak sampai ke pos Pananjakan, sampai di atas ternyata sudah banyak rombongan lain yang berkumpul-kumpul. Guide kami menyarankan agar naik ke pos yang lebih tinggi di dekat batu besar agar lebih leluasa, serta merta menawarkan untuk ke Pos Pananjakan 1 yang tentu saja kami tolak hehe.
Di atas pos sudah ada sepasang kekasih bertengger di pingggiran atap dengan kaki menjuntai, kami yang terlalu excited kesulitan menahan diri untuk tidak berfoto-foto ria. Maafkan kami mas dan mbak, harap maklum karena baru kali ini kami pergi jauh dari rumah, meninggalkan tugas, pekerjaan dan pacar, kecapekan naik gunung yang ada di adzan maghrib televisi swasta, mau lihat sunrise yang bagus untuk dijadikan wallpaper desktop. Jangan heran kalau kami kalap difoto, belum tentu tahun depan kami kesini lagi.
Karena merasa terganggu, pasangan di lapak sebelah angkat kaki. Kami pun segera memanfaatkan kesempatan itu untuk shalat shubuh dengan segera. Lalu... (please see this below picture)
Jika diperhatikan, latar belakang foto-foto kami hanya menampilkan sebagian saja dari kawah Gunung Bromo, sisanya lebih mengekspos Gunung Batok.
Karena.
Sesungguhnya.
Pici.
Pikir.
Gunung Bromo.
Adalah.
Gunung Batok.
Sedangkan kawah Gunung Bromo yang dituju dianggapnya sebagai kawah biasa...
OMG!!! Jadi ternyata selama ini Pici keliru mengenai kawah Gunung Bromo, persepsi Pici : karena kami sudah berada di dalam kawah, maka yang disebut gunung adalah gundukan tanah yang lebih tinggi (Gunung Batok) bukan kawah lagi. OK, diperjelas lagi, daya tarik Gunung Bromo adalah: adanya kawah yang berada di dalam kawah, bukan gunung di dalam kawah. Duh gusti... aya aya wae si Pici mah...
***
SAVANA
Kami turun dari pos Pananjakan sekitar pukul 7 pagi (rombongan lain sudah duluan) di tengah jalan muncul mbok-mbok dari Suku Tengger yang membawa gembolan entah mau pergi kemana, mereka menawarkan untuk berfoto bersama. Ketika kami akan bergegas pulang mbok-mbok tersebut menahan kami dan menagih bayaran foto bareng, It's a trap!!! Hahahahaha
Tujuan kami selanjutnya adalah kawah Gunung Bromo, karena kami tidak menyewa mobil terpaksalah kami berjalan kaki menuju kawah, jaraknya? ahh... dekat sekali, cuma sepersekian mm di Atlas peta buta Indonesia. Untuk sampai disana kami harus malalui jalan pintas, lewat kebun-kebun, turunan bukit yang curam dan kambing, Ya, kambing. kambing yang lewat berselisihan. Kawah masih jauh... Bisa dilihat di foto bahwa area yang belum mendapatkan matahari masihlah gelap.
Di perjalanan menuju kawah guide kami bercerita tentang batu besar yang ada di dekat pos 2. Konon sebenarnya jalan yang akan diaspal sampai dengan pos 2, namun karena terdapat batu besar yang membahayakan, pihak developer memerintahkan agar pekerjanya memindahkan batu tersebut sampai ke batas jalan aspal dan jalan setapak hingga seharian penuh. Namun keesokan harinya mereka semua dikejutkan dengan batu yang sudah kembali di tempat semula, oleh karena itu rencana pengaspalan jalan sampai pos 2 bubar di tengah jalan, terlanjur was-was. Dalam hati kami bersyukur mendengar ceritanya setelah jauh dari TKP.
Melihat pedagang makanan yang tersebar di pinggiran Pura meningkatkan motivasi kami untuk sampai sesegera mungkin, sarapan ala kadarnya patut disyukuri dengan menghabiskannya sampai tandas tak bersisa. Senanglah kami bisa duduk sambil minum-minum teh, meski minum berkali-kali tak juga membereskan perkara bibir kering efek naik gunung. Tidak lupa berfoto sambil minum biar dikira gaul.
Rencananya kami akan naik kuda ke kaki tangga menuju kawah, tapi mendadak ciut setelah tahu harga sewa kudanya Rp. 100.000 / orang. Meski lelah kami pun memutuskan untuk mencoba berjalan kaki menuju kaki kawah, setelah sampai di tengah-tengah (setelah Pura) harga sewa kuda turun drastis menjadi Rp. 20.000 / orang. Dengan senang hati kami pasrah naik kuda sampai kaki tangga, cuma Fahria yang masih setia berjalan kaki dengan guide. Karena kesulitan untuk naik ke atas pelana kuda saya diganti dengan kuda yang lebih kecil, tingginya mirip keledai.
Kami turun di anak tangga menuju ke kawah Bromo, saking terjalnya kami mesti menangadah sambil was-was terjumpalit, berjalan sedikit demi sedikit memaksakan diri untuk sampai ke atas mau lihat kawah. Kami disambut 2 gelaran lapak mbok-mbok penjual minuman dan makanan ringan di ujung tangga. Meskipun sempat heran dengan pemilihan lapaknya yang agak kurang strategis karena menghalangi jalan, saya maklum dengan usahanya
PASIR BERBISIK
Setelah cukup puas melihat-lihat dan berfoto-foto, kami kembali menuruni tangga menuju Pasir Berbisik. Sebenarnya saya kurang faham mengenai Pasir Berbisik, yang saya tahu itu adalah judul film Garin Nugroho yang bersetting di Gunung Bromo. Kami kira akan menemukan tempat yang 'waw', 'wah atau bagaimana, namun ternyata yang dimaksud Pasir Berbisik adalah tempat kru film menggambil gambar, lebih tepatnya padang pasir yang luas, luas sekali. Polos. Anggap saja kami kecele dagangan si guide. Huft.
Karena kelelahan kami seringkali berhenti di tengah perjalanan, baik itu untuk sekedar meluruskan kaki, minum, mengatur nafas atau foto-foto. Lama-kelamaan langkah kaki pun terasa beraatt... Badan mulai kepanasan dikukus jaket dan sweater. Matahari mulai naik, membuat keringat dan pasir menempel lebih likat di kulit, anggap saja pakai bedak. Tapi itu belum seberapa dengan bibir yang kering, musuh utama saya dan Pici hehe .
*Kami seringkali mengalami perkara bibir kering yang cukup serius, hingga membuat luka dan berlangsung selama beberapa minggu ke depan, pada saat seperti itu kami akan berusaha agar tidak dehidrasi, minum air sebanyak-banyaknya dan berusaha agar tidak melakukan hal-hal yang memperparah luka.
A : mas, dari rumah sampai sini kira-kira berapa km?
Q: sekitar 20 km
Ketika mendengar jawaban Mas guide, kami langsung diam, sedikit menyesal tapi tabah. Bos rega yang setres meminta untuk dicarikan kendaraan pulang, entah itu mobil, motor atau apapun, kami mau. Guide kami yang cekatan mulai menelepon konco-konconya, mungkin sesama guide, tak berapa lama datang lah beberapa motor menjemput kami. Seperti cabe-cabean masa kini, kami boncengan satu motor bertiga, tak apalah, yang penting sampai...