Jalan-jalan part 1 ke Pantai Klara Lampung

by - November 09, 2012


Sebelum TA saya udah berniat untuk refreshing, yah, senang-senang sebelum susah-susah :) hahaha

Diharapkan refreshing ini cukup untuk mengganti SP (semester pendek) lalu yang kupake kuliah KP (semacam pra TA gitu lah :p) yang ternyata waktunya mepet pake banget. Hampir setiap hari saya mengerjakan laporannya, bahkan hingga H-2 Idul Fitri laporannya belum selesai. Inilah cobaan pra TA...

Mungkin karena kasihan mahasiswinya yang udah nggak bisa mikir (pikirannya udah sampai duluan di rumah, jiwanya masih galau antara pulang dan mengerjakan, sementara raganya masih terjebak di depan laptop) akhirnya laporan tersebut boleh dikumpulkan di H+ sekian setelah lebaran *wink terharu banget ini.

Fast foward. Saya bisa menyelesaikan laporan TA sesuai waktu yang ditentukan.

Untuk menyambut TA, kami semua sebagai calon mahasiwa TA berencana untuk refreshing sekejap, suatu kebetulan karena teman saya Pepi menawarkan untuk main ke rumahnya di Lampung. Meskipun sebelumnya saya sempat khawatir nggak jadi ke Lampung gara-gara nggak ada kabar lanjutan, saya PD aja packing untuk refreshing besok, mau jadi atau nggak itu urusan nanti.

Paginya Pepi sms katanya kalau ingin ikut ke Lampung kumpul di kampus jam 12an, nggak sia-sia kan packing semalam.

Malemmya saya packing buat besok, mau jadi apa enggak itu urusan nanti . Paginya saya disms Pepi, katanya kalau mau ikut ke Lampung kumpul hari ini jam 12 kumpul di kampus, hahaha...

Sekitar jam ½ 12an saya pergi ke kampus, setelah sebelumnya saya packing lagi ( yang semalem belum beres J) agak aneh sih, soalnya udah jam segitu belum ada yang ngesms suruh kumpul ke kampus. Begitu sampe kampus depan gedung emang gak ada orang sama sekali, saya langsung ngira ditipu ama anak-anak. 1 jam lebih saya nunggu sampai akhirnya anak-anak datang. Jadinya berangkat jam 3 huuu... tau gitu tidur dulu di kosan T.T

Sebelum pergi, makan Sabana dulu 😀 bosen sih, tapi saya males nyebrang, terus jajan-jajan dulu di Giant dengan Ica dan Jajang.

Rencananya Pepi dan Ratum mau ke Almen ambil sleeping bag dan kirim ke rumah Pepi di Lampung  pake mobilnya Ucup. Tapi akhirnya kita semua malah ikut mobilnya Ucup, dengan pertimbangan naik DAMRI dari Terminal Cicaheum ke Terinal Leuwi Panjang itu ribet dan lama. Bisa dibayangkan, gimana dempet-dempetannya 15 peserta tour ini dimobilnya Ucup. Rasanya udah kaya sosis yang bungkusnya di-vacuum. Badan nggak bisa gerak, kaki apalagi... ini belum termasuk bawaan bersama ya kaya kompor,panci dan peralatan diving-nya Ratum.

Sebelum ke Terminal Leuwi Panjang, kita mampir ke Almen mau ambil sleeping bag, bongkar muat dulu yaini. Untungnya sleeping bag, kompor, panci dan peralatan diving-nya Ratum dipaketin, nggak kebayang gimana nasib kita. Saya merasa agak pusing, gara-gara arah pandangan yang gak jelas & bau gorengan (tepatnya bala-bala, lebih spesifiknya lagi adonan ½ mateng yang dicampur kol) hahaha


Sampailah kami di Terminal Leuwi Panjang, nggak langsung naik bis karena nungguin Daniel yang janjian ketemu disana, coba cek foto dibawah ini, tampak jelas wajah-wajah lega...



Di sepanjang jalan waktu nyari bis, banyak orang-orang semacam calo yang nanya-nanya tujuan, masih mending kalau cuma ditanya tapi doang, kalo sampe disambangin & diikutin segala, kan ngeselin banget (bagi saya) . Kalau nggak dijawab ya anggap aja udah tahu mau kemana, kalau pun gak tau pasti nanya juga kan akhirnya. Jangan ngeselin -__-

Karena bis jurusan Bandung-Merak ada tiap jam, kami mendapatkan bis yang masih kosong, bis sebelumnya baru aja berangkat. Mungkin karena masih dalam suasana Lebaran yang udah lewat 2 minggu yang lalu, bis yang bersangkutan mematok tarif Rp. 60.000 – Rp. 65.000. cukup ngeselin (bagi saya (lagi) hehe) karena kondekturnya nggak ngasih tiket.  Masalahnya tiketnya ituuu... mau dikoleksi


Nggak lama duduk di bis, saya langsung ketiduran begitu bangun disambut Ica yang lagi nyerocos, dari tadi, sejak naik bis. Hahaha.. parah.. dan nggak ada tanda-tanda mau berhenti. Perasaan saya mengatakan kalau saya laperrr banget... hehe. Ralat, bukan cuma saya, tapi semuanya. Di kampus tadi cuma makan siang, makan malemnya belum, gorengan yang tadi di mobilnya Ucup nggak usah dianggap... cuma numpang lewat :p

Menuju arah Cilegon, udah mulai kerasa hareudang haha... daerah di sekitar pelabuhannya cukup tertata rapi dan indah kalau dilihat di malam hari (belum tau versi siangnya). Ini kali pertamanya saya melihat pelabuhan sungguhan, pelabuhan aktif yang benar-benar melayani penyebrangan antar pulau. Sekalinya ke Tanjung Perak dulu (yang entah di bagian sebelah mananya) saya memang menemukan pelabuhan, ada kapal, ada jangkar, ada tambat dll, tapi meragukan karena jarang sekali orang yang berlalu lalang (sekilas info).

Hal yang pertama kali (harus) dilakukan adalah mencari makan, udah seliweran kemana-mana akhirnya milih nasi goreng, selain lumayan cepat juga karena kami sudah tahu standar rasa dan harganya. Bedasarkan @inforatum Nasi Goreng adalah pilihan yang ideal untuk kita saat itu.

Nasi goreng @inforatum


Selesai makan, kami langsung menuju loket pembelian tiket, harganya sekitar Rp. 11.000an. setelah membayar petugas memberikan kami semacam kartu pass, yang diambil lagi oleh petugas ketika akan memasuki jalan menuju kapal. Nama kapal yang ingin kami naiki adalah MUFIDA, karena dari jauh kapal tersebut terlihat lebih terang benderang, daripada kapal satunya yang namanya nggak terlihat.

Ketika saya berjalan di lorong yang menghubungkan bangunan pelabuhan dan kapal, terbersit dalam ingatan saya sosok-sosok berjubel yang saya lihat di laporan mudik Lebaran. Ada yang mengangkut oleh-oleh di kardus air mineral / mie instan, ada yang berusaha menggeret koper, ada yang mengapit tas di ketiak, ada yang menjinjing plastik makanan, ada yang memegang erat partner mudiknya.

Penampilan lusuh. Keringat bercampur nafas. Suasana memanas. Ohh.. jadi ini tohh.. tempat desek-desekannya orang yang mudik.. ;) Pemandangan pelabuhan Merak di malam hari memang indah, apalagi jika dilihat dari atas kapal, woww... terlihat kentara sekali aktivitas di malam harinya.


Hanya 1-2 orang dari kami yang pernah naik kapal fery, karenanya, ketika semua orang (lain) sibuk mencari posisi duduk yang nyaman, kita malah berjalan-jalan santai berkeliling kapal. Seakan-akan menemukan area baru yang mesti diekspansi. Kita berjalan-jalan mengitari kapal, melihat kelas-kelas kapal, dek, kamar mandi dan lorong, hanya untuk mengetahui bawasanya tujuan sesungguhnya adalah mencari tangga menuju lantai paling atas.

Ada beberapa orang yang sudah duduk-duduk dan petugas yang mengepeli lantai dengan sejenis oli yang licin. Kita memilih duduk di sudut biar nyaman ngobrolnya. Saya duduk paling ujung, di sebelah Mamet, Mamet disebelah Boceng, disebelah lainnya masih kosong, tapi ada bapak-bapak duduk sendiri agak jauh, lalu pergi dan digantikan oleh seorang wanita paruh baya yang pakai jaket hijau dan kerudung yang dipakai sembarang, hanya membawa dirinya sendiri tanpa barang bawaan.

Tempat duduk yang disediakan terbuat dari pipa besi tanpa alas, dan sandarannya ialah pagar kapal, berbahaya bagi gadget semacam HP dan kamera, resiko untuk terjun bebas ke laut sangatlah tinggi. Di sudut yang sesudut-sudutnya. Ica mulai nyampah dan mulai nyanyi. Sementara Ica nyanyi-nyanyi, wanita disamping saya mulai seperti menggeserkan dirinya, dekat-dekati saya. Saya anggap dia kedinginan, akibat sendiri.

Meskipun angin sudah bukan sepoi-sepoi lagi, dan kapal sudah mengangkat sauh. Langitnya bersih dan terang tanpa cela. Saya bisa melihat luas tanpa terhalangi. Ada bulan sedang tebar pesona. Kapal sudah mempercepat lajunya, tapi seakan-akan belum meninggalkan pelabuhan, masih jelas titik-titik lampu di pulau Jawa.

Rasanya di atas kapal itu, seperti main jungkit-jungkitan, waktu tingggi seperti mau melayang, dan waktu jatuhnya seperti dihempaskan. Tidak sakit, tapi perasaan saya mendadak menciut. Mengembang. Menciut lagi. Mengembang lagi. Seterusnya sampai di pelabuhan.

Saya suka duduk diatas sini, lihat apa yang belum pernah saya lihat, meski pantat saya sakit. Menjauhi pelabuhan, kapal didekati angin. Hembusannya mengerayangi muka, tangan, tubuh, kaki dan semua milik kita. Saya merasa kebas juga kering didera angin. Lebih khawatir dibawa angin biar jatuh ke laut.

Saya tahu wanita yang disamping saya sudah berusaha menggeserkan tubuhnya semakin dekat. Tapi saya tidak khawatir, dari datangnya dia tidak lihat saya, Cuma curi-curi pandang dengan wajah penuh minat pada Ica, tertarik mungkin. Hehe Semakin lama semakin dekat, sampai tersisa ± 1 jengkal. Begitu lagu habis, tiba-tiba dia (wanita tersebut, yang tadi) tepuk tangan sendiri, kegirangan sambil bilang “amin, amin, amin, amin”. Zzzzzzzzzzzz

Saya diam, Mamet diam, Boceng diam. Tak berapa lama, entah mungkin tak kuasa mengontrol perilakunya atau memang tak sadarkan diri. Wanita itu setengah berlari menghampiri Ica, menggenggam tangannnya, menghamburkan segala puji dan sanjung. Ica diantara kaget dan bingung Cuma bilang ‘iya’ dan ‘makasih’. Wanita itu kembali duduk, masih disamping saya.

Kita langsung bersikap waspada dan berencana untuk pindah, lebih tepatnya kabur untuk menghindari hal-hal yang nggak diinginkan. Biar nggak menimbulkan kecurigaan, kita pindah sebagian-sebagian, sebagian mencari tempat yang aman dan sebagian mengawasi wanita itu. Karena hampir semua tempat sudah penuh, kami putuskan untuk duduk di lorong pinggir kapal. Pemandangannya memang nggak senyaman diatas, tapi masih bisa melihat laut dan lampu di kejauhan.

Meski kita udah pindah tempat, wanita itu sepertinya mencari-cari dan secara mengejutkan muncul dari ujung lorong, oh nooo... modusnya sama, berpegangan pada pagar. Semakin lama, semakin mendekat, makin mendekat dan akhirnya lewat. Pfffuuiihh... ± 1 jam di atas kapal sudah membuat kami bosan. Jadilah sisa waktu digunakan untuk bikin password. Hahaha tema besarnya, yaitu tadi ‘amin, amin, amin, amin’

Kapal mulai melambat, dari sini bisa lihat Lampung masih berupa lampu-lampu. Kelap kelip. Orang-orang yang tidur di lantai mulai bangun, siap-siap, padahal masih jauh. Mulai turun, padahal belum sampai. Orang-orang mulai memadati lorong menuju jembatan penyebrangan, padahal belum siap. 

Karena orang-orang memenuhi jalan-jalan menuju arah keluar. Kami duduk-duduk di kelas yang ada tempat duduknya dan bisa nonton TV. Agak lama nunggu mereka keluar semua, atau minimal agak sepi. Tapi petugas kebersihan sudah mulai bersih-bersih dan mewanti-wanti agar segera turun, kalau nggak terbawa sampai Palembang. Hahaha...

Turun dari kapal, kami disambut calo-calo travel, nanya-nanya ‘mau kemana? berapa orang?’, nggak terkesan seperti mencari penumpang travel, lebih terkesan seperti mencari penumpang angkutan umum. Tadinya mau naik bis, Cuma demi kenyamanan bersama, jadinya naik mobil travel. Sekitar 30-35 rb. 13 orang = 2 mobil. 

Saya duduk di belakang sama Ica, Jajang & t Acit. Gak enak, sempit. Tapi di tengah juga sempit. Didepan supirnya bawa penumpang. Desek-desekan masih bisa diatasi, tapi yah.. supirnya nyalain radio apa kaset gitu, pokoknya lagunya dangdut koplo ala Lampung. maaakkkk... mana speaker-nya di pinggir saya T.T kenceng bangettt!!!

Tadinya saya berniat untuk melihat Lampung di malam hari, tapi ngantuknya nggak bisa ditahan. Masalah lagu, udahlah, anggap sebagai sambutan “welcome to Lampung”. Saya masih ½ tidur ketika lamat-lamat Ica bilang “temen-temen, maaf yah aku mau tidur” dan ia mulai membelesakkan tubuhnya diantara kami. Ooohhhh... memaksimalkan 4 paha sekaligus bukan hal yang mudah. Tapi nyatanya kami bisa tidur di mobil itu sampai 1 jam kemudian. Berdampingan. Dengan nyaman. Hehehe

Di depan rumah Pepi, mobil satunya sudah sampai duluan. Teman-teman bertebaran di teras rumahnya. Kami masuk. Mencari kamar kosong. Tidur. Bangun sekitar jam 11an, dikira jam 9an. Wew, tidurnya aja abis sholat subuh w(T.T)w. Masih males. 

Anak-anak sebagian pada mau cari barang-barang yang kurang, nyari angkot, sekalian jemput sleeping bag. Sisanya ditinggal, mandi dulu kali, ntar dateng tinggal berangkat. Hehe

Turun ke bawah ada Boceng sama Ican lagi goreng sosis di dapur. Daniel masak nasi. Yaudah, cewenya cupir (cuci piring) aja deh. Makan pagi + siang pake mie, seret-seret gimana gitu perutnya. minumnya gabisa banyak, kalau biasanya air minum dalam kemasan ukurannya ± segelas, ini Cuma ½ nya, kayak gelas buat jeli. Makin seret aja. Makanannya cukup buat yang ada di rumah, selainnya tak bersisa, tinggal nasi, itu juga masih kurang. Ratum telp yang lain, daripada datang tapi kecewa, mending cari di luar sekalian.

Santai-santai nungguin. Taunya disuruh beres-beres, angkot datang langsung pergi (katanya). Tapi kan mereka juga belum datang, gimana? Tunggu, ditunggu, akhirnya datang juga, lengkap dengan segala barang bawaan dengan kondisi belum pada mandi, hehe


Penumpang dibagi ke 2 angkot. Dengan bawaan tambahan selain tas masing-masing. Gak tau siapa yang bawa gitar dari rumah Pepi, tapi Uskir bawa pancingan. Hampir diatas tiap toko ada lambang yang sama, semacam siger buat orang nikah. Warnanya banyak emas. Dan jarang mencantumkan nama toko didepannya. Saya lihat namanya Pasar Kangkung, padahal Pepi bilang itu pasar banyak jualan Ikan, bukan kangkung.

Pasar Kangkung

Lewat jalan Ikan Sebelah (ikan asin kata saya) kami melalui pasar-pasar yang menjual berbagai kelengkapan main air dan kelontong, perumahan-perumahan dalam tahap pembangunan, bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi, kebun-kebun gundul, tanah-tanah gersang dan pantai-pantai kurang bagus. Tidak ada sawah.


Supir angkot kami baik, diajak ngobrol kesana kemari juga mau. Waktu kita tanya ‘bapak suka nonton Korea gak?’ dia bilang ‘saya bisa sedikit bahasa Korea’ kami senang lalu tanya-tanya lagi pakai kata-kata yang sering ada di film-film Korea dan memang benar dia bisa bahasa Korea. Bapak tersebut pernah bertemu orang Korea dan belajar bahasa Korea dan bahasa .....(lupa) juga. Canggih sekali bapak angkot ini.


Di jalan kami berhenti beli ikan. Ada TPA (Tempat Penjualan Ikan) di pinggir pantai yang ada SPBU untuk kapalnya. Saya kira SPBU hanya ada di pinggir jalan. Tujuan kami Pantai Klara dan ada satunya lagi, tapi bukan Kiluan. Masih alternatif, asal bisa pasang tenda. 

Di pantai yang satunya lagi angkot kami berhenti, sementara menunggu angkot satunya lagi yang dikabarkan mogok gara-gara supirnya minta tambah ongkos, beberapa dari kami pergi ke penjaga pantai, tanya-tanya dimana bisa pasang tenda, dijawab tidak bisa, karena memang keadaannya tidak punya bibir pantai, kalau ada pun sudah dihabiskan perahu dan pasang di malam hari. Jarak antara bibir pantai dan jalan dekat, khawatir laut terlalu pasang menggenang jalan.

Nak pohon.

Dermaganya keropos, jadi nggak bisa kesana.

Pesisir pantai Lampung, indah nian.

Pemandangan dari dalam tenda.

Zoom in

Snorkling di air butek.

Kita menghabiskan malam di Pantai Klara, kurang bagus pantainya karena airnya butek.

You May Also Like

1 comments

  1. sebagai warga bandung yang sering bolak balik lampung, merasa terwakili dengan perjalanan di atas. baus teh (y)

    ReplyDelete

Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~