Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.
@charlesetoroma on Unsplash  

Hellooo…

Semua yang kutulis di post ini berdasarkan preferensi pribadi ya, nggak ada research mendalam kecuali mengamati kehidupan sehari-hari dan apa yang orang-orang post di media sosial. Feel free to discuss more about it.

Aku lupa lagi kapan tepatnya, tapi Deya pernah tanya tentang sustainable dan penerapannya di Indonesia gimana. Kalau nggak salah saat itu aku jawab sustainable adalah gaya hidup orang Indonesia alias kearifan lokal. Sayangnya, Deya tanya di saat kita mau pulang, padahal kalau tanyanya saat makan Sate DAMRI diantara sholat maghrib dan sholat isya bisa-bisa kita begadang haha *kangen kosan Icunk 😘.

Selama ini aku cukup mengikuti tentang sustainable, awalnya karena tertarik tentang sustainable fashion dan pernah menulis post-nya disini. Kalau membicarakan sustainable tentcu cakupannya sangat luas bahkan bisa dikatakan hampir semua hal kini diupayakan menjadi sustainable. Berbeda dengan alam yang memiliki life cycle-nya sendiri, semua yang diproduksi oleh manusia membutuhkan proses untuk mencapai sustainable.

Apakah sustainable berarti daur ulang? Nggak selalu. Daur ulang adalah salah satu opsi untuk memperpanjang masa pakai. Kalau ingin tahu mengenai sustainable lebih detail bisa di-search di Google ya… Kali ini aku skip 😁. Well… lantas apakah hubungan antara sustainable dan kearifan lokal?

Yha~ sustainable adalah kearifan lokal itu sendiri.

Kearifan lokal atau yang kini biasa disebut sebagai local wisdom adalah warisan berupa konsep hidup (ide, nilai, pengetahuan) yang diturunkan secara turun temurun untuk menjaga keselarasan hubungan antara manusia dan alam. Eh, tapi jangan lupa ya kita tinggal di Indonesia, jadi kearifan lokal ini erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang ✨👌🏻.

Nenek moyang kita (Indonesia) berhasil hidup berdampingan dengan alam selama ratusan tahun lamanya dengan mempertahankan kearifan lokal. Dalam prosesnya ada banyak nilai yang bisa diambil, ide yang dikembangkan dan pengetahuan yang diturunkan. Salah satu yang mampu mempertahankan kearifan lokal adalah Suku Baduy.

Pada dasarnya ada pakem-pakem yang dibuat berdasarkan pengalaman panjang. Katakanlah rumah. Dari Sabang sampai Merauke bentuk rumah berbeda-beda mengikuti kontur geografis, pernah nggak sih kalyan bertanya-tanya mengapa rata-rata rumah di Indonesia atapnya berbentuk limas? Karena… *drum roll dulu… hujan di Indonesia datang dari segala arah. Serius yaini… 😁.

Rumah dengan dak atau berkonsep minimalis dengan rooftop aesthetic sebenarnya kurang cocok untuk menghadapi hujan di Indonesia, tapi balik lagi ya pada akhirnya ini adalah tentang taste dan budget. Saran dosenku dulu; kalau kalyan ingin membangun rumah di suatu daerah, carilah rumah (adat) asli atau rumah lama di daerah tersebut, pelajari bentuknya dan jadikanlah acuan karena nenek moyang membangun rumah untuk jangka panjang.

Pernah ada masanya konsep dekorasi shabby chic booming, disusul konsep dekorasi monokrom, kemudian konsep dekorasi minimalis dan sekarang konsep dekorasi natural. Coba tebak, apa persamaan dari konsep dekorasi tersebut? Yha~ banyak printilannya 😁. Rata-rata orang Indonesia itu horror vacui alias memiliki ketakutan akan ruang kosong, makanya pasti gatal kalau masih ada ruang yang nganggur, ingin diisi, ingin di didekorasi, ingin diiniin diituin 😏.

Percayalah. Apa pun konsep dekorasi rumahnya, pasti punya sudut betrak betruk 🤣 Juara banget kalau nggak punya.

Horror vacui terjadi karena kita memang terbiasa hidup dengan “penuh”, kalau kosong kan ditempati lelembut 👻. Makanya rumah nenek moyang dipenuhi ukiran, lambat laun ukiran tersebut beradaptasi melalui furniture dan elemen dekorasi. Jarang banget kan menemukan rumah yang pure lapang tanpa printilan, jangan jauh-jauh deh… itu tanaman di pot pun posisinya pasti disebar 🤣.

Menurutku, horror vacui-nya orang Indonesia itu unik. Sekeras apa pun kita berusaha untuk mengabaikan pada akhirnya pasti akan kembali lagi. Meski sudah berusaha pake basic outfit nan earth tone, kalau ada versi full graphic tetap aja dibeli juga yekan 😂 Kupikir, pasangan yang menikah dengan kostum dan dekorasi Doraemon adalah sebenar-benarnya orang Indonesia.

Saat ke Gramedia, di antara bagian lifestyle dan self development terhampar buku-buku yang menawarkan berbagai konsep (gaya) hidup masa kini. Sayangnya, nggak ada satu pun buku yang menawarkan konsep hidup dari, oleh dan untuk orang Indonesia heuheuheu 😅 Sebegininyakah krisis konsep hidup sampai mesti mengadaptasikan konsep hidup negara lain yang notabene berbeda kultur dan geografis?

Syudah bisa ditebak… aku jadi mempertanyakan ada nggak sih konsep hidup yang “sesuai” untuk orang Indonesia?.

Ternyata jawabannya ada… di ujung langit ☁️💨.

Beberapa tahun belakangan sustainable living became a things, tapi semakin kucari tahu aku semakin menyadari bahwa adalah sustainable living adalah konsep hidup yang sebenarnya lekat namun terlupakan. Yha~ kalau sustainable living adalah kehidupan yang dijalani oleh Liziqi, maka hampir bisa dipastikan sebagian dari kita pernah menjalaninya.

Saat ini wooden toys adalah opsi yang ideal untuk mainan berbahan alami yakni kayu. Nah. Ingat nggak sih kalyan dengan mobil-mobilan dari yang dibuat dari kulit Jeruk Bali dan lidi? Keduanya, yakni kayu dan kulit Jeruk Bali adalah bahan alami, namun kulit Jeruk Bali akan lebih mudah terurai ketimbang kayu karena nggak menggunakan varnish.

Aku tahu ini perbandingan yang nggak apple to apple ya, aku hanya ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kita sudah lebih sustainable bahkan sebelum kita mengenal konsep sustainable itu sendiri.

Beberapa tahun yang lalu internet pernah heboh oleh berita; supermarket di Thailand menggunakan packaging daun pisang menggantikan plastik. Saat membaca artikel yang menyatakan bahwa daun pisang 100% eco friendly dan sustainable aku ngakak sekaligus bangga 😂. Pasalnya, hampir setiap hari aku menemukan si eco friendly packaging ini dalam bentuk Tempe, Papais, Leupeut, Lemper, Peuyeum, Pecel, Awug, Sate, Nasi Kuning and friends.

Mungkin kalyan pernah mengalami masa dimana packaging plastik belum lumrah digunakan. Setiap kali membeli Bakso atau Soto dari Mang-Mang yang beredar di sekitar rumah, kita selalu membawa rantang atau mangkuk sendiri. So… I just want to say. Bukankah ini yang kita lakukan sekarang? Membawa wadah sendiri demi mengurangi sampah.

Dalam rangka mengurangi limbah botol plastik sekali pakai, beberapa tempat menyediakan refill air minum gratis bagi yang membutuhkan (bisa ditemukan via aplikasi). Di daerah Jawa, sekitar tahun 90an masih bisa ditemukan rumah-rumah yang menyediakan kendi berisi air minum di pagar (pagar tembok) jadi setiap orang yang lewat dan kebetulan haus bisa berhenti dan minum. Biasanya anak sekolah atau petani yang baru pulang.

Aku pernah menonton home tour salah satu aktris Indonsia yang rumahnya bergaya American modern, salah satu keunggulannya adalah food storage (room) yakni ruang penyimpanan bahan makanan kering. Otakku langsung bekerja, dan… food storage (room) adalah Bahasa Inggris dari goah. Dimana hampir semua rumah (lama) orang Sunda pasti memilikinya.

Belum lengkap sustainable living tanpa memasukkan grow your own food alias bercocok tanam atau berkebun. Kupikir konsep grow your own food mirip-miriplah dengan konsep apotik hidup yang pernah kita pelajari saat SD (salim virtual kepada bapak/ibu penyusun kurikulum 🙇🏻‍♀️). Well… jangankan apotik hidup, pagar batas lahan aja kita mah pakenya tanaman Singkong, nggak kurang sustainable apa coba? 🥲.

Dosenku pernah bilang bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya karena memiliki keanekaragaman seni budaya semacam textile, kriya dan tarian. Artinya kita adalah bangsa yang bahagia karena nggak mungkin kita memiliki semua itu kalau nggak punya waktu luang untuk mempelajari dan membuatnya. Disaat bangsa lain bertahan mati-matian dari 4 musim yang berbeda, kita berada disini dengan matahari yang bersinar hampir sepanjang tahun 🌤️.

Oh, inilah yang dinamakan slow living. Biar slow alias rebahan bae tapi tetap hidup yekan haha 😂.

Menurutku, sustainable dan kearifan lokal memiliki banyak kesamaan, yang membedakan hanyalah istilahnya aja. Sustainable memang terlihat lebih cantik dan terdengar lebih baru ketimbang kearifan lokal yang terkesan tradisional. Terserah mau pake yang mana, tapi kita sama-sama tahu pada akhirnya kedua istilah tersebut mengantarkan kita untuk lebih aware.

Selama ini kita mencari mencari konsep hidup yang sesuai tanpa menyadari bahwa sebenarnya kita sudah menerapkannya sejak dulu. Semut di sebrang lautan tampak jelas, sedang Gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hello…

Kuyakin kalyan sudah bosan dengan post tentang pandemi dan printilannya 😀. Aku pun sama kok… Biar nggak terlalu bosan kutulis post selingan ya, daku juga lelah guise hehe 😁.

Sejak diberlakukannya PPKM end game warga +62 dilarang dine in di resto/café, mentoknya hanya melayani take away. Well… Tanpa mesti ada PPKM pun aku sudah jarang makan di tempat ya, lebih sering dibawa pulang atau order via Go Food sekalyan. Masih parno berkepanjangan… 😒. Seingatku, di tahun 2021 ini hanya 2 kali aku makan diluar, dengan Icunk di Ramen Ya saat ramadhan dan dengan Widy di Bu Imas (karena kalau dibawa pulang mah kurang nikmeh 😉).

Nah, yang order via Go Food/Grab Food/Shoppe Food/Traveloka Eats ini agak gambling niya, kalau kebetulan dapet yang enak alhamdulillah, salah-salah dapetnya zonk 😁. Ohya, ini khusus untuk resto/café yang belum pernah dicoba ya, kalau udah sering insya allah rasanya nggak akan berubah, paling porsinya aja yang labil.

Pasti kalyan punya kan teman yang passionate dengan makanan, yang update-an IG story-nya makanan mulu, yang fotonya selalu sukses ngabibita, yang review-nya no tepu-tepu 😁. Yha~ aku punya, dan so pasti lebih terpercaya ketimbang influencer yang sering mati suri. Coba deh diingat-ingat lagi, siapa teman kalyan yang story-nya tentang makanan menggugah iman. Keep her hon… highlight story-nya adalah katalog ✨👌🏻.

Beberapa minggu yang lalu temanku sempat meng-update IG story-nya dengan foto isoman dan cemilan yang menyertai sesi berjemurnya. Saat itu cemilannya adalah Roti Macan, apa lagi ini Del? 😀 Huhu Sayangnya, saat mau order eh Roti Macan-nya lagi libur heuheuheu… syebel 😌.

Kalau ingat di awal pandemi sempat hype kan artisan bakery alias roti indie, mereka menjual sourdough dan roti tawar. Nah, Roti Macan adalah salah satunya. Sebagai artisan bakery, Roti Macan menjual rotinya secara terbatas via Tokopedia, selain roti indie ada cookies dan kopi literan. Ohya, karena PPKM offline store-nya tutup sementara.

Aku order via Tokopedia yaw, nggak banyak-banyak 1 aja karena niatnya sebagai cemilan saat meeting online.


Ternyata Mas Grab-nya datang saat timku sedang presentasi 😅.

Aku memilih cranberry cheese karena kemarinnya udah makan (makanan yang mengandung) cokelat, biar nggak monoton aja gitu 😁 Aku nggak pandai mendeskripsikan makanan macem food enthusiast tapi menurutku rotinya lembut dan enak… pake banget 🥲. Perpaduan cranberry dan cheese-nya pas ya nggak bikin giung, chia seeds-nya memberikan tekstur yang unik saat digigit.

Kukira aku akan menghabiskannya dalam sehari ternyata nggak sampai ½ jam udah habis… agak menyesal siya kenapa cuma order 1 aja, meeting online pun membutuhkan energi guise… 😂.

Kalau kau ingin sesuatu yang menarik dan indie ✨👌🏻 aku merekomendasikan Roti Macan sebagaimana Delia merekomendasikannya di IG story. Untuk artisan bread harganya relatif terjangkau, namun percayalah…. Nggak cukup 1 🤣🤣🤣.

Tri Tangtu Kopi Roasters (TTkr) & Roti Macan @rotimacan
🏠 Jl. Buah Batu No.129, Cijagra, Lengkong, Kota Bandung
⏰ 07.00-15.00 (hari Jum'at tutup)
🥖 25K 
🍞 50K
🍕 75K
☕ 45K-80K

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Hellooo…

Hari ini adalah hari kesekian dari PPKM yang digagas pemerintah Wakanda, sampai saat aku menulis post ini aku nggak terlalu ingin menyimak kepanjangan dari PPKM karena selalu berubah-ubah sejak pertama kali diberlakukan tahun lalu 🥲. Menyesuaikan dengan sikon non lockdown sebab pemerintah ternyata lebih misqueen 🥺 ketimbang sobat misqueen Twitter yang mengartikan PPKM sebagai Pelan Pelan Kita Miskin.

Awal tahun ini aku mengikuti reading challenge-nya BBB, rencananya tahun ini aku akan membaca 1 buah buku setiap bulannya, hal yang menantang sekali bukan? Keseringan membaca caption membuatku malay setengah mati membaca buku 😁. Kukira aku akan lebih excited kalau membaca buku yang masih baru, ternyata nggak ngaruh sama sekali yaw… yang ada aku malah menimbun buku 😅.

Salah satu buku yang kubeli tahun ini adalah What I Talk About When I Talk About Running-nya Haruki Murakami. FYI, ini adalah buku yang masuk wishlist-ku sejak lama sekaligus yang membuatku bolak balik ke Gramedia, berharap buku ini keselip diantara tumpukan buku lainnya 😀. Di e-commerce ada sih yang jual tapinya print sendiri hahahanjirrr… yukata print on demand 🥲. Setelah mencari sana sini dan membaca review tokonya berulang kali akhirnya aku menemukan toko yang menjual versi legalnya.

Ohya… meski kebanyakan buku-buku Haruki Murakami diterbitkan oleh Gramedia, khusus untuk buku What I Talk About When I Talk About Running diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Yeee… pantesan nggak nemu-nemu *heu 😅. What I Talk About When I Talk About Running adalah memoir Haruki Murakami mengenai hobby larinya.

Sebelumnya, aku mengenal Haruki Murakami dari buku Norwergian Wood yang kubeli saat SMP karena tertarik oleh cover-nya yang keren dan Jepang banget. Seriously? Yap. Aku membaca Norwergian Wood saat SMP, begitu pun dengan teman-temanku haha Meski belum pada cukup umur tapi kita fine fine aja membaca Norwergian Wood 😉.

Saat itu Norwergian Wood termasuk buku mahal ya kalau nggak salah sekitar 80-90rban gitu, kupikir nggak mungkin dong harganya mahal kalau bukunya B aja. Makanya kubeli 😎. Norwegian Wood meninggalkan kesan yang cukup dalam karena itu pertama kalinya aku membaca buku dari penulis Jepang, ceritanya nggak neko-neko tapi Haruki Murakami tahu bagaimana menuturkannya dengan baik.

Kesan itulah yang membuatku penasaran dengan Haruki Murakami, I mean in personal. Makanya ketika kutahu What I Talk About When I Talk About Running diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia aku mencarinya namun mengabaikan fakta penerbit yang mempublikasikannya. Sejauh pencarianku masa jualnya singkat, kemungkinan karena ini adalah memoir dan agak kurang menarik.

Yap. Kuakui cover design-nya nggak menarik karena pemilihan font judulnya terkesan kurang effort, aku malah lebih suka cover design versi print sendiri 😁.

Sesuai dengan judulnya What I Talk About When I Talk About Running menceritakan tentang hal-hal yang Haruki Murakami pikirkan saat berlari. Sejujurnya aku heran kok bisa ya orang-orang masih berpikir padahal ia sedang berlari? 🤔 Kukira orang-orang yang berlari hanya memikirkan tujuannya. Heu… pertanyaan konyol yaini 😌.

FYI. Aku lebih suka jalan shantay ketimbang lari yhahaha ☺️ Satu-satunya alasanku membeli buku What I Talk About When I Talk About Running adalah karena penulisnya Haruki Murakami 😘. Serius deh ini… I really don’t have any idea about running meski aku pernah memiliki resolusi tahunan; work smart play hard running faster

Tapi aku setuju sih, lari adalah olahraga yang simple ✨. Why? Karena lari nggak perlu gear macem sepeda atau berenang (kecuali sepatu lari fancy dan printilan duniawi lainnya). Eh, bukannya jalan shantay juga gitu? 😁.

Impresiku kepada Haruki Murakami pasca membaca What I Talk About When I Talk About Running adalah:

Doi orangnya Nike banget ya…
JUST DO IT!
Ingin punya kelab jazz. Buka kelab jazz.
Ingin menjadi penulis. Menulis.
Ingin menjadi pelari. Lari.

Haruki Murakami menghabiskan masa mudanya dengan membuka kelab jazz bersama istrinya sejak masih kuliah, saat berusia 30 tahunan ia memutuskan untuk menulis novel, menerbitkannya dan voila! Ia menjadi seorang menjadi penulis. Lagi. Ditengah kesibukannya sebagai penulis, ia memutuskan untuk berlari karena merasa perlu memperbaiki pola hidupnya yang berantakan.

Believe it or not, Haruki Murakami mulai menulis dan berlari saat usianya 30 tahunan, yang artinya… nggak ada yang nggak mungkin kalau kau punya bakat bawaan dan keberuntungan yang banyak 🙃

Menurut Haruki Murakami, menulis dan berlari memiliki kesamaan yakni target, kerja keras dan fokus. Selain hal tersebut tentcunya dibutuhkan latihan yang nggak sebentar, tapi kalau kita udah membiasakan diri lambat laun tubuh pun akan beradaptasi dan bersama-sama mencapai tujuan.

Haruki Murakami menuliskan bahwa alasan mengapa orang-orang berlari sebenarnya bukan karena ingin panjang umur melainkan karena ingin (merasai) hidup, hidup yang benar-benar hidup ✨. Kupikir ini make sense ya… karena di komik / kartun orang-orang yang berlari biasanya memercikkan api di punggungnya 🤣 Alasan yang sama mengapa film menggunakan transisi berlari untuk memperlihatkan pengembangan karakternya, macem di Forest Gump. 

Aku suka bagaimana Haruki Murakami menuturkan ceritanya, mengalir aja gitu, seakan-akan kita ikutan nyemplung 🤣 Haruki Murakami faham bahwa nggak semua pembaca buku What I Talk About When I Talk About Running suka berlari, ia menjelaskan istilah-istilah dengan mudah, so nggak perlu khawatir ya sobat rebahaners 😁.

Setelah membaca buku What I Talk About When I Talk About Running aku jadi kepikiran juga ya… kayanya asyik aja kalau punya memoir untuk hal yang disukai. Macem reminder untuk mengingatkan pada diri sendiri bahwa kita pernah mencoba dan berproses, urusan hasil mah belakangan. Just trying to memorialized.

Kalau kau suka berlari (dan menulis) dan Haruki Murakami buku What I Talk About When I Talk About Running ini bisa menjadi opsi yang menarik untuk dieksekusi di masa PPKM 😉✨ Aku membaca buku What I Talk About When I Talk About Running ketika berjemur setiap paginya, nggak menyangka bisa menyelesaikan hanya dalam waktu dua minggu *terharu 🥺.

PAIN IS INEVITABLE 
BUT SUFFERING IS OPTIONAL
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Helloo…

Memasuki bulan Juni seharusnya Indonesia memasuki musim kemarau ya… tapi beberapa waktu yang lalu sempat hujan dan cuaca semakin nggak menentu, pandemi apalagi. Aku nggak punya kosakata lain yang bisa mendeskripsikan cuaca Indonesia saat ini kecuali pancaroba (angger 😁). Ada malam-malam dimana suhu menjadi lebih dingin dan siang hari panasnya bikin sunscreen meleleh hehe 😂

Salah satu film yang kunantikan di musim panas alias summer alias kemarau ini adalah Luca-nya Pixar, pasalnya aku cukup berekspektasi tinggi setelah puas menonton Soul beberapa bulan yang lalu. Well… itu nggak termasuk Onward ya, karena bagiku Onward mah B aja, nggak ada gregetnya, apalagi untuk penonton dewasa macemku ini.

Luca adalah film animasi terbarunya Pixar untuk tahun ini, FYI Pixar hanya membuat 1 film setiap tahunnya demi menjaga kualitas. Aku udah menonton trailer-nya sejak beberapa bulan yang lalu dan tersepona melihat tone color yang digunakan. How cute… Beruntung bulan ini aku nggak mesti subscribe Disney + Hotstar karena udah termasuk paket kuota di Telkomsel. Menyenangkan sekali kan ya… 😉.

Jadi, Luca bercerita tentang sea monster bernama Luca Paguro (Jacob Tremblay) yang tinggal di dasar laut bersama orang tua dan neneknya, kegiatan Luca sehari-harinya adalah ngangon anak-anak ikan sambil sesekali berandari-andai pergi ke atas (daratan). Kurang lebih mirip-miriplah dengan ngarepnya Ariel di film animasi 2D Disney yang saban hari mulungin benda-benda yang jatuh ke laut.

Suatu hari saat Luca sedang asyik ngangon anak-anak ikan, ia menemukan beberapa benda yang jatuh dari perahu diatasnya dan bertemu sosok misterius yang menggunakan baju selam jadul macem punyanya Sandy di Bikini Bottom. Luca mengikutinya sampai ke daratan dan menemukan bahwa sosok misterius tersebut adalah Alberto Scorfano (Jack Dylan Grazer), yang ternyata merupakan sea monster sepertinya.


Sejak saat itu Luca punya kegiatan lain selain ngangon anak-anak ikan yakni bermain dengan Alberto dan Luca baru aja mengetahui bahwa ia bisa berubah rupa saat berada di daratan. Kocak banget yaini scene belajar jalannya Luca, namanya juga makhluk laut yekan meski vertebrata tetap lunak, gelosor sana gelosor sini ujung-ujungnya nubruk 🤣.

Karena wishlist terbesarnya Alberto adalah Vespa maka mereka berdua mulai mengerjakan project ambisius yakni membuat Vespa sendiri. Eksperimen-eksperimennya nggak kalah kocak ya… momen dimana mereka berulang kali mencoba terbang menuju lautan adalah favorite-ku, yang mana mengingatkanku pada scene burung-burung Camar di film Finding Nemo yang cuma bisa ngomong “mine”.

Kenapa mesti Vespa?

Simple aja guise… Pertama, Vespa made in Italy. Kedua, setting film Luca adalah di kota Portorosso pesisir pantai Riviera Italia. Ketiga, visi misi Alberto sejalan dengan iklan di brosur Vespa yakni Vespa is liberty. Soft selling yang berhasil ya… karena setelah nonton film Luca aku jadi ingin punya Vespa juga 😎.


Kedua anak ikan yang minim pengalaman ini kemudian memutuskan untuk mengunjungi Portorosso, sebuah kota di pesisir pantai Riviera. Karakter Luca yang lugu dan Alberto yang sotoy membuatku tergugah, karena kombinasi pertemanan sotoy + lugu seringkali menghasilkan pertemanan yang awet 🥰.

Di Portorosso Luca dan Alberto mencoba berbaur dengan warlok dan tanpa sengaja bertemu dengan Giulia Marcovaldo (Emma Breman). Seperti byasanya, belum lengkap film anak-anak kalau nggak punya musuh bebuyutan, nah, musuh bebuyutan di film Luca ini adalah Ercoli Visconti (Saverio Raimondo).

Anak-anak di Portorosso sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti Portorosso Cup Triathlon, tak terkecuali dengan Giulia dan Ercoli. Tergiur dengan hadiahnya, Luca dan Alberto kemudian menawarkan diri untuk bekerjasama dengan Giulia. Triathlon-nya nggak sesulit orang dewasa yang serius ya, hanya berenang, makan dan bersepeda menuruni bukit.

Giulia membawa Luca dan Alberto ke rumahnya, disana ada ayahnya Massimo Marcovaldo (Marco Barricelli) yang bekerja sebagai nelayan. Hampir setiap hari mereka berlatih untuk triathlon dan semakin menyadari bahwa ada banyak hal menarik yang belum mereka ketahui, salah satunya adalah konsep sekolah.

Alberto lambat laun merasa tersisih dengan kedekatan Luca dan Giulia yang mengakibatkan tim mereka ambyar… yha~ namanya juga anak-anak ya bund… pasti ada berantemnya 😁. Disaat yang bersamaan, orang tua Luca memutuskan untuk mencarinya ke Portorosso. Dengan waktu yang terus berjalan dapatkan mereka memenangkan Portorosso Cup Thriathlon?


Kalau boleh jujur, aku agak kecewa dengan film Luca… karena alur ceritanya yang cetek meski secara visual memanjakan mata. Tapi kemudian aku menyadari bahwa terlepas dari segala kekurangannya kupikir Pixar sedang menata langkah melalui Luca untuk kembali ke khittah-nya sebagai film animasi anak-anak yang ringan dan fun 😉✨.

Seharusnya… nothing to lose, karena sejak awal target market Pixar adalah anak-anak, yang mungkin nggak diantisipasi Pixar adalah fakta bahwa anak-anak tersebut telah tumbuh dan menuntut Pixar terus membersamai. Yes… it was me. Aku tumbuh bersama Pixar sejak A Bugs Life pertama kali dirilis dan sejak saat itu aku tetap menonton film-filmya Pixar meski Disney menginvasi.

Penggambaran karakter Luca ini simple macem komik-komik jadul (Peanuts, Monika atau Tintin) yang hidungnya bulet-bulet. Setting-nya juga lucu ya meski nggak semegah Finding Nemo atau Soul. Aku jarang menonton film Italy tapi kalau ber-setting Italy sih sering 😉. Nah, saat menonton film Luca aku merasakan percikan Call Me by Your Name…

Aku suka setting-nya Luca, kehangatan summer-nya terasa meski disini pancaroba mulu. Serius deh ini… tone color-nya berperan penting dalam menentukan mood keseluruhan film. Satu-satunya yang membuatku tersepona adalah visualisasinya bukan ceritanya 🤣.

Aku tentcu merekomendasikan film Luca untuk ditonton disaat PPKM, bisa sambil makan, rebahan atau kerja karena ceritanya yang ringan dan menghangatkan. Meski bukan favorite-ku kusuka tone color-nya. Kalau ada waktu jangan lupa ditonton yaw…

all credits belongs to Disney Pixar

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

This post contains music, if you open this post via browser the music will play automatically, but if you open this post via smartphone you have to scroll down to click the play button. And it's okay if you want to read in silence since the music is only the supporting part 😁.

Hello…

Apa kabar netizen? Sudah prepare apa aja menyambut pandemi vol. 2? Kayanya hampir semua yang dibeli tahun lalu sudah beranak pinak ya… 😅  Yakin banget altar WFH makin sempit gegara printilan nggak-penting-tapi-ingin-punya, home dress juga sudah pada punya kloningan, tanaman mah nggak usah ditanya, rumahku aja sekarang sudah macem kebon 😂.

Ternyata, prakiraan pandemi yang direncanakan pemerintah hanya setahun mesti molor lagi sampai entah kapan 😢. Meleset. Sudahlah… emosinya sudah sampai langit keenam kalau mengingat gimana pemerintah menangani pandemi sejak awal tahun lalu. Seakan-akan COVID-19 adalah nasi, diremehkan… 😌.

Karena pandemi yang nggak tahu kapan kelarnya ini banyak rencana kembali berubah… kalau kerjaan mah ya revisi lagi. Kurasa  pandemi extension ini nggak jauh lebih baik dari tahun sebelumnya, semakin menjadi-jadi 😢 dan new normal yang digadang-gadang sebagai gaya hidup to the next level malah terasa seperti post apocalypse 🥲.

Pandemi tahun lalu seenggaknya kita masih bisa merayakan hidup, sedikit haha hihi dan mencoba beradaptasi. Kurasa tahun ini lebih berat ya… karena kita berusaha keras untuk menjalani dan merekonstruksi kehidupan yang dimiliki sambil menerka-nerka nasib apa yang akan menghampiri. Clueless banget 😶.

Mungkin ini hanya perasaanku, atau mungkin ini perasaan sebagian netizen lainnya, tapi kurasa pandemi vol. 2 auranya lebih suram ketimbang pandemi vol. 1. Well… belum pernah rasanya aku stuck sampai nggak ngerti mau ngapain, galaunya sudah nggak selow lagi ya terutama di February akhir – Maret awal.

Setelah sekian lama aku kembali insomnia dan baru bisa tertidur menjelang subuh. Tahu sendiri yekan, semakin larut pikiran semakin liar, entah itu masa depan, kerjaan atau sekedar menyesali hal-hal yang nggak pernah berani kulakukan 🥺. Bangun pagi pun sudah nggak se-excited biasanya, rasanya lelah aja gitu… karena setahun berlalu dan keadaan nggak menjadi lebih baik 🙃.

Aku bahkan kehilangan minat, bisa dilihat ya sejak awal tahun aku jarang menulis post. Aku punya beberapa draft tipis tapi terlalu mager untuk mengetik. Aku membeli beberapa buku baru tapi nggak ada satu pun yang diselesaikan. Aku punya stok drakor tapi saat menonton drakor pikiranku malah kemana-mana.

Yang kuinginkan hanyalah rebahan dan menerawang masa depan… 🧐.

Tadi aku sudah bersiap tidur, rebahan di kasur sambil berdoa macam-macam request ini itu 🤲🏻 meski kutahu belakangan Allah sedang sibuk. Setelah meng-aamiin-kan doaku sendiri, aku malah mendadak sesak nafas dan gelisah nggak jelas, entah kenapa tetiba aku ingin menangis… hal yang membingungkan, karena sejujurnya aku pun nggak tahu akan menangisi apa 🥺.

Kemudian… aku berada disini. Di depan laptop. Berusaha melanjutkan draft post yang sudah tertunda selama beberapa minggu sambil menunggu hari berganti. Hari ini masih tanggal 5 juli, beberapa menit lagi berganti menjadi tanggal 6 juli. Waktu berlalu secepat kilatan cahaya… 💫.

Beberapa hari belakangan aku berusaha mengurangi intensitas screen time, selain karena nggak baik untuk mata aku nggak kuwat guise baca dan nontonin status teman-teman sekalyan. Gimana nggak overthinking ya, setiap kali aku membuka social media rata-rata statusnya;

1. Berita duka
2. Cerita isoman
3. Pencarian donor konvalesen
4. Pencarian rumah sakit
5. Pencarian oxygen

Ada satu hari dimana aku bolak balik copy paste ungkapan duka cita 😭, meski aku nggak mengenalnya secara personal (karena orang tua temanku) aku merasa ini hal berat ya… Aku sampai puyeng dan mual 🥺 setiap kali membaca update-an status mereka, sebelas dua belaslah dengan puyeng gegara Money Manager minggu lalu.

Kalau di Avengers: End Game mah kita lagi ada di masa suram setelah Thanos finger snap, masih belum tahu bahwa 5 tahun yang akan datang seekor tikus nggak sengaja membuka Quantum Realm 🐀. Cuaca yang nggak coy ini turut mempengaruhi mood ya, mana ada hujan di bulan Juni kecuali di puisinya Sapardi Djoko Damono.

Kolom favourite-ku di koran cetak adalah obituari, rasanya menarik melihat deretan nama-nama keluarga bermarga sama dan hubungan yang menyertainya. Kadang aku menemukan obituari dari keluarga besar yang saking besarnya memenuhi hampir setengah halaman koran, tapi tak jarang aku menemukan obituari dari kerabat atau kenalan karena yang berpulang hidup sendiri.

Saat ini aku nggak perlu koran cetak untuk menemukan kolom favourite-ku, cukup update-an status teman-temanku berubah menjadi obituari. Rasanya aneh melihat orang-orang berduka pada saat yang bersamaan sambil mengumpat COVID-19 yang bermutasi tiada henti. Ohya, aku menemukan tulisan bagus dari Evi Mariani (ini link-nya). Dibaca ya… 😉.

Sejak pandemi aku berusaha meluangkan waktu untuk telepon dan video call orang rumah, keluarga dan teman-teman meski sebenarnya canggung 😅. Karena kita nggak pernah benar-benar tahu… Sebelumnya aku lebih terbiasa berkomunikasi via chat karena khawatir mengganggu, tapi kali ini aku nggak peduli 😁 Dalam sehari aku bisa menelepon 5 orang berbeda hanya untuk memastikan mereka baik-baik aja.

Aku manusia ya… aku juga takut kehilangan… 🥺.

Saat mamaku terkena stroke hampir setiap malam aku mengecek ke kamarnya dan memastikannya bernafas dan hidup, aku tahu ini agak creepy, tapi kuyakin kau pun pernah melakukannya.

Pandemi membuat segalanya berjarak. Kalau biasanya setelah salaman kita (aku dan orang tua) berpelukan, kini cuma bisa salaman aja kek salam ke guru ngaji 🥲. Aku juga kangen berpelukan ala telletubbies dengan teman-temanku, virtual hug mah feel-nya nggak nyampe 😂.

Aku masih ingin menulis siya tapi (akhirnya) aku ngantuk… 💤

Semoga kita semua diberikan ketabahan dan kelapangan hati menjalani hari-hari pandemi yang nggak tahu kapan kelarnya. Semangat ya… Jangan putus berdoa 🤲🏻.

cloudpie · Yura Yunita - Tenang
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates