Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.
Pingu adalah film stop motion animation yang berasal dari Swiss, ditayangkan di TVRI sekitar pertengahan dekade 1990-2000an. Ceritanya yang lucu dan bentuknya yang menggemaskan membuatnya dinanti-nanti di minggu pagi.

Pada saat itu Pingu merupakan tontonan wajib saya dan adik yang (pada saat itu) masih duduk di Sekolah Dasar, nyesek banget deh perasaan kita (ehm ... saya) kalau ketinggalan 1 episode dan kita (asli kita, saya dan adik) senang sekali waktu Majalah Bobo mengulas tentang cara pembuatannya (yang mana kini lebih dikenal dengan istilah behind the scene).

Pingu menceritakan tentang kehidupan para hewan di kutub selatan, tokoh utamanya adalah sebuah keluarga pinguin yang terdiri dari:  ayah pinguin yang bekerja sebagai tukang pos dan ibu pinguin yang bertugas sebagai ibu rumah tangga, Pingu anak sulung dan Pinga anak bungsu, selain itu ada Robby si beruang laut dan teman-teman Pingu yang lainnya. 

 

Meskipun ceritanya hanya seputar kehidupan di kutub igloo-sekolah-memancing, Pingu tetap menarik untuk ditonton. Ciri khasnya adalah tepuk tangan “keplak-keplak” dan bibir yang monyong-monyong haha minim dialog tapi penuh ekspresi.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Saya cukup beruntung pernah mengalami masa-masa indahnya hari minggu, satu-satunya hari dimana saya bisa menonton film kartun atau film anak-anak full dari pagi buta sampai sore hari, satu-satunya hari dimana bermalas-malasan adalah hal yang wajib dilakukan sedangkan mandi sehari 2 kali akan dianggap makruh.

Banyak sekali film yang ingin saya tonton tapi sayang waktunya seringkali bentrok, jadilah saya kadang-kadang mesti rela menoton ½ episode karena gonta-ganti channel  televisi. Diantara semua itu ada 1 serial yang mama saya sukai dan belakangan saya dan adik saya sukai, judulnya Little House On The Prairie.

Ada yang pernah tahu? Atau mungkin pernah menonton? Atau suka juga?



Little House On The Prairie bercerita tentang sebuah keluarga kecil yang hidup di tengah peternakan di Amerika jaman dulu. Mereka tinggal di sebuah rumah di atas bukit yang dikelilingi padang rerumputan, keluarga itu terdiri dari Ayah, Ibu dan 3 anak perempuan yang bernama Mary dan Laura (satunya lupa lagi karena masih bayi).

Ceritanya hanya disekitar tempat itu saja, kalau di Indonesia sih mirip-mirip dikit lah dengan serial “Keluarga Cemara” sederhana dan memberikan moral di setiap episodenya. Serial itu pula lah yang pertama kali mengajarkan saya membaca text di televisi, pada saat itu serial ini belum didubbing jadi ya mau tak mau saya harus membaca textnya agar mengerti alur ceritanya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Memang, ada istilah yang berbunyi “don’t judge the book by it’s cover” Ah, tapi bagi saya hal itu sudah terlanjur basi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah itu belum pernah menikmati cover buku yang menarik atau full illustration, sudah jelas, karena disaat itu belum ada profesi sebagai graphic designer dan illustrator yang serius menggarap cover buku.

Hal yang pertama kali menarik perhatian saya ketika akan membeli buku adalah covernya bukan isinya, cover design berada di depan sedangkan resensi berada di belakang menandakan bahwa “you can judge the book by it’s cover” karena seharusnya cover design merepresentasikan keseluruhan isi buku. 

Makanya, saya seringkali merasa kesal kalau kecele membeli buku, cover designnya bagus tapi isinya ngehe, apalagi kalau sampai gak nyambung. Eh, tapi itu belum seberapa dengan rasa kesal ketika menemukan buku dengan cover design yang (bagi saya) ngasal, copy paste dari gambar-gambar yang sudah familiar di Google . Pada kemana graphic designernya?

Seringkali penerbit mencetak ulang buku dengan cover yang baru, bagi saya itu tidak menjadi masalah selama masih bisa merepresentasikan keseluruhan isi buku, jangan sampai cover design yang baru jadi boomerang bagi penerbit, syukur-syukur bisa menaikkan oplah.

Ketika sebuah buku diangkat ke layar lebar atau difilmkan. Apakah cover design buku tersebut perlu dirubah seperti movie posternya? Mmm ... kayaknya gak perlu deh, buku ya buku, film ya film, cover design merepresentasikan keseluruhan isi buku sedangkan movie poster merepresentasikan keseluruhan isi film. Buku merupakan hasil karya pemikiran penulis sedangkan filmnya adalah hasil representasi pembuat film mengenai buku tersebut, 2 hal dengan ekspetasi yang berbeda tidak bisa dipaksakan untuk sama. Jadinya rumpang.

Menurut saya buku dengan cover design yang (masih) orisinil jauh lebih menarik ketimbang dengan cover design edisi movie poster. Saya tidak menyatakan bahwa cover design yang edisi movie poster itu jelek, hanya saja (agak) mengganggu karena mengurangi esensi dari buku tersebut. Jangan lupa, seringkali film yang diadaptasi dari buku memiliki cerita yang sedikit (atau banyak) berbeda dengan versi bukunya.

Saya sendiri pun pernah mengunjungi beberapa toko buku (large and medium) untuk mencari buku dengan cover design yang orisinil dan ternyata tidak ketemu. Sebenarnya sih buku itu ada, tapi cover designnya yang baru membuat saya kesal. So, i have nothing.
Well ... Saya tidak ingin memaksakan diri untuk memiliki apa yang tidak ingin saya miliki. 

Dilihat dari segi marketing tentu saja perubahan cover dengan edisi movie posters merupakan salah satu strategi promosi film. Tapi ya ... coba difikirkan lagi deh, jika ingin membeli buku yang sudah diadaptasi menjadi film, calon pembaca pun sudah tahu pasti judulnya tanpa harus dibantu dengan movie posters. Selain itu, kadangkala saya juga merasa terus menerus dibayangi visualisasi di film ketimbang membaca buku itu dan meresapi isinya.

Anyway,serepresentatif apapun cover design tetap saja tidak akan mampu merubah nasib sebuah buku, karena pada akhirnya isinyalah yang akan dinilai oleh pembaca.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

The first time I know Audrey Tautou (France actress) is when I saw “Priceless” when I’m in Senior High School, that movie is about a mistress who falls in love with a poor hotel staff. Also, that’s my first time watching France movie without dubbing, the dialect is funny and interesting. After that, I searched the other movie by Audrey Tatou, and I saw A Very Long Engagement and Amelie later.

This movie is about Amelie Poulain, a (little) girl who lives in France. Her mother died after praying in the church hit by people who jumped from the tower, then she lived with her father for a year after before deciding to leave her house. She is very curious and enthusiastic about the people and conditions around her. 


Amelie is working in the cafe and almost every day she uses the train, one day she found a photo in the photo booth several times, then she tries to figure out who is the man in the photo. She is living in the apartment facing on painter's room, who never finished his last picture. One day she found a little tin box stuff of for a young boy, and she decided to return back the box to the owner.

The most interesting thing is the details of the movie, I loved the way of Amelie interest description and the habits, it seems so unique and funny. Then, the tone color ... whooaaa ... it’s kind of the other European movie, soft and bright.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Mungkin karena mama sakit jadinya lebaran tahun ini kerasaaa banget bedanya... kalau dulu Ramadan kita berdua udah rempong belanja sana sini, rajin mantengin 3 mini market yang berdekatan demi mendapatkan barang terdiskon, hunting ta'jil sampai nyari mesjid untuk tarawih keliling, sekarang kita diemaja di rumah nonton Kang Mus marahin Kang Komar. Sedih banget kan...

Di setiap Ramadan kita selalu membagi-bagi tugas, mama stay di dapur masak-masak, saya beres-beres rumah dan Widy nonton TV. Kalau ditanya sebel ya sebel banget. Tapi apa mau dikata, kalau puasa kan jangan marah, takut batal. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di H- sekian saya sibuk mengganti tirai-tirai dan sprei di setiap kamar, menyusun cemilan di toples-toples, membersihkan karpet-karpet dan berusaha untuk membereskan baju-baju. It’s a though job. Really.

FYI, tahun ini (daily) asisten rumah tangga kita cuti awal karena anaknya melahirkan dan dia punya cucu baru, jadilah saya yang mesti mengerjakan (hampir) semua pekerjaan rumah, kecuali menyetrika. Biarlah orang lain yang melakukannya (kode keras untuk Mang laundry).

Kalau dulu sepulang kerja kita langsung ngabuburit sambil cari tempat makan, sekarang kita ngabuburit di depan TV. Kalau dulu kita sok sibuk bikin (rencana) menu untuk sahur, sekarang kita beneran sibuk searching menu untuk diabeter. Kalau dulu kita sering keluar masuk mini market demi survei harga terdiskon dari yang diskon, sekarang sudah cukup survei harga di koran atau checking Line group. Kalau dulu kita sering tarawih keliling, sekarang sholatnya masing-masing.

Anyway, alhamdulillah saya gak masuk rumah sakit kaya tahun kemarin.

Seperti biasanya kita shalat Idul Fitri di alun-alun (lapangan) Subang dan kita sudah sibuk menyetrika baju sejak dini hari. Sayangnya, sholat Idul Fitri tahun ini tidak berjalan normal seperti biasanya, ada insiden besar yang membuat ibadah selama sebulan runtuh seketika. Microphone yang digunakan imam sholat Idul Fitri agak bermasalah, suaranya kecil sekali hanya terdengar di bagian depan saja, padahal sedari dulu suara imam shalat Idul Fitri pasti terdengar sampai ke seluruh lapangan.

Saya sendiri pun kurang khusyu karena harus mencari suara imam yang sayup-sayup terdengar diantara suara tangisan balita dan anak-anak yang ingin beli balon. Disaat itu pula terdengar suara bergemuruh dari bagian belakang dan samping, seperti pada saat demo May Day, lalu ada suara sepeda motor yang sengaja digas kencang ala remaja geje yangsok-sokan jadi anggota geng motor.

Setelah shalat usai kita semua kebingungan dan khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti isu perpecahan antar agama atau kerusuhan antar pemuda saat Ramadhan yang dibawa sampai idul Fitri. Jangankan mendengarkan khotbah, yang ada kita semua sibuk mencari tahu dan selfie/ wefie pakai mukena baru.

Ternyata, sumber masalahnya adalah imam shalat idul Fitri, karena suaranya tidak terdengar ke seluruh lapangan makmum yang merasa kesal menyoraki imam. Mungkin niatnya mengingatkan imam seperti saat imam salah membacakan ayat, tapi bukannya lebih konsentrasi mencari suara imam dan melanjutkan sholat, makmum tersebut malah menyoraki imam terus menerus bahkan sampai melempar-lemparkan mukena ke atas layaknya wisudawan melempar toga. Subhanallah...

Bagi yang belum puas, dilanjutkan dengan mencaci dan membicarakan dengan terang-terangan, tapi karena kita adalah generasi yang kekinian, maka kita pun sibuk curhat di socmed.

Miris sekali ya... Semua ibadah yang sudah dilakukan harus pupus karena microphone.

Tak mungkin dipungkiri bahwa andil panitia pelaksana pun cukup besar, bagaimana mungkin mereka bisa menyediakan microphone dan sound system seadanya untuk shalat Idul Fitri yang hanya dilaksanakan setahun sekali? Padahal mereka selalu menyediakan microphone dan sound system terbaik untuk acara musik yang ricuh.

Apa kabar pemerintah?

...

...

...

Maaf, mereka sibuk menggosok batu akik. LOL.

And there is a little bit inconvenience ... Rombongan keluarga kita yang datang secara terpisah sempat kena gusur lapak sholat. Karena datang lebih awal, keluarga kita memilih tempat sholat di depan (bukan depan sekali) di belakang tempat sholat pria yang dibatasi dengan tali rafia dengan alasan ingin lebih dekat dengan imam. Pada saat sedang mendengarkan khotbah pra sholat, tiba-tiba muncul rombongan ibu-ibu pejabat yang menyuruh untuk pindah, padahal keluarga kita dan (beberapa rombongan) yang lainnya sudah menggelar sajadah dan mengenakan mukena.

Sebagai masyarakat kita sangat menyayangkan sikapnya yang arogan sebagai orang penting. As far as I know, penentuan tempat sholat itu bukan berdasarkan status sosial atau jabatan di pemerintahan melainkan berdasarkan waktu kedatangan, yang awal datangnya akan mendapatkan shaf terdepan sementara yang datangnya akhir akan mendapatkan shaf dibelakang. Mungkin sense of belonging beliau sangat tinggi, hingga tempat sholat pun bisa dklaim...

Meskipun sholat Idul Fitri kali ini benar-benar di luar batas ibadah, saya juga menyayangkan sikap makmum pria yang semakin parah dari tahun ke tahun. Banyak sekali makmum pria yang shalat di belakang makmum wanita, padahal masih banyak tempat kosong  yang tersedia. Alasannya? Kalau di lapangan rumputnya basah kena air embun, sedangkan trotoar dan jalan aspal lebih kering dan datar, terus biar pulangnya gampang biar gak desak-desakan. *dan mereka pun bubar sebelum khutbah selesai.

Karena mama (sedikit) ngadat di pagi harinya jadilah kita tak menyempatkan berfoto ala lebaran seperti tahun-tahun yang lalu, yang ada kita disibukkan oleh kedatangan sanak saudara dan tetangga yang bersilaturami, rumah kita mendadak riuh.

Dan tengah hari mama tepar karena capek duduk terus di singgasana seharian.

Tambahan:
Di H+2 Idul Fitri, kita menyempatkan diri untuk main sebentar ke Gunung Tangkuban Parahu yang lokasinya berada di perbatasan Bandung dan Subang. Perjalanan menuju kesana macet luar biasa tapi tanggung kalau mau balik lagi.  



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates