Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.

Setelah napak tilas AADC 2 dan karyawisata singkat yang bikin jompo kemarin kita agak melonggarkan schedule, berharap bisa sedikit bernafas haha 😁Alhamdulillah pegalnya agak berkurang meski sisanya masih berasa, terima kasih Salonpas, terima kasih Hot Cream, terima kasih Tolak Angin. Apalah artinya kita tanpa kalian... we love you 😘.

Oh iya, kita menginap di EDU Hostel (lagi) sebab dekat dengan rumah Ana dan sesuai budget (*penting 😉). Karena berempat maka kita pakenya family room, biar lebih private dan lega, kebayang aja gimana nggak nyamannya orang lain kalau kita pakenya dormitory 😂. Meski wifi-nya nggak nyampe kamar, kita sih okey-okey aja sebab lebih butuh rebahan. Ketimbang update-an 😂.

Ana dan Huda menjemput sekitar jam 8an, masih pagi sih itungannya haha Karena ada urusan Huda digantikan oleh driver lain, berhubung driver-nya masih orang Sunda jadi lumayan cairlah suasana. Seenggaknya kita nggak mesti menebak-nebak macem kemarin mwehehe 😅 Tujuan kita hari ini adalah ke Tebing Breksi, Hutan Pinus Imogiri, Gumuk Pasir dan Bukit Paralayang Watugupit.


***

TEBING BREKSI

setelah menunggu 1001 purnama

Kita hanya bisa bertahan di ½ jam pertama perjalanan, selanjutnya mah tepar bokk... 😂. Seingatku, kita baru terbangun nyata saat melewati jalanan yang agak berkelok dengan sawah di kedua sisinya. Saat sampai yang pertama kita lakukan adalah jajan... cilok! 1 porsi ciloknya dihargai Rp. 5000 dan isinya 5 butir sazah. Entah gegara lapar atau kangen tapi rasa ciloknya memang enak, sesuailah dengan lidah orang Sunda macem kita.

Yawla, ternyata hidup memang benar-benar terasa hampa ya kalau belum kena cimin (aci + micin) 🤣🤣🤣.

Tebing Breksi ini tadinya adalah pertambangan batu, baru pada tahun 2014 semua aktivitas pertambangan dihentikan sebab merusak lingkungan, lately penduduk sekitar menjadikan sisa pertambangan ini sebagai tujuan wisata. Selain sisa pertambangan, Tebing Breksi memiliki candi juga lho... ada Candi Ijo dan Candi Banyuibo. Kalau Candi Ijo terletak di tengah sawah, Candi Banyuibo terletak di daerah yang lebih tinggi, keduanya masih ‘nyambung’ dengan Candi Prambanan.

masih on

Diantara kita (minus driver) yang pernah ke Tebing Breksi adalah Deya, bulan lalu malah. Deya merekomendasikan untuk langsung naik Jeep ketimbang berfoto-foto, untuk menyewa Jeep kita tinggal menghampiri loket yang terletak di depan kolam. Harga sewa Jeep-nya Rp. 300.000, kalau nggak dengan rombongan jatuhnya Rp. 60.000 / orang.

Yang kusuka dari naik Jeep di Tebing Breksi ini adalah rutenya yang lumayan panjang dan setiap kali melewati spot yang instagramable, driver akan memberhentikan Jeep dan menyuruh kita untuk berpose. Kita juga akan melewati jalanan berbatu khas rute off road, jadi siap-siap aja nih ya ber-uwwuuu-uwwuuu ria 😙 dari atas kap Jeep 😆. Meski sebenarnya pantat makin tepos kegajlug-gajlug, naik Jeep di Tebing Breksi menyenangkan sekali ya 👌🏻.

setting foto udah outdoor, tapi jiwa masih indoor

Saat turun dari Jeep driver-nya langsung merekomendasikan spot terbaik untuk berfoto, yakni di ujung Watu Payung. Disana ada menara bambu amatir berisikan penduduk sekitar yang membuka jasa foto yang lagi-lagi amatir, kalau ingin menggunakan jasa mereka kita tinggal memasukkan smartphone / kamera ke dalam ember, nantinya ember tersebut dikerek ke atas dan taa-daa... kita difoto dari spot mereka 😉. Nggak ada patokan harga untuk jasa foto amatir ini, kita tinggal memasukkan uang ke dalam kotak yang telah disediakan. Se-ikhlas-nya 😊.

Setelah menyelesaikan rute kita kembali ke parkiran Jeep, kemudian lanjut mencari spot untuk setting tripod, agak tricky memang sebab orang berlalu lalang kesana kemari. Tapi dasar warga +62, adaa aja... yang cuek bebek jadi photobomb 😭. KZL deh ini... padahal Ana udah ngode keras biar pada minggir tapinya nggak ada yang peka dan lanjut foto dengan kita sebagai background 😏. Well... terlepas dari gersangnya yang bikin kulit burik 🤫, kita puas dengan Tebing Breksi apalagi bagian naik Jeep-nya. Patut dicoba yaini.






Tiket masuk: Rp. 3000/orang
Tiket parkir: Rp. 5000/mobil
Tiket Jeep: Rp. 60.000/orang

***

Menjelang tengah hari kita memutuskan untuk caw sekaligus mencari tempat makan siang yang asyik, maunya per-mie-an atau apalah yang pedas tapi nyegerin selain rujak. Di Tebing Breksi tadi ada kok kios-kios makanan dan minuman, musholla dan toilet juga ada kok. Tapi karena panasnya udah nggak nahan, kita malah jajan es krim yang ngelapak di pinggir jalan, lumayan menyegarkan meski sebenarnya bikin brain freeze 🥶.

BAKMI JOWO MBAH GITO


Udahlah, pokoknya pilihan tempat makan diserahkan kepada Ana dan konco-konconya aku mah bagian bayar 😋. Setelah dari Tebing Breksi kita menuju ke Bakmi Jowo Mbah Gito, sekitar 30-45 menitan laya... Lokasinya terletak di pemukiman, dari jalan utama masuk lagi ke dalam sampai ketemu lapangan yang dijadikan lahan parkir. Tadinya kupikir konsep bangunannya memang ekletik tradisional 🤔, tapi kata Ana bukan, bekas kandang sapi 🙄.

Bagian dalamnya, ya... seperti kandang sapi haha 😅 Mungkin karena udah tuwa juga, dindingnya miring-miring yaini dan agak pengap. Saat kita kesana lantai 2nya belum dibuka, mungkin karena belum terlalu penuh maka nggak ada urgensi. Tentcunya kita order Mie Goreng dan Mie Rebus, dan untuk menu bersama kita order Ayam Rica, tahu sendirilah... lapar tyada duwa 😂.

Mie Goreng dan Me Rebusnya enak yaini, porsinya juga banyak dan bikin keringetan haha Panas cuy! Tadinya kita kira Ayam Ricanya bakal pedas tapi ternyata byasa aja... 😌 malah kaya ayam di mie ayam dan bukan bagian primer. Minumannya dingin nyegerin, apalagi di tengah cuaca yang panas begini. Untuk harganya memang cukup standar dan  udah termasuk pajak, eh iya untuk parkir udah otomatis masuk di bill.




Jl. Nyi Ageng Nis no 9 Rejowinangun Kotagede Yogyakarta

Mi goreng: Rp. 30.000
Mie rebus: Rp. 30.000
Ayam Rica: Rp. 40.000
Es Jeruk: Rp. 8000
Es Uwuh: Rp. 10.000
Saparela: Rp. 13.000

***

Setelah makan yang mengenyangkan ini kita ... tepar (lagi) haha Karena khawatir nggak sampai tepat waktu ke Bukit Paralayang Watugupit, tujuan Hutan Pinus Imogiri kita coret dari list. Lagi pula kita pikir pohon pinus mah ada di Bandung juga haha 😅 So kita langsung menuju ke Gumuk Pasir.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Setelah napak tilas AADC 2 yang bikin jompo kita lalu menuju Candi Borobudur, yang dari Rumah Doa Bukit Rhema hanya berjarak sekitar 10-15 menitan. Sebenarnya kita udah nggak terlalu excited ke Candi  Borobudur sebab udah terlanjur gempor 😂 Tapi gimana ya, mumpung masih di Magelang berasa sayang kalau melewatkan Candi Borobudur. Meski sebenarnya candi mah gitu-gitu aja sih... dari batu hehe 😅

FYI, sekolahku dulu nggak ada karyawisata adanya study tour, itu juga Cuma ke BIB (Balai Inseminasi Buatan) Lembang dan Museum Geologi Bandung, nggak rame banget ya haha 😂 Nggak ngerti juga ya kenapa sekolahku nggak mengadakan karyawisata kemana gitu kek, makanya kita nggak punya cerita karyawista macem orang-orang. So, bisa dibilang ini adalah kali pertama kita (berempat 👧👧👧👧) berkaryawisata ke Candi Borobudur.

***

CANDI BOROBUDUR


Saat memasuki area parkir kita akan disambut oleh bapak dan ibu yang menawarkan dagangannya, mostly topi dan payung. Eh tapi kalau payung kita bisa menyewa kok Rp. 5000 per payungnya. Tiket masuk Candi Borobudur dihargai Rp. 40.000 (2019) bisa dibeli di loket yang terletak di bagian depan, oh iya loket tiket domestik dan internasional dibedakan ya, beda harga soalnya 😁.

Untuk menggapai Candi Borobudur ((menggapai 😂)) ada 2 option, bisa dengan jalan kaki bisa pake transportasi (berbayar) yang disediakan. Ada kereta wisata, Tayo (beneran dinamai Tayo 🚌), mobil golf dan kereta kuda alias delman alias andong alias sado. Kita memilih naik Tayo sebab yang parkir paling dekat dengan loket ya si Tayo itu haha *jiwamalasmemanggil 😈. Perjalanan menuju Candi Borobudur naik Tayo adalah perjalanan yang melenakan, angin sepoi-sepoinya bikin ngantuk yaini 👌.

Anak-anak Tayo setelah kena tanning gratis

Kita diturunkan di depan gerbang Candi Borobudur dan aku langsung cuci muka di basin yang ada di tamannya. Disini kita baru sadar, ternyata ada tangga yang mesti di daki haha 😁 Bisa-bisanya ya kita mendaki tangga di tengah hari, nggak pake payung, sunscreen masih sisaan tadi pagi, kaki masih gempor, setrong amat yha~ 💪 Nggak usah ditanya gimana bentukan muka, sama leceknya kek baju 😳.

To be honest, aku agak kecewa sih dengan Candi Borobudur, entah apanya yang salah namun di memoriku ‘Candi Borobudur nggak gini deh’ 😅. Seriusan, Candi Borobudurnya menciut, bukan Cuma menciut tapi juga gundul. Banyak patung-patung yang kepalanya nggak ada dan stupa-stupa yang nggak lengkap. Relief di dinding candi semakin kopong dan halus sebab tergerus alam, bahkan ada beberapa relief yang ditambal sulam. Mungkin udah waktunya restorasi 😌.

Kaya waktu zaman SD, kalau salah nulis langsung diitemin 😅

Kita nggak naik sampai ke puncak stupa ya, Cuma sampai di undakan kedua dan jalan-jalan mengelilingi relief-nya, udah nggak sanggup ziz 😂 Kita malah lebih fokus mencari space yang sepi dan memiliki bayang-bayang cukup besar, selonjoran sambil menikmati angin sepoi-sepoi... 🍃dan ujung-ujungnya malah ketiduran haha 😂 Sumpah, seumur-umur ke Candi Borobudur baru kali ini aku ketiduran di candi, nikmeh memang... saking nikmehnya udah nggak peduli lagi dengan orang-orang yang berlalu lalang 😅.

Tadinya kita berniat naik Tayo lagi, tapi petugas loketnya nggak datang-datang jadilah kita nontonin gajah main air di sampingnya. Kasihan gajahnya... udah kurus, dekil, dirantai lagi... 🐘 Karena kita nggak bisa menunggu (asique 😏) akhirnya kita jalan menuju pintu keluar, ZBL sih ini... kita diarahkan ke kios-kios yang menjual cenderamata, berhubung sedari awal nggak berniat untuk jajan yang ada kita KZL. Gimana nggak KZL ya... jalan di kios-kios ini lebih lama ketimbang jalan di Candi Borobudur 😵.

Mandatory picture

🌞

Cahaya illahi ini menyilaukan sekali 😉

Before after 😁

Wefie dulu sebelum bobo 😅

Tiket masuk domestik: RP. 40.000/orang
Tiket parkir: Rp. 20.000/mobil

Tiket kereta wisata: Rp. 10.000/orang
Tiket Tayo: Rp. 15.000/orang
Tiket mobil golf: Rp. 50.000/orang
Tiket kereta kuda: Rp. 100.000/orang

***

Ana dan Huda nggak ikut ke Candi Borobudur ya, ngungguin mobil 😛 nggak deng mungkin bosan saban hari nganterinnya kesini mulu. Setelah berhasil keluar dari labirin kios-kios itu kita kembali ke mobil dengan lunglai 😩 butuh energi  😁 Udahlah, pokoknya urusan perkulineran kita serahkan pada Ana dan Huda, terserah mau dibawa kemana sing penting dahar 😂.

RM. AYAM GORENG NINIT


RM. Ayam Goreng Ninit ini memang bukan tempat makan yang fancy atau kekinian, tentcunya bukan masalah bagi kita sebab yang penting kan makanannya 😋 Kita order menu andalan RM. Ayam Goreng Ninit yakni ayam goreng serta beberapa menu pendukung lainnya macem urap, perkedel dan tahu. Untuk sambal kita nggak order sebab udah disediakan di atas meja, ada sambal hijau dan sambal merah. Apa coba yang kurang? Yap. Kerupuk.

Sebagai orang Sunda yang tiap makan mesti dikerupukin Deya sempat nyariin (kerupuk) tapinya nggak nemu, untungnya Huda peka dan melipir ke warung sebelah, beliin kerupuk 😁 Ingin ciiee tapinya udah taken.

Ayam gorengnya okcoy yaini 👌, empuk dan berasa, tapi yang paling penting sih crispy ... wajar jadi menu andalan. Urapnya apalagi, rasanya otentik dan kuat jadinya enak... yang agak kurang malah sambalnya, kurang pedas. Harganya pun cukup pocket friendly, kita makan ber-6 habisnya Rp. 95.000. Udahlah ya, kalau kalyan kebetulan lagi berada di Magelang dan nggak tahu mau makan apa, bisa dicoba nih RM. Ayam Goreng Ninit.

🪧 Jl.  Ikhlas no 68 Magelang Jawa Tengah

***

Menurut itinerary tujuan kita selanjutnya adalah Museum OHD (yang mana sebenarnya hanya berjarak ± 5 menit dari RM. Ninit) tapi karena khawatir nggak sampai di Waduk Sermo tepat waktu, maka Museum OHD dicoret dari list. Udah nggak ngerti lagi kemana hilangnya kesadaran ini... 😅 sepanjang perjalanan dari RM. Ninit ke Waduk Sermo kita tepar, paling bangun tipis-tipis kemudian tidur lagi, gitu teroosss 😌 sampai di Waduk Sermo.

WADUK SERMO
   
Berasa di New Zealand 😅

Agak gambling juga sih sebenarnya masukin Waduk Sermo ke itinerary, sebab kita memilihnya berdasarkan foto di IG, tahu sendirilah... rerata foto di IG adalah hasil edit. Tapi Ana ngajakin, sebab ternyata doi belum pernah ke Waduk Sermo juga😁. Seingatku, Waduk Sermo berada di jalur yang sama dengan Kalibiru hanya saja Waduk Sermo sedikit lebih jauh.

Sebenarnya spot Waduk Sermo-nya sendiri ada di samping jembatan, dimana ada letter sign Waduk Sermo terpampang di pinggir lapangan. Tapi... karena angle-nya nggak sesuai dengan gambar yang kita temukan di IG, maka kita jalan terus sampai di ujung Waduk Sermo. Seriusan ini, foto Waduk Sermo yang kalyan temukan di IG adalah Waduk Sermo di bagian paling ujung.

Bisa untuk camping dan mancing

Seperti waduk pada umumnya, Waduk Sermo ini adalah waduk yang berfungsi sebagai penghasil tenaga listrik. Berhubung saat ini masih kemarau air di waduknya surut sampai terlihat dasarnya, kemungkinan kalau musim hujan mah airnya tumpeh-tumpeh. Jalan menuju ujung Waduk Sermo relatif sepi ya hanya beberapa kendaraan yang sempat berpapasan dengan kita dan jalannya pun nggak begitu lebar.

Akhirnya, setelah mengelilingi hampir separuh waduk, kita sampai di Waduk Sermo versi angle yang kita lihat fotonya di IG. Fyuhh... jauh juga ya 😅 Kita sampai di sana sekitar jam 5 sore, diwaktunya golden hour. Sebenarnya di sepanjang jalan banyak spot henti, cukuplah kalau untuk sekedar selfie atau killing time, beberapa diantaranya memberlakukan tiket masuk dan parkir.

Haee... 🙌

Begitu sampai langsung selonjoran santuy haha 😁 Well... setelah seharian jalan, duduk di rumput sambil nontonin sunset tentcunya adalah hal yang menyenangkan. Meski sesekali terhalang awan, cuacanya cukup enak untuk ukuran sore, nggak panas nggak juga dingin.

Kalau dilihat disini ada beberapa mobil camper dan Jeep, itu semua bisa disewa ya guise barangkali ada yang berminat untuk camping. Disini kita juga bisa mancing atau naik perahu ke tengah waduk, kita mah nggak ya... lebih prefer untuk berleha-leha sambil nontonin sunset, jarang-jarang kan bisa begini.

DeyaMotret lagi beraksi 📷

Sobat karyawisataku 💗

Berusaha berasyik masyuk padahal kaki udah gempor 😂

Behind the scene foto insto

Sesekali berkontempelasi *yakeles 😂

Tiket masuk: Rp. 3000/orang
Tiket parkir: Rp. 5000/mobil

***

So far, Waduk Sermo adalah penutup hari yang okcey dari karyawisata singkat ini. Yang agak PR malah udahnya, curiga di hotel bakal pada mager sambil koyoan 😂.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Selamat bulan September dear warga +62, jangan lupa wake me up when September ends... 😅.

Mengawali trimester ketiga ini aku dan teman-temanku sekalian caw ke Yogyakarta, sengaja nggak mengincar moment akhir tahun sebab khawatir nggak kebagian akomodasi dan hujan. Ya... ku masih percaya hujan akan turun di setiap bulan yang berakhiran –ber sebab berkonotasi brrr... (dingin), meski sebenarnya sepanjang tahun masih pancaroba 😉.

Tadinya kita mengincar bulan Juli setelah lebaran, namun atas nama ‘nggak enak ambil cuti abis libur (panjang)’ maka diundur hingga bulan Agustus. Tujuan kita ke Yogyakarta adalah untuk berlibur sebab apalah artinya qerja qeras baqai quda 🐴 kalau nggak bisa menikmati 😂, sekalian menghabiskan sisa THR lebaran lalu *waee... 😅. Oh iya ada ArtJog yang diadakan sekali dalam setahun, makanya diusahakan jangan lebih dari bulan Agustus. 

aku bersama kalian 💑

Tujuan liburan yang sebenarnya adalah ke Kawah Ijen dan Baluran yang mana belum kesampaian sejak tahun lalu, sebab ditutup untuk perbaikan infrastruktur. Tahun ini Kawah Ijen dan Baluran mesti di-skip lagi sebab keterbatasan cuti dan kondisi fisik yang belum siap. Gugur bunga sebelum berkembang cuy haha 😂. Well... Doakan aja semoga kelak kita bisa ke Kawah Ijen dan Baluran 😊.

Setelah menimbang-nimbang akhirnya kita memutuskan Yogyakarta sebagai tujuan libur tengah tahun. Urusan akomodasi tiket dan hotel sudah dibereskan sejak H-2 minggu, itu pun lumayan bikin puyeng yaw... 😪. Apalagi urusan itinerary. Sebab selain berhubungan dengan durasi (jarak tempuh) itinerary sangat mempengaruhi budget. Beruntung kita dibantu Ana untuk urusan per-itenary-an.

Tema libur kali ini adalah napak tilas AADC (Ada Apa Dengan Cinta) 2 😁

Kita berangkat menuju Yogyakarta pada hari kamis malam (alias malam jum’at) dari Bandung, pake kereta api Lodaya ekonomi yang kini seat-nya nggak bisa berhadapan 😑. Kali ini kita satu gerbong dengan rombongan buk-ibuk dan pak-bapak yang pada bawa koper dan rempongnya ngalahin kita 😂 Sampai di Yogyakarta sekitar jam 3 shubuh, kemudian dijemput Ana dan Huda di depan stasiun.

PUNTHUK SETUMBU 

my morning view

Tujuan pertama kita adalah melihat sunrise di Punthuk Setumbu 🙌. Punthuk Setumbu terletak di Magelang, kurang lebih 1 jam perjalanan darat (mobil) dari  Yogyakarta. Untuk mencapai Punthuk Setumbu kita mesti jalan nanjak sampai ke puncak, jadi semua kendaraan bermotor diparkir di area sekitar yang dijaga oleh warga, bagi yang ingin menunaikkan shalat tersedia musholla dan bagi yang ingin ngemil atau makan berat tersedia warung-warung.

Tiket Puntuk Setumbu dihargai Rp. 20.000 per orang (2019) di loket yang terletak di bibir gapura. Menurut review (yang tentunya muncul di page one) kita tinggal jalan nanjak ke atas sekitar 15-20 menit saja. Hahaha... Maap ni gaes... tapi usia memang nggak bisa bohong 😂, lutut dan betis ini udah gempor duluan di 5 menit pertama. Ternyata 15-20 menit adalah versi #pertemanansehat-nya Dian Sastro 😅, #pertemananacigorengan macem kita mah hesye... 😂😂😂

Yang bertambah usia di hari kemarin  💋

Perlu lebih dari 20 menit bagi kita untuk mencapai Punthuk Setumbu, kaget banget dengan medannya yang nanjak dan gelap, makanya kita sering berhenti 😌. Lega rasanya saat sampai di Punthuk Setumbu... langsung nyender di pager, terus selonjoran sambil nungguin Deya dan Memed. Oh iya, Ana dan Icunk udah sampai duluan sebab mau setting tripod.

Dari Punthuk Setumbu kita bisa melihat sunrise yang muncul dari balik gunung Merapi dan gunung Merbabu, bonus pemandangan Candi Borobudur yang berkabut. Mistik 😍. Udah lama sejak terakhir kali aku melihat sunrise di tempat terbuka secara live, biasanya mah terhalang genteng rumah orang 😌. Menyenangkan sekali rasanya menikmati momen dimana matahari perlahan merekah dan suasana berangsur-angsur terang 😇.

Setelah matahari terbit 

Yha~ Punthuk Setumbu memang hype sejak AADC namun pemerintah setempat nampaknya cukup gercep untuk memolesnya.  Jalan nanjak menuju Punthuk Setumbu sudah bagus, dibuat bertangga-tangga dan ada teralisnya memudahkan kita yang terlanjur jompo bertumpu. Selain itu disediakan juga toilet, musholla dan warung kopi + pop mie, tapi yang terpenting adalah gazebo yang ada colokannya (steker) zumpah ziz... ini beyond expectation 😆.

Di Punthuk Setumbu kita nggak perlu mengeluarkan lagi cuan kalau ingin difoto di instalasi selfie, mas-mas yang bertugas akan membantu kita mengambil foto sekaligus mengarahkan gaya 👌. Huda bilang ini adalah salah satu upaya warga untuk menarik pengunjung, kalau semuanya serba berbayar dan nggak terawat (fasilitasnya) bisa jadi malah sepi. Patut dicontoh yaini warga Jabar... 😉.

Begitu matahari terbit kita nggak langsung pulang ya sebab Ana membawakan kita sarapan. Akhirnya... nemu pondasi 🙇...

sans~

Oppa!


selamat pagi wahai sobat syare'ahku 😊
semoga skincare kita tetep awet sampe sore

📌 Kurahan, Karangrejo, Kec. Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
🎫 Rp 20.000
⏰ 04.00-17.00

RUMAH DOA BUKIT RHEMA (GEREJA MERPATI)

wisata rohani lintas keyakinan 👌

Setelah turun dari Punthuk Setumbu kita langsung menuju mobil dan Huda yang memang nggak ikut naik tanya “loh... nggak sekalian ke bukit Rhema?” ya kita cengo dong... 😒 Kita tahu bahwa Punthuk Setumbu dan Bukit Rhema masih satu kompleks dan lokasinya berdekatan dengan Candi Borobudur, tapi kita nggak tahu kalau ada shortcut yang menghubungkan Punthuk Setumbu dan Bukit Rhema 😅. 

Yawdalaya... Stay positive. Kalau nggak ke mobil dulu kita nggak akan bisa nyimpen barang-barang dan aku nggak akan bisa ganti sepatu 😶. Kebetulan saat itu aku lagi kebagian wear test sepatu, yang namanya sepatu baru 1-2 hari pertama kan masih proses adaptasi ya jadi pasti kurang nyaman. Imbasnya kakiku jadi kemerahan dan membengkak, makanya langsung kuganti dengan sandal.


Jarak dari Punthuk Setumbu ke Rumah Doa Bukit Rhema nggak begitu jauh, kurang dari 10 menit kita sudah sampai di area parkir. Seperti Punthuk Setumbu, untuk menuju Rumah Doa Bukit Rhema kita perlu jalan nanjak (lagi). Tiket Rumah Doa Bukit Rhema dihargai Rp. 20.000 per orang dan tiket Jeep dihargai Rp. 7000 per orang untuk sekali jalan, kalau mau bolak balik tinggal dikali 2 aja ya. Sebenarnya jarak antara check point Jeep dibawah dan check point Jeep di atas nggak terlalu jauh, tapi balik lagi ya... Kita udah terlanjur jompo nih haha 😂😂😂

Kita termasuk beruntung sebab menurut informasi yang kudapat di loket Rumah Doa Bukit Rhema akan ditutup sementara sebab akan direnovasi. Amazed juga sih ya... Ada orang yang membangun rumah doa di tengah-tengah hutan 😄, mungkin yang bersangkutan mengejar ketenangan dan kekhusyukan dalam beribadah. Kalau aku sih boro-boro khusyuk yang ada malah jiper sendiri yha~ 😏.

Menuliskan harapan untuk masa yang akan datang, tapi kayanya isinya sama semua 😂 

Pada dasarnya Rumah Doa Bukit Rhema adalah rumah doa yang terbuka bagi semua keyakinan, at least itulah yang bisa kutangkap dari penjelasan mbak yang ngelubangi tiket masuk. Oh iya... Bentuk bangunan sebenarnya mengambil rupa burung merpati sebab melambangkan kedamaian, kenapa bisa jadi ayam? Kupikir sih gegara burungnya ngendon macem lagi mengerami 😛 Kebanyakan orang menyalahartikan mahkota yang ada di atas kepala burung sebagai jawer.

Ada apa di dalam Rumah Doa Bukit Rhema? Kebanyakan adalah ruang-ruang doa berukuran musholla darurat di mhall, sedang selebihnya adalah hall dan kedai. Di lantai dasar pencahayaannya nggak begitu terang, jalannya berliku dan sedikit pengap, maklumlah bangunannya memang belum selesai dibangun. Untuk naik ke atas (mahkota) kita mesti antri sebab space-nya nggak luas.

intip 😉

view Kedai Bukit Rhema dari hall

view dari kepala merpati, std aja ternyata 😅

menatap masa depan yang menyilaukan 😎

📌 Kurahan, Karangrejo, Kec. Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
🎫 Rp 20.000/orang dan Rp 7000/orang (jeep)
⏰ 08.00-17.00

KEDAI BUKIT RHEMA

nongkrongable banget kan...

Kalau di bagian depan (kepala) kita bisa naik sampai ke atas, maka bagian belakang (ekor) dialihfungsikan sebagai kedai, namanya Kedai Bukit Rhema. Oh iya, saat membolongi tiket kita diberitahu mbaknya bahwa tiket tersebut bisa ditukar dengan welcome snack berupa ketela (singkong) goreng + sambal di Kedai Bukit Rhema, selain itu terdapat potongan harga Rp. 5000 untuk kopi. Trik marketing yang bagus ya sebab kita jadi melipir ke kedainya 👌.

Kita memutuskan untuk ngaso sebentar di Kedai Bukit Rhema atas nama menghabiskan ketela *wae 😁 Makanan dan minuman yang ada di Kedai Bukit Rhema terbilang basic lah ya macem roti atau gorengan harganya juga standar Rp. 7000 – Rp. 25.000 (tax included), jangan khawatir kalau nggak membawa cash karena Kedai Bukit Rhema menerima pembayaran via CC, debit dan Go Pay.

Saranku sih kalau berkunjung ke Rumah Doa Bukit Rhema jangan lewatkan mampir di kedainya, selain menukar welcome snack nggak ada salahnya untuk ngaso sebentar pasca jalan nanjak. Kedainya cukup nyaman sebab ada angin sepoi-sepoinya 😪 view-nya pun nggak kalah ngademin, kita bisa melihat perkebunan dan gunung-gunung yang mengelilingi Yogyakarta, sayangnya hujan belum turun (lagi) jadi sejauh mata memandang yang ada malah kegersangan 😰.

sedikit gombal, biar peka 😌


tootahache pose yang tak pernah syalah... 😁

setelah 4321 take

Hari ini kita memang baru mengunjungi 2 tempat, belum mencapai tengah hari padahal, tapi rasanya raga ini udah jompo gaes haha 😂😂😂 Nggak usah ditanyain lagi gimana pegelnya betis ini 😭 Yakin banget nanti malam langsung pada tepar 😏.

Meski napak tilas AADC 2 fix bikin jompo, kita sangat menikmati momen liburan ini kok. Tetap semangat!!! Masih ada tempat lain yang mesti dikunjungi 😅.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Tadinya aku Cuma berniat nonton review film Bumi Manusia di Youtube-nya Cine Crib, ternyata Cine Crib sedang mengadakan giveaway tiket nobar dongs. Aku jelas (over)excited sebab memang menantikan filmnya dan nggak menyangka akan menonton secepat ini. Menyenangkan sekali bukan mendapatkan hal yang diinginkan di tanggal tuwa pasca liburan yang bikin jompo 😂.

Terima kasih Cine Crib. Terima kasih Kitc. Karena kalian aku nggak perlu syebel kena paparan spoiler yang bertebaran di timeline-ku *love 😘.

Sejak beberapa bulan yang lalu timeline-ku rame gegara film Gundala, akhirnya ya... Indonesia punya superhero sendiri. Wacana mengadaptasikan Gundala ke layar lebar pernah terjadi sebelumnya, saat itu yang
mendapatkan kepercayaan adalah Hanung Bramantyo sampai pernah press con segala 😅 tapi untungnya nggak pernah ada kelanjutan. Bukannya julid, tapi aku nggak yakin Hanung akan cocok untuk genre film action macem Gundala, kurang greget aja gitchu 😏.

Waktu berlalu sampai akhirnya Joko Anwar mengambil alih Gundala dan menjadikannya cinematic universe macem MCU dan DCU. Tadinya aku skeptis sebab cinematic universe adalah original formula dari MCU, terkesan menduplikat gitu ya 😅. Tapi balik lagi mau nggak mau kita mesti menggunakan formula cinematic universe sebab superhero adalah genre baru yang belum terjamah dalam, masih (di tahap) meraba dan mengekplorasi permukannya.

Satu hal yang belum kumengerti, kenapa Bumi Langit Cinematic Universe disingkatnya BCU bukan BLCU? 😮
Bukannya gimana-gimana tapi bagiku BCU adalah #BucinCinematicUniverse 😂.

Gundala adalah film yang diadaptasi dari komik berjudul Gundala Putra Petir karya Harya Suraminata alias Hasmi, komiknya sendiri hype di era 70-80an, cobalah tanya orang tua atau keluarga yang sepuh pasti mereka tahu Gundala. Nggak terkecuali dengan uwak-uwakku ya, mereka tumbuh dengan komik-komik superhero lokal macem Gundala, Godam, Si Buta dari Goa Hantu dan lainnya. Makanya kalau ditanyain tentang Gundala pasti pada kenal 😊.

Aku sendiri nggak familiar dengan Gundala, kalau Si Buta dari Goa Hantu mah masih kezamanan ya sebab ada serialnya. Wiro Sableng juga sih, selain nonton serialnya aku sempat membaca novelnya sembunyi-sembunyi (sebab 13+ 😜). Alkisah, saat keluargaku pindah dari Bandung ke Subang peti yang berisikan komik-komik dan buku-buku tersebut hilang, makanya aku dan sepupuku belum sempat berkenalan, hanya tahu ceritanya.

Kupikir mengadaptasikan Gundala ke layar lebar adalah keputusan yang tepat, sebab kita tahu (dan akhirnya sadar) bahwa kita memiliki SDM yang lebih dari cukup untuk membuat film superhero yang keren, baik dari aktor/aktrisnya, penulisnya, tim produksinya serta siapa pun yang terlibat di dalamnya. Satu-satunya kendala paling klasik yakni per-budget-an sudah terpecahkan sedari awal, sebab Anindya Bakrie dan Erick Thohir turut mencelupkan tangan, well... terlepas dari kepentingan bisnis mereka kini berada di perahu yang sama 👌.

Menaikkan level film Indonesia hingga menembus Hollywood 😁.

Sebagai netyzen yang senang menghabiskan besar waktu dengan rebahan dan mantengin timeline, yang kurasakan dari hype-nya Gundala adalah antusiasme yang positif. Belum pernah merasa seoptimis ini dengan film Indonesia 😊, keren juga sih tim marketing-nya, sebab membuat kita merasa optimis bahkan sebelum filmnya rilis 👍.

Karena ku-follow @JokoAnwar aku jadi mengikuti perjalanannya Gundala, dari tweet yang menjurus (ke arah film), teaser poster tebak-tebakan cast, Bumi Langit Cinematic Universe sampai akhirnya rilis di bioskop, well... bukan perjalanan yang singkat tentcunya. Tapi mungkin itulah yang membuat kita ‘dekat’ dengan Gundala, sebab sense of belonging kita turut tumbuh seiring progress filmnya, thank you Bang Jokan *akrab 😂 sudah berbagi Gundala sejak awal.

Sebagai patriot pertama tentcu Gundala memikul beban yang besar meski sebenarnya masih dalam rangka market test. Oh iya kusuka tagline-nya Gundala; negeri ini butuh patriot, sebab kupikir tagline-nya sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini 👌.

Sedikit FYI.
Kalau dilihat dari sejarahnya, komik superhero (mau itu DC atau Marvel) memang terlahir di saat negara sedang kacau akibat PD II. Sebagai generasi penerus bangsa anak-anak butuh figur yang mampu membangkitkan semangat dan menumbuhkan harapan, di saat seperti itulah (konsep) superhero terlahir. Jangan lupa, banyak karya besar terlahir dari kegelisahan 😌.

Film Gundala (tanpa embel-embel putra petir ⚡) dibuka dengan scene demonstrasi yang berakhir dengan baku hantam antara buruh dan security pemilik pabrik, scene yang ambience-nya mengingatkanku akan Hunger Games, macem di Indonesia tapi bukan di Indonesia. Aku lebih suka scene baku hantam yang pertama sih ya yang kedua mah kurang euy... asa kurang aja persiapannya.

Kupikir agak disayangkan Rio Dewanto mendapatkan peran sebagai Bapak dari Sancaka kecil (Ahmad Mudzakki), sebab artinya Rio Dewanto nggak akan menjadi superhero. Sejak kecil Sancaka memang diceritakan takut terhadap petir, masih belum jelas apa alasannya yang jelas setiap kali ada petir Sancaka selalu lari dan bersembunyi. Setelah kematian bapaknya Sancaka tinggal bersama ibunya (Marissa Anita) namun suatu hari ibunya pergi ke Tenggara sebab BU dan nggak kembali meski sudah berhari-hari.

Banyak yang bilang penceritaan Gundala di awal sesuram flm Batman vs Superman, aku mah nggak mudeng ya sebab udah lupa lagi filmnya gimana 😂 Bagiku penceritaan Gundala di awal malah seperti film horror, ada momen-momen dimana suasana tetiba mencekam, senyap dan yha~ suram. Oh iya apalagi scene mimpinya Sancaka, bang-khek... Ki Wilawuknya (Sudjiwo Tedjo) rasa raja zombie di serial Kingdom 😅.

Sancaka kemudian pergi meninggalkan rumahnya dan berakhir di jalanan, kerasnya jalanan kelak mempertemukannya dengan Awang (Faris Fadjar). Dari Awang, Sancaka belajar bela diri dan bersikap acuh terhadap hal yang bukan urusannya, nggak salah sih sebab kalau terus mengurusi hidup orang lain hidup sendiri bisa jadi malah terbengkalai. Kusuka nih tektokan obrolannya Sancaka dan Awang, cociksnya level Dilan Milea haha 😁.

Kupikir tadinya Sancaka dan Awang akan terus bersama macem duo Vincent Desta, ternyata Awang memutuskan untuk pergi ke Tenggara. Sancaka diajakin kok, Cuma ketinggalan kereta... Suatu hari Sancaka terlibat baku hantam sesama kuli panggul, yaelah... kecil-kecil banyak tingkah 😌. Sancaka kemudian dikejar geng kuli panggul cilik dan diselamatkan oleh pasutri yang membukakan pintu mobilnya. Meski baru bertemu pasutri tersebut menodong agar Sancaka mau menjadi anak asuhnya.

Well... setelah film Gundala rilis banyak fan theory yang ikut berpartisipasi, salah satunya adalah konsep what if. What if adalah konsep franchise Marvel (terbaru) yang menjungkirbalikkan asbabun nuzul-nya superhero. Kaya gini nih, gimana kalau Bucky yang mendapatkan kesempatan mencoba serum Captain America bukannya Steve Rogers? gimana kalau T’Challa mati beneran saat berduel dengan Killmonger? Akan menjadi Black Panther macem apakah Killmonger? Yap. semacam itulah... 😄.

Nah, di Gundala konsep what if itu disisipkan dan diterapkan oleh pasutri yang menolong Sancaka. Sebab, kalau di komik Sancaka menerima tawaran pasutri tersebut dan tumbuh menjadi ilmuwan yang kelak menemukan serum penangkal petir. Karena saat ini hidup adalah pilihan dan kemakan sugestinya Awang yang disiksa pasca diangkat menjadi anak asuh pasutri kaya, Sancaka memilih untuk keluar dari mobil dan berlari...


Berlari...


Berlari...


Berlari...


Dan berubah menjadi Abimana 😁

Sancaka dewasa (Abimana Aryasatya) melanjutkan hidupnya dengan bekerja menjadi security di percetakan koran. Sebab kini semua serba digital, melihat percetakan koran macem gini malah jadi nostalgia, zamannya Peter Parker dan Clark Kent 😏. Film terakhir yang kutonton dan berhubungan dengan scene percetakan koran adalah film The Post, udah lama juga yaini hampir 2 tahun yang lalu. Eh, FYI aja sih ini 😅.

Kalau Awang bersikap acuh terhadap hal yang bukan urusannya, lain halnya dengan Pak Agung (Pritt Timothy) yang selalu mengingatkan Sancaka agar nggak terlalu acuh dengan keadaan sekitar sekalipun bukan urusannya. Pak Agung ini adalah partner kerjanya Sancaka di percetakan koran. Kusuka nih Pak Agung, karakternya okcoy khas bapak-bapak yang kerjanya berpengalaman namun tetap cari aman, tektokan obrolan Pak Agung dan Sancaka pun nggak kalah asyik.

Di paruh kedua inilah kita diperkenalkan dengan Wulan (Tara Basro) dan Tedy (Bimasena) tetangganya Sancaka, mereka diperkenalkan secara nggak sengaja oleh Ito Marbun (Tanta Ginting) dan Fadli Aziz (Donny Alamsyah). Salah satu memorable scene-nya adalah saat mereka kesamprok Sancaka yang sehat wal afiat di pasar, epic banget laini ekspresi para preman yang heran “hah? Lu belum mati??” FTW... 😂😂😂.

BTW. Tara Basro cakep banget saat pake rok dan kaos V-neck 😍.

Ohiya. Scene saat Sancaka hujan-hujanan diluar dan tersambar petir berkali-kali membawa imajinasiku pada karakter Elektra di bukunya Dee Lestari yang Supernova: Petir, kayanya bakal seru deh kalau bikin crossover Gundala X Elektra 😜. Peroses eskplorasi kekuatannya Sancaka bisa dibilang cukup singkat, tapi cukuplah untuk melawan para preman. Meski kostum awalnya nggak banget, kuyakin kedepannya akan bermunculan versi dupe-nya yakni jaket Gundala KW sejuta, gimana aja baju koko Wakanda dan jaket denim Dilan.

Kupikir pengenalan tokoh Pengkor (Bront Palarae) lebih ngena ketimbang Sancaka sebab lebih singkat, padat dan jelas. Seenggaknya kita nggak perlu dibingungkan dengan sikapnya Sancaka kecil yang lebih memilih memegang tameng security ketimbang goyangin badan bapaknya. Ditilik dari kelakuannya, kupikir Pengkor ini adalah sebenar-benarnya interpretasi dari yang mengaku wakil rakyat, yang berbicara atas nama rakyat namun sebenarnya menelusup bagai duri dalam daging.

Tadinya kupikir Ridwan Bahri (Lukman Sardi) adalah antek-anteknya Pengkor di pemerintahan, ternyata bukan, gimana dengan Hasbi (Dimas Danang)? Masih dipertanyakan yaini, sebab Pengkor pasti butuh orang dalam untuk mengawasi gerak gerik Ridwan Bahri. Selain Ganda Hamdan (Aqi Singgih) sebagai anggota dewan boneka didikan Pengkor, ada Ghani Zulham alias Ghazul (Ario Bayu) yang mepet Pengkor mulu.

Eym... Belum lengkap rasanya kejahatan kalau belum ada Teuku Rifnu Wikana haha 😂😂😂 Kudoakan semoga beliau tetap sehat dan dilirik Joko Anwar jadi villain di BLCU 🙏.

Anak-anak bapak yang tersebar di seluruh negeri kembali dikumpulkan, agak ganjil memang, kok bisa Pengkor dan anak-anaknya tahu dimana Gundala berada, tapi yasudalah... semoga plot hole ini bisa ditambal di film selanjutnya.

Anak-anak inti bapak saat ini adalah; Cantika alias Camar (Hannah AlRasyid), Tanto Ginanjar (Daniel Adnan), si pelukis (Cornelio Sunny), Desti Nikita (Cantika Abigail), Mutiara Jenar alias Bidadari Mata Elang (Kelly Tandiono), Sam Buadi (Aming Sugandhi), Kamal Atmaja (Ari Tulang), Adi Sulaiman dan Swarabatin (Cecep Arif Rahman).

Kalau kata buk-ibuk kompleks waktu belanja sayur mah: “wah anak-anaknya Bapak Pengkor ‘jadi’ semua ya...” 😀.

Bisa dibilang Gundala ini bertabur bintang, termasuk cameo-nya. Surprise... Ada Aming dongs. Aku baru ngeh saat melihat foto-foto premier Gundala di IG heran kenapa bisa ada Aming (sampai niat nyari di Google, keyword-nya: Aming jadi siapa di Gundala? 😂). Satu lagi, aku benar-benar nggak menyangka bahwa Kamal Atmaja adalah Ari Tulang, kukira doi adalah KWannya musuh Steven Chow yakni si master kodok di film Kungfu Hustle 😅.

Kuyakin siapa pun nggak perlu berfikir panjang kalau ditawarkan bergabung di BLCU, sekalipun hanya sebagai cameo barang 4-5 detik. S/he’ll take it.

Eh iya, Adi Sulaiman dan Desti Nikita ini kembar nggak sih? Kelakuan freak-nya agak mirip soalnya, bolehlah sedikit disamakan dengan Harley Quinn 😌. Tapi jujur sih, Desti Nikita teriaknya menye-menye nyebelin, belum kena tabok aja udah teriak 😥. Minta ditabok beneran ini mah haha 😂 Tasnya juga nih, bata bukan isinya? Secara tools berantemnya adalah tas, kupikir seharusnya ada fitur khusus atau ada spike-nya atau apalah biar lebih
cociks 👌.

Kalau untuk ukuran zaman sekarang mungkin serum amoral nggaklah keren, terlalu mengawang-awang dan agak ‘meh!’, tapi balik lagi ya Gundala ini adalah adaptasi dari komik dan cerita di komik memang begitu. Banyak fantasinya, sedikit logikanya. Eh tapi, kita begini sebab sudah dewasa ya sehingga segala hal mesti disikapi dengan realistis dan ada pembuktian.

Sebenarnya Pengkor bukan hanya menciptakan kekacauan dan kepanikan atas serum amoral, melainkan juga hoax. Coba deh diingat lagi filmnya, serum amoral nggak berbeda jauh dari racun biasa hanya saja di-branding dengan lebih apik, toh tujuan semua ini adalah untuk memunculkan Gundala bukan? Disini wajah Ghazul mulai terbaca, bukan hanya sebagai partner in crime-nya Pengkor namun juga dalang di baik dalang.

Aduh... udah panjang banget yaini haha 😁
Sebenarnya masih banyak yang ingin kubahas tentang Gundala, namun atas nama bosan (sebab mandek hampir sebulan) dan merasa sudah terwakili oleh cuitan netyzen di timeline-ku. Kupikir sudah cukup disini aja  yay haha...

Untuk saat ini Gundala memang belum menjadi tribute ter-favorite kita semua (sebab masih menunggu yang lainnya) tapi kita semua faham Gundala adalah mockingjay-nya.

Next.
Perempuan Tanah Jahanam maybe? 😏
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates