Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.

Pasti diantara kalian pernah ada yang ngalamin ketemu temen lama entah itu di jalan, di resepsi atau di reuni, dia (temen tsb) berusaha untuk kembali dekat dengan cara yang menurut ukuran zaman sekarang ‘agak annoying’. Kalau sebatas nge-chat atau comment di IG kayanya masih wajar ya meski kadang kita masih suka males bales karena crispy *heu, tapi lain lagi ceritanya kalau dia udah datang ke rumah dan ngasih-ngasih hadiah tanpa sebab yang jelas.

Semacam “apa sih maunya?”.

Mungkin sebagian orang akan beranggapan yang berlalu biarlah berlalu, kalau pernah ada salah atau kenangan di masa lalu, yaudahlah... nggak usah dibaperin lagi toh masa lalu nggak bisa dirubah, yang ada sekarang mikirinnya masa depan hehe Nah, sedangkan sebagian lagi masih belum bisa move on dan setia pada masa lalu, sekalinya ketemu langsung baper sebaper-bapernya.

Ada banyak alasan kenapa kita kita masih suka baper, cinta yang belum usai, naksir yang diem-diem, kesel yang berkepanjangan atau amarah yang tak berkesudahan, well ... intinya, baper adalah akibat dari urusan-urusan yang belum selesai. Kadang suka kepikiran kok ada ya orang yang masih bisa survive dengan urusan yang belum selesai itu? Beresin kek, setahun dua tahun mah wajar tapi kalau sampai belasan tahun atau malah berpuluh-puluh tahun; “situ sehat?”, “apakabar hatinya?” *eh

Gimana kalau ternyata temen kita masih merasa baper padahal kitanya udah mantap move on? Bingung juga yha~ karena nggak mungkin dong kita mengorbankan apa yang sudah dimiliki saat ini demi masa lalu orang lain, tapi ... lebih nggak mungkin lagi untuk mengontrol perasaan seseorang pada kita. Ya?

*Pasti pada mikir dulu sebelum jawab “ya”


The Gift adalah salah satu film yang menjadikan masa lalu sebagai ‘alasan’ kenapa urusan yang belum selesai bisa menjadi duri di kemudian hari. Bukannya menakut-nakuti, namun terkadang orang sanggup melakukan hal-hal mengerikan dan nggak reasonable atas nama masa lalu yang masih belum usai.

Simon Callum (Jason Bateman) dan Robyn Callum (Rebecca Hall) adalah sepasang suami istri yang baru saja pindah dari Chicago ke Los Angeles, mereka tinggal di kawasan suburb dekat kampung halaman Simon. Sehari-hari Simon bekerja sebagai kontraktor sedangkan Robyn tinggal di rumah karena masih dalam proses pemulihan pasca keguguran.

Suatu hari mereka bertemu dengan Gordon “Gordo” Moseley (Joel Edgerton) teman SMA Simon saat sedang berbelanja di mall. Adalah suatu kesopanan untuk berbasa basi, namun basa basi tersebut ditanggapi dengan serius oleh Gordo, Setelah pertemuan tersebut Gordo rajin menghadiahi Simon dan Robyn, meski tanpa ada maksud apa pun lama-kelamaan mereka merasa risih, terlebih lagi saat Simon mengetahui Gordo sering mengunjungi Robyn saat ia tak ada.

Puncaknya adalah ketika Simon menyalahkan Gordo lantaran anjingnya hilang, ia mengancam Gordo agar tidak mendekati keluarganya lagi. Di masa-masa tenang itu Robyn akhirnya hamil (lagi), mereka menjalani kehidupan yang normal sampai suatu hari Robyn menanyakan perihal Gordo kepada kakak iparnya (kakak Simon). Meski tidak berteman akrab, Simon pernah menyelamatkan Gordo saat SMA.

Disini Robyn mulai kepo, ia mencari tahu tentang Gordo dan hubungannya dengan Simon di masa lalu lewat temannya Simon. Apa yang ia temukan selanjutnya lebih mengejutkan, rahasia kelam antara Simon dan Gordo membuat Robyn mempertanyakan seberapa jauh ia mengenal Simon.


Awalnya kupikir The Gift adalah film drama atau apalah yang nggak rame-rame banget, ini juga nggak sengaja nonton karena nggak ada film yang menarik di TV. Padahal The Gift adalah film ber-genre psycho thriller, bukan ber-genre drama apalagi ber-genre comedy romantic seperti yang tersirat di judulnya dan yang paling penting nih twist ending-nya bener-bener bikin hati mencelos “jirr... KZL”

Dalam review-nya My Dirt Shirt menuliskan bahwa; The Gift mengaburkan batas antara karakter  protagonis dan antagonis. That’s true! Kita akan dibuat bingung sebingung-bingungnya, sebenernya siapa sih karakter yang jahat dan siapa karakter yang baik, well... jangan siya-siyakan waktu untuk menebak-nebak karena masing-masing karakter memiliki point of view dengan porsi kekuatan yang balance.

FYI. The Gift bukan film dengan unsur LGBT ya, Simon dan Gordo nggak pernah saling naksir apa gimana di masa lalu, masalah utamanya lebih ke arah habit. Ya itu sih... yang namanya habit kalau nggak dibenerin bakalan berlanjut sampai tua atau sampai kena tulah hehe Sweet revenge-nya Gordo nggak akan pernah terjadi kalau saja Simon mau berdamai dengannya. Dengan masa lalunya.

The Gift membuatku lumayan tersadar *ehe kalau mau nikah mesti background check dulu, kalau perlu hire PI haha Karena kita nggak pernah tahu kan sekelam apa masa lalu seseorang. Makanya nih kelen-kelen, para kids zaman now mesti baek-baek ya di internet, siapa tau nanti ada yang scrolling down sampai ke dasar timeline.

The Gift memang nggak seperti film ber-genre psycho thriller lainnya yang setting dan ambience berpotensi menimbulkan ketegangan. The Gift lebih casual namun dieksekusi secara lugas. So... bagi kalian yang ingin coba-coba menonton film ber-genre psycho thriller namun males tegang tontonlah The Gift. Ringan tapi menusuk. Yha~

You think you’re done with the past but the past is not done with you
(Gordo The Weirdo)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Justice League rilis di Indonesia sekitar 2 minggu setelah Thor: Ragnarok, gambling juga ya DC ini *ehe 😏 Well ... nyatanya 2 minggu belum cukup untuk menyingkirkan euphoria Thor yang meriah. Digadang-gadang akan keren, Justice League hadir untuk menjawab tantangan publik mengenai The Avengers versi DC dengan anyepnya... 😐

Okay, dengan melempemnya... 😫

Pembagian porsi karakter yang kurang balance memberikan kesan bahwa yang menjadi partner hanyalah Batman a.k.a Bruce Wayne (Ben Affleck) dan Wonder Woman a.k.a Diana Prince (Gal Gadot), sedangkan The Flash a.k.a Barry Allen (Ezra Miller), Cyborg a.k.a Victor Stone (Ray Fisher), Aquaman a.k.a Arthur Curry (Jason Mamoa) adalah sidekick-sidekick berbakat yang menanti untuk ditemukan.

Pemaparan latar belakang karakter Justice League tidaklah diperlukan jika DC sudah memiliki film-film teaser, tapi nggak ngaruh juga sih toh ada banyak plot hole yang menganga terbuka minta banget disumpel 😪. Hubungan rumit antara Batman vs Superman a.k.a Clark Kent (Henry Cavill) yang seharusnya menjadi scene pergulatan batin maha serius malah membuat karakter Batman keliatan baperan, nggak asyik nih, dikit-dikit inget... *eh 😥

Justice League bercerita tentang bumi yang kembali disambangi Steppenwolf (Ciaran Hinds) setelah menerima panggilan dari mother box yang mirip tesseract  yang disembunyikan oleh 3 bangsa besar yang pernah menghalanginya (menguasai bumi) ratusan tahun silam, yaitu Amazon, Atlantis dan manusia.

Nggak seru kan ya kalau musuhnya nggak punya pasukan, nah pasukannya Steppenwolf ini berwujud serangga atau sejenis peranakan silangnya yang dinamai Parademons. Parademons jugalah yang bertugas untuk memantau serta mencari mother box, baru setelah ketemu Steppenwolf datang dan ngambil sendiri mother box-nya.

Meski sudah bersatu menjadi Justice League, mereka (superhero) sudah kewalahan menghadapi Steppenwolf dan antek-anteknya, mereka kemudian berusaha membangkitkan Superman karena hanya Superman-lah yang sanggup mengalahkan Steppenwolf.

Ehm. Premis yang familiar yha~... Sebab Optimus Prime pun sudah pernah dibangkitkan Sam Witwicky demi mengalahkan The Fallen. Tapi kita ngerti kok, DC ingin menunjukkan bahwa Superman adalah superhero penting di DC Universe makanya di film Batman Vs Superman: Dawn of Justice doi dimatiin dulu biar kitanya girang kaya pas liat Barbossa dihidupin lagi Tia Dalma di film Pirates of The Carribean, padahal mah yah... Hmm... 😶

Moment kebangkitan Superman kayanya emang beneran bikin baper Batman deh... Disaat Justice League berusaha menenangkan Superman yang bingung “Aku dimana? Aku siapa? Aku apa?” 😢Batman malah ngilang dan datang terakhir, disini aku curiga jangan-jangan dari tadi Batman ngeliatin Superman dari jauh sambil mengelus dada dan mengusap air mata di pojokan. Terharu. 

Aku nggak begitu faham ya kenapa hubungan Batman dan Superman bisa segitunya, dulu enggan nonton film Batman Vs Superman: Dawn of Justice karena review-nya nggak asyik. Henry Cavill bener-bener sesuai dengan penggambaran Superman di komiknya, dagu belah, wajah mulus, rambut rapi (dengan sehelai dua helai yang menjuntai) dan senyum Pepsodent, pokoknya ganteng versi 80’s. Cuma ya itu karena komik banget wajahnya jadi berasa apa ya... fana haha 😂😂😂

Scene Superman dan Lois Lane (Amy Adams) di ladang jagung kayanya nggak penting-penting amat yha~ karena fake! Those CGI isn’t worked well. Sunset tidaklah sedramatis itu ... 😔

Batman adalah otak di balik Justice League seperti Iron Man yang menjadi backup utama Avengers, bedanya dengan Iron Man Batman bekerja sendiri tanpa dukungan pemerintah atau ARGUS. Scene terbaik Batman di film ini adalah saat ditanya oleh The Flash; “what is your super power again?” yang dijawabnya dengan; “I’m rich”.

Alright... No caption needs sir...

Mungkin seharusnya bukan Batman Vs Superman: Dawn of Justice, tapi Batman Vs Iron Man: Damn It Just Ice. Ketika drama rebutan batu akik resmi tamat dan DC banyak project tapi butuh pengembangan ide cerita.

Sumvah ini ya yang jadi MUA artist-nya Wonder Woman juara bangetlah, nggak ada istilah make-up retak apa luntur meski udah gulang-guling kesana kemari. Teuteup gorgeous meski udah kena tabok berkali-kali, yawla sebenernya Wonder Woman itu manusia apa bukan sih? Kok mulus terus *eh *gagalfokeus

The Flash adalah Spiderman versi DC, sama-sama masih muda, geek dan banyak omong 😁 Karena kekuatan The Flash adalah kecepatan maka scene-nya kebanyakan slow motion, nah slow motion scene inilah sumber joke’s Justice League.

Tadinya kupikir Cyborg ini adalah musuh Justice League 😏 Bentukannya masih belum sempurna karena doi masih labil, karakternya emang keren sih bisa connect ke internet tanpa harus ada sinyal wifi , jadi bisa stalking sampe ke dasar samudra *eh calon-calon infocemen  neeh ...

Dan yang terakhir ada Khal Drogo haha Tau nggak sih dulu pas tau ada karakter DC yang namanya Aquaman yang kepikiran malah ... apa coba? Deny manusia ikan haha dibilang duyung bukan dibilang manusia juga bukan kan ya?

Hal yang agak genggeus menurutku adalah super power yang dimiliki para superhero, apa semua yang jadi superhero mesti bisa terbang? Kalau loncat jarak jauh sih pasti tapi ini mah terbang loh ... terbang! The Flash juga kaya yang ambigu, sebenernya kekuatannya kecepatan atau petir sih? atau emang kilatan petir?

Kalau ada yang tanya “bagus nggak Justice League?” aku pasti bilang “bagus” tapi kalau pertanyaanya dilanjut dengan “bagusan mana sama Thor: Ragnarok?” yha~ jelaslah Thor: Ragnarok lebih unggul. Kalau diliat-liat penggunaan tone color di filmnya DC lebih gloomy dan serius sedangkan Marvel lebih warm dan atraktif.

Persaingan antara Marvel dan DC ini agak mirip-mirip ya dengan Alfamart dan Indomaret, maksain berdampingan biar costumer membandingkan *ehe Nggak tahu ya tapi menurutku Marvel vs DC  mulai slek sejak Chris Evans yang berperan sebagai Johny Storm di film Fantastic Four ‘dicuri’ Marvel untuk berperan sebagai  Steve Rogers di film Captain America.

Sayangnya DC nggak segercep Marvel yang langsung ‘melempar’ superhero-nya satu-persatu ke market. Ketimbang mengikuti Marvel yang membuat film-film teaser yang berakar pada The Avengers, DC malah membuat Suicide Squad yang (bagiku) terasa ‘dangkal’ dan maksain banget nyaingin. Semacam; YANG PENTING ADA DULU DEH.

Untuk film bertema superhero Justice League nggak jelek-jelek amat, lebih bagusan (daripada Suicide Squad) malah meskipun plot hole bertebaran,  Cuma ya itu jangan pernah nginget-nginget film Marvel pas nontonnya haha

Susyeh kan bok! 😂😂😂
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Meski bukan fans Marvel garis keras aku cukup mengikuti film-film superhero-nya Marvel,  sejak jantung Tony Stark masih berdetak dan Piper masih jadi sekretaris sampai kini Thor pake helm. Ketika Marvel mengumumkan judul film Thor terbaru adalah Ragnarok, yang kepikiran malah game online yang pernah populer di masa kuliah; Ragnarok online.

Eym... seriously? Game online-nya si Thor? 😕

Kalau mau terus sotoy; “Emang game online The Avengers yang di Facebook udah nggak ada yang mau maen yha~?” 😏

Thor: Ragnarok adalah film Thor ketiga setelah Thor (doang) dan Thor: The Dark World, sekaligus film kesekian diantara film-flm superhero Marvel lainnya yang bakal bikin capek kalau diketik satu persatu. Dalam mitologi Nordik (Norwegia, Swedia dan sekitarnya) keluarga besar Thor adalah dewa-dewi yang diimani oleh bangsa mereka dan Ragnarok adalah doomsday prophecy yang dipercayai akan mengakhiri kehidupan dewa dewi tersebut.

Singkat cerita, Odin (Anthony Hopkins) wafat meninggalkan Thor (Chriss Hemsworth) dan Loki (Tom Hiddlestone) yang masih shock menghadapi kenyataan adanya anak lain selain mereka. Seperti drama keluarga masa kini, anak yang tidak diakui itu datang tepat saat si ayah meninggal dan langsung meminta jatah warisan tanpa ingin memikirkan nasib anak-anak yang lain. Anak sulung Odin ini adalah Hela (Cate Blanchett) si dewi kematian yang diasingkan karena ambisinya.

Thor dan Loki ‘ditendang’ dari Asgard dan terdampar di planet bernama Sakaar, karena terjatuh di koordinat yang berbeda Thor dan Loki terpisah (lagi). Thor ditangkap dan dijadikan budak oleh Scrapper 142 (Tessa Thompson), sedangkan Loki disambut dengan meriah oleh Grandmaster (Jeff Goldwin), tadinya kupikir Grandmaster ini adalah Taneleer Tivan (Benecio Del Toro) kolektor yang sempat dititipi infinity stone oleh Lady Sif (Jaimie Alexander). Maklum ye gaya mereka berdua sungguh sangat ke-Capitol-Capitol-an 💅💇💋

Padahal Scrapper 142 aslinya adalah Valkyrie terakhir yang selamat saat pertempuran besar dengan Hela, kerjaannya saat ini mirip-miriplah dengan Peter Quill (Chris Pratt) eh, jangan-jangan mereka pernah kerja bareng yha~ 👏 ia menikmati hidupnya dengan mabu’mabu’an dan ‘main’ dengan Hulk (Mark Ruffalo). Scene ‘kayaknya gue kenal deh ...’ antara mereka berdua juga kocak parah 😎.
Scene doi turun dari kapal dalam keadaan teler jurdun bangetlah 😂 mana diulang lagi 😂 gibliks 😹😹😹.

Banyak yang me-review kalau scene gladiator Thor X Hulk adalah scene terbaik, itu udah pasti ya, apalagi di saat Loki komentar “that’s what I feel... ” 😋. Hulk yang sebelumnya hilang kontak dengan anggota Avengers terdampar di planet Sakaar dan amnesia lama karena terjebak di ‘dalam’ Hulk. Sebagai anggota paksa tim Revengers, Hulk adalah satu-satunya yang tidak memiliki hubungan dengan Hela

Kalau di film Marvel sebelumnya Loki digambarkan sebagai pembuat onar, di film Thor : Ragnarok diperlihatkan bahwa meski culas dan sarkas Loki masih punya nurani, hubungannya dengan Thor yang awet tapi rajet menjadi lebih manusiawi, lebih bersaudara (meski adopsi). Banyak scene dan joke’s yang menunjukkan kalau ada chemistry diantara mereka berdua, versi su’udzon-nya ya... Loki pasti punya rencana jahat cadangan, nggak mungkin juga dong Loki melewatkan tesseract begitu aja saat mencari Kepala Surtur 😏.

Sebenernya ya kekuatannya Hela parah gila, ia sanggup membangunkan pasukannya dan Fenrir (piarannya) dari kematian. Di satu sisi Hela ini jahatnya kebangetan namun di sisi lain ia adalah pewaris sah takhta Asgard dan ingin meneruskan legacy-nya Odin, ia dihilangkan dari sejarah Asgard karena sejarah hanya ditulis oleh bangsa yang menang *faedah dengerin omongan Pici 😉.

Di masa lalu Odin memang pernah berambisi menguasai semesta, namun melihat Hela yang semangat banget membantai musuh-musuhnya tanpa ampun membuatnya berfikir ulang mengenai tujuannnya, genosida tidak akan membuatnya menjadi pemenang melainkan menjadi pecundang. Demi mencapai tujuan (baru)nya Odin mencampakkan Hela dan mengabdikan dirinya menjaga semesta demi menebus dosa masa lalunya. Disini baru deh kepikiran, jangan-jangan turning point-nya Odin adalah saat menemukan baby Loki, bisa jadi ... 😉

Pencitraan nyaman ala Odin akan sempurna kalau Hela tidak pernah kembali dari pengasingan, sayangnya... Hela datang disaat yang paling tepat. Thor yang sama sekali tidak berminat menduduki takhta Asgard VS Loki yang sekalipun berminat menduduki takhta Asgard namun kepentok dengan statusnya yang Cuma adopsi. Tanpa perlu perseteruan rumit ala Games of Thrones, Hela menang telak 👑.

Matinya 3 warriors (minus Lady Sif) cukup membuat KZL. Siapa lagi yang bisa diandalkan Thor di Asgard? Disinilah diperlihatkan betapa pentingnya Heimdall (Idris Elba), kalau nggak ada Heimdall mungkin Hela udah mindahin isi neraka ke Asgard. Scene Heimdall nolongin anak-anak Stark di hutan bener-bener nyentil serial Games of Thrones yha~. Coba deh hitung berapa jumlah anak-anaknya? Terus urutin gender-nya... Ya kan? Ternyata anak-anak Stark selama ini diurus Heimdall *heu

Yang bertugas sementara menggantikan Heimdall adalah Skurge (Karl Urban), karirnya yang mandek menjadikannya pengabdi Hela yang sama sekali nggak loyal. Tadinya kupikir yang berperan sebagai Skurge adalah aktor yang udah sering jadi penjahat, eh pas nyari daftar cast-nya ternyata Karl Urban yang kece, yha~ musynah syudah harafanque melihatnya jadi tim sukses Avengers.

Banyak perubahan pada Thor, bukan Cuma dari segi penampilannya namun juga karakternya, kalau di film-film sebelumnya karakter Thor hampir selalu digambarkan dengan; agak serius dan berwibawa, di Thor: Ragnarok Thor ini... ae lah... macem jokes receh umat Twitter. Recyehh .. serecyehh-recyehhnya cyn... 🤣🤣🤣

Di awal-awal film kita disuguhi breathtaking scene; Mjolnir hancur. Bete juga ya ngebayangin Thor nggak sakti lagi tanpa palunya, sempet kepikiran Thor harus berserah diri seperti di film pertama supaya Mjolnir bisa kembali utuh dan balik lagi. Ternyata nggak gitu ya, ada alasan kuat mengapa Mjolnir mesti dihancurkan. Well... julukan Hammer’s God syudah so yesterday, lebih cucok Thunder God ⛈. Sepertinya Taiki Waititi ingin menunjukkan kalau Thor memang benar-benar dewa meski tanpa senjata, yes, tools hanyalah perantara skills.

Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) yang muncul sebagai cameo di awal film sudah menunjukkan progress yang signifikan dalam mempelajari mystical art. Skill-nya sudah berkembang dan terlihat fasih saat menggunakan kekuatannnya,  yang mana mau tak mau membuatku berfikir ; jangan-jangan nih... sekuelnya lagi digarap 😆

Selain menjadi produser Taiki Waititi juga mengisi suara Korg, alien batu revolusioner yang menjadi teman sejenak Thor, tak sulit untuk membedakan mana yang benar-benar memiliki sense of humor mana yang tidak. Dari tone suaranya sudah bisa ditebak ia adalah tipikal orang yang kocak haha sotoy...

Soundtrack-nya Thor: Ragnarok adalah Immigrant Song yang dipopulerkan oleh Led Zeppelin, pernah juga jadi soundtrack-nya film The School of Rock. Makanya tiap kali ada lagu ini yang kebayang malah si Dewey Finn (Jack Black) lagi nyanyi-nyanyi sok asyik di panggung. Eh, udah pada nonton belum The School of Rocks?

Meski masih agak sulit untuk menyebut Thor: Ragnarok tanpa embel-embel online di belakangnya ⌣, Thor: Ragnarok ini adalah film yang paling berwarna diantara film-film superhero Marvel lainnya. Lebih menghibur karena banyak jokes, terlalu banyak malah, tapi bagus sih karena kita bakal lebih banyak ketawa ketimbang ikutan pusing mikirin “ini gimana cara matiin si Hela?” *yakali TV 😳.

Bukan Marvel namanya kalau nggak ada linked credit, bukan Marvel juga namanya kalau nggak ada spekulasi. Karena semua film superhero Marvel sambung menyambung menjadi satu, maka selalu ada spekulasi mengenai siapa yang bakalan ketemu siapa di film selanjutnya atau superhero mana yang akan difilmkan? Meski sebenarnya kita semua udah tahu ya inti dari film superhero Marvel adalah satu galaxy rebutan batu akik .

In the end...
Me are me...
You are you...

(Thor to Loki in the lift)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Well ... mungkin ini adalah kesekian kalinya pertanyaan itu muncul di benakku “Kenapa kita nggak (ada yang) jadi selebgram atau Youtubers?” *kaya orang-orang.

Eh. Pertanyaan sejuta umat kali ya ...

Saat  ini Selebgram dan Youtuber adalah cita-cita populer yang jadi dambaan kids zaman now, lebih didamba ketimbang jadi presiden atau dokter seperti di zaman kita dulu. ((kita)). ‘Katanya’ kita ini generasi instan yang dimanja teknologi makanya agak sulit untuk diajak susyah, selalu ingin jalan pintas, jadinya ya seperti selebgram-selebgram atau youtuber-youtuber inilah. 

Siapa sih yang nggak tergiur dengan kehidupan menyenangkan ala selebgram dan youtuber, yang kerjaannya keliatannya Cuma foto-foto, Cuma jalan-jalan atau Cuma menghadiri event tapi bisa dapet endorsement dan diundang kesana kesini dengan titel influencer. 

Selain tampang yang mau nggak mau mesti kece, background yang hype serta referensi style ala fashionista, tools pendukungnya mesti canggih. Apalah artinya semua itu kalau di-capture-nya pake kamera 2.0 MP. Ya kan?

Hidup ini keras ya ... adek-adek ...

So far, di circle teman-teman seangkatan sekolahku (TK, SD, SMP & SMA) belum ada yang jadi selebgram atau youtuber, kalau yang jadi reseller Cireng Banyur atau punya online shop mah ada *heu. Kita juga sering heran, kenapa kok diantara kita semua nggak ada yang jadi selebgram atau youtuber, minimal bibit-bibitnya lah ... nyoba-nyoba membuat tutorial hijab kek atau posting foto sebadan-badan dan nge-tag semua IG brand yang barangnya lagi dipake.

Ada sih beberapa, tapi nggak banyak dan itu pun Cuma kasih testimony. Kita ini termasuk golongan orang-orang yang jarang posting foto yang aesthetic atau sekedar bikin vlog “hai guys, kita lagi ada di ...” dengan muka sebagai centre of attention. Kita lebih suka posting foto atau video yang menurut kita adalah sumber kebahagiaan hidup, meski hanya dimengerti oleh diri sendiri dan inner circle pun sudah cukup. 

Kalau memang posting foto nge-blur pas kakinya lagi nyelup di air lebih membuat kita bahagia ketimbang foto HD pas kakinya lagi nyelup di air dengan komposisi dan tone color yang mesti di-setting dulu, kenapa mesti risau? Bahagia itu (sifatnya) receh ya, meski nilainya berbeda-beda bagi setiap orang intinya sama; sederhana. 

Kadang suka kepikiran, apakah orang-orang yang fotonya aesthetic menikmati moment yang fotonya mereka ambil? Atau mereka malah menikmati moment yang didapatkan dari foto? Eh. Tapi itu mah relatif ya, da bahagia juga relatif.

 

Bukan mau sombong ya, tapi kita mau belagu haha 

Kita sudah pernah merasakan masa-masa dimana gadget semacam digicam, camcorder dan handycam adalah tools maha penting untuk pencitraan. Apalagi kalau bukan untuk foto profile Friendster, serius loh ini, kita bahkan sampai pernah meluangkan satu hari penuh hanya untuk jalan-jalan sambil mencari spot keren untuk materi foto profile. 

((spot keren)) *antara Mesjid Agung Garut dan Toserba Asia.

Dulu kita menganggap diri kita ini paling eksis karena hampir setiap hari kerjaan kita foto-foto mulu, ngerekam-rekam mulu, nyampah-nyampah mulu, berasa rugi kayanya kalau digicam dianggurin Beruntungnya, temen-teman yang punya digicam apa camcorder apa handycam nggak pelit ngojekin, sok-sok aja asalkan di-charge dan diurus. Memory card isinya foto temen-temen semua, yang punyanya mah bagian nge-burn ke CD #thuglyfe

Nggak kebayang ya kalau di masa sekolah udah kezamanan Instagram atau Youtube, bisa-bisa hampir setiap hari bikin konsep foto dan materi vlog. Nggak ada yang mau nonton kita pentas drama di Lailah At-Tashliyah, yang ada kita malah sibuk bikin drama hidup masing-masing. Malah bisa-bisa kita bikin channel Youtube angkatan geura haha


Pagi-pagi di asrama; “Haii ... masih ngantuk nih tapi mesti sekolah, Ya Allah kuat ka tunduh kieu ...”. “Barudak ningal sapatu abi teu?”. “Eh, udah ada yang beres PR Fisika belum? Nyalin atuh ...”. “Hari ini kita makan apa sih? Enak nggak? Kalau nggak mau puasa ah ...”.

Nunggu guru datang (pelajaran kosong); “Haii barudak!!! Lagi apa?” *kemudian di zoom satu-satu. Mamih + Anis lagi serius ngerjain PR Matematika untuk contekan, Icunk lagi nyobek-nyobek kertas untuk kocokan arisan, Ringring lagi main gimbot sementara tangan yang satunya lagi ngetik sms, Marella lagi nyanyi track ke 5 album kompilasi Super Fresh dan Eneng ... Yahh ... lagi ‘tatapan kosong’.

Mau makan siang; “Haii ... Kita sekarang lagi mau makan nih di ruang makan ... Menu hari ini sama ikan goreng pleus sambel goreng kentang ... Sebentar ... Sebentar ... Kita metik cengek dulu yuks di Lab Fisika, mau nyambel”. “Ana atos teu acan?”. “Muhun Ucunk ... Sabar ya ...”.

Ngantri di kamar mandi; “Hellohh ... Haii ... Berapa bata? Tuhh kan diselak ...”

Khusus untuk hari Jum’at opening scene-nya “Dear guise ... kita sekarang lagi mau jalan-jalan nih ke Cipeujeuh ... Mau makan naskun di saung deket kebon engkol. Ikutin terus kita yha~”.


Ternyata kids zaman now lebih edyan ya ...
Lebih niat.

Effort-nya juga lebih tinggi.

Mereka yang dengan niat bangun shubuh demi sunrise di Balitsa. Mereka yang dengan niat nabung demi bisa beli branded stuff atau sekedar nongkrong di café kekinian. Mereka yang dengan niat belajar bahasa Inggris biar netizen nggak salah fokus dengan pronounciation-nya. 

Mereka yang dengan niat rajin baca beauty journal demi jadi beauty blogger yang fasih. Mereka yang dengan niat mantengin tweet-nya @goenrock demi dapet ilmu ngedit video. Mereka yang dengan niat  mikirin ‘mau bikin challenge apa bulan ini?’.

Satu-satunya hal yang membedakan kita dengan mereka adalah; tujuan. Tujuan mereka jelas, ingin membuat konten yang viral biar punya banyak followers, urusan dinyinyirin netizen mah belakangan. Kalau orang tua zaman dulu percaya ‘banyak anak banyak rezeki’, kids zaman now percaya ‘banyak followers banyak rezeki’. Meski beda zaman, keduanya adalah fakta.

Kita juga punya tujuan kok... tapi ya ngggak sejelas mereka haha Tujuan kita tak lebih dari ingin menyimpan memory sebanyak-banyaknya di salah satu fase terpenting dalam hidup. High school never end. Saat itu kita juga nggak pernah mengira hal-hal semacam foto dan video akan menjadi ‘sesuatu’ di kemudian hari, kita malah lebih percaya Icunk yang bilang ‘memory itu disimpan di dalam hati bukan di memory card’.

Mungkin untuk saat ini jawaban terdekat dari pertanyaan “Kenapa kita nggak (ada yang) jadi selebgram atau youtubers kaya orang-orang?” adalah bukan karena kita kelewat katro atau nggak ngerti evolusi fashion masa kini yha~ tapi karena kita sudah pernah melewati life phase ala selebgram dan youtuber dengan begitu baik sampai pada point kita nggak merasa perlu untuk iri atau berusaha mengimbangi jeda kekosongan eksistensi diri.

Ya. Kita pernah muda dan kita pernah bahagia. It cost than anything else.

Eh.

Berarti tua dong sekarang?
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Melihat official poster The Voices kita seakan diingatkan lagi dengan film The Pink Panther, yap, tapak kaki dan warna pink adalah signature dari The Pink Panther. Ya kan? Bagi yang sudah menonton The Pink Panther mungkin akan ‘ngeh’, sedangkan bagi yang belum menonton “nggak usah lah yha...” haha it’s a kind of not-so-recomended-movie-to-watch.

The Voices adalah film (yang sebenarnya) bergenre psycho thriller namun dikemas secara comedy, well... kalau biasanya film bergenre thriller menggunakan tone warna yang gelap dan cenderung gloomy, The Voices malah sebaliknya, menggunakan tone warna yang cerah dan bold sehingga menampilkan kesan ceria.

Tokoh utama di film The Voices adalah Jerry Hickfang (Ryan Reynolds) seorang pegawai di bagian packaging perusahaan bathtub. Kalau melihat kesehariannya di kantor Jerry ini termasuk dalam kategori normal, sikapnya yang humble dan baik hati membuatnya dikenal sebagai teman yang menyenangkan. Tapi normal di kantor belum tentu normal di rumah kan ya? *eh

Nyatanya Jerry mengidap ‘sedikit’ gangguan kejiwaan, ia sering mendengar suara-suara di kepalanya, kalau di Indonesia mungkin istilahnya adalah ‘bisikan-bisikan halus (ghaib)’ hehe Untuk mengatasi masalahnya ini Jerry meminta bantuan seorang terapis bernama Dr. Warren (Jacki Weaver), awalnya semua baik-baik saja sampai Jerry mulai mengabaikan obatnya yang berakibat pada halusinasi ngobrol dengan anjing dan kucing peliharaannya.


Topik obrolan favorit Jerry dengan anjing dan kucingnya adalah Fiona (Gemma Artenton) pegawai bagian accounting yang berasal dari Inggris, seperti lelaki pada umumnya Jerry berangan-angan ingin berduaan dengan Fiona. Padahal ya... teman Fiona yaitu Lisa (Anna Kendrick) menaruh hati kepada Jerry, namun karena Jerry lebih kepincut Fiona ketimbang Lisa maka Lisa ini sering dikacangin.

Akhirnya Jerry mendapatkan kesempatan berduaan dengan Fiona, bukan untuk dating atau hangout ya... tapi untuk dibunuh. Jerry dengan watadosnya memutilasi tubuh Fiona, satu-satunya bagian yang tersisa hanya kepalanya yang (dengan freak-nya) ia simpan di kulkas untuk teman ngobrol. Yucks!

Kabar hilangnya Fiona segera tersebar luas namun pencariannya tak jua membuahkan hasil, Lisa yang khawatir terhadap Fiona kemudian berinisiatif untuk mencarinya sendiri. Sudah bisa di duga ya... Lisa ini akhirnya bertemu dengan Fiona di dalam kulkas.

Kaget nggak tuh pas buka kulkas nemu yang beginian?

Sejak adanya mereka di rumah intensitas suara-suara yang ada di kepala Jerry mulai berkurang, mungkin lebih tepatnya sih tersalurkan dengan baik, karena mereka berdua ini sebenarnya adalah representasi dari suara-suara di kepalanya Jerry. Jerry memperlakukan mereka selayaknya teman ngobrol, Cuma sayangnya karena mereka nggak punya tubuh Jerry mesti sigap mindah-mindahin. Agak geli tapi konyol gimana ya melihat kepala Fiona dan Lisa ini, mana mereka bawel lagi hehe

Salah satu alasan kenapa Jerry membunuh Lisa adalah karena Fiona yang merengek-rengek minta teman, ternyata satu teman tidaklah cukup ya pemirsa... Setelah mendapatkan Lisa, kali ini Fiona (dan Lisa) kembali merengek-rengek minta teman baru. Suatu kebetulan memang, tanpa diduga Dr. Warren datang berkunjung ke rumah Jerry.


So... akankah Dr. Warren menjadi teman kulkasnya Fiona dan Lisa? Atau malah mati sia-sia tanpa harus dikoleksi Jerry? You should watch this movie to know how’s about Dr. Warren. Bukan Cuma tentang Dr. Warren sih, kita juga pasti ingin tahu kan bagaimana kelanjutan hidup Fiona dan Lisa, penasaran nanti Jerry mau beli showcase kaya di supermarket apa nggak atau mempertanyakan anjing dan kucing yang ada di rumah Jerry itu sebenarnya karakter nyata atau fiktif.

Film The Voices ini mungkin lebih cocok masuk ke genre dark comedy ya karena menampilkan kekejian yang cukup fun *elahh, potongan kepala manusia tidaklah semenarik begini di kehidupan nyata. Salut untuk Marjane Satrapi  dan Michael R. Perry yang membuat film psycho thriller terasa lebih fun.

Selain karena memang ceritanya yang fresh, akting Ryan Reynolds dalam membawakan karakter Jerry Hickfang si pembunuh yang innocent dan cute ini menambah point kenapa kamu harus nonton The Voices. Tidak bermaksud melebih-lebihkan tapi Ryan Reynolds ini benar-benar all out, mungkin ia terlalu charming kali ya untuk jadi seorang pembunuh, makanya kita melting duluan... yha~ *ini mah subjektif meur.


Gemma Artenton dan Anna Kendrick mendapatkan porsi sedikit untuk tampilan full body namun tetap memukau dengan kebawelannya. Awalnya KZL ya kenapa sih mesti kepala? Kan ngeri lihatnya... tapi lama kelamaan kita akan terbiasa kok melihat mereka, yang ada malah merasa geli dan konyol sendiri haha

Secara keseluruhan film The Voices ini memukau baik dari segi cerita maupun visual, at least... they give another view of murderer in fun way. Dunia Jerry Hickfung ternyata lebih menarik ketimbang dunia nyata. Eh BTW, terlalu lama sendiri juga ternyata nggak baik ya... 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates