Belum ke Palembang kalau belum lihat jembatan
Ampera dan makan Pempek, begitulah kira-kira pesan ayah sebelum pesawat take off, intinya ia menyuruh (saya
dan adik) mengunjungi Golden Gate-nya Palembang yang berwarna merah itu dan mencicipi Pempek langsung di tempatnya,
bukan Pempek dengan cita rasa gubahan yang biasa kami makan.
Saat berada di pesawat, yang terbayang dalam
benak saya mengenai Palembang adalah sebuah kota diantara perkebunan palawija
dengan guratan sungai dan selalu jadi destinasi wisata host-host ganteng stasiun televisi
swasta.
Ketika
menginjakkan kaki di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, kami disambut dengan
teriknya matahari sore Palembang yang diatas rata-rata, kalau Subang sudah
termasuk kategori panas banget Palembang ini termasuk kategori panasnya
kebangetan. Rasanya seperti terjebak di mobil tanpa AC yang kena macet mudik
lebaran berkilo-kilo meter di tol Cipali, kepanasan dan keunang tanpa daya diterangi pantura
heat.
Kedatangan
kami ke Palembang sebenarnya untuk menghadiri pernikahan adik ipar sepupu kami
yang menikah dengan orang Palembang, sebagai keluarga besan yang belum sempat dikenal
tetangga sekitar. Selain saya dan adik rombongan kami terdiri dari 5 orang tua
yaitu uwak dan 4 orang sepupu, tadinya mama juga ikut namun karena kondisi
kesehatannya yang belum pulih mama
memilih untuk tinggal di rumah ditemani salah satu uwak saya.
Sampai
di rumah ipar sepupu, kami langsung disuguhi Pempek homemade dan welcome drink
yaitu semacam juice yang terbuat dari Jambu Biji Merah dan Timun (a.k.a
bonteng di Jawa Barat), call it
minuman kesegaran. Lalu ada Kue Bolu Ketan berwarna hijau, ungu tua dan putih
yang memanjakan lidah kami dengan segera. Setelah puas menyerbu makanan yang
disuguhkan, kami pun lantas menuju rumah lainnya untuk membongkar koper, SMP banget ihh... hehe...
Esok
harinya disaat uwak kami sibuk bersosialisasi di dapur, kami anak mudanya pun
turut sibuk, sibuk mencari informasi tempat wisata terdekat dan rute
transportasi menuju kesana. Untungnya, ada beberapa sepupu lainnya (kerabatnya
ipar sepupu) yang juga memiliki rencana sama seperti kami, demi kelancaran
perjalanan dan mengatasi kendala berbahasa kami semua pergi bersama-sama.
Dari
Sekojo kami naik angkot sampai PTC (Palembang Trade Centre) yang maha sepi, abaikan saja, kami yang datang
terlalu pagi, karena geje akhirnya kami memutuskan untuk makan ice cream dari Singapore franchise. Kemudian, karena PTC terlalu mainstream kami putuskan untuk menuju
jembatan Ampera menggunakan angkot yang ngetem di depan PTC.
Rata-rata angkot di Palembang memiliki 3 buah pintu, pintu depan, pintu tengah dan pintu belakang di bagian kiri, tidak seperti angkot yang umumnya ditemui di Pulau jawa yang tempat duduknya saling berhadapan, angkot di Palembang ini semua tempat duduknya menghadap ke depan seperti halnya mobil safari, meskipun ada beberapa diantaranya yang memiliki tempat duduk normal.
Kami sampai di Benteng Kuto Besak sekitar tengah hari, kabarnya terdapat museum di
dalamnya, namun karena waktunya kurang pas kami tidak menyempatkan diri untuk
mengunjunginya. Kami memilih berteduh di bawah pepohonan yang terdapat di pagar
Benteng Kuto Besak sambil makan rujak, dari sana kami juga bisa melihat
jembatan Ampera dan sungai Musi lengkap dengan kapal tongkang yang hilir mudik.
Meskipun
terletak di pinggir sungai Musi yang notabene adalah tujuan wisata, jarang sekali
saya melihat PKL (Pedagang Kaki Lima) membuka lapak, paling hanya ada beberapa
pedagang asongan dan jasa foto keliling, sudahlah, mungkin mereka lelah. Kalau
di Jawa Barat kami bisa menemukan pedagang Gorengan hampir di setiap kelokan,
disini kami hanya bisa menemukan pedagang Pempek menghampar luas entah itu Pempek basah, Pempek kering, Pempek bakar atau Tekwan dengan segala turunannya.
Cara
penyajiannya pun unik, pedagang tersebut akan memberikan semangkuk kecil
(seukuran wadah jelly tempo dulu) kuah
pempek dan sebuah garpu, garpu tersebut ditujukan untuk menusuk Pempek yang
sudah dibeli (maksimal 2). Cara makannya ialah dengan menggigit Pempek terlebih
dahulu baru kemudian menyeruput kuahnya, bergantian, seperti makan Bala-bala
dengan Leupet. Dengan banyaknya kuota
pedagang Pempek, maka tak heran jika saluran airnya agak berbau asam,
bukan berbau busuk khas sayuran seperti di tempat asal kami.
FYI,
rata-rata pedagang menyediakan tempat sampah sendiri, jadi jangan sungkan untuk
menanyakan tempat sampahnya.
Ketika
awan teduh mulai muncul kami segera berlarian ke pinggir sungai Musi, perfect timing untuk berfoto.
Setelah
puas tanning, kami memutuskan untuk
segera pulang ke rumah karena acara utama yang menjadi alasan kami datang akan
segera dimulai. Untuk mencapai angkot menuju Sekojo kami harus berjalan kaki
terlebih dahulu ke depan Mesjid Agung Palembang melewati jalan-jalan lebar tak
berbelas kasih, ya, tak berbelas kasih. Entah kenapa para pengendara tidak mau
menghentikan laju kendaraannya padahal kami sudah memberikan kode lambaian
tangan,dan kami baru bisa menyebrang ketika jalanan benar-benar lenggang.
Kami
datang ketika semua orang sudah bersiap-siap menyambut calon mempelai pria, tak
perlu banyak gaya, secepat kilat kami berganti pakaian dan memasang hijab,
padahal muka belum dingin. Menunggu adalah hal yang melelahkan, karena
seringkali tanpa sadar mata kami terpejam dengan sendirinya, bahkan kami
tertidur di kursi tamu saat acara ijab kabul berlangsung.
wefie biar nggak ngantuk |
Menurut
kebiasaan masyarakat sekitar, akad nikah biasanya diadakan setiap hari Jum’at,
jika ada 2 atau 3 pernikahan dalam jumat tersebut, bapak penghulu akan
mengunjungi mereka semua secara bergiliran, itulah kenapa akad nikah
dilaksanakan pada sore hari. Sedangkan untuk resepsi bisa dilaksanakan kapan
saja, tergantung kesanggupan yang punya hajat. Biasanya mempelai wanita akan
ikut menari (dengan para penari) untuk menunjukkan rasa sukacitanya, acara
selesai setelah sesi berjabat tangan dan makan-makan.
Yang
menarik adalah menu makanannya, tersedia 2 jenis nasi
yaitu nasi putih biasa dan nasi samin yang berwarna vermillion (nasi samin adalah nasi biasa yang dimasak menggunakan
minyak samin layaknya nasi goreng), rasanya gurih namun tidak berlebihan. Lalu
ada telur balado yang secara visual irit bumbu , tapi ketika dimakan pedas
sekali.
Ada juga ikan besar dengan bumbu kuning yang jadi incaran ibu-ibu tamu,
awalnya kami kira ikan tersebut adalah ikan dari sungai Musi (mengingat
ukurannya yang besar), ternyata itu adalah ikan Patin air tawar biasa karena
kebanyakan orang tidak menyukai ikan sungai Musi yang berbau lumpur. Ahh ...
sayangnya tak ada satu pun dari semua menu yang saya capture, lupa hehe
Keesokan
harinya, kami (full team) berangkat
pagi-pagi demi menghindari tanning,
ternyata untuk mencapai BKB (Benteng Kuto Besak) kami hanya perlu menaiki bis
Trans Musi dari halte di depan lorong (nama lain dari gang), hanya 1 kali tidak
perlu berganti angkot seperti yang kami lakukan kemarin.
Kami
berhenti tepat di depan Mesjid Agung Palembang yang konon sudah berdiri sejak
abad ke 17, arsitektur bangungannya merupakan campuran dari 3 kebudayaan yang
mengakar di Palembang yaitu Melayu, Arab dan China.
Di depannya terdapat air mancur yang (katanya) lebih bagus kalau dilihat pada malam hari. Terdapat bendera negara-negara ASEAN dan pagar pembatas di sekeliling air mancur tersebut, yang berguna untuk menghalangi orang gila mandi disana. FYI, cipratan air mancur serasa sedang gerimis, let’s keep the camera...
Kami
kemudian berjalan menuju BKB (lagi) karena sebagaian dari kami ingin melihat
Jembatan Ampera dan Sungai Musi, jaraknya lumayan dekat dengan Mesjid Agung.
Namun, kami lebih tergoda untuk sarapan Pempek 6(^.^)9 jadilah kami berhenti
sebentar untuk mencicipi Pempek dan Tekwan di samping Kantor Pos. Saya sendiri
lebih memilih Tekwan karena tergoda kuahnya yang mengepul sedangkan adik saya
memilih Model (sejenis Pempek tapi bukan Pempek, katakanlah variasi) yang
menyegarkan.
Setelah
sarapan, kami langsung menuju BKB dengan semangat (n.n) Cuaca yang mulai panas
tak menyurutkan keinginan kami untuk berfoto-foto. Sebenarnya saya ingin sekali
mengunjungi Pulau Kemaro (kemarau) yaitu pulau yang terdapat di tengah–tengah
Sungai Musi entah di bagian mana, yang terdapat kelenteng di bagian dalamnya.
As far as I searched, Pulau Kemaro
adalah pulau yang terbentuk dari kapal seorang Raja yang kaya raya dan membawa
banyak harta benda karam. Sayanganya, tidak semuanya berminat pergi kesana
karena lebih tertarik untuk membeli oleh-oleh di Pasar Enambelas. Yasudah lah,
mungkin lain kali ...
Kenapa
dinamakan Pasar Enambelas? Karena terdapat di los Enambelas, isshhh ... bagi
saya jawaban tersebut kurang memuaskan, dan saya berharap ada penjelasan yang
lebih historis dan ilmiah untuk penamaan Pasar Enambelas (O.O).
Dan
benar saja, di sepanjang kolong Jembatan Ampera terdapat PKL yang selama ini
saya cari. Dari mulai pempek, kemplang, jeruk, mainan, pakaian sampai charger semuanya tersedia, tinggal
pilih. Masuk ke dalam Pasar Enambelas kami disambut dengan suasana pasar baru
Bandung tempo dulu, sesak dan rawan menyenggol-nyenggol.
Di
dalam terdapat aneka kios-kios yang menjual pakaian dan souvenirs khas Palembang, saya kurang sreg kalau harus membeli kain songket sebagai oleh-oleh, selain
harganya yang mahal tekstur kainnya keras dan kasar membuat saya urung
membelinya. Akhirnya memilih kain jumputan, tekstur kain yang lembut dan warna
yang gonjrang–ganjreng (n.n) membuatnya lebih menarik, harganya? Relatif, sekitar
Rp. 100.000 – Rp. 150.000. / pcs.
Keluar
dari Pasar Enambelas kami kembali menuju Mesjid Agung untuk menunaikkan shalat
dzuhur, angin sepoi-sepoi di teras mesjid membuat saya sulit beranjak. Karena
bingung mau makan siang dimana akhirnya Agit mengajak kami menuju IP
(International Plaza), demi memenuhi standar wisatawan kami makan di gerai ayam
goreng franchise yang antriannya
penuh sampai ke pintu depan.
Pemerintah
Palembang mengatur agar satu daerah dipusatkan berdasarkan barang yang
dijualnya, misalnya toko buku, di sepanjang jalan atau daerah tersebut semuanya
berjualan buku, tidak ada yang lainnya, kalaupun ada biasanya masih berhubungan
dengan buku seperti toko stationary atau
jasa percetakan buku Yasin. Hal tersebut memudahkan (calon) pembeli untuk
membanding-bandingkan kualitas barang dan harga. Tentu saja para pedagang
bersikap fair karena urusan rezeki
sudah ada yang mengatur.
List oleh-oleh:
- Jumputan
- Kemplang
- Kerupuk Palembang
- Pempek
Mmhhh... untuk urusan pempek kami serahkan pada yang lebih ahli hehe Agit membawa kami ke salah satu
toko Pempek yang laris di Pelambang, Pempek Candy, yang terletak di depan hotel
Novotel. Disana tersedia berbagai pilihan paket Pempek dengan range harga antara Rp. 100.000 – Rp.
500.000, selain pempek mereka juga menjual aneka makanan khas Palembang lainnya
seperti Kemplang, Lempok Durian, cuka bubuk dan Tekwan kering.
FYI, their handy carry package is helped during the flight, just dont throwing them away... |
Keesokan
harinya kami bangun dini hari, sama seperti waktu sahur Ramadan lalu. Mandi
terburu-buru demi mengejar pesawat yang berangkat pukul 07.00 WIB. Karena masih
dalam suasana Lebaran yang liburannnya masih belum usai, bandara lumayan sesak
dan kami (yang kesiangan) harus berlari-larian untuk check in. Huffttt...
And here is my wish list (kalau nanti ke Palembang
lagi) LOL
- Mengunjungi Pulau Kemaro
- Mengunjungi Stadiun Jakabaring
- Makan Pempek (lagi)
*sebagian foto dari Agit