Default & Mediocre

by - November 07, 2021


Hello…

Apa kabar? Coba tebak, sekarang musim hujan atau musim dingin? *jangan jawab musim pancaroba karena udah aku keep duluan 😅. Ohya, kabarku so far so good, cuma sering puyeng aja mikirin negara  😂#netizenteladan.

Sejujurnya aku sudah lupa kapan draft post ini kutulis, tahu-tahu ada aja weh di folder, keselip. Kalau nggak salah aku menulis post ini gegara membaca thread siapa gitu yang membahas tentang isokey menjadi medioker 💁🏻‍♀️.

Setelah membaca post-nya aku menyadari bahwa ternyata aku nggak sespesial martabak dan nggak masalah dengan itu 🙂.

Di masa akhir kuliah saat smartphone android mulai hype, di masa camera 360 itu lho ya… Ada satu momen dimana aku dikomentari begini; ‘ih kok kamu ngebosenin banget sih, kaya nggak ada keinginan’ gegara template smartphone-ku default alias pake bawaan pabrik. Paling banter ganti wallpaper dan lock screen 😅.

Kupikir default template itu lebih efisien ya sebab aku nggak mesti ribet download-in template-nya, dan sadar diri aja, aku memilih blog template bisa sampai berminggu-minggu laini smartphone template. Yapasti lama atuh ceu… 😂 Lagi pula aku lebih suka tampilan yang sleek, makanya kurang sreg dengan template yang lucu-lucu atau font kriwil-kriwil. Siwer mata hamba… 🤓.

Ternyata bahkan sampai aku bekerja pun komentar ‘ngebosenin’ atau ‘nggak ada keinginan’ kerap mampir. Bukan hanya untuk smartphone, melainkan untuk hal-hal yang melekat di diriku semacam pakaian, hobby atau bagaimana caraku menjalani hidup. Kadang kepikiran; apakah aku semembosankan itu? 😅.

Mungkin bagi orang lain aku membosankan tapi aku sih asyik-asyik aja 😂 #beladiri #tapibukansilat

Memang pernah ada masanya aku menyukai printilan lucu yang nggak-penting-tapi-ingin-punya *sekarang juga masih sih 😅 Tapi seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa efisiensi (terutama waktu) itu penting dan untuk mencapai efisiensi diperlukan ekosistem yang mendukung. Salah satunya adalah kemudahan membaca chat, kalau template-nya lucu yang ada aku malah terdistraksi duluan kali ah.

Begitu pun dengan pakaian, bukannya aku nggak suka atau nggak mengikuti fashion, kalau disuruh memilih aku pasti akan memilih yang style-nya paling okcey, tapi kalau disuruh membeli aku pasti akan membeli yang paling nyaman dan nggak ribet maintenance-nya. Cakep memang butuh effort, tapi kalau bisa dibuat ribet-less kenapa nggak? 💁🏻‍♀️.

Saat kuliah aku nggak punya cukup waktu utuk memilih pakaian atau sekedar mix and match, pokoknya ambil aja yang ada di depan mata, deadline lebih ngerayyy soalnya 😂. Untuk memudahkan, aku membeli beberapa kemeja dengan warna yang berbeda. Problem solved ✨👌🏻!. Aku bahkan membuat urutan kemeja yang akan kupake dari hari Senin sampai Jum’at.

Saking seringnya pake kemeja, dosenku sampai berkomentar; mb Lestari kalau kuliah pakaiannya rapi ya, selalu pake kemeja 🙃. FYI. Di jurusanku boleh kuliah pake kaos non kerah. Beberapa tahun setelahnya temanku bercerita: ‘kalau lihat ciwik pake kemeja dan sneakers di kampus pasti ingat; ini gaya-gaya si Nonon nih’. Wow 🤣🤣🤣🤣🤣

Ketimbang pake rok atau gamis aku lebih suka pake celana panjang, bahkan pakaian fomal pun sebisa mungkin dicari versi non roknya. Untukku yang lebih banyak menggunakan transportasi publik, pake celana panjang tentcu lebih memudahkan dan ribet-less.

Di tahun-tahun lalu aku memang jarang update di social media, kalau memantau sih sering 😅 Karena pada dasarnya aku memang nggak memiliki urgensi untuk live update, lain cerita kalau itu memang pekerjaanku. Sejauh yang kurasakan, live update itu nggak nyaman karena mudah di-tracking *lah siapa lau? 😅

Setelah pulang dari Vakansi Laron, Widy tanya: Non, kenapa sih kamu nggak upload foto liburan kemaren? Kan banyak fotonya. Ini bukan permasalahan banyak atau nggaknya stok foto yang dimiliki 🥲, tapi karena aku malay menulis caption, kalau cerita panjang lebar atau curhat ala-ala macem di blog nanti dikiranya aku ada masalah 🤣.

Nggak tahu niya dengan kalyan tapi kadang aku merasa Instagram (dan Path) adalah social media yang mengintimidasi. Apalagi di awal hype-nya. Mungkin ini hanya perasaanku namun kebanyakan virtual buddy-ku (cieee… mutual-an 😁) update status-nya kalau nggak check in dimana gitu, pasti upload foto circle-annya. Sok iye banget sih haha

Kubilang mengintimidasi karena aku jadi membandingkan, secara aku juga ingin liburan tapi budget nihil 😂. Biar nggak makin iri dengki, akhirnya aku meng-uninstall Instagram dan Path, kembali ke haribaan Twitter.

Meski mamang KAW (@KumahaAIngWeh) bilang: hirup aing kumaha aing weh, aku selalu memiliki kekhawatiran sebelum meng-update sesuatu di social media-ku. Khawatir di-sleding 😅, khawatir dikoreksi 😅, khawatir diajak gelut😂, khawatir jadi bahan ghibah😅, khawatir membuat kepo😅, khawatir menyakiti orang lain😅, khawatir di-judge 😅.

Makanya aku sebisa mungkin berusaha untuk bersikap netral, berusaha untuk unspecified, unidentified dan undescribed.

Percayalah kawan… semua rule (diatas) akan terbantahkan ketika kembali ke Twitter 🤣.

Bukan mau sok-sokan misterius tapi aku merasa kurang nyaman saat orang tahu aku berada di sisi mana dalam politik, POV-ku saat menginterpretasikan sebuah thread, hal apa yang menarik dan yang menjadi concern-ku, begitu pun dengan taste.

Pernah, temanku bertanya: Non, kamu nggak suka mendengarkan musik ya? Soalnya kalau di kampus kamu nggak pernah kelihatan pake earphone dan ngobrolin musik. Saat itu kujawab: suka, tapinya B aja 🥲. Yagimana… selera musikku nggak jauh dari pop (dan emo dikit) sedang temanku ber-mazhab indie, minta banget dicengcengin kan… 😅

Yha~ Aku terlalu medioker untuk kamu yang terlalu indie ✨👌🏻.

Eh, tapi pernah lho aku ditanya: Non, kamu tuh desainer, tapi kenapa kok nggak kaya desainer? 

Hanya karena aku desainer bukan berarti aku mesti aesthetic dalam segala aspek, aku nggak mesti pake barang unique untuk membedakanku, aku nggak mesti selalu update tentang design thingy dan aku nggak mesti pamer skill untuk menunjukkan bahwa aku desainer. Self branding memang penting, tapi aku pun memiliki kehidupan pribadi dan merasa nyaman menjadi diri sendiri.

Pada akhirnya aku hanyalah mbak-mbak biasa yang bisa ditemukan di bus DAMRI sambil menenteng tas belanja berisi baju ganti.

Memang butuh waktu untuk menyadari bahwa ternyata aku nggak sespesial martabak, but I’m deal with it.

I'm just a slice of the whole universe and isokay ✨👌🏻.

You May Also Like

0 comments

Feel free to leave some feedback after, also don't hesitate to poke me through any social media where we are connected. Have a nice day everyone~