Weekend ini saya diajak VC yang lagi mabal ke Garut untuk camping ke Gunung Papandayan. Saat rencananya di share banyak yang mau ikut tapi ya namanya juga seleksi alam, satu-satu peserta berguguran karena berbagai alasan. Akhirnya yang fix berangkat dari Bandung cuma saya, Fira, Nurma dan Zia (‘pacar’-nya wkwk). Rencananya kita pergi hari sabtu pagi dari kosan Fira di Manisi, nyatanya kita baru bisa berangkat dari Cibiru menjelang sore, karena huru hara percintaan Nurma yang… agak complicated kalau diceritakan.
Kita sampai di Garut saat menjelang maghrib, ternyata di rumah VC udah ada Acip, Ansor, Jajang dan Kiki yang mau-maunya nungguin haha Kita berangkat ke Gunung Papandayan saat menjelang isya naik angkot yang disewa dari tetangganya VC. Saya cukup excited karena ini adalah kali pertama saya camping beneran, saat sekolah yang bisa ikut camping hanyalah anak-anak Hizbul Wathan (pramukanya Muhammadiyah) makanya kita ingin sekali camping. Eh… aku pernah camping ketang, saat ospek kampus di Ranca Upas.
Perjalanan menuju gunung Papandayan setelah isya terpantau aman, namun saat angkot melintasi gapura selamat datang di gunung Papandayan jalannya mulai berubah. Rombeng dan berbatu. Di pertengahan jalan aa angkotnya bilang udah nggak sanggup mengantarkan kita sampai atas karena takut angkotnya rusak. Jadilah kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, sialnya kita hanya membawa 2 buah senter kecil yang dipakai sebagai penerangan.
Jalan kaki malem-malem di tengah hutan nggak enak banget (perasaannya) bawaannya ingin lari ngibrit hehe tapi apa daya cyn... barang bawaan segini beratnya mau disimpan kemana? Mau lari juga lari kemana? Meski takut kita tetap jalan, pura-pura nggak lihat dan pura-pura nggak dengar hal-hal yang mengganggu di perjalanan. Semacam, lemparan kerikil-kerikil kecil dari arah samping, suara-suara aneh yang bukan gemerisik dedaunan dan perasaan dipantau.
Selama berjalan kaki itu kita nggak bertemu dengan pendaki lain, mungkin karena bukan tanggal ramai atau mereka udah sampai duluan di Pondok Salada. Ada beberapa mobil yang sempat berpapasan, salah satunya adalah mobil dari Trans TV yang mas-masnya menyemangati “semangat ya…” dari dalam mobil. Setelah melewati loket yang tentunya udah tutup kita sampai di pos 1 berupa area datar yang dikelilingi oleh pepohonan.
biasa aja x meliriknya :p |
Kita sampai menjelang tengah malam dengan kondisi capek setelah berjalan kaki tadi, kemudian kita memutuskan untuk menggelar bivak (bukan tenda) yang dipinjam VC ke sekolah yang ada eskul pramukanya. Selain itu diantara kita nggak ada yang tahu jalan menuju ke Pondok Salada, salah-salah yang ada kita malah nyasar. Ansor dan Jajang berusaha menyalakan api unggun, tapi nggak bisa ya karena kayu bakar yang kita bawa udah dingin.
Nggak enaknya pakai bivak adalah nggak ada alasnya, jadi saya berinisiatif untuk merelakan selimut yang baru aja di-laundry menjadi alas bivak. Dan VC dengan watadosnya tidur pake sleeping bag dengan selimut tebal di dalamnya kaya kepompong ketat. Hadehhh… kalau aja sebelumnya VC kasih info untuk bawa sleeping bag atau alas yang proper pasti akan saya usahakan, saat ditanya “bawa apa aja Vic untuk camping teh” dia jawab dengan “jaket sama selimut weh Nyong, da moal pati tiris”.
Malamnya kita semua nggak bisa tidur (kecuali VC) karena kedinginan parah, berusaha nggak gerak atau merubah posisi biar nggak tambah dingin. Camping di gunung Papandayan ini kurang sekali persiapan, terutama safety dan kenyamanan, Acip bahkan nggak membawa jaket sama sekali jadinya pakai jas bapaknya VC. Bisa dibayangkan ya, saat orang-orang pergi ke gunung pakai jaket, Acip pergi ke gunung pakai jas kaya mau wisuda.
Ini yang disebut moal pati tiris teh?
Dini hari kita terbangun dan langsung naik ke atas melihat sunrise ala gunung Papandayan, pulangnya kita sholat subuh dan wudhu pakai air yang dinginnya minta ampun. Acip dan Jajang nggak ikut naik ke atas karena semalaman kurang tidur demi menjaga api tetap menyala, kalian manusia atau babi ngepet sih haha Saat terang saya baru sadar kalau semalam kita menggelar bivak di samping tempat sampah (yang untungnya) kering.
Kita pulangnya menyewa mobil bak terbuka, ternyata jauh juga ya jarak dari tempat kita diturunkan menuju ke tempat kita menggelar bivak. Kalau aa angkotnya menurunkan kita di bawah masih ada kemungkinan kita pakai motor ke atas, sayangnya kita aa angkot menurunkan kita di tengah-tengah, teu kadieu teu kaditu. Sampai ke Bandung aku langsung balas dendam dengan tidur senyaman mungkin, dikelilingi bantal-bantal dan pakai selimut tebal.
Semoga nanti kita bisa camping beneran ya, carrier dan sleeping bag otomatis masuk ke wishlist.
melihat kawah dari dekat |
sunrise-nya bikin backlight |
Kiki & Ansor yang ingin terlihat keren |
Acip si anak teknik |
kayanya saya kurang cocok pakai warna biru *heu |