Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.
Untuk memeriahkan hari kemerdekaan RI yang ke 70 (keluarga) kami mengadakan perlombaan  17 Agustus di Gran(d)m(b)ah House a.k.a Rumah Mbah di Dawuan. Karena kami yang mengadakan, maka kami juga yang menjadi panitia.

Demi mensukseskan acara , kami menyusun acara dari H- 2 minggu sebelumnya, yang mana memang tak benar-benar tersusun sampai di hari H. Meskipun perlombaan yang dibuat sederhana dan seadanya, hal itu tidak menyurutkan semangat ibu-ibu untuk ikut berpartisipasi. Tak henti-hentinya kami tertawa melihat aksi kocak ibu-ibu yang berusaha keras memenangkan perlombaan.

Lomba makan kerupuk (too much ambitions)

 
Lomba membawa balon

Lomba jalan kompak

Geng panitia

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Belum ke Palembang kalau belum lihat jembatan Ampera dan makan Pempek, begitulah kira-kira pesan ayah sebelum pesawat take off, intinya ia menyuruh (saya dan adik) mengunjungi Golden Gate-nya Palembang yang berwarna merah itu dan mencicipi Pempek langsung di tempatnya, bukan Pempek dengan cita rasa gubahan yang biasa kami makan. 

Saat berada di pesawat, yang terbayang dalam benak saya mengenai Palembang adalah sebuah kota diantara perkebunan palawija dengan guratan sungai dan selalu jadi destinasi wisata host-host ganteng stasiun televisi swasta.

Ketika menginjakkan kaki di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, kami disambut dengan teriknya matahari sore Palembang yang diatas rata-rata, kalau Subang sudah termasuk kategori panas banget Palembang ini termasuk kategori panasnya kebangetan. Rasanya seperti terjebak di mobil tanpa AC yang kena macet mudik lebaran berkilo-kilo meter di tol Cipali, kepanasan dan keunang tanpa daya diterangi pantura heat.

Kedatangan kami ke Palembang sebenarnya untuk menghadiri pernikahan adik ipar sepupu kami yang menikah dengan orang Palembang, sebagai keluarga besan yang belum sempat dikenal tetangga sekitar. Selain saya dan adik rombongan kami terdiri dari 5 orang tua yaitu uwak dan 4 orang sepupu, tadinya mama juga ikut namun karena kondisi kesehatannya yang belum pulih mama  memilih untuk tinggal di rumah ditemani salah satu uwak saya.

Sampai di rumah ipar sepupu, kami langsung disuguhi Pempek homemade dan welcome drink yaitu semacam juice yang terbuat dari Jambu Biji Merah dan Timun (a.k.a bonteng di Jawa Barat), call it minuman kesegaran. Lalu ada Kue Bolu Ketan berwarna hijau, ungu tua dan putih yang memanjakan lidah kami dengan segera. Setelah puas menyerbu makanan yang disuguhkan, kami pun lantas menuju rumah lainnya untuk membongkar koper, SMP banget ihh... hehe...

Esok harinya disaat uwak kami sibuk bersosialisasi di dapur, kami anak mudanya pun turut sibuk, sibuk mencari informasi tempat wisata terdekat dan rute transportasi menuju kesana. Untungnya, ada beberapa sepupu lainnya (kerabatnya ipar sepupu) yang juga memiliki rencana sama seperti kami, demi kelancaran perjalanan dan mengatasi kendala berbahasa kami semua pergi bersama-sama.

Dari Sekojo kami naik angkot sampai PTC (Palembang Trade Centre) yang maha sepi, abaikan saja, kami yang datang terlalu pagi, karena geje akhirnya kami memutuskan untuk makan ice cream dari Singapore franchise. Kemudian, karena PTC terlalu mainstream kami putuskan untuk menuju jembatan Ampera menggunakan angkot yang ngetem di depan PTC.

Rata-rata angkot di Palembang memiliki 3 buah pintu, pintu depan, pintu tengah dan pintu belakang di bagian kiri, tidak seperti angkot yang umumnya ditemui di Pulau jawa yang tempat duduknya saling berhadapan, angkot di Palembang ini semua tempat duduknya menghadap ke depan seperti halnya mobil safari, meskipun ada beberapa diantaranya yang memiliki tempat duduk normal.

Kami sampai di Benteng Kuto Besak sekitar tengah hari, kabarnya terdapat museum di dalamnya, namun karena waktunya kurang pas kami tidak menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Kami memilih berteduh di bawah pepohonan yang terdapat di pagar Benteng Kuto Besak sambil makan rujak, dari sana kami juga bisa melihat jembatan Ampera dan sungai Musi lengkap dengan kapal tongkang yang hilir mudik.



Meskipun terletak di pinggir sungai Musi yang notabene adalah tujuan wisata, jarang sekali saya melihat PKL (Pedagang Kaki Lima) membuka lapak, paling hanya ada beberapa pedagang asongan dan jasa foto keliling, sudahlah, mungkin mereka lelah. Kalau di Jawa Barat kami bisa menemukan pedagang Gorengan hampir di setiap kelokan, disini kami hanya bisa menemukan pedagang Pempek menghampar luas entah itu Pempek basah, Pempek kering, Pempek bakar atau Tekwan dengan segala turunannya.

Cara penyajiannya pun unik, pedagang tersebut akan memberikan semangkuk kecil (seukuran wadah jelly tempo dulu) kuah pempek dan sebuah garpu, garpu tersebut ditujukan untuk menusuk Pempek yang sudah dibeli (maksimal 2). Cara makannya ialah dengan menggigit Pempek terlebih dahulu baru kemudian menyeruput kuahnya, bergantian, seperti makan Bala-bala dengan Leupet. Dengan banyaknya kuota pedagang Pempek, maka tak heran jika saluran airnya agak berbau asam, bukan berbau busuk khas sayuran seperti di tempat asal kami.

FYI, rata-rata pedagang menyediakan tempat sampah sendiri, jadi jangan sungkan untuk menanyakan tempat sampahnya. 

Ketika awan teduh mulai muncul kami segera berlarian ke pinggir sungai Musi, perfect timing untuk berfoto.

Setelah puas tanning, kami memutuskan untuk segera pulang ke rumah karena acara utama yang menjadi alasan kami datang akan segera dimulai. Untuk mencapai angkot menuju Sekojo kami harus berjalan kaki terlebih dahulu ke depan Mesjid Agung Palembang melewati jalan-jalan lebar tak berbelas kasih, ya, tak berbelas kasih. Entah kenapa para pengendara tidak mau menghentikan laju kendaraannya padahal kami sudah memberikan kode lambaian tangan,dan kami baru bisa menyebrang ketika jalanan benar-benar lenggang.

Kami datang ketika semua orang sudah bersiap-siap menyambut calon mempelai pria, tak perlu banyak gaya, secepat kilat kami berganti pakaian dan memasang hijab, padahal muka belum dingin. Menunggu adalah hal yang melelahkan, karena seringkali tanpa sadar mata kami terpejam dengan sendirinya, bahkan kami tertidur di kursi tamu saat acara ijab kabul berlangsung.

wefie biar nggak ngantuk

Menurut kebiasaan masyarakat sekitar, akad nikah biasanya diadakan setiap hari Jum’at, jika ada 2 atau 3 pernikahan dalam jumat tersebut, bapak penghulu akan mengunjungi mereka semua secara bergiliran, itulah kenapa akad nikah dilaksanakan pada sore hari. Sedangkan untuk resepsi bisa dilaksanakan kapan saja, tergantung kesanggupan yang punya hajat. Biasanya mempelai wanita akan ikut menari (dengan para penari) untuk menunjukkan rasa sukacitanya, acara selesai setelah sesi berjabat tangan dan makan-makan.

Yang menarik adalah menu makanannya, tersedia 2 jenis nasi yaitu nasi putih biasa dan nasi samin yang berwarna vermillion (nasi samin adalah nasi biasa yang dimasak menggunakan minyak samin layaknya nasi goreng), rasanya gurih namun tidak berlebihan. Lalu ada telur balado yang secara visual irit bumbu , tapi ketika dimakan pedas sekali. 

Ada juga ikan besar dengan bumbu kuning yang jadi incaran ibu-ibu tamu, awalnya kami kira ikan tersebut adalah ikan dari sungai Musi (mengingat ukurannya yang besar), ternyata itu adalah ikan Patin air tawar biasa karena kebanyakan orang tidak menyukai ikan sungai Musi yang berbau lumpur. Ahh ... sayangnya tak ada satu pun dari semua menu yang saya capture, lupa hehe

Keesokan harinya, kami (full team) berangkat pagi-pagi demi menghindari tanning, ternyata untuk mencapai BKB (Benteng Kuto Besak) kami hanya perlu menaiki bis Trans Musi dari halte di depan lorong (nama lain dari gang), hanya 1 kali tidak perlu berganti angkot seperti yang kami lakukan kemarin.

Kami berhenti tepat di depan Mesjid Agung Palembang yang konon sudah berdiri sejak abad ke 17, arsitektur bangungannya merupakan campuran dari 3 kebudayaan yang mengakar di Palembang yaitu Melayu, Arab dan China.

Di depannya terdapat air mancur yang (katanya) lebih bagus kalau dilihat pada malam hari. Terdapat bendera negara-negara ASEAN dan pagar pembatas di sekeliling air mancur tersebut, yang berguna untuk menghalangi orang gila mandi disana. FYI, cipratan air mancur serasa sedang gerimis, let’s keep the camera...





Kami kemudian berjalan menuju BKB (lagi) karena sebagaian dari kami ingin melihat Jembatan Ampera dan Sungai Musi, jaraknya lumayan dekat dengan Mesjid Agung. Namun, kami lebih tergoda untuk sarapan Pempek 6(^.^)9 jadilah kami berhenti sebentar untuk mencicipi Pempek dan Tekwan di samping Kantor Pos. Saya sendiri lebih memilih Tekwan karena tergoda kuahnya yang mengepul sedangkan adik saya memilih Model (sejenis Pempek tapi bukan Pempek, katakanlah variasi) yang menyegarkan.

Setelah sarapan, kami langsung menuju BKB dengan semangat (n.n) Cuaca yang mulai panas tak menyurutkan keinginan kami untuk berfoto-foto. Sebenarnya saya ingin sekali mengunjungi Pulau Kemaro (kemarau) yaitu pulau yang terdapat di tengah–tengah Sungai Musi entah di bagian mana, yang terdapat kelenteng di bagian dalamnya. 






As far as I searched, Pulau Kemaro adalah pulau yang terbentuk dari kapal seorang Raja yang kaya raya dan membawa banyak harta benda karam. Sayanganya, tidak semuanya berminat pergi kesana karena lebih tertarik untuk membeli oleh-oleh di Pasar Enambelas. Yasudah lah, mungkin lain kali ...

Kenapa dinamakan Pasar Enambelas? Karena terdapat di los Enambelas, isshhh ... bagi saya jawaban tersebut kurang memuaskan, dan saya berharap ada penjelasan yang lebih historis dan ilmiah untuk penamaan Pasar Enambelas (O.O).

Dan benar saja, di sepanjang kolong Jembatan Ampera terdapat PKL yang selama ini saya cari. Dari mulai pempek, kemplang, jeruk, mainan, pakaian sampai charger semuanya tersedia, tinggal pilih. Masuk ke dalam Pasar Enambelas kami disambut dengan suasana pasar baru Bandung tempo dulu, sesak dan rawan menyenggol-nyenggol.

Di dalam terdapat aneka kios-kios yang menjual pakaian dan souvenirs khas Palembang, saya kurang sreg kalau harus membeli kain songket sebagai oleh-oleh, selain harganya yang mahal tekstur kainnya keras dan kasar membuat saya urung membelinya. Akhirnya memilih kain jumputan, tekstur kain yang lembut dan warna yang gonjrang–ganjreng (n.n) membuatnya lebih menarik, harganya? Relatif, sekitar Rp. 100.000 – Rp. 150.000. / pcs.

Keluar dari Pasar Enambelas kami kembali menuju Mesjid Agung untuk menunaikkan shalat dzuhur, angin sepoi-sepoi di teras mesjid membuat saya sulit beranjak. Karena bingung mau makan siang dimana akhirnya Agit mengajak kami menuju IP (International Plaza), demi memenuhi standar wisatawan kami makan di gerai ayam goreng franchise yang antriannya penuh sampai ke pintu depan.

Pemerintah Palembang mengatur agar satu daerah dipusatkan berdasarkan barang yang dijualnya, misalnya toko buku, di sepanjang jalan atau daerah tersebut semuanya berjualan buku, tidak ada yang lainnya, kalaupun ada biasanya masih berhubungan dengan buku seperti toko stationary atau jasa percetakan buku Yasin. Hal tersebut memudahkan (calon) pembeli untuk membanding-bandingkan kualitas barang dan harga. Tentu saja para pedagang bersikap fair karena urusan rezeki sudah ada yang mengatur.

List oleh-oleh:
- Jumputan
- Kemplang 
- Kerupuk Palembang 
- Pempek 

Mmhhh... untuk urusan pempek kami serahkan pada yang lebih ahli hehe Agit membawa kami ke salah satu toko Pempek yang laris di Pelambang, Pempek Candy, yang terletak di depan hotel Novotel. Disana tersedia berbagai pilihan paket Pempek dengan range harga antara Rp. 100.000 – Rp. 500.000, selain pempek mereka juga menjual aneka makanan khas Palembang lainnya seperti Kemplang, Lempok Durian, cuka bubuk dan Tekwan kering.

FYI, their handy carry package is helped during the flight, just dont throwing them away...

Keesokan harinya kami bangun dini hari, sama seperti waktu sahur Ramadan lalu. Mandi terburu-buru demi mengejar pesawat yang berangkat pukul 07.00 WIB. Karena masih dalam suasana Lebaran yang liburannnya masih belum usai, bandara lumayan sesak dan kami (yang kesiangan) harus berlari-larian untuk check in. Huffttt...

And here is my wish list (kalau nanti ke Palembang lagi) LOL
- Mengunjungi Pulau Kemaro
- Mengunjungi Stadiun Jakabaring
- Makan Pempek (lagi)

*sebagian foto dari Agit
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

The story begins when a young psychiatrist named Edward Newgate came to Stonehearst Asylum for studying more about the patient, he is welcomed by the manager Dr. Lamb who offered for staying there (a good opportunity that is expected by him).


Beside Dr. Lamb there was Mr. Finn a multitalented employee who does everything which is related to the order, Mrs. Graves (Kate Beckinsale) is the “it woman” who stays there because she wants it, Millie is the childish nurse, the rest is the guest who attending dinner, the nurse who kept the patient stay alive and the (il)legal employee who looks like a bandit.


One night Dr. Edward accidentally found a path which is lead him into underground jail, he was shocked when knew there are so many people there, especially when they admit themselves as the (unwanted) manager and the employee of Stonehearst Asylum. They’re gone jailed by Dr. Lamb, the patient itself.

They told him to escape to the nearest village for help and asked to get the jail key in Mr. Finn's hand. Mr. Salt (the real manager) told me about the case document of Dr. Lamb because it could be helpful for him. 

Dr. Lamb is a military surgery doctor, he killed 5 people on duty. But, the method of Dr. Salt is more unexpected, he threatens the patient with his freakish experiment. It’s a kind of divergence process.

Looking at this bad situation Dr. Edward asks Ms. Graves to escape from Stonehearst Asylum to get a better future before the madness of Dr. Lamb gets worst. He was used by Dr. Salt for trying his new freakish experiment, electric shock therapy, and he is end up losing his mind.

In new Year's Night Dr. Lamb held a big (madness) party, all the patients came and enjoyed the night. But the night is over when Dr. Edward caught up trying to anesthetize their drink, and he is brought into the new electric shock therapy (again). 

In the end, the real employee escaped success, they took the reins and brought back the patient into their cell. Dr. Edward and Ms. Graves took the chance for living together.
But wait ... it’s not the (real) end ..  there is also a big surprise waiting in the end,  the gift for those watching this.

I recommend this movie, really recommend it!!! interesting plot, remember this story written in 1900 era by Edgar Allan Poe. But, I always feel uncomfortable with Ben Kingsley, he always remain me about the failed Eragon movie.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Pingu adalah film stop motion animation yang berasal dari Swiss, ditayangkan di TVRI sekitar pertengahan dekade 1990-2000an. Ceritanya yang lucu dan bentuknya yang menggemaskan membuatnya dinanti-nanti di minggu pagi.

Pada saat itu Pingu merupakan tontonan wajib saya dan adik yang (pada saat itu) masih duduk di Sekolah Dasar, nyesek banget deh perasaan kita (ehm ... saya) kalau ketinggalan 1 episode dan kita (asli kita, saya dan adik) senang sekali waktu Majalah Bobo mengulas tentang cara pembuatannya (yang mana kini lebih dikenal dengan istilah behind the scene).

Pingu menceritakan tentang kehidupan para hewan di kutub selatan, tokoh utamanya adalah sebuah keluarga pinguin yang terdiri dari:  ayah pinguin yang bekerja sebagai tukang pos dan ibu pinguin yang bertugas sebagai ibu rumah tangga, Pingu anak sulung dan Pinga anak bungsu, selain itu ada Robby si beruang laut dan teman-teman Pingu yang lainnya. 

 

Meskipun ceritanya hanya seputar kehidupan di kutub igloo-sekolah-memancing, Pingu tetap menarik untuk ditonton. Ciri khasnya adalah tepuk tangan “keplak-keplak” dan bibir yang monyong-monyong haha minim dialog tapi penuh ekspresi.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Saya cukup beruntung pernah mengalami masa-masa indahnya hari minggu, satu-satunya hari dimana saya bisa menonton film kartun atau film anak-anak full dari pagi buta sampai sore hari, satu-satunya hari dimana bermalas-malasan adalah hal yang wajib dilakukan sedangkan mandi sehari 2 kali akan dianggap makruh.

Banyak sekali film yang ingin saya tonton tapi sayang waktunya seringkali bentrok, jadilah saya kadang-kadang mesti rela menoton ½ episode karena gonta-ganti channel  televisi. Diantara semua itu ada 1 serial yang mama saya sukai dan belakangan saya dan adik saya sukai, judulnya Little House On The Prairie.

Ada yang pernah tahu? Atau mungkin pernah menonton? Atau suka juga?



Little House On The Prairie bercerita tentang sebuah keluarga kecil yang hidup di tengah peternakan di Amerika jaman dulu. Mereka tinggal di sebuah rumah di atas bukit yang dikelilingi padang rerumputan, keluarga itu terdiri dari Ayah, Ibu dan 3 anak perempuan yang bernama Mary dan Laura (satunya lupa lagi karena masih bayi).

Ceritanya hanya disekitar tempat itu saja, kalau di Indonesia sih mirip-mirip dikit lah dengan serial “Keluarga Cemara” sederhana dan memberikan moral di setiap episodenya. Serial itu pula lah yang pertama kali mengajarkan saya membaca text di televisi, pada saat itu serial ini belum didubbing jadi ya mau tak mau saya harus membaca textnya agar mengerti alur ceritanya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates