Menu

  • 🎀 Home
  • Hello ~
  • 📌 Place
  • 🔥 Space
  • 🍊 Taste
  • 🌼 Personal Thoughts
  • 🎬 Spoiler
  • 🎨 Studio
  • ➕ Extra

demilestari

Powered by Blogger.

Kami melanjutkan perjalanan menggunakan bis menuju Malang, tak banyak tingkah atau pun bicara kami lalui perjalanan dalam senyap. Lelap. Saya terbangun mendengar Rega kasak kusuk seru dengan orang asing, seorang pria paruh baya dengan kuku panjang yang meliuk-liuk. Berdasarkan penjelasannya, dia adalah salah dua dari pemegang rekor MURI untuk orang Indonesia dengan kuku terpanjang.

Tujuan kami di Malang adalah untuk menginap di salah satu kerabat Hany, jeda sejenak sebelum melanjutkan ke Pulau Sempu. Wajah dan logat kami yang bukan pribumi membuat kami berulang kali menjadi sasaran calo, begitu juga ketika membayar ongkos angkot yang lebih mahal daripada tarif lokal, meskipun kesal kami berusaha mafhum karena bukan di tanah sendiri.


Saya baru tahu kalau susunan seat angkot Malang itu agak berbeda, jika biasanya di Jawa Barat sana kursi tambahan disediakan di belakang front seat (supir) dekat dengan pintu keluar lain halnya dengan angkot di daerah Jawa belahan Timur, kursi tambahan terletak di tengah-tengah row seat (diantara kedua deretan kursi penumpang) dan yang kebagian duduk di row seat harus rela nyempil hehe

Pada malam hari kami diajak jalan-jalan ke Roma alias rombengan malam yakni sejenis pasar dadakan seperti di Gasibu Bandung, Roma hanya ada di malam hari saja, barang yang dijual biasanya adalah barang-barang loakan layak pakai dan dagangan lain khas PKL. Tujuan kami sebenarnya adalah untuk mengantar Pici mencari sepatu karena sepatu yang dipakainya jebol sesaat setelah kami tiba di Malang, malang sekali ya Pici hehe

Karena budget yang sungguh sangat terbatas kami mencarinya di Roma, meskipun ada beberapa lapak yang menjajakan sepatu belum ada satu pun yang cocok, yang menjadi masalah bukanlah model atau harganya tapi ukurannya. Pici yang bertubuh mungil, sepatunya juga kecil tapi ukurannya sulit ditemukan. Akhirnya setelah mencari-cari dan bongkar sana sini Pici menemukan ukuran yang cocok, urusan model sudah tidak peduli, harga? cuma Rp. 25,000 haha


Kami tidur ala-ala pindang, khusus malam ini kami tidur seperti papan karena kaki masih nyeri gara-gara jalan (nggak) santai di Bromo. Pada saat seperti itu saya kangen dengan kasur dan bantal-bantal saya di kamar, sayangg saya hanya bisa membayangkannya saja. Meskipun sudah tempel koyo dan menggosok minyak kayu putih disana sini sebelum tidur, keesokan paginya saya terbangun masih dengan kondisi otot yang kaku, bahkan sholat pun masih belum bisa normal.

Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Sempu, setibanya di Pasar Turen kami langsung dikerubungi oleh pengusaha transportasi setempat (angkot dan Honda a.k.a motor). Fahria dengan cekatan mencarter angkot untuk menghindari suasana yang merisihkan.

Sebenarnya, terjadi perdebatan diantara kami mengenai rencana ke Pulau Sempu, menurut Simbah Google biasanya Pulau Sempu ramai dikunjungi pada saat weekend (camping) sedangkan pada hari-hari biasa jarang ada yang camping. Kami khawatir jika tidak ada orang lain / kelompok lain yang camping dan yang terbayang di kepala saya adalah scene-scene film horror epic tentang sekelompok anak muda yang lagi liburan di pantai :(


Tadinya kami mau membatalkan niat ke Pulau Sempu, tapi setelah dipikir-pikir lagi rasanya sayang jika mengingat-ngingat perjuangan kami membawa tenda dan peralatan kemping lainnya dari Jakarta. Setelah berembuk kami putuskan untuk pergi ke Pulau Sempu, jika memang tidak ada seorang pun yang camping disana maka kami akan nekat camping di bibir pantai atau jika memang tidak memungkinkan kami akan menginap di penginapan yang ada di sekitarnya.

Deskripsi mengenai kota Malang kurang lebih seperti yang dituturkan Donny Dirganthoro dalam bukunya '5 cm', khususnya mengenai kebiasaan penduduknya yang memiliki kegemaran membolak-balikkan kata-kata, dari nama angkot yang kami tumpangi, jargon-jargon di baliho sampai dengan nama caleg pun tak luput dibolak-balik. Jika kamu mengunjungi kota Malang dan menemukan kata atau kalimat yang tidak dimengerti mohon jangan putus asa mungkin anda terbalik membacanya ehehe


SENDANG BIRU

Kami tiba di Pantai Sendang Biru menjelang sore, lalu menuju kantor Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu untuk mendaftar camping. Alhamdulillah... kami tidak camping sendiri :) dan untuk bisa camping kami diharuskan untuk menyewa jasa guide polhut untuk menunjukkan jalan, salah-salah bisa tersesat. Di kantor tersebut terpajang gambar-gambar hewan yang terdapat di wilayah konservasi Pulau Sempu diantaranya adalah owa jawa, monyet, harimau dll tadinya saya pikir Pulau Sempu hanyalah pulau tak berpenghuni yang biasa dijadikan tempat kemping, tapi ternyata merupakan wilayah konservasi hewan-hewan khas Pulau Jawa.

Pulau Sempu terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian Timur, jaraknya tidak terlalu jauh, bahkan terlihat jelas sekali dari Pantai Sendang Biru. Untuk mencapai Pulau Sempu kami menyewa jasa perahu nelayan, Mas Kapal ini menawarkan untuk menjemput kami keesokan harinya dan tentu saja kami iyakan.




Sendang Biru merupakan deskripsi yang lugas mengenai tempat ini, airnya yang biru jernih dan tebal merefleksikan langit dengan sempurna, ombak yang menabrak-nabrak tak membuat kami urung untuk melihat dasar lautnya. Di bagian barat laut Pulau Sempu terdapat batu karang yang menancap kokoh dari dasar laut, menurut Mas Guide batu tersebut dijadikan gapura penunjuk bagi kapal-kapal asing di jaman kolonial.

Tujuan kami adalah sebuah laguna kecil di bagian barat daya Pulau Sempu, sebenarnya akan lebih dekat jika langsung menuju ke laguna menggunakan perahu namun sayangnya tak satu pun gentar menghadapi ganasnya ombak laut selatan. Perjalanan melalui jalur darat menghabiskan waktu sekitar 2-3 jam tergantung sikon dan kemampuan, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh hanya saja medan yang dilalui cukup sulit, jalanan yang licin penuh lumpur menyisakan beberapa pasang sandal dan sepatu terbengkalai hehe







Tanah yang terjal dan curam berkali-kali membuat saya terjatuh dan akar pohon yang bergelimpangan sering membuat kami terantuk, belum lagi kemunculan hewan-hewan penghuni Pulau Sempu yang tiba-tiba membuat saya selalu was-was serasa diawasi. Takut digabrug.

Ketika kami tiba sudah ada beberapa tenda milik sekelompok muda mudi yang sedang asyik main air, kami dan Mas guide pun lantas mendirikan tenda untuk menyimpan barang bawaan sebelum akhirnya ngacir foto-foto. Laguna tempat kami camping memiliki pesisir yang landai dengan pasirnya yang halus dan dikelilingi oleh tembok karang yang tinggi serupa benteng, di salah satu sisi terluar tembok karang itulah terdapat sebuah lubang yang berfungsi sebagai jendela yang menghubungkan laguna dan Samudra Hindia.

Dan satu lagi jangan harap untuk mencoba-coba mendekati lubang tersebut, sekali terseret maka akan terhempas keluar, tidak mudah untuk bisa kembali dan terlalu sulit untuk bertahan maka hanya ada 1 kemungkinan : tenggelam. Menikmati laguna Pulau Sempu secara pribadi membuat kami sadar, tidak semua hal ingin dibagi dengan orang lain, sebelumnya kami berharap bisa camping dengan orang / kelompok lain tapi setelah sampai dan menikmatinya kami malah berharap untuk sendiri.







Pada awalnya saya merasa kecewa karena merasa Gunung Bromo lebih menarik ketimbang laguna Pulau Sempu, tapi akhirnya saya tersadar, bukan masalah menarik atau tidaknya saya kecewa, tapi lebih dikarenakan saya kecewa tidak bisa menikmati Pulau Sempu seperti saya menikmati Gunung Bromo, ketika masih segar dan berapi-api. Kelelahanlah yang membuat saya tidak bersyukur

Pada malam hari kami memasak dengan menu yang amburadul hehe menanak nasi dicampur sarden kalengan menggunakan kompor parafin bukanlah pilihan yang tepat, sadar hasilnya jauh dari memuaskan kami berusaha memperbaikinya dengan menambahkan mie rebus ala kadarnya, jangan tanya rasanya, karena masih lebih baik daripada tidak makan sama sekali.





Disaat tenda sebelah gonjrang-gonjreng cekikian asyik tenda kami sudah sunyi senyap hehe Tenda yang kami gunakan adalah milik Fahria yang khusus dibawa dari Jakarta demi camping di Pulau Sempu ehm... milik Najwa (adik Fahria) yang suka main tenda-tendaan di dalam rumah. Ukurannya yang tidak seberapa membuat kami harus rela tidur dempet-dempetan, lalu ada Rega yang ngotot ingin tidur satu tenda karena takut tidur di luar. Saking pulasnya kami tidak sadar kalau malam itu hujan turun, diantara kami hanya Pici dan Mas Guide yang sanggup berlarian untuk menyelamatkan jemuran dan tas-tas kami.

Keesokan harinya kami terbangun dengan porak poranda, karena hujan semalam kami tidur dihiasi dengan toping pakaian 1/2 kering dan tas-tas yang isinya berhamburan. Meskipun Pici mengocehkan (b/d)eritanya semalam kami hanya menanggapinya dengan tertawa-tawa dan bersikeras menganggap aksinya adalah resiko karena tidak tidur pulas.




Kami sempatkan naik ke atas tebing untuk berfoto-foto, tidak boleh terlalu dekat karena ombak yang keras berpotensi untuk membuat badan limbung, jika kurang beruntung bisa jatuh ke samudra. Anyway... pemandangannya indah sekaligus bikin ngeri.

Meskipun enggan kami memaksakan diri bongkar tenda dan berbenah, masih ingin disini, tapi mengingat waktu yang telah saya curi cukuplah sampai disini. Mas guide mengarahkan kami menuju rute yang berbeda dari yang kemarin, lebih cepat dan agak landai, dengan kata lain jalan pintas !!! Hadehh Mas... Tau gitu kemarin kita lewat sini dehh..



Di perjalanan pulang itulah Mas Guide cerita tentang Pulau Sempu, intinya jangan datang ke Pulau Sempu dengan niat buruk atau akan terjadi sesuatu.

Pernah ada seseorang yang datang untuk berburu burung, tak tahu bagaimana dia menghilang, setelah dicari selama beberapa hari akhirnya dia diketemukan di atas tebing terluar, sendirian. Lalu ada sekelompok mahasiswa pria yang camping, di perjalanan pulang salah satu dari mereka bertemu dengan seorang wanita, entah bagaimana dia mengikuti wanita tersebut dan kemudian diketemukan beberapa hari setelahnya di dalam hutan. Selainnya adalah kecelakaan-kecelakaan akibat terjatuh dari tebing atau tenggelam di lautan. So, be careful dear...




Mas Perahu sampai tidak lama kemudian, lalu kami menuju Pantai Sendang Biru. Disana kami harus menunggu beberapa saat Bison yang kami carter datang, tujuan kami selanjutnya adalah Stasiun Kepanjen, menurut jadwal kereta kami akan berangkat beberapa jam lagi.

Mas Bison yang satu ini cukup mengerti keinginan kami, Bisonnya dikemudikan dengan cepat. Pada saat kami diburu waktu ada saja rintangannya, seperti misalnya saat Bison kami sedang on fire alias (rada) ngebut tiba-tiba ada serombongan anak sekolah yang menyebrang jalan... lama... sekali... oh... murid satu sekolahan bubar... berjamaah... Mereka berjalan santai sambil sesekali berceloteh riang dengan temannya sementara kami sudah keringetan panas khawatir ketinggalan kereta, geregetan!!!

Tapi itu belum seberapa dibandingankan dengan tiket bodong haha

Kami tiba tepat waktu di Stasiun lalu bergegas memasuki peron, karena ada keterlambatan kami harus menunggu hingga beberapa saat yang kami habiskan dengan berfoto-foto. Pada saat kereta mulai terlihat di kejauhan, barulah kami sadar belum beli tiket, berlari-lari saya dan Fahria kembali ke loket untuk membeli tiket.


Sepertinya Mas Tiket kurang peka kalau kami terburu-buru, meskipun sudah ada panggilan 'kepada seluruh penumpang ...' beliau tetap tak bergeming bahkan memberikan tiketnya, satu-persatu, kemudian menghitung uang kembalian dengan cermat dan teliti sebelum memberikannya kepada kami. Setelah mendapatkan tiket kami berlari-lari dan ikut berebut kursi dengan penumpang yang lain.

Perjalanan penuh kenyarisan hari itu mengantarkan kami menuju Stasiun Malang. Hal yang pertama kami lakukan adalah mandi. Saya belum merasakan mandi sejak kemarin lalu ditambah busik lengkat ala air laut dan keringat hasil lari-lari hari ini membuat saya merasa kotor hahaha ... Beruntung kami menemukan satu tempat mandi yang cukup bersih di pinggir gedung kantor kereta api, bergantian kami mandi sampai puas.



Selesai mandi kami berjalan-jalan sambil melihat-liat kereta, siapa tahu kereta kami sudah datang. Kami pun masuk ke dalam sebuah tempat makan, ketika kami sibuk memilih-milih makanan terdengar suara 'kepada seluruh penumpang...' lalu terdengar suara-suara gaduh antara penumpang dan kondektur dari kereta di depan kami, siap untuk berangkat.

Serasa diingatkan Fahria bertanya tentang kereta yang akan kami naiki kepada Ibu Warteg. Jawabannya menghetak kami, kereta yang nyaris berangkat di depan kami adalah kereta yang kami tunggu-tunggu. Tanpa membuang waktu kami berlarian naik ke dalam kereta meninggalkan Fahria dan Pici yang sibuk memaksa Ibu Warteg membungkus makanan secepat kilat. Masih teringat dalam benak saya bagaimana Fahria dan Pici berlarian mengejar kereta dengan ransel yang kebesaran dan keresek di pergelangan tangan, tadinya saya pikir mereka akan ketinggalan seperti di film-film hehehe



Kami habiskan malam di kereta dengan kaki yang masih pegal karena sulit sekali untuk digerakkan, mempersulit posisi duduk kami yang tidak nyaman. Penumpang yang lalu lalang di setiap perhentian dan pedagang asongan yang seliweran tidak membuat kami benar-benar tertidur. Maklum kereta ekonomi hehe

Setelah Hany turun di Yogyakarta, kini giliran Pici, Fahria, Rie dan Rega turun di Stasiun Cipeundeuy a.k.a Stasiun Malangbong karena mau menjenguk mamanya Icunk, akhirnya tinggal saya sendiri melanjutkan perjalanan sampai Stasiun Bandung. Sedih sih hehe... Udah lecek, kumal, gak ada yang jemput... eh, nggak deng, ada yang jemput haha



Saya pergi liburan ditengah-tengah SP (semester pendek) dan jatah bolos per mata kuliah adalah 3 hari, karena mata kuliah tersebut diadakan 3 hari dalam seminggu, otomatis jatah bolos saya habis dalam minggu ini, itu artinya saya harus masuk di hari-hari berikutnya. Sayangnya salah satu mata kuliah yang saya ambil terpaksa gugur karena suatu hal dan lain sebagianya hahaha ... tinggal satu mata kuliah lagi, yang membuat saya puyeng bukan main adalah ... UTS Meskipun saya datang tepat waktu (sehari sebelum UTS) saya harus mengerjakan tugas-tugas hutang bolos dan tugas penunjang UTS : (

Jadilah... Ketika teman-teman liburan saya sedang dalam masa pemulihan pasca liburan, saya masih sibuk begadang bikin sketsa huftt...

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Tujuan berikutnya adalah Air Terjun Madakaripura,

Entah bagaimana caranya Fahria berhasil melobi Mas Bison untuk mengantarkan kami ke Air Terjun Madakaripura. Entah bagaimana caranya juga Fahria tahu tentang tempat itu dan entah bagaimana caranya pula kami bisa sampai kesana dengan kondisi fisik dan mental yang memble karena jalan-jalan 20 km di pagi tadi.

Yang saya ingat adalah Bison kami melewati jalanan yang berliku, melewati rumah-rumah khas perkampungan yang punya ayam di pekarangan serta kebun-kebun palawija di kanan kirinya. Kadangkala diselingi oleh sawah-sawah dan hutan-hutan yang mengingatkan saya akan cerita mistis jaman kolonial.


Kami tiba sekitar pertengahan hari lebih sedikit, kaki kami yang pegal cukup mempersulit perjalanan. Menurut guide yang kami sewa, sebenarnya, pihak pengelola sudah membuatkan jalan semen menuju ke air terjun namun hancur karena banjir bandang di tahun 1998 ketika Presiden Suharto lengser. Air yang mengalir merupakan air dari daerah  Bromo, jika di daerah Bromo hujan deras maka sudah pasti debit air di air terjun Madakaripura pun tinggi. Biasanya, cuaca di air terjun Madakaripura sama dengan cuaca di Bromo, jika tidak memungkinkan maka pengelola air terjun akan menutup akses menuju air terjun untuk meghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada suatu hari yang naas itu, cuaca di air terjun Madakaripura cerah sekali dan banyak pengunjung yang berdatangan. Tak disangka, di daerah Bromo telah turun hujan lebat yang mengakibatkan banjir bandang dan menjatuhkan bebatuan besar dari atas. Banyak korban berjatuhan karena insiden tersebut dan pihak pengelola memutuskan untuk menutup sementara air terjun Madakaripura. Saya kurang tahu pasti kapan air terjun Madakaripura dibuka kembali untuk umum, namun pada saat kami mengunjunginya (2010) tempat tersebut sudah mulai ramai dikunjungi.


Mendengar cerita mas guide yang horror itu kami was-was seketika, khawatir kalau ada apa-apa (you-know-what-I-meant-huh). Seakan menjawab pertanyaan kami, Mas Guide itu bilang 'kalau lihat apa-apa atau yang aneh-aneh jangan panik, pura-pura gak lihat aja yah...' hadeeuuhhh... nambah merinding aja... 

Kami beristirahat sebentar di warung darurat sekadar jajan-jajan gorengan, belum makan lagi sejak tadi pagi di Bromo. Karena jalan semennya sudah rusak, maka terpaksalah kami harus melewati jalan tanah di pinggir-pinggiran sungai, kalau jalannya sudah habis ya nyemplung ke sungai hehe 

Melihat air terjun yang bergemericik dan lumut yang tumbuh subur hingga dinding-dindingnya membuat saya percaya bahwa air terjun Madakaripura adalah air terjun terindah yang pernah saya kunjungi. Bahkan saya berpikir sedang berada di
fairy land sedang mencari peri sebesar capung yang seliweran kesana kemari seperti di film Barbie hehe



Namun, yang menjadi tujuan sebenarnya  adalah air terjun yang letaknya paling ujung. Membentuk 2/3 lingkaran tidak sempurna dan dialiri air yang cukup deras, disanalah letak Madakaripura atau dalam bahasa terjemahan bebas adalah tempat bertapanya Patih Gajah Mada di masa lampau, yaitu di dalam ceruk yang terdapat di belakang air terjun.

Karena kedalamannya yang mencapai sekitar 2 m belum lagi ditambah dengan derasnya air yang mengalir, saya pikir siapa pun juga akan mengalami kesulitan untuk mencapai ceruk (yang letaknya lumayan tinggi).

Karena penasaran saya tanya Mas Guide
S      : 'mas, gimana caranya Gajahmada sampai ke atas?'
MG  : 'gak tau lah mbak, pokoknya dia bisa sampai ke atas'
S      : 'ohh ... terbang ya mas?'
MG : 'mungkin mbak, dia kan ORANG SAKTI !!!'

OK, case closed !!!

Setelah mencukupkan diri berfoto, kami segera memutuskan hengkang karena khawatir Mas Bison kesel nungguin. Meskipun di area dekat loket sudah disediakan MCK, tak satupun diantara kami yang berminat untuk mandi, terlanjur lelah mungkin.



Pada Mas Bison, kami semua berpesan agar diantar menuju terminal bis karena mau lanjut ke Malang, tapi menurut Mas Bison akan lebih cepat kalau menggunakan kereta api, setelah ditimbang-timbang kami putuskan untuk menggunkan kereta api saja seperti saran Mas Bison, meskipun sebenarnya khawatir tidak kebagian tiket atau salah jadwal.

Dan memang, kami ditipu mentah-mentah sama Mas Bison. Ketika sampai di stasiun kami tidak mendapati satu pun kereta menuju Malang seperti keinginan kami. Sialan !!! Pantas saja Mas Bison langsung tancap gas begitu kami selesai menurunkan barang. Setelah tanya sana-sini kami diarahkan agar menaiki angkot menuju terminal, sepanjang perjalanan kami habisakan bersungut-sungut dan memaki Mas Bison sampai haus.

Tips
  • Jika ingin mengunjungi air terjun Madakaripura, lebih baik menggunakan Bison dari Bromo karena sulit mencari transportasi ke sana.
  • Jika tidak berniat untuk basah-basahan, lebih baik menggunakan raincoat atau payung karena air akan bercipratan seperti gerimis.
  • Jika tidak ingin repot membawa snack, tersedia beberapa warung darurat yang menyediakan aneka makanan dan minuman (harga sedikit diatas harga normal).
  • Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman, atau setidaknya tidak mempersulit perjalanan.
  • Berhati-hatilah membawa kamera atau ponsel, akan lebih baik jika kamera atau ponsel menggunakan waterproof case.
  • Check terus moda transportasi yang akan digunakan untuk pulang (jam keberangkatan), hati-hati kena tipu hehe
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Post ini adalah post lanjutan dari Trip Bromo & Malang - Prolog

Atas saran Rega, saat naik ke dalam kereta kami langsung mengincar kursi di gerbong restorasi. Kebetulan Rega dan keluarganya sudah pernah ke Surabaya menggunakan kereta api ini dan menurutnya lebih nyaman duduk di gerbong restorasi ketimbang duduk di gerbong biasa. Kami bisa duduk berdekatan tanpa mesti terpisah-pisah dan memesan makanan dengan mudah, sayangnya karena gerbong restorasi ini adalah tempat berkumpulnya para petugas kereta api saat istirahat, ada hal-hal yang akhirnya membuat kami menjadi merasa kurang nyaman.

Mulai dari mengajak berkenalan, mengobrol (dari yang jelas sampai yang tidak jelas) meminta berfoto sampai melakukan hal-hal yang mengganggu (bagi kami). Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami selalu memberikan nama dan keterangan palsu kepada siapa saja yang menanyakannya. Tidak ada salahnya untuk selalu bersikap waspada bukan?


Karena kami duduk di gerbong restorasi, otomatis banyak orang yang lalu lalang, dari yang sekedar memesan makanan, jalan-jalan saja atau salah gerbong. Ada kalanya mereka keheranan dengan kami yang anteng bermain 'geplakan' menggunakan kartu remi, mungkin mereka menganggap bermain kartu di tempat umum adalah hal yang kurang lazim, apalagi kami masih muda dan berhijab. Bahkan ada yang berkomentar: ‘masih muda sudah main kartu’.

Permainan kartu yang kami mainkan adalah 'geplakan' yang saya dapatkan dari Putri teman di kampus, ketika kami sudah bosan bermain 'cangkulan' tapi tidak mampu bermain poker *masih cupu.

Cara bermain 'geplakan' nya adalah dengan membagi rata semua kartu tertutup kepada semua pemain (minimal 2 orang). Lalu setiap pemain akan bergantian membuka satu persatu-satu kartu yang ia dapatkan sambil menghitung nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, Jack, Queen dan King secara berurutan di dalam hati. Jika kebetulan pemain tersebut mendapatkan kartu yang sesuai dengan urutan, maka kartu tersebut harus langsung digeplak (dipukul keras) oleh semua pemain, pemain terakhir yang menggeplak kartu akan mendapatkan semua kartu yang sebelumnya sudah dibuka.

Begitu juga dengan pemain yang menggeplak kartu bukan di urutannya, maka ia akan mendapatkan semua kartu yang sudah dibuka. Pemenangnya adalah pemain yang kartunya paling cepat habis, sedangkan yang mendapatkan kartu paling banyak di akhir permainan adalah pihak yang kalah. Untuk memenangkan permainan ini sekurang-kurangnya pemain harus cepat tanggap dan memiliki tangan yang siaga, resikonya adalah tangan yang kemerahan karena geplakan pemain yang lain.



Menjelang malam, kami meyakini situasi gerbong restorasi sudah tidak nyaman lagi, karenanya kami pun memutuskan untuk pindah ke gerbong yang lebih depan. Selain itu kami menunggu teman yang lain (Hany) yang kan naik di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Kami tiba di stasiun Gubeng sekitar tengah malam dan menginap di hotel, sedangkan Rega menginap di rumah kakaknya yang tinggal di Surabaya.

***

KEBUN BINATANG SURABAYA

Karena kami masih memiliki waktu luang sebelum pergi ke Bromo, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Kebun Binatang Surabaya yang ada patung ikan Hiu dan Buaya di depannya. Kebun Binatang Surabaya jauh lebih luas dan datar ketimbang Kebun Binatang Bandung sehingga kami bisa lebih leluasa untuk berjalan-jalan tanpa khawatir jatuh terjembab. Selain itu, hewannya tampak lebih terawat dan area kandangnya cukup layak untuk ditinggali.

Kami pun menemukan area terpisah tempat Orang Utan yang sedang sakit, kasihan sekali melihat melihatnya makan pisang di dalam kerangkeng dengan tatapan yang memelas seperti Puss in Boots. Kami juga mengunjungi Mini Museumnya yang memamerkan aneka hewan (beserta telur) yang diawetkan, mungkin itu mayat hewan yang pernah tinggal di sana, mungkin juga beli. Tak tahulah, karena sepertinya sulit sekali untuk mengawetkan mayat Burung Unta yang tingginya seperti saya.

Dan entah mengapa kami menikmati sekali makan es krim sambil memandangi pantat Babon yang ambeien.



***

Menjelang siang, barulah kami memulai perjalanan ke Bromo menggunakan bis, tak ada yang bisa kami lakukan untuk menikmati perjalanan selain tidur. Sesekali bangun hanya untuk melihat pedagang asongan yang ikutan naik bis. Disaat kami sibuk melihat pemandangan yang rasa-rasanya gersang ini, Bos Rega sudah belanja pisau dan Kelepon yang ternyata enak, sayangnya saat mau membeli lagi Kelepon pedagangngna sudah keburu turun, yasudahlah... mungkin lain kali.

Sesampainya di stasiun kami segera mencari mobil angkutan yang menuju Bromo, atas rekomendasi beberapa orang (yang kami ajak ngobrol) untuk mencapai Bromo kami harus menggunakan Bison. Pada saat itu kami berfikir Bison adalah kendaraan sejenis Truk yang bertanduk hehe Mengacu pada tubuh Bison yang besar, kuat dan bertanduk, kami memastikan harus mencari kendaraan yang gagah.

Ternyata eh ternyata, setelah bertanya-tanya tentang Bison kami dituduhkan pada minibus yang gahar a.k.a Elep (bisa juga Elf biar lebih English). Sebenarnya kami sudah tidak asing lagi dengan Bison ini, karena di Jawa Barat Elep adalah kendaraan yang lazim ditemui di hampir semua terminal, biasanya melayani rute ke daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh bis. Seperti saya yang harus menggunakan Elep setiap kali pulang ke Subang, karena tidak ada bis yang khusus melayani rute khusus Bandung-Subang.

Setelah mendapatkan Bison, kami segera menata diri dan barang bawaan sampai nyaman lalu kami dibawa ke terminal bagian lain untuk menjemput turis Eropa yang sedang asyik makan bakso yang dengan giragnya melemparkan koper dan tasnya ke atas Bison. Lalu kami dibawa ke agen perjalanan untuk menjemput pasangan turis Malaysia dan guide Indonesia-nya, Bison yang leluasa pun berangsur-angsur padat. Bison yang digunakan untuk ke Bromo susunan seatnya sudah sesuai dengan kapasitasnya alias tidak ada seat tambahan seperti di Elep Bandung-Subang yang bisa muat 22 orang, belum termasuk kenek dan barang bawaan.

Supir Bison mewanti-wanti agar kami tidak memberitahukan tarif turis domestik kepada turis mancanegara lainnya, hal yang lazim dan harus diberdayakan ya secara kurs $ masa kini naiknya semena-mena. Harga $ yang membumbung tinggi membuat turis domestik semacam kami harus mempersiapkan budget yang cukup untuk bisa pelesiran, bertambah sedih karena turis mancanegara tersebut sudah bisa pelesiran keliling Indonesia karena katanya murah. Di dalam Bison, turis Eropa tadi dengan bangganya menyebutkan daerah-daerah di Indonesia yang sudah pernah dikunjungi dan akan dikunjungi, sedangkan kami hanya bisa melongo karena belum pernah kesana.

Meskipun hari mulai gelap, kami masih sempat menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan menuju Bromo, kebun-kebun sayuran yang diselingi pohon pinus khas dataran tinggi, rumah-rumah penduduk dengan lampu yang mulai berkerlapan, mobil-mobil 4WD yang berjejer rapi dan kuda terpajang apik didepan rumah. Selainnya adalah bukit-bukit dan hutan-hutan yang bagus kalau dilihat dari jauh. 

Moment sunset yang kami tunggu tak ubahnya ending film drama komedi bajakan. Pasangan turis yang duduk di kursi paling depan sebelah supir berkali-kali berciuman sambil sesekali cekikikan dan tertawa ala-ala bercanda, sekaligus menghalangi sunset yang kami idam-idamkan. Meski sempat merasa kesal karena scene mereka yang diulang-ulang, kami cukup terhibur bisa melihat sunset Bromo di sela-sela tubuh mereka yang labil.

***

Kami diturunkan di muka hotel Cemara Indah, hotel yang memiliki view paling dashyat dan private. Why? karena kawah Gunung Bromo bisa dilihat langsung dari jendela hotel. Sayangnya harga yang fasilitas yang ditawarkan tidak sesuai dengan budget kami, hanya tersisa 1 kamar seharga Rp. 150.000 (2010) yang hanya boleh digunakan untuk 2 orang saja. Cukuplah kami berfoto dengan patung kuda icon hotel tersebut. Lalu kami mencari penginapan di sekitarnya, sebenarnya banyak penginapan namun karena pencahayaan yang minim dan kebersihan yang kurang terjaga kami pun mengurungkan niat, belum lagi peraturan 1 kamar harus diisi max 3 orang dan kamar mandi yang letaknya di luar, menambah keengganan kami.

Akhirnya kami mendapatkan sebuah rumah dengan 2 kamar tidur, dapur, kamar mandi, ruang TV (beserta TV) dan ruang tamu seharga Rp. 150.000 permalam. Meskipun itu belum termasuk jasa pemilik rumah yang merangkap profesinya sebagai guide, kami merasa puas bisa menemukan tempat yang nyaman. Kami bergegas memasak mie rebus menggunakan kompor parafin Fahria yang baunya bergumul di ruangan, lalu membeli nasi dan lauknya di warung depan rumah, jadilah kami makan malam dengan mie rebus dan nasi (karbohidrat khas orang Indonesia), dessertnya biskuit sisa perjalanan tadi siang.

Meskipun kami kelelahan sulit rasanya untuk memejamkan mata, cuaca yang begitu dingin, dingin, dingin sekali membuat kami kesulitan untuk tidur. Selimut tidak membantu sama sekali untuk kami, bahkan bergeser atau merubah posisi tidur bisa membuat dinginnya bertambah. Saking dinginnya, serasa kepala masuk freezer, udara menyelinap sampai ke tulang, bisa jadi seminggu di Bromo pulangnya kena rematik.

***

PANANJAKAN 2

Kami berangkat menuju Panajakan sekitar pukul ½ 4, yang mana sudah dianggap kesiangan sama ayam. Karena tidak terbiasa, kami kedinginan, kami kelelahan, kami ketakutan, intinya kami ingin menyerah... Rega yang sudah tidak tahan, meminta guide kami untuk mencari mobil jeep. Setelah berkomunikasi dengan konco-konconya, dia (guide) menyatakan semua mobil yang ada dan terdaftar di koperasi sudah habis dipesan. Waahh... kami pun bertekad untuk memaksakan diri berjalan kaki selangkah demi selangkah, slow but sure...

Bagi kami yang tidak terbiasa jalan nanjak di subuh hari, jalanan yang rata pun dianggap berbahaya, berkali-kali kami harus berhenti karena kelelahan, minum sedikit lalu mengap-mengap mencari oksigen. Seringkali kami mendengar deru bergemuruh seperti air terjun, tapi ternyata angin lalu... haha...

ini sahur atau sarapan? :)

Jalan menuju ke pos Pananjakan 2 sebenarnya cukup bagus, setidaknya rata dengan tanah dan diaspal sampai dibawah bukit, dari sana dilanjutkan dengan jalan setapak sampai ke pos Pananjakan, sampai di atas ternyata sudah banyak rombongan lain yang berkumpul-kumpul. Guide kami menyarankan agar naik ke pos yang lebih tinggi di dekat batu besar agar lebih leluasa, serta merta menawarkan untuk ke Pos Pananjakan 1 yang tentu saja kami tolak hehe.

Di atas pos sudah ada sepasang kekasih bertengger di pingggiran atap dengan kaki menjuntai, kami yang terlalu excited kesulitan menahan diri untuk tidak berfoto-foto ria. Maafkan kami mas dan mbak, harap maklum karena baru kali ini kami pergi jauh dari rumah, meninggalkan tugas, pekerjaan dan pacar, kecapekan naik gunung yang ada di adzan maghrib televisi swasta, mau lihat sunrise yang bagus untuk dijadikan wallpaper desktop. Jangan heran kalau kami kalap difoto, belum tentu tahun depan kami kesini lagi.

Karena merasa terganggu, pasangan di lapak sebelah angkat kaki. Kami pun segera memanfaatkan kesempatan itu untuk shalat shubuh dengan segera. Lalu... (please see this below picture)








Jika diperhatikan, latar belakang foto-foto kami hanya menampilkan sebagian saja dari kawah Gunung Bromo, sisanya lebih mengekspos Gunung Batok.

Karena.

Sesungguhnya.

Pici.

Pikir.

Gunung Bromo.

Adalah.

Gunung Batok.

Sedangkan kawah Gunung Bromo yang dituju dianggapnya sebagai kawah biasa...

OMG!!! Jadi ternyata selama ini Pici keliru mengenai kawah Gunung Bromo, persepsi Pici : karena kami sudah berada di dalam kawah, maka yang disebut gunung adalah gundukan tanah yang lebih tinggi (Gunung Batok) bukan kawah lagi. OK, diperjelas lagi, daya tarik Gunung Bromo adalah: adanya kawah yang berada di dalam kawah, bukan gunung di dalam kawah. Duh gusti... aya aya wae si Pici mah...







***

SAVANA

Kami turun dari pos Pananjakan sekitar pukul 7 pagi (rombongan lain sudah duluan) di tengah jalan muncul mbok-mbok dari Suku Tengger yang membawa gembolan entah mau pergi kemana, mereka menawarkan untuk berfoto bersama. Ketika kami akan bergegas pulang mbok-mbok tersebut menahan kami dan menagih bayaran foto bareng, It's a trap!!! Hahahahaha

Tujuan kami selanjutnya adalah kawah Gunung Bromo, karena kami tidak menyewa mobil terpaksalah kami berjalan kaki menuju kawah, jaraknya? ahh... dekat sekali, cuma sepersekian mm di Atlas peta buta Indonesia. Untuk sampai disana kami harus malalui jalan pintas, lewat kebun-kebun, turunan bukit yang curam dan kambing, Ya, kambing. kambing yang lewat berselisihan. Kawah masih jauh... Bisa dilihat di foto bahwa area yang belum mendapatkan matahari masihlah gelap.







Di perjalanan menuju kawah guide kami bercerita tentang batu besar yang ada di dekat pos 2. Konon sebenarnya jalan yang akan diaspal sampai dengan pos 2, namun karena terdapat batu besar yang membahayakan, pihak developer memerintahkan agar pekerjanya memindahkan batu tersebut sampai ke batas jalan aspal dan jalan setapak hingga seharian penuh. Namun keesokan harinya mereka semua dikejutkan dengan batu yang sudah kembali di tempat semula, oleh karena itu rencana pengaspalan jalan sampai pos 2 bubar di tengah jalan, terlanjur was-was. Dalam hati kami bersyukur mendengar ceritanya setelah jauh dari TKP.

Melihat pedagang makanan yang tersebar di pinggiran Pura meningkatkan motivasi kami untuk sampai sesegera mungkin, sarapan ala kadarnya patut disyukuri dengan menghabiskannya sampai tandas tak bersisa. Senanglah kami bisa duduk sambil minum-minum teh, meski minum berkali-kali tak juga membereskan perkara bibir kering efek naik gunung. Tidak lupa berfoto sambil minum biar dikira gaul.




***

KAWAH BROMO

Rencananya kami akan naik kuda ke kaki tangga menuju kawah, tapi mendadak ciut setelah tahu harga sewa kudanya Rp. 100.000 / orang. Meski lelah kami pun memutuskan untuk mencoba berjalan kaki menuju kaki kawah, setelah sampai di tengah-tengah (setelah Pura) harga sewa kuda turun drastis menjadi Rp. 20.000 / orang. Dengan senang hati kami pasrah naik kuda sampai kaki tangga, cuma Fahria yang masih setia berjalan kaki dengan guide. Karena kesulitan untuk naik ke atas pelana kuda saya diganti dengan kuda yang lebih kecil, tingginya mirip keledai.

Kami turun di anak tangga menuju ke kawah Bromo, saking terjalnya kami mesti menangadah sambil was-was terjumpalit, berjalan sedikit demi sedikit memaksakan diri untuk sampai ke atas mau lihat kawah. Kami disambut 2 gelaran lapak mbok-mbok penjual minuman dan makanan ringan di ujung tangga. Meskipun sempat heran dengan pemilihan lapaknya yang agak kurang strategis karena menghalangi jalan, saya maklum dengan usahanya











diterpa angin, dekil

***

PASIR BERBISIK

Setelah cukup puas melihat-lihat dan berfoto-foto, kami kembali menuruni tangga menuju Pasir Berbisik. Sebenarnya saya kurang faham mengenai Pasir Berbisik, yang saya tahu itu adalah judul film Garin Nugroho yang bersetting di Gunung Bromo. Kami kira akan menemukan tempat yang 'waw', 'wah atau bagaimana, namun ternyata yang dimaksud Pasir Berbisik adalah tempat kru film menggambil gambar, lebih tepatnya padang pasir yang luas, luas sekali. Polos. Anggap saja kami kecele dagangan si guide. Huft.

Karena kelelahan kami seringkali berhenti di tengah perjalanan, baik itu untuk sekedar meluruskan kaki, minum, mengatur nafas atau foto-foto. Lama-kelamaan langkah kaki pun terasa beraatt... Badan mulai kepanasan dikukus jaket dan sweater. Matahari mulai naik, membuat keringat dan pasir menempel lebih likat di kulit, anggap saja pakai bedak. Tapi itu belum seberapa dengan bibir yang kering, musuh utama saya dan Pici hehe .

*Kami seringkali mengalami perkara bibir kering yang cukup serius, hingga membuat luka dan berlangsung selama beberapa minggu ke depan, pada saat seperti itu kami akan berusaha agar tidak dehidrasi, minum air sebanyak-banyaknya dan berusaha agar tidak melakukan hal-hal yang memperparah luka.






A : mas, dari rumah sampai sini kira-kira berapa km?

Q: sekitar 20 km

Ketika mendengar jawaban Mas guide, kami langsung diam, sedikit menyesal tapi tabah. Bos rega yang setres meminta untuk dicarikan kendaraan pulang, entah itu mobil, motor atau apapun, kami mau. Guide kami yang cekatan mulai menelepon konco-konconya, mungkin sesama guide, tak berapa lama datang lah beberapa motor menjemput kami. Seperti cabe-cabean masa kini, kami boncengan satu motor bertiga, tak apalah, yang penting sampai...

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Paused Moments

Let's Get In Touch

  • Behance
  • Letterboxd
  • LinkedIn

Disclaimer

It is prohibited to copying any content from this blog without permission. Please let me know if your privacy has been violated through the content or find something that needs to be credited correctly.

Note

My post may contain affiliate links, which means I will earn a commission if you buy through the link. There is no compulsion as we have different preferences and needs. Thank you :)

Alone Alone Kelakone

2025 Reading Challenge

2025 Reading Challenge
Lestari has read 0 books toward her goal of 6 books.
hide
0 of 6 (0%)
view books

Archives

  • ►  2011 (7)
    • ►  May (1)
    • ►  Nov (6)
  • ►  2012 (19)
    • ►  Jan (1)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (8)
    • ►  Jun (2)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (1)
    • ►  Nov (1)
  • ►  2013 (12)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Oct (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Jan (2)
    • ►  May (1)
    • ►  Aug (1)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (8)
  • ►  2015 (62)
    • ►  Jan (6)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  Jun (7)
    • ►  Jul (1)
    • ►  Aug (10)
    • ►  Sep (7)
    • ►  Oct (11)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (7)
  • ►  2016 (64)
    • ►  Jan (5)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (2)
    • ►  May (6)
    • ►  Jun (1)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (7)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (9)
    • ►  Nov (6)
    • ►  Dec (11)
  • ►  2017 (76)
    • ►  Jan (10)
    • ►  Feb (5)
    • ►  Mar (6)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (12)
    • ►  Jun (10)
    • ►  Jul (7)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (6)
  • ►  2018 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (7)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (5)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2019 (39)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (3)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (5)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (1)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2020 (48)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (2)
    • ►  Mar (7)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (2)
    • ►  Sep (3)
    • ►  Oct (7)
    • ►  Nov (3)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2021 (44)
    • ►  Jan (2)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (2)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (4)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (3)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (4)
    • ►  Nov (4)
    • ►  Dec (5)
  • ►  2022 (47)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (4)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (5)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (2)
    • ►  Oct (5)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (3)
  • ►  2023 (41)
    • ►  Jan (3)
    • ►  Feb (3)
    • ►  Mar (3)
    • ►  Apr (3)
    • ►  May (2)
    • ►  Jun (3)
    • ►  Jul (5)
    • ►  Aug (4)
    • ►  Sep (6)
    • ►  Oct (3)
    • ►  Nov (2)
    • ►  Dec (4)
  • ►  2024 (48)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (4)
    • ►  Mar (5)
    • ►  Apr (4)
    • ►  May (4)
    • ►  Jun (5)
    • ►  Jul (4)
    • ►  Aug (5)
    • ►  Sep (4)
    • ►  Oct (2)
    • ►  Nov (5)
    • ►  Dec (2)
  • ▼  2025 (6)
    • ►  Jan (4)
    • ►  Feb (1)
    • ▼  Apr (1)
      • Ramadan di Rumah

SERIES

Book Quaranthings Screen Shopping Annual Post Blogging 101 Hari Raya Hidden Gems Series

Friends

  • D. R. Bulan
  • Dari Kata Menjadi Makna
  • Ikan Kecil Ikugy
  • Jolee's Blog
  • Mazia Chekova
  • Noblesse Oblige
  • Perjalanan Kehidupan
  • Pici Adalah Benchoys
  • The Random Journal

Blogmarks

  • A Beautiful Mess
  • A Plate For Two
  • Astri Puji Lestari
  • Berada di Sini
  • Cinema Poetica
  • Daisy Butter
  • Dhania Albani
  • Diana Rikasari
  • Erika Astrid
  • Evita Nuh
  • Fifi Alvianto
  • Kherblog
  • Living Loving
  • Lucedale
  • Monster Buaya
  • N. P. Malina
  • Nazura Gulfira
  • Puty Puar
  • Rara Sekar
  • What An Amazing World
  • Wish Wish Wish
  • Yuki Angia

Thanks for Coming

Show Your Loves

Nih buat jajan

Blogger Perempunan

Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates