Mungkin karena mama sakit jadinya lebaran
tahun ini kerasaaa banget bedanya... kalau dulu Ramadan kita berdua udah rempong belanja sana sini, rajin
mantengin 3 mini market yang berdekatan demi mendapatkan barang terdiskon, hunting ta'jil sampai nyari mesjid untuk tarawih keliling, sekarang kita diemaja di rumah nonton Kang Mus marahin
Kang Komar. Sedih banget kan...
Di setiap Ramadan kita selalu membagi-bagi
tugas, mama stay di dapur
masak-masak, saya beres-beres rumah dan Widy nonton TV. Kalau ditanya
sebel ya sebel banget. Tapi apa mau dikata, kalau puasa kan jangan marah, takut
batal. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di H- sekian
saya sibuk mengganti tirai-tirai dan sprei di setiap kamar, menyusun cemilan di
toples-toples, membersihkan karpet-karpet dan berusaha untuk membereskan
baju-baju. It’s a though job. Really.
FYI, tahun ini (daily) asisten
rumah tangga kita cuti awal karena anaknya melahirkan dan dia punya cucu baru,
jadilah saya yang mesti mengerjakan (hampir) semua pekerjaan rumah, kecuali
menyetrika. Biarlah orang lain yang melakukannya (kode keras untuk Mang laundry).
Kalau dulu sepulang kerja kita langsung ngabuburit sambil cari tempat makan,
sekarang kita ngabuburit di depan TV. Kalau dulu kita sok sibuk bikin (rencana)
menu untuk sahur, sekarang kita beneran sibuk searching menu untuk diabeter.
Kalau dulu kita sering keluar masuk mini market demi survei harga terdiskon dari
yang diskon, sekarang sudah cukup survei harga di koran atau checking Line group. Kalau dulu kita
sering tarawih keliling, sekarang sholatnya masing-masing.
Anyway, alhamdulillah saya gak masuk rumah sakit kaya tahun kemarin.
Seperti biasanya kita shalat Idul Fitri di
alun-alun (lapangan) Subang dan kita sudah sibuk menyetrika baju sejak dini
hari. Sayangnya, sholat Idul Fitri tahun ini tidak berjalan normal seperti
biasanya, ada insiden besar yang membuat ibadah selama sebulan runtuh seketika.
Microphone yang digunakan imam sholat
Idul Fitri agak bermasalah, suaranya kecil sekali hanya terdengar di bagian
depan saja, padahal sedari dulu suara imam shalat Idul Fitri pasti terdengar
sampai ke seluruh lapangan.
Saya sendiri pun kurang khusyu karena harus mencari suara imam yang sayup-sayup terdengar
diantara suara tangisan balita dan anak-anak yang ingin beli balon. Disaat itu
pula terdengar suara bergemuruh dari bagian belakang dan samping, seperti pada
saat demo May Day, lalu ada suara
sepeda motor yang sengaja digas kencang ala remaja geje yangsok-sokan jadi anggota geng motor.
Setelah shalat usai kita semua kebingungan dan
khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti isu perpecahan antar
agama atau kerusuhan antar pemuda saat Ramadhan yang dibawa sampai idul Fitri.
Jangankan mendengarkan khotbah, yang ada kita semua sibuk mencari tahu dan selfie/ wefie pakai mukena baru.
Ternyata, sumber masalahnya adalah imam shalat
idul Fitri, karena suaranya tidak terdengar ke seluruh lapangan makmum yang merasa kesal menyoraki imam.
Mungkin niatnya mengingatkan imam seperti saat imam salah membacakan ayat, tapi
bukannya lebih konsentrasi mencari suara imam dan melanjutkan sholat, makmum tersebut malah menyoraki imam
terus menerus bahkan sampai melempar-lemparkan mukena ke atas layaknya
wisudawan melempar toga. Subhanallah...
Bagi yang belum puas, dilanjutkan dengan
mencaci dan membicarakan dengan terang-terangan, tapi karena kita adalah
generasi yang kekinian, maka kita pun sibuk curhat di socmed.
Miris sekali ya... Semua ibadah yang sudah
dilakukan harus pupus karena microphone.
Tak mungkin dipungkiri bahwa andil panitia
pelaksana pun cukup besar, bagaimana mungkin mereka bisa menyediakan microphone dan sound system seadanya untuk shalat Idul Fitri yang hanya dilaksanakan
setahun sekali? Padahal mereka selalu menyediakan microphone dan sound system
terbaik untuk acara musik yang ricuh.
Apa kabar pemerintah?
...
...
...
Maaf, mereka sibuk menggosok batu akik. LOL.
And
there is a little bit inconvenience ... Rombongan
keluarga kita yang datang secara terpisah sempat kena gusur lapak sholat. Karena
datang lebih awal, keluarga kita memilih tempat sholat di depan (bukan depan
sekali) di belakang tempat sholat pria yang dibatasi dengan tali rafia dengan
alasan ingin lebih dekat dengan imam. Pada saat sedang mendengarkan khotbah pra sholat, tiba-tiba muncul
rombongan ibu-ibu pejabat yang menyuruh untuk pindah, padahal keluarga kita dan
(beberapa rombongan) yang lainnya sudah menggelar sajadah dan mengenakan
mukena.
Sebagai masyarakat kita sangat menyayangkan
sikapnya yang arogan sebagai orang penting. As
far as I know, penentuan tempat sholat itu bukan berdasarkan status sosial
atau jabatan di pemerintahan melainkan berdasarkan waktu kedatangan, yang awal
datangnya akan mendapatkan shaf terdepan sementara yang datangnya akhir akan
mendapatkan shaf dibelakang. Mungkin sense
of belonging beliau sangat tinggi, hingga tempat sholat pun bisa dklaim...
Meskipun sholat Idul Fitri kali ini
benar-benar di luar batas ibadah, saya juga menyayangkan sikap makmum pria yang
semakin parah dari tahun ke tahun. Banyak sekali makmum pria yang shalat di
belakang makmum wanita, padahal masih banyak tempat kosong yang tersedia. Alasannya? Kalau di lapangan
rumputnya basah kena air embun, sedangkan trotoar dan jalan aspal lebih kering
dan datar, terus biar pulangnya gampang biar gak desak-desakan. *dan mereka pun
bubar sebelum khutbah selesai.
Karena mama (sedikit) ngadat di pagi harinya jadilah kita tak menyempatkan berfoto ala
lebaran seperti tahun-tahun yang lalu, yang ada kita disibukkan oleh kedatangan
sanak saudara dan tetangga yang bersilaturami, rumah kita mendadak riuh.
Dan tengah hari mama tepar karena capek duduk
terus di singgasana seharian.
Tambahan:
Di H+2 Idul Fitri, kita menyempatkan diri untuk main sebentar ke Gunung Tangkuban Parahu yang lokasinya berada di perbatasan Bandung dan Subang. Perjalanan menuju kesana macet luar biasa tapi tanggung kalau mau balik lagi.